Rabu, 25 November 2020

Kisah Shohabat Fairuz Addailami Rodhiyallohu 'Anhu



‎Fayruz al-Daylami memiliki keturunan Arab-Persia, ibunya adalah seorang Arab dan ayahnya adalah seorang Persia yang berasal dari Yaman. Ia berjasa dalam menumpas nabi palsu Aswad al-Ansi.

Nabi Palsu tidak hanya ada pada zaman modern ini saja, saat Rasulullah sakit pun ada coba-coba mengambil kesempatan untuk menyebarkan ajaran sesat, bahkan tidak hanya satu Nabi Palsu……. Melainkan Tiga Nabi Palsu. Beliau me­merintahkan mereka supaya segera bertindak menumpas bencana yang membahayakan iman dan Islam. Beliau memerintahkan su­paya menyingkirkan Aswad Al-Ansy dengan cara yang sebaik-baiknya.

“Fairuz Ad Dailami, disebut juga Ibnu Ad Dailami. Kunyah-nya Abu Abdillah, sebagian pendapat mengatakan kunyah-nya Abu Abdirrahman. Ia juga disebut dengan Abu Adh Dhahhak Al Yamami. Ia adalah seorang sahabat Nabi dan ia juga yang telah membunuh Al Aswad Al ‘Insi Al Kadzab. Ia juga merupakan utusan NabiShallallahu ’alaihi Wasallam.

Ibnu Sa’ad menuturkan, Fairuz Ad Dailami kunyah-nya Abu Abdillah ia disebut juga Al Himyari karena lahir di Himyar. Ia adalah keturunan Persia yang diutus ke Yaman. Disana mereka menyingkirkan orang Habasyah dan akhirnya menguasai Yaman.

Abdul Mun’im bin Idris menuturkan: “Kemudian mereka menasabkan diri pada Bani Dhibbah. Mereka berkata, kami biasa berjualan arak di masa Jahiliah”.

Fairuz adalah orang yang membunuh Al Aswad bin Ka’ab Al ‘Insi yang mengaku Nabi di Yaman. Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam berkata tentang Fairuz:

قتله الرجل الصالح فيروز ابن الديلمي

“Yang membunuh Al Aswad Al ‘Insi adalah seorang lelaki shalih, Fairuz Ad Dailami”

dalam riwayat lain:

قتله رجل مبارك من أهل بيت مباركين

“Yang membunuh Al Aswad Al ‘Insi adalah seorang lelaki yang diberkati yang berasal dari keluarga yang diberkati”

Ia juga merupakan utusan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Beberapa hadits diriwayatkan darinya, salah satunya hadits tentang takdir. Sebagian perawi meriwayatkan darinya dengan mengatakan: “Ad Dailami Al Himyari menuturkan kepadaku…“, sebagian perawi lain menggunakan nama “Ad Dailam”, namun itu semua mengacu pada orang yang sama yaitu Fairuz bin Ad Dailami. Ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya dan disebutkan nama yang berbeda-beda di dalamnya.

Abu Abdillah bin Mandah mengatakan bahwa Fairuz adalah anak dari saudara perempuan Raja An Najasyi.

Fairuz meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan yang meriwayatkan darinya adalah anak-anaknya yaitu Sa’id bin Fairuz Ad Dailami, Adh Dhahhak bin Fairuz Ad Dailami, Abdullah bin Fairuz Ad Dailami, juga Umar Al Muadzin, Abu Khair Martsad bin Abdillah Al Yazani, dan Abu Khirrasy Ar Ra’ini.

Muhammad bin Sa’ad dan Abu Hatim berkata: “Fairuz wafat pada masa pemerintahan Utsman bin Affan” (Tahdzibul Kamal, no. 4776)

Imam Bukhari dalam kitab Tarikh Kabir (no. 616) membawakan beberapa hadits dari Fairuz Ad Dailami:

قَالَ أَبو عَاصِمٍ: عَنْ عَبد الْحَمِيدِ، عَنْ يَزِيد بْنِ أَبي حَبِيب، عَنْ مَرثَد بْنِ عَبد اللهِ، عَنِ ابْنِ الدَّيلَمِيّ؛ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبيَّ صَلى اللَّهُ عَلَيه وسَلم: أَنا مِنكَ بَعِيدٌ، وأَشرَبُ شَرابًا مِن قَمحٍ، فَقال: أَيُسكِرُ؟ قلتُ: نَعَم، قَالَ: لاَ تَشرَبُوا مُسكِرًا، فَأَعادَ ثَلاثًا، قَالَ: كُلُّ مُسكِرٍ حَرامٌ..

“Abu ‘Ashim berkata, dari Abdul Humaid, dari Yazid bin Abi Habib, dari Martsad bin Abdillah, dari Ibnu Ad Dailami, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Ketika itu aku jauh darimu, aku meminum minuman yang dibuat dari gandum, (apakah boleh)? Nabi bertanya: ‘Apakah memabukkan?’. Ia berkata: ‘Ya’. Nabi bersabda: ‘Jangan minum yang memabukkan (diulang sampai 3x), setiap yang memabukkan itu haram’‘”

وَقَالَ عليٌّ: حدَّثنا مُحَمد بْنُ الحَسَن الصَّنعانيّ، قَالَ: أَخبرني النُّعمان بْنُ الزُّبَير، عَنْ أَبي صَالِحٍ الأَحمَسِيّ، عَنْ مَرّ المُؤَذِّن، قَالَ: خرجتُ مَعَ فَيرُوز بْنِ الدَّيلَمِيّ فِي أَلْفَيْنِ، فأتيتُ عُمَر، ثُمَّ أَتَاهُ فَيرُوز، فَقَالَ عُمَر: هَذَا فَيرُوز قاتِل الْكَذَّابِ

“Ali berkata, Muhammad bin Al Hasan As Shan’ani menuturkan kepada kami, ia berkata, An Nu’man bin Az Zubair mengabarkan kepada kami, dari Abu Shalih Al Ahmasu, dari Umar Al Muadzin, ia berkata: “Aku pergi bersama Fairuz bin Ad Dailami di Alfayn. Aku menemui Umar bin Khattab, lalu Umar menemui Fairuz. Umar berkata, inilah Fairuz sang pembunuh Al Kadzab“

FAIRUS AD-DAILAMY dan TERBUNUHNYA NABI PALSU

Sekembalinya dari Haji Wada', Rasulullah saw sakit. Berita tersebut pun kontan tersiar ke seluruh Jazirah Arab.Ironisnya, tiga tokoh berpen­garuh yang murtad memanfaatkan situasi genting tersebut. Mereka adalah Aswad Al Ansy di Yaman, Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah, dan Thulaihah AI-Asady di perkampungan Bani Asad. Mereka mendak­wakan diri menjadi nabi bagi kaumnya, seperti halnya Muhammad diutus bagi kaum Quraisy.
Aswad Al-Ansy adalah tukang tenungyang menyebar kejahatan dengan mengelabuimata korbannya, menggunakan musya'widz(semacam alas sulap untuk menyihir mata orang). Dia kuat dan bertubuh kekar. Di samping itu, dia sangat pandai berbicara, memperdayai orang dengan kata-katanya.Karena itu dia bisa mempermainkan penda­pat umum dengan keterangan-keterangannya yang menyesatkan. Keinginannya akan harta,kekuasaan dan pangkat sangat menonjol. Tetapi, secara penampitan kelihatan sangat sederhana, yang tak lain demi menutupi kepribadiannya yang penuh rahasia.
Ketika itu Yaman dipegang golongan "Abna" yang dikepalai Fairus ad-Dailamy,sahabat Rasulullah. Abna adalah nama bagisegolongan masyarakat Yaman. Bapak merekaadalah orang Persia yang merantau jauh darinegeri mereka, sementara ibunya adalah tipikal wanita-wanita Arab. Raja merekaadalah Badzan. Ketika Islam meluaskan dak­wahnya, Badzan telah menjadi Raja di Yaman sebagai Kuasa Kisra, Maharaja Persia.
Setelah syiar Islam, Rasulullah saw menyebar dan diterima Badzan, dia punmelepaskan diri dari kekuasaan Kisra. Ia danrakyatnya memilih masuk Islam. Rasulullahlantas mengukuhkan Badzan menjadi raja sampai dia mangkat, tidak lama sebelum gerakan Aswad Al-Ansy muncul.
Orang yang mula-mula menjadi pengikut gerakan Aswad Al-Ansy ialah kaumnya send­iri, Banu Madzhij. Dengan pengikut-pengi­kutnya itu, Aswad mula-mula menerkam Shan'a. Kepada daerah Shan'a, Syahar putra Badzan, dibunuhnya. Istri Syahar, putri Adzada, dikawininya dengan paksa.
Dari Shan'a, Aswad Al-Ansy melompat menyerang daerah-daerah lain. Sehingga dalam tempo singkat, daerah yang luas pun bertekuk lutut di bawah kekuasaannya, yaitu hampir mencapai seluruh daerah Hadhramut hingga Thaif, dan antara Bahrain hingga Aden.
Modal utama Aswad menangguk keber­hasilan sebenamya hanyalah semata-mata kelicikan dan kelihaian berbicara dan ber­tindak. Kepada pengikut-pengikutnya, dia mengatakan bahwa dia selalu didampingimalaikat yang menyampaikan wahyu, Bertamemberitahukan hal-hal yang ghaib kepa­danya.
Pengakuannya itu diperkuat dengan mengirim mata-mata ke seluruh wilayah sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tugas mata-mata itu adalah menyelidiki keadaan masyarakat, sampai kepada yang sekecil­-kecilnya dan sangat rahasia. Mereka berusaha mengetahui kesulitan-kesulitan yang sedang dialami masyarakat setempat, dan keinginan­keinginan yang bergejolak di hati mereka.
Lalu Aswad datang pada mereka mem­bawa oleh-oleh yang menggembirakan. Dia berusaha memenuhi kebutuhan setiap orang yang memerlukan bantuannya, mengatasi setiap orang yang memerlukan bantuannya, dan membantu setiap kesulitan yang mereka hadapi.
Kepada simpatisannya, diperagakannyahal-hal yang ajaib dan aneh hingga merekaterpesona, karena tidak sanggup memahami dan memikirkannya. Dengan begitu, pen­gagum Aswad Al-Ansy bertambah banyak dan menyebabkan dia menjadi kuat. Akh­irnya, dakwahnya pun makin tersebar luas.
Ketika Rasulullah menerima laporangerakan Aswad Al-Ansy, beliau segera men­gutus sepuluh orang sahabat untuk membawa surat kepada para sahabat yang dianggap berpengaruh di kawasan Yaman. Beliau me­merintahkan mereka supaya segera bertindak menumpas bencana yang membahayakan iman dan Islam. Beliau memerintahkan su­paya menyingkirkan Aswad Al-Ansy dengan cara yang sebaik-baiknya.
Perintah tersebut disambut antusias oleh para sahabat, termasuk Fairus Ad-Dailamy dan anak buahnya dari golongan Abna'. Bahkan dialah orang yang pertamakali mer­espons perintah Rasulullah tersebut untuk memberangus para nabi palsu.
Fairus dan pasukannya segera bersiaga di tempat masing-masing dengan segala kemampuan yang ada. Mereka sendiri sebe­narnya begitu kesal dengan kepongahan Aswad Al-Ansy. Termasuk terhadap pan­glimanya sendiri, Qais bin 'Abd Yaghuts.Bahkan menurut kabar beredar, Aswad tegamenamparnya.
Keadaan ini segera dimanfaatkan Fairusuntuk mencari simpati Qais. Bersama anakpamannya, Dadzan, mereka menemui Qais. Di luar dugaan Qais senang bukan main ataskunjungan tersebut, hingga ia tergugah dansepenuh hati menerima tawaran mereka. Tak pelak, mereka bertiga akhirnya segeramenyusun siasat untuk menumpas Aswad.Mereka bertiga rencananya akan menumpas dari dalam, sementara kawan-kawan yang lain akan bertindak dari luar.
Dalam hal ini Dadzan, anak paman Fai­rus, yang dikawini Aswad secara paksa setelah ia bunuh suaminya, Syahar bin Badzan, akan memegang peranan penting bagi terlaksan­anya siasat tersebut.
"Wahai anak pamanku! Kami tahu bagaimana perlakuan orang ini (Aswad) ter­hadap dirimu dan terhadap kami. Dia sung­guh jahat dan kejam. Dia telah membunuhsuamimu dan menodai wanita-wanita golon­ganmu. Dia telah banyak membunuh, danselalu bertindak sewenang-wenang. Ini suratRasulullah tertuju khusus kepada kita dan penduduk Yaman. Beliau memerintahkan kita menghentikan malapetaka ini dengan tuntas. Dapatkah kamu membantu kami?" tanya Fairus saat menemui Dadzan.
"Bantuan apa yang harus aku berikan pada kalian?"
"Mengusirnya..!" tegas Fairus."Jangankan mengusir, membunuhnya pun aku bersedia!"
"Demi Allah! Memang itulah maksudku.Tetapi aku khawatir kalau-kalau engkau tidakmenyetujui maksud kami."
"Demi Allah yang mengutus Muhammaddengan agama yang hak, memberi kabar gem­bira dan kabar takut, aku tidak pernah ragusedikit pun pada agamaku. Karena itu tidak ada makhluk Allah yang paling saga benci selain setan yang satu ini (Aswad). Demi Allah! Setahuku, sejak aku lihat orang-orang ini, pekerjaannya tidak lain hanya menyebarkejahatan, tidak pernah mengindahkan yanghak, apalagi akan mencegah yang mungkar,"kata Dadzan kembali meyakinan.
"Nah! Kalau begitu, bagaimana cara kitamembunuhnya?"
"Dia selalu dikawal ketat. Tidak ada ruan­gan di dalam kediamannya yang tidak berpen­gawal, kecuali kamarnya. Karenakamarnya itu telah dikelilingi dengan parit dan terpisah jauh. Di belakang kamarnya, ada lapangan. Bila malam sudah gelap, lubangi dinding kamar itu. Nanti kalian akan memperoleh senjata dan lampu di dalam. Aku akan menunggu kalian di sana. Sesudah itu, masuklah ke ruangan dalam, lalu bunuhlah dia"
"Tetapi, melubangi dinding tembok kediamannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Jika kebetulan ada orang lewat, tentu dia akan berteriak memanggil pengawal.Akibatnya akan buruk sekali..." tanya Fairus keberatan.
"Benar ...! Kalau begitu, besok pagi kirim padaku seseorang yang kamu percayai untuk menjadi pekerja. Aku akan menyuruhnya membuat lobang dari dalam, tetapi tidak sampai tembus. Tinggalkan setipismungkin, supaya kamu dapat menyoblos­ nya dengan mudah malam harinya," jelas­ Dadzan.
"Tepat" sekali." Setelah itu Fairus pun pergi memberitahu kawan-kawan yang lain tentang rencana yang telah disepakati dengan Dadzan. Mereka pun segera menyiapkan segala sesuatunya. Dengan sangat hati-hati mereka bekerja. Mereka pun telah menetapkan kata-kata sandi yang dipergunakan.
Akhirnya, dipilihlah waktu fajar besok untuk memulai aksi mereka. Ketika malam sudah mulai gelap, Fairus dan pasukannya segera pergi ke sasaran. Dinding yang di maksud mereka coblos dengan mudah. Lalu mereka pun bergegas masuk ke dalam gudang, menyalakan lampu dan mengambil senjata. Sesudah itu, mereka menuju kamar Aswad. Sementara Dadzan, telah berdiri di muka pintu. Dia memberi isyarat agar Fairus dan pasukannya segera masuk.
Mendapati Aswad tidur mendengkur,Fairus pun tak menyia-nyiakan kesempatan.Segera diayunkannya pedang ke lehernya. "Trashhh!" Aswad melenguh seperti sapi,kemudian menggelapar-gelepar seperti untadisembelih.
Mendengar suara Aswad melenguh, pengawalnya segera datang. "Apa yang terjadi?' tanya mereka dari balik kamar.
"Tidak apa-apa! Kembalilah kalian!Nabiyallah sedang mendapat wahyu!" sahutDadzan. Mereka pun kembali tanpa curiga.
Begitu terbit fajar, Fairus berlari menujusinggasana Aswad sambil berteriak, "AllahuAkbar, Allahu Akbar, asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Ra­sulullah. Wa asyhadu anna Aswad Al-AnsyKadsdzaab, (Allah Maha Besar, aku bersaksitiada Tuhan selain Allah dan Muhammadutusan Allah, sesungguhnya Aswad Al-Ansy pembohong).
Kalimat terakhir itu sebenarnya kata-kata Sandi yang disepakati dengan kaum muslimin. Mendengar seruan Fairus, kaum Muslimin berlompatan ke istana dari segala arah. Para pengawal terkejut kebingungan.Saling membunuh pun segera terjadi antara kelompok kaum muslimin dengan para pengawal istana. Melihat itu, Fairus cepat-cepat melemparkan kepala Aswad Al-Ansy yang sudah dipotong ke tengah-tengah para pengawal.
Melihat kepala Aswad menggelinding dihadapan mereka, hati mereka kecut, kehil­angan semangat. Sebaliknya, kaum muslimin dengan gemuruh meneriakkan takbir dan menyerang musuh-musuh Allah yang kebin­gungan tanpa ampun. Pertempuran selesaisebelum matahari terbit, dengan kemenangandi pihak kaum muslimin.
Setelah matahari terbit, mereka segeramenulis Surat kepada Rasulullah, menyam­patkan kabar gembira bahwa musuh-musuh Allah telah berhasil ditumpas habis.Namun begitu, ketika utusan sampai di Madinah, mereka mendapati beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat tidak lama sesudah menerima wahyu yang mengabarkan bahwa Aswad Al-Ansy telah terbunuh, persis pada saat kejadian.
Beliau sempat berkata kepada para saha­bat, "Aswad Al-Ansy telah meninggal dunia tadi malam, dibunuh seorang yang penuh berkat dan berasal dari rumah tangga yang diberkati."
"Siapa orang itu, wahai Rasulullah?" "Fairus... Fairus menang ... !"

Hadits Riwayat Imam Ahmad Dari Fairuz Ad-Dailami RA‎

Hadits Ahmad 17345

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُمْ أَسْلَمُوا وَكَانَ فِيمَنْ أَسْلَمَ فَبَعَثُوا وَفْدَهُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْعَتِهِمْ وَإِسْلَامِهِمْ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحْنُ مَنْ قَدْ عَرَفْتَ وَجِئْنَا مِنْ حَيْثُ قَدْ عَلِمْتَ وَأَسْلَمْنَا فَمَنْ وَلِيُّنَا قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ قَالُوا حَسْبُنَا رَضِينَا

Hadits Ahmad No.17345 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Abdu Rabbih] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Al Walid bin Muslim] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Al Auza'i] dari [Abdullah bin Fairuz Ad Dailami] dari [Bapaknya], bahwa mereka telah masuk Islam, dan Dailam adalah orang yang termasuk salah seorang dari mereka (yang masuk Islam). Mereka kemudian mengirim utusan menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyampaikan bai'at dan keIslaman mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menerimanya, kemudian mereka berkata, "Wahai Rasulullah, anda telah tahu siapa kami, kami pun datang dari tempat yang telah anda ketahui. Kami telah memeluk Islam, maka siapakah wali kami?" Beliau menjawab: "Allah dan rasul-Nya." Maka mereka berkata, "Cukuplah bagi kami dan kami pun ridla."]]]‎ [HR. Ahmad No.17345].
Hadits Ahmad 17346

حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنِ ابْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ هَيْثَمٌ مَرَّةً عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ فَيْرُوزَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ نَحْنُ مَنْ قَدْ عَلِمْتَ وَجِئْنَا مِنْ حَيْثُ قَدْ عَلِمْتَ فَمَنْ وَلِيُّنَا قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

Hadits Ahmad No.17346 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Haitsam bin Kharijah] telah menceritakan kepada kami [Dlamrah] dari [Yahya bin Abu Amru Asy Syaibani] dari [Ibnu Fairuz Ad Dailami] dari [Bapaknya], dan sekali waktu [Haitsam] berkata, dari [Abdullah bin Fairuz] dari [Bapaknya] ia berkata; Saya berkata, "Wahai Rasulullah, semoga Allah bershalawat atasmu. Kami adalah orang yang telah anda kenal, kami juga datang dari tempat yang telah anda ketahui. Lantas, siapakah wali kami?" beliau menjawab, "Allah dan rasul-Nya."]]] [HR. Ahmad No.17346].‎

Hadits Ahmad 17347

حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ أَخْبَرَنَا ضَمْرَةُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنِ ابْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُنْقَضَنَّ الْإِسْلَامُ عُرْوَةً عُرْوَةً كَمَا يُنْقَضُ الْحَبْلُ قُوَّةً قُوَّةً

Hadits Ahmad No.17347 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Haitsam bin Kharijah] telah mengabarkan kepada kami [Dlamrah] dari [Yahya bin Abu Amru] dari [Ibnu Fairuz Ad Dailami] dari [Bapaknya] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Isalam akan terurai ikatan demi ikatan, sebagaimana terurainya tali satu persatu."]]] [HR. Ahmad No.17347].‎

Hadits Ahmad 17348

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي وَهْبٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ أَنَّ أَبَاهُ فَيْرُوزًا أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَتَحْتَهُ أُخْتَانِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلِّقْ أَيَّهُمَا شِئْتَ و قَالَ يَحْيَى مَرَّةً حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمَعَافِرِيِّ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَدْرَكَ الْإِسْلَامَ

Hadits Ahmad No.17348 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ishaq] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Abu Wahab Al Jaisyani] dari [Adl Dlahhak bin Fairuz], bahwa [ayahnya], Fairuz, telah masuk Islam dengan beristerikan dua orang wanita yang saling bersaudara. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ceraikanlah seorang dari mereka yang engkau kehendaki." Dan sekali waktu Yahya menyebutkan, Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Wahab bin Abdullah Al Ma'afiri dari Adl Dlahak bin Fairuz dari Bapaknya, bahwa ia telah memeluk Islam."]]] [HR. Ahmad No.17348].‎

Hadits Ahmad 17349

حَدَّثَنَا مَوسَى بْنُ دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي وَهْبٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي امْرَأَتَانِ أُخْتَانِ فَأَمَرَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُطَلِّقَ إِحْدَاهُمَا

Hadits Ahmad No.17349 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Dawud] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Abu Wahb Al Jaisyani] dari [Adl Dlahak bin Fairuz] dari [Bapaknya] ia berkata, "Ketika masuk Islam aku memiliki dua orang isteri yang saling bersaudara, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk menceraikan salah satu dari keduanya."]]] [HR. Ahmad No.17349].‎

Hadits Ahmad 17350

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا عَيَّاشُ بْنُ عَيَّاشٍ يَعْنِي إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنِي يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ فَيْرُوزَ قَالَ قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا أَصْحَابُ أَعْنَابٍ وَكَرْمٍ وَقَدْ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ فَمَا نَصْنَعُ بِهَا قَالَ تَتَّخِذُونَهُ زَبِيبًا قَالَ فَنَصْنَعُ بِالزَّبِيبِ مَاذَا قَالَ تَنْقَعُونَهُ عَلَى غَدَائِكُمْ وَتَشْرَبُونَهُ عَلَى عَشَائِكُمْ وَتَنْقَعُونَهُ عَلَى عَشَائِكُمْ وَتَشْرَبُونَهُ عَلَى غَدَائِكُمْ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحْنُ مَنْ قَدْ عَلِمْتَ وَنَحْنُ نُزُولٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ مَنْ قَدْ عَلِمْتَ فَمَنْ وَلِيُّنَا قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ قَالَ قُلْتُ حَسْبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ

Hadits Ahmad No.17350 Secara Lengkap

[[[Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Mughirah] telah menceritakan kepada kami [Ayyasy bin Ayyasy] -yakni Isma'il- berkata, telah menceritakan kepadaku [Yahya] -yakni Ibnu Abu Amru Asy Syaibani- dari [Abdullah bin Ad Dailami] dari bapaknya [Fairuz] ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami adalah para pemilik anggur, sementara syariat pengharaman khamar telah turun, lantas apa yang mesti kami perbuat dengan anggur itu?" Beliau menjawab: "Olahlah ia menjadi zabib (kismis)." Fairuz bertanya lagi, "Lalu bagaimana kami mengolahnya menjadi zabib?" Beliau menjawab: "Kalian rendam saat siang hari lalu kalian minum pada malam hari. Kemudian kalian rendam di malam hari dan meminumnya pada pagi hari." Fairuz berkata; Saya berkata, "Wahai Rasulullah, kami adalah orang yang telah anda ketahui, dan kami tinggal di tengah-tengah orang yang telah anda ketahui, lantas siapa wali kami?" Beliau menjawab, "Allah dan rasul-Nya." Fuiruz berkata, "Kalau begitu cukuplah bagiku wahai Rasulullah."]]]  [HR. Ahmad No.17350].‎

 

Sejarah Imam Ad-Darimi Rh


Beliau adalah Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin Abdillah ad-Darimi as-Samarqandi.‎

Kuniyah beliau; Abu Muhammad

Nasab beliau:

At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
Tanggal lahir:

Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.

Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu.‎

Beliau adalah sosok yang tawadldlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.

Rihlah beliau

Rihlah dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad Darimi pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini.

Pendidikannya

Sebagai seorang yang bertekad menjadi penyebar hadits dan sunnah, maka syarat-syarat sebagai seorang rawi sejati menjadi satu kemestian untuk dimiliki.

Diantaranya ia mesti terlebih dahulu belajar dan berguru. dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad-Darimi pun tidak ketinggalan dengan merantau dibeberapa Negara yang terkenal, ‎diantara negara yang pernah beliau singgahi untuk menuntut ilmu adalah:
· Khurasan
· Iraq
· Badgdad
· Kuffah
· Wasith
· Bashroh
· Syam, Damaskus dan Shur.
· Jazirah
· Hijaz, Makkah dan madinah

Guru-guru beliau

Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;

Yazid bin Harun
Ya’la bin ‘Ubaid
Ja’far bin ‘Aun
Basyr bin ‘Umar az Zahrani
‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
Hasyim bin al Qasim
‘Utsman bin ‘Umar bin Faris
Sa’id bin ‘Amir adl Dluba’i
Abu ‘Ashim
‘Ubaidullah bin Musa
Abu al Mughirah al Khaulani
Abu al Mushir al Ghassani
Muhammad bin Yusuf al Firyabi
Abu Nu’aim
Khalifah bin Khayyath
Ahmad bin Hmabal
Yahya bin Ma’in
Ali bin Al Madini
Dan yang lainnya

Murid-murid beliau

Sebagaimana kebiasaan ahlul hadits, ketika mereka mengetahui bahwa seorang alim mengetahui banyak hadits, maka mereka berbondong-bondong mendatangi alim tersebut, guna menimba ilmu yang ada pada diri si ‘alim. Begitu juga dengan Imam Ad Darimi, ketika para penuntut ilmu mengetahui kapabaliti dalam bidang hadits yang dimiliki imam, maka berbondong-bondong penuntut ilmu mendatanginya, diantara mereka itu adalah;

Imam Muslim bin Hajaj
Imam Abu Daud
Imam Abu ‘Isa At Tirmidzi
‘Abd bin Humaid
Raja` bin Murji
Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar
Muhammad bin Basysyar (Bundar)
Muhammad bin Yahya
Baqi bin Makhlad
Abu Zur’ah
Abu Hatim
Shalih bin Muhammad Jazzarah
Ja’far al Firyabi
Muhammad bin An Nadlr al Jarudi
Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Karya-karyanya

Sebagai ulama’ hadits yang terkenal, seperti para ulama hadits lainnya, Imam ad-Darimi juga memiliki karya-karya dalam bidang ilmu hadits yang jumlahnya cukup banyak. Diantaranya adalah:
· Sunan ad-Darimi
· Tsulutsiyat (kitab hadits)
· Al Jami'
· Tafsir

Komentar Ulama’ tentang Imam ad-Darimi

Imam ad-Darimi adalah ulama hadits yang sangat terkenal dibidang hadits, maka banyak dari kalangan ulama yang memberikan sanjungan kepada Imam ad-Darimi, diantaranya adalah:

· Imam Ahmad bin Hanbal memuji beliau dan menggelarinya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang).

· Muhamad bin Basyar (bundar) berkata : “penghapal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Nasaiburi, Abdullah bin Abdul Rahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhari”

· Abu Bakar al-Khilib al-Baghdadi melukiskan hal ini dalam buku beliau tarikh baghdad, dan kemudian di nukil oleh adz-Dzahabi, ia berkata: “ia salah seorang pengembara sejati dalam mencari hadits atau memiliki kekuatan hapalan, dalm mengumpulkan hadits secara propesional (itqan)”

· Abu Harits ar-Razi berkata: “…dan Abdullah bin Abdurrahman paling kuat (atsbat) di antara mereka (Bukhari, Muhamad bin Yahya dan Muhamad bin Aslam).

Adz-Dzahabi menjulukinya dengan tawafal (mengelilingi banyak negeri) menjadi seorang imam, tentu saja sebuah gelar yang besar/agung. Kebesaran ini menjadi lengkap, karena ternyata beliau memang seorang imam seperti dalam makna yang sesungguhnya, luar dalam.

Muhamad bin Ibrahiem bin Manshur as-Saerozi: “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan/perumpamaan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan juhud….”. Bahkan imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa suatu ketika ditawarkan kepada beliau materi (dunia) tetapi beliau tidak menerimanya.‎

Masih banyak sanjungan atau pujian yang diberikan para ulama kepada beliau. Sebagai seorang imam besar (profesor/guru besarpada zaman sekarang) ilmu yang dikuasainya tidak terbatas kepada satu macam saja. Pantas saja jika para ulama menempatkan beliau sebagai seorang ahli tafsir yang sempurna mumpuni dan seorang ahli fiqh yang alim.]Sudah barang tentu, penghargaan ulama seperti ini kepada beliau bukanlah datang dengan tiba-tiba –bim salabim–. Hal ini merupakan buah atau hasil dari sebuah proses panjang dalam hidup rabbani.

Wafatnya beliau

Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah)

SUNAN AD DARIMI

Sunan Ad-Darimi adalah sebuah kitab klasik yang merupakan kitab induk. Kitab ini juga dikenal dengan kitab Musnad Ad Darimi.

Sebenarnya penyebutan dengan nama Musnad Ad Darimi kurang tepat. Sebab, kitab musnad adalah kitab hadits yang diurutkan sesuai dengan urutan nama shahabat. Sedangkan kitab sunan adalah kitab yang disusun sesuai dengan urutan bab-bab fikih, mulai dari bab iman, bersuci, shalat, zakat dan seterusnya. Padahal, kitab Ad Darimi disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih. Sehingga, kitab Ad-Darimi ini lebih tepat diberi nama Sunan Ad-Darimi.

Al Imam As Suyuthi rahimahullahmengatakan, “Musnad Ad Darimi bukanlah musnad dan kitab ini tersusun berurutan mengacu sesuai dengan bab-babnya.”

Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa kitab Sunan Ad Darimi adalah kitab shahih. Pernyataan ini tidaklah benar. Di dalam kitab ini yang ternyata ada hadits yang terputus sanadnya, dan hadits dhaif. Bahkan Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa pada kitab sunan Ad Darimi ada hadits yang palsu, walaupun mayoritasnya hadits shahih. Sehingga tidaklah tepat kalau kitab ini disebut dengan kitab shahih.

Perlu kita ketahui, para ulama menyatakan bahwa kitab induk hadits yang tertinggi ada enam. Mereka menyebutnya dengan Kutubus Sittah, kitab induk yang enam. Kitab tersebut adalah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah.

Sebagian ulama mengatakan, “Sepantasnya Sunan Ad Darimi menjadi kitab yang keenam menggeser kedudukan kitab Sunan Ibnu Majah.” Mereka beralasan bahwa kitab Sunan Ad Darimi para perawi yang lemah lebih sedikit daripada perawi lemah yang ada pada kitab Sunan Ibnu Majah. Juga sangat jarang didapati di dalam Sunan Ad Darimi haditsmunkar (hadits seorang yang lemah menyelisihi orang yang kuat hafalannya) dan hadits syadz (hadits dari seorang perawi yang kuat hafalannya, namun menyelisihi seorang yang lebih kuat hafalannya). Walaupun di dalam Sunan Ad Darimi didapati haditsmauquf1 dan mursal2, akan tetapi Sunan Ad Darimi tetap lebih utama.

Fadhl bin Thahir rahimahullah merupakan yang pertama kali memosisikan Sunan Ad Darimi pada posisi keenam. Kemudian pernyataan beliau ini diikuti banyak orang. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa tidak hanya satu orang yang menjadikan Muwatha’ karya Imam Malik atau Sunan Ad Darimi pada posisi keenam.

Dan Al ‘Ala-i mengatakan tentang kedudukan Sunan Ad Darimi, “Sebagian ulama mengatakan kitab Ad Darimi lebih tepat dan lebih pantas untuk dijadikan kitab yang keenam untuk kitab-kitab (induk) dikarenakan para perawinya lebih sedikit yang lemah. Keberadaan hadits-hadits syadzdan munkar jarang padanya, sanad-sanadnya tinggi dan tsulatsiyat-nya (rantai periwayatan dengan jumlah perawi tiga orang sampai kepada Nabi, red.) lebih banyak dari pada tsulatsiyat-nya Al Bukhari.”

Adapun kandungan kitab Sunan Ad Darimi, seperti kitab-kitab sunan yang lain, terdiri dari beberapa kitab dan pada setiap kitab ada beberapa bab. Kitab yang dimaksud di sini adalah kumpulan bab-bab dalam satu pembahasan. Sunan AdDarimi terbagi menjadi 23 kitab.

Seperti pula pada kitab-kitab lainnya, kitab ini didahului dengan mukadimah dari pengarang. Jilid pertama kitab ini berisi mukadimah penulis dan kitab bersuci dengan bab-babnya yang banyak.

Kemudian pada jilid yang kedua, berisi dengan 9 kitab yaitu kitab ash shalat, kitab az zakat, kitabus shiyam (puasa), kitabul manasik (haji), kitabul adhahi (sembelihan), kitabus shaid (buruan), kitabul ath’imah (makanan), kitabul asyribah (minuman), kitabur ru’ya (mimpi).

Pada jilid yang ketiga mencakup 10 kitab yaitu kitabun nikah, kitabuth thalaq, kitabul hudud, kitabun nudzur wal aiman (nadzar dan sumpah), kitabud diyat (diyat pembunuhan), kitabul jihad, kitabus siyar (sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kitabul buyu’ (jual beli), kitabul isti’dzan (izin), kitabur riqaq (perbudakan).

Adapun jilid keempat terdiri dari 3 kitab, kitabul faraidh (warisan), kitabul washaya (wasiat), dan ditutup dengan kitabul Qur’an.
Kedudukan Sunan ad-Darimi:

Sejarah yang saya ketahui, Sunan ad-Darimi, mendapatkan perhatian lebih dari para peneliti (bahitsin), terutamanya setelah muncul al-Mujtamul Mufahrats Li Alfazdil Hadits, dimana Sunan ad-Darimi menjadi salah satu rujukan Mu’jam tersebut, sehingga jika kemudian disebut Kutub at-Tis’ah, maka masuklah Sunan ad-Darimi di dalamnya.

Adapun dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu, tentang pembahasan-pembahasan atau istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan kitab-kitab hadits, maka jarang di masukkan, contoh: ketika membahas tentang syarat-syarat kitab-kitab hadits tertentu, seperti Abu Bakar Muhamad Musa al-Hazimi (w. 584 H) dalam kitabnyasyurutul……….khamsah, atau Abu Fadhl bin Thahir al-Maqdisi (w. 507 H), (dalam kitabnya syurutul….sittah lebih lanjut, apakah tesis/desertasi atau kajian/tulisan non akademis? Saya belum melihatnya), hanya melihat 5/6 kitab dan tidak termasuk di dalamnya Sunan ad-Darimi.Wallahu a’lam.

Sampai sejauh ini kajian atau penelitian yang mendalam –selain dari tahqiq, tq’liq, syarh dan yang sejenisnya—belum saya jumpai, sampaipun dalam tesis-tesis atau disertasi-desirtasi. Di berbagai universitas di negeri Arab, ada satu judul buku “Imam ad-Darimi Atsaruhu Fil Hadits” dalam catatan kaki sebuah buku, namun tidak rinci. Karenannya saya pribadi tidak bisa menulis lebih dari sekedar memperkenalkan secara sangat kasat tentang buku ini.‎

Sistematika Penulisan Sunan dan Kandungannya
Sunan ad-Dârimî adalah salah satu dari sekian banyak buku-buku Hadis yang sangat berharga dalam dunia Islam. Berkata Mughkathâya: Sesungguhnya Sekolompok Ulama mengatakan musnad ad-Dârimí adalah Shâhîh”. 
Ibnu Shalâh menjadikan Sunan ad-Dârimî sebagai salah satu kitab musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan bab-bab fiqih. 
Penilaian ini terjadi mungkin karena Hadis-hadis di dalam kitab Sunan semuanya ada sandarannya (musnadatun), namun kalau seperti ini penilaiannya tidak jadi masalah. Karena Shahîh Bukhâri juga dinamakan musnad jâmi’, karena hadis-hadisnya ada sandarannya bukan karena disusun menurut metode kitab-kitab musnad.
Adapun status Hadis di dalam Sunan ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4. Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit
8. Hadis Mursal dan Mauquf, akan tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya . 

Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
1. Karena rijâlul hadisnya lebih kuat
2. Keberadaan Hadis Sadz-dzah dan Munkar hanya sedikit
3. Sanadnya termasuk sanad yang âliyah
4. Rijâlul hadisnya tiga orang lebih banyak dalam kitab Sunan ad-Dârimî dari pada dalam Shâhih Bukhâri .

Metode Imam ad-Dârimî dalam Menyusun Materi Hadis‎

Sunan ad-Dârimî terdiri dari dua jilid, 23 kitâb dan di dalamnya terdapat 3503 Hadis. Diawali dengan Muqaddimah yang isinya tentang sejarah Nabi Muhammad Saw., ittibâ’ sunnah, ilmu dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. 
Adapun kitâb- kitâb yang ada di dalam Sunan Ad-Dârimî adalah:
1. Kitâb at-Thahârah
2. Kitâb as-Shalât
3. Kitâb az-Zakât
4. Kitab as-Shoum
5. Kitâb al-Manâsik
6. Kitâb al-Adhahâ
7. Kitâb as-Shoid
8. Kitâb ath‘Imah
9. Kitâb asy-Ribah
10. Kitâb ar-Ru’yâ
11. Kitâb an-Nikâh
12. Kitâb At-Thalâq
13. Kitâb al-Hudûd
14. Kitâb an-Nuzur wal Aimân
15. Kitâb ad-Diyât
16. Kitâb al-Jihâd
17. Kitâb as-Sair
18. Kitâb al-Buyû
19. Kitâb Isti’zân
20. Kitâb ar-Raqâiq
21. Kitâb al-Farâid
22. Kitâb al-Washâyâ
23. Kitâb Fadhâ’il Qur’ân
Contoh Hadis dalam Sunan ad-Dârimî
 
جزء 2 صفحة 78 باب 48 رقم الحديث 1876
باب كيف العمل فى القدوم من منى إلى عرفة ؟
أخبرنا عبيد الله بن موسى عن سفيان عن يحي بن سعيد عن عبد الله بن أبي سلمة الماجشون عن إبن عمر قال: خرجنا مع رسول الله من مني فمنا من يكبر ومنا من يلبي. رواه مسلم فى كتاب الحج, باب 46, رقم 1284. H

Kitab Syarah Imam ad-Darimi 
Penulis belum menemukan buku yang mensyarah Sunan ad-Dârimî ini secara luas dan mendalam. Seperti kitâb Shâhir Bukhâri yang disyarah oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni atau Shâhîh Muslim yang disyarah oleh Imam Nawawî. Yang penulis ketahui adalah hanya sekedar tahqîq dengan menjelaskan kata-kata yang asing atau gharî yang dilakukan oleh Dr. Fawwâz Ahmad Zamli dan Dr. Khâlid as-Sab’i al-‘Alamî yang dicetak oleh Dâr ar-Rayyân Litturâts Cairo Mesir pada tahun 1407 H/ 1978 M. 

 

Hukum Wakaf Dalam Islam


Wakaf adalah salah satu akad mu’amalah sesama manusia yang tidak pernah dikenal dalam sejarah sebelum Islam, sehingga orang-orang jahiliah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengenalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada para sahabatnya berupa anjuran untuk mewakafkan harta dengan cara yang berbeda dengan shadaqah secara umum.

Apabila seorang menyedekahkan hartanya di jalan Alloh kepada orang miskin, maka harta itu akan habis dimanfaatkan oleh orang miskin itu karena harta itu telah menjadi haknya, sehingga suatu ketika apabila datang orang miskin yang lain, maka dia tidak bisa memanfaatkan harta tadi karena telah habis. Berbeda dengan harta yang diwakafkan, ia tidak akan habis karena yang dimanfaatkan hanyalah kegunaan harta itu saja, sedangkan barang asalnya diabadikan, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak pula diwariskan.

Definisi wakaf

Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). ‎Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tahbiis dan tasbiil.‎

Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah ‎menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan.  Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.‎

Menurut ‘ulama-ulama Syafi’iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.

Apa Status Hukum Wakaf? 

Hukum wakaf adalah sunnah (mandub);  dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[6].  Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy,Fath al-Baariy, juz 8/350]

Apa Dasar Hukum Penetapan Wakaf Di Dalam Islam?

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

“Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.  Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.  Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat,  para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu.  Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya) Umar”.   Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam.  Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya Umar”.  Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.

Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

       “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy]

Imam Ibnu Katsir mengatakan,”Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, “Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya.” Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya.   Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan“ [TQS. Yaasiin (36) :12].  Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya.   Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”

Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

“Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya, kecuali tiga hal ini.  Sebab, tiga perkara tersebut berasal  dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri.  Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah.“‎

Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali  tiga perkara.  Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya.  Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh.   Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.‎

Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan.  Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum.   Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.‎

Al-Hafidz al-Suyuthiy mengatakan,” Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia.  Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy ‘Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus berbarengan dengan kematiannya.  Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah manusia,  atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada.”‎

Dalam kitab ‘Aun Ma’bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal  Pahala dari tiga hal ini — sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh–, akan tetap mengalir.‎

Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

”Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]

Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ



“Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat.  Nabi saw pun bersabda, “Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir.  Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya.  Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid.  Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]

Apa Perbedaan Antara Zakat Dengan Wakaf?

Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus.  Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut.  Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya.  Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran.  Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.
Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya.  Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Apa Perbedaan Waqaf Dengan Sedekah?

Waqaf termasuk bagian dari sedekah.  Hanya saja, pada waqaf yang diambil hanyalah manfaat atau guna dari harta waqaf tersebut, tanpa melenyapkan harta waqafnya.   Dengan kata lain, orang yang diberi waqaf hanya berhak atas manfaatnya belaka. Sedangkan sedekah dalam pengertian umum, adalah menyerahkan harta dan gunanya sekaligus kepada orang lain.  Dengan demikian, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja, tidak pada bendanya.  Berbeda dengan sedekah; penerima sedekah berhak atas benda dan manfaatnya sekaligus.
Apa Perbedaan Wakaf Dengan Hibah (Hadiah)?

Hibah (hadiah) adalah pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain.  Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah apapun; mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah, dan lain sebagainya.  Sedangkan harta yang diwaqafkan disyaratkan harus tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan. Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan.  Syarat seperti ini tidak berlaku pada harta yang hendak dihibahkan.
Harta yang dihibahkan maupun manfaatnya berhak dimiliki oleh penerima hibah.  Adapun pada kasus waqaf, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja.
Dengan dasar hadits-hadits di atas maka kita mengetahui bahwa hukum asal wakaf adalah sunnah apabila dengan niat mencari pahala dari Alloh Ta’ala. Akan tetapi suatu ketika wakaf hukumnya bisa berubah sesuai dengan niatnya, karena setiap amalan tergantung pada niatnya.

Sebagai contoh:

Seorang yang mewakafkan tanahnya dengan maksud supaya mendapatkan pujian manusia maka hukum wakafnya menjadi haram, karena ini termasuk riya’ yang diharamkan dalam Islam.
Seorang yang bernadzar mewakafkan sebagian hartanya di jalan Alloh, maka hukum wakafnya    menjadi    wajib. karena ini termasuk nadzar sebuah ketaatan, dan nadzar ketaatan wajib dilaksanakan.
wakaf dianggap sah dengan dua perkara

Ada dua cara/jalan yang dapat dianggap sebagai wakaf yang sah, yaitu:

1. Dengan perbuatan

Apabila seseorang mewakafkan sebagian hartanya dengan cara melakukan sesuatu yang bermakna wakaf maka cara ini juga dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.

Sebagai contoh: Apabila seseorang membangun masjid kemudian membiarkan siapa saja yang shalat dalarn masjid itu maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan tanahnya di jalan Alloh shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”

Contoh lain: Apabila seorang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum dan tidak melarang siapa saja yang menguburkan jenazah di sana, maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Alloh Ta’ala, walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”

2. Dengan perkataan

Wakaf dengan perkataan dibagi menjadi dua macam:

a. Perkataan yang jelas (sharih), maksudnya adalah dengan perkataan yang bermakna wakaf secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk pesantren.”

b. Perkataan kiasan (kinayah), yaitu dengan perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan makna yang lain.

Contohnya, seorang berkata: “Aku sedekahkanrumah ini untuk para penuntut ilmu.”

Maka perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna sedekahsebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan lafazh ini untuk maksud wakaf.

Untuk membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud/makna tersebut, kalau dia mengatakan: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan maka ini dihukumi sebagai wakaf, tetapi kalau dia menginginkan/berniat sedekah maka perkataannya dihukumi sebagai sedekah.

Faidah. Perlu dibedakan antara wakaf dan sedekah, dikarenakan ada perbedaan yang sangat jelas antara keduanya. Di antara perbedaan yang sangat jelas adalah kalau wakaf berarti harta itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Berbeda dengan sedekah, maka orang yang diberi sedekah berhak melakukan apa saja terhadap harta itu karena sudah menjadi hak miliknya, sehingga boleh baginya menjual, menghibahkan, atau yang lainnya.

Wakaf boleh ditujukan kepada dua pihak

1. Kepada perwujudan ketaatan secara umum, dan tidak ditunjuk personilnya (al-waqfu ‘ala jihhatil birr)

Seperti kepentingan masjid, madrasah, fakir miskin, para mujahidin, ibnu sabil, orang-orang yang terlilit hutang, untuk mencetak buku-buku yang bermanfaat, untuk kepentingan memerdekakan budak yang ada, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, maksud dari wakaf adalah untuk mengharap pahala Alloh dengan melaksanakan ketaatan, sedang hal-hal yang tersebut di atas semuanya termasuk ketaatan, sehingga membantu terwujudnya ketaatan adalah sebuah ketaatan, dan merupakan tolong-menolong dalam ketaatan, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan to-long-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan. (QS. al-Maidah [5]: 2)

Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk pembangunan gereja atau untuk mencetak buku-buku bid’ah dan kesyirikan, maka wakaf seperti ini tidak sah karena di dalamnya merupakan tolong-menolong dalam mewujudkan kemaksiatan dan dosa.

2. Kepada orang-orang tertentu yang ditunjuk personilnya (al-Waqfu ‘ala syahsin mu’ayyanin)

Seperti wakaf untuk seorang yang bernama Muhammad, atau yang lainnya.

Adapun kriteria personil yang boleh diberi wakaf, maka mereka adalah setiap orang yang diperbolehkan untuk diperlakukan dengan baik.

Maka boleh bagi seseorang mewakafkan hartanya kepada setiap muslim, karena seorang muslim dibolehkan -bahkan disyari’atkan- untuk berbuat baik kepada muslim/sesamanya.

Seandainya seseorang mewakafkan hartanya untuk para penjahat dan pelaku kriminal yang jelas-jelas belum bertaubat dan akan bertambah kemaksiatannya dengan adanya wakaf tersebut, maka wakaf seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk tolong-menolong dalam kemaksiatan.

Adapun wakaf kepada orang kafir, maka hal ini perlu diperinci. Apabila orang kafir tersebut termasuk orang kafir yang boleh diperlakukan dengan baik (seperti kafir dzimmi dan kafir musta’min maka dibolehkan wakaf kepada mereka, karena apabila kita dibolehkan bersedekah kepada mereka, maka dibolehkan juga wakaf kepada mereka, ‎sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shafiyah binti Huyai istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah mewakafkan sesuatu kepada saudaranya yang bukan muslim, sebagaimana dalam sebuah hadits:

Bahwasanya Shafiyah binti Huyai radhiyallahu ‘anhaistri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernahmewakafkan (sesuatu) kepada saudara yahudinya.(HR. al-Baihaqi dan lainnya, lihat Irwa’ al-Ghalil6/1590, 

Akan tetapi berbeda dengan kafir harbi  ‎tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakafkan hartanya kepada mereka, karena seorang muslim tidak boleh berbuat baik kepada mereka lantaran mereka memerangi agama Islam, sebagaimana mafhum mukhalafah (makna kebalikan) dari firman Alloh Ta’ala:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak me-merangimu karena agama(mu) dan orang-orang yang tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kita boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang berbuat baik kepada kita dan tidak memerangi agama kita, walaupun mereka orang kafir.

Adapun orang kafir yang selalu memerangi agama kita (kafir harbi), maka kita tidak boleh ber-buat baik kepada mereka. Bahkan kita diperintahkan memerangi mereka sebagaimana dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ – وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah dari tempat mereka telah mengusir kamu. (QS. al-Baqarah [2]: 190-191)

Syarat sah wakaf

l.Hendaknya orang yang mewakafkan adalah pemilik sah harta tersebut

Hal ini dikarenakan harta seorang muslim haram hukumnya bagi yang lainnya kecuali dengan kerelaannya, sehingga tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menggunakan harta orang lain dengan cara apa pun seperti menjual atau mewakafkan kecuali dengan seizin pemiliknya, sebagaimana dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, di dalarnnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

Sesungguhnya darah dan harta kalian haram hukumnya atas sesama kalian. (HR. Muslim 2/886)

2. Barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan

Hal ini dikarenakan apabila sesuatu itu tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya sesuatu itu diwakafkan dan menjadi sia-sia, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu (HR. Bukhari-Muslim).

Misal, seandainya seseorang mewakafkan seekorhimar ahli (keledai jinak) yang sudah tua dan tidak dapat digunakan sama sekali maka wakaf ini tidak sah; karena keledai seperti ini tidak bisa dimanfaatkan, baik itu kegunaannya -karena telah tua- atau dagingnya pun tidak boleh dimakan karena keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari dalam adh-Dhaba’ih wa ash-Shaid 9/570, Muslim dalam ash-Shaid wa adh-Dhaba’ih 5/13/90)

3. Barang yang diwakafkan tetap ada dan tidak habis walaupun telah dimanfaatkan.

Hal ini karena makna wakaf adalah mengabadikan suatu barang dan menjalankan kemanfaatannya di jalan Alloh. Sehingga kalau sesuatu yang diwakafkan itu habis, maka hal itu bukan dinamakan wakaf .

Misal, seandainya seseorang mewakafkan makanan dan minuman untuk fakir miskin, maka wakaf seperti ini tidak sah dikarenakan makanan dan minuman akan habis apabila dimanfaatkan.‎

4.Hendaknya mewakafkan sesuatu di jalan Alloh untuk selama-lamanya.

Hal ini dikarenakan makna wakaf adalahmengabadikan suatu barang dan menjalankan kegunaannya di jalan Alloh. Sehingga apabila mewakafkan hartanya untuk sementara waktu, misalnya setahun atau dua tahun, maka wakaf seperti ini tidak sah.

Misal, seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk asrama para penuntut ilmu selama dua puluh tahun saja.” Maka wakaf ini tidak sah karena tidak diabadikan oleh pemiliknya.‎

5. Hendaknya pemilik harta tidak memberi syarat dalam wakafnya dengan syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan wakaf tersebut.

Misalnya, apabila seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali menjadi milikku” maka wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat yang membatalkan wakaf itu sendiri, sedangkan pemilik wakaf tidak boleh menjual atau memiliki kembali harta yang telah diwakafkan.

Beberapa hal yang berkaitan dengan sahnya wakaf

1. Wakaf yang telah sah -baik dengan cara perbuatan atau perkataan- harus dijalankan dan tidak boleh dibatalkan (dengan kata lain: orang yang mewakafkan tidak boleh rujuk/kembali kepada apa yang diwakafkan). Hal ini dikarenakan seseorang yang mewakafkan sebagian hartanya bermaksud mengeluarkan harta tersebut dari kepemilikannya dan mengabadikannya demi mendapat pahala dari Alloh Ta’ala, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa orang yang telah mewakafkan hartanya maka dia tidak boleh menjual, menghibahkan, dan tidak boleh mewariskan harta wakaf itu kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana hadits yang akan dijelaskan pada point berikutnya.

2. Orang yang mewakafkan hartanya tidak dapat menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan:

Tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli (oleh orang lain), tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.(HR. Bukhari-Muslim)

3. Orang yang mewakafkan hartanya tidak boleh ditujukan pada dirinya sendiri.

Hal ini karena maksud wakaf adalah mengeluarkan harta dari dirinya di jalan Alloh ‘azza wa jalla, sehingga kalau dia mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri, maka hakikatnya dia tidak berbuat apa-apa atas hartanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata:

Aku tidak mengetahui adanya wakaf kecuali harta yang dikeluarkan (oleh pemiliknya) untuk Alloh Ta’ala atau di jalan-Nya.‎

4. Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk para fakir dan miskin, kemudian ternyata dia termasuk fakir atau miskin, maka dia boleh memanfaatkan dan menggunakan wakaf tersebut. Hal ini didasari oleh hadits Utsman radhiyallahu ‘anhubeliau mengatakan:

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, sedangkan di sana tidak ada air segarkecuali air sumur Rumah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mau membeli sumur Rumah. kemudian (diwakafkan) dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaummuslimin, maka dia akan mendapatkan pahala (sebab wakaf itu) berupa kebaikan di surga?” Maka aku membelinya dengan hartaku sendiri. (Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi kitab al-Manaqib 18, dan disebutkan oleh Imam Bukhari secaraTa’liq/tanpa sanad)

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seorang yang mewakafkan sebuah sumur untuk kaum muslimin yang sedang membutuhkan air, maka dia (orang yang mewakafkan sumur tersebut) boleh juga memanfaatkan air sumur itu karena dia juga termasuk kaum muslimin yang membutuhkan air dari sumur tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “… dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaum muslimin” yaitu dia bersama-sama kaum muslimin menggunakan air sumur tersebut dengan memakai timbanya atau timba kaum muslimin.‎

Begitu juga seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk sebuah masjid, sekolah, atau pesantren, maka tidak diragukan lagi bagi orang yang mewakafkan tanahnya tersebut boleh memanfaatkan masjid untuk shalat di dalamnya, boleh juga belajar di sekolah dan pesantren tersebut.

5. Sesuatu yang sudah diwakafkan di jalan Alloh, maka tidak ada zakat atas harta tersebut, karena harta yang telah diwakafkan di jalan Alloh tidak menjadi milik siapa pun kecuali Alloh ‘azza wa jalla, sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Hurairah ‎radhiyallahu ‘anhu tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengutus Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai petugas penarik zakat. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa tidak ada kewajiban zakat atas Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu karena beliau telah mewakafkan hartanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

Adapun Khalid, dia telah mewakafkan harta dan senjata perangnya di jalan Alloh. (HR. Bukhari-Muslim)

6. Pengurus wakaf yang ditunjuk boleh memanfaatkan (menggunakan) wakaf dengan sewajarnya sebagai ganti pekerjaannya, hal ini sebagaimana dalam kelanjutan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Boleh bagi pengurus wakaf untuk makan dari (harta wakaf) dengan sewajarnya.

7. Apabila harta wakaf sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, maka boleh dipindahkan atau dijual harta wakaf tersebut kemudian diwujudkan lagi berupa wakaf yang semisalnya supaya wakaf tersebut tetap berjalan kegunaannya sesuai dengan maksud orang yang mewakafkan harta tersebut..

Misalnya, sebuah rumah wakaf yang telah rusak dan tidak dapat dipakai lagi, atau karena sudah ditinggalkan oleh penduduk tempat tersebut, maka boleh rumah itu dijual kemudian hasilnya dibelikan rumah kemudian dijadikan wakaf sebagaimana rumah yang telah dijual tadi, hal ini didasari oleh perkataan dan perintah Amirul Mu’minin Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal di negeri Kufah telah rusak:

Bahwasanya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhumenulis surat kepada Sa’d radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal yang ada di negeri Kufah telah rusak: “Hendaknya engkaupindahkan masjid yang ada di Tamarin, dan jadikan (buatlah) baitul mal di sebelah kiblat masjid, karena sesungguhnya di masjid itu orang yang shalat senantiasa ada. “

Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: “(Karena tidak diketahui seorang sahabat Nabi yang mengingkari perintah Umar radhiyallahu ‘anhu ini), maka hal ini adalah ijma’/kesepakatan para sahabat Nabi.”

Syarat menjadi pengurus wakaf

1. Hendaknya seorang pengurus wakaf adalah seorang muslim. Karena asal hukum seorang muslim adalah amanah, sedangkan selaih muslim mempunyai sifat khianat. Oleh karena itu, Alloh melarang kaum muslimin memberi kesempatan untuk orang kafir mengkhianati orang muslim dengan jalan apa pun, sebagaimana firman-Nya:

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan Alloh sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (mengalahkan) orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa’ [4]: 141)

2. Hendaknya pengurus wakaf adalah orang yang mengerti kemaslahatan harta, sehingga harta yang diwakafkan tidak segera habis atau tidak sia-sia. Oleh karena itu, Alloh berfirman:

فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan kepada mereka harta-harta mereka. (QS. an-Nisa’ [4]: 6)

Dalam ayat ini Alloh melarang kita menyerahkan harta anak yatim kepada mereka (padahal harta itu milik mereka), kecuali kalau mereka telah pandai memelihara harta. Maka demikian juga, dilarang kita menyerahkan harta wakaf kepada pengurus wakaf yang tidak memiliki harta tersebut kecuali kalau mereka pandai memelihara harta.

3. Hendaknya pengurus wakaf memiliki kemampuan dan sifat amanah dalam mengurusi wakaf. Hal ini dikarenakan seseorang yang dibebani suatu amanah, dia harus menjalankan amanahnya dengan cara yang paling baik, dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pengurus wakaf yang memiliki kemampuan dalam pengurusan wakaf tersebut. Sedangkan dibutuhkan sifat amanah karena kemampuan mengurusi wakaf saja tidak cukup untuk mewujudkan maksud orang yang mewakafkan hartanya. Oleh karena itu, Alloh Ta’ala berfirman:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Sesungguhnya orang paling baik yang kamu ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat (mampu) lagi dapat dipercaya. (QS. al-Qashash [28]: 26)

Demikian yang dapat kami himpun dari pembahasan wakaf menurut syari’at Islam. Mudah-mudahan dapat memberi gambaran dan tambahan ilmu kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan segala amalan di atas dasar ilmu yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallohu A’lam‎

Khotimah

Wakaf adalah sunnah Nabi saw dan generasisalafush shalih.  Di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir (pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan berhak memanfaatkan waqaf.

Bagi waaqif, wakaf adalah investasi berharga di akherat kelak.  Pasalnya, ketika banyak orang sudah tidak memiliki lagi “penghasilan akherat” akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran “penghasilan itu” sampai hari kiamat.  Tentunya, hal ini merupakan kesuksesan luar biasa!

Waqaf juga menunjukkan kesempurnaan kebaikan seseorang.  Jika kebaikan telah ada pada diri seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi kemudahan dan keberkahan dari Allah swt.  Lantas, di saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas untuk mewaqafkan harta kita di jalan Allah?

Wallohu A'lam‎

 

Hukum Menjual Dan Menyewakan Tanah Wakaf


Bahwa pada dasarnya tanah yang sudah berstatus wakaf secara hukum sudah tidak dapat diperjual-belikan kembali, oleh karena tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

قال ابن حجر والاظهر ان الملك في رقبة الموقوف على معين اوجهة ينتقل الى الله تعالى اي ينفك عن اختصاص الادميين " ( تحفة المحتاج : ج 6 ص 272

“ Telah berkata Ibnu Hajar: “sesungguhnya kepemilikan benda yang diwaqafkan kepada orang tertentu atau untuk umum itu pindah kepada ALLAH (lepas dari hak milik manusia) “. ( Tuhfatul Muhtaaj : Jilid. 6 hal. 272 ).

Pendapat bahwa [ Boleh menjual tanah wakaf, tapi peruntukkannya tidak berubah. Maksudnya, umpama wakaf itu untuk masjid, jika dijual, maka hasil harganya dibelikan utk tanah wakaf masjid lagi. Tdk boleh utk pesantren atau lainnya, begitu juga sebaliknya. Ini bisa terjadi jika memang lahan tanah wakafnya terlalu sempit ] 

Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

  “ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhori)

Berdasarkan hadist di atas,  para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak boleh dijual atau ditarik kembali  oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ . 
 
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya". (As Syarqawi II/178)
 
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ . 
 
"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya". (Syarhul Kabir juz III /420)

Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I,‎ dan riwayat dari Imam Ahmad.

Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama : Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut tidak boleh dijual “ ,  kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar dengan yang lain.

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “ .  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.

Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.

Adapun dalilnya sebagai berikut :

Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.

Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “

Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri  “

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه  أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا (رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)

“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.

Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam

Menyewakan Benda Wakaf

Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.

Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “

Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :

Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya ‎dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.

Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya

Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “

Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “

Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.

Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.  

Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama. “

Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.  

Berkata Bahuti  : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “

Kesimpulan :

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...