Rabu, 25 November 2020

Hukum Wakaf Dalam Islam


Wakaf adalah salah satu akad mu’amalah sesama manusia yang tidak pernah dikenal dalam sejarah sebelum Islam, sehingga orang-orang jahiliah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengenalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada para sahabatnya berupa anjuran untuk mewakafkan harta dengan cara yang berbeda dengan shadaqah secara umum.

Apabila seorang menyedekahkan hartanya di jalan Alloh kepada orang miskin, maka harta itu akan habis dimanfaatkan oleh orang miskin itu karena harta itu telah menjadi haknya, sehingga suatu ketika apabila datang orang miskin yang lain, maka dia tidak bisa memanfaatkan harta tadi karena telah habis. Berbeda dengan harta yang diwakafkan, ia tidak akan habis karena yang dimanfaatkan hanyalah kegunaan harta itu saja, sedangkan barang asalnya diabadikan, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak pula diwariskan.

Definisi wakaf

Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). ‎Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tahbiis dan tasbiil.‎

Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah ‎menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan.  Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.‎

Menurut ‘ulama-ulama Syafi’iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.

Apa Status Hukum Wakaf? 

Hukum wakaf adalah sunnah (mandub);  dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[6].  Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy,Fath al-Baariy, juz 8/350]

Apa Dasar Hukum Penetapan Wakaf Di Dalam Islam?

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

“Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.  Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.  Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat,  para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu.  Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya) Umar”.   Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam.  Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya Umar”.  Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.

Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

       “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy]

Imam Ibnu Katsir mengatakan,”Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, “Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya.” Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya.   Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan“ [TQS. Yaasiin (36) :12].  Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya.   Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”

Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

“Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya, kecuali tiga hal ini.  Sebab, tiga perkara tersebut berasal  dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri.  Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah.“‎

Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali  tiga perkara.  Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya.  Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh.   Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.‎

Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan.  Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum.   Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.‎

Al-Hafidz al-Suyuthiy mengatakan,” Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia.  Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy ‘Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus berbarengan dengan kematiannya.  Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah manusia,  atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada.”‎

Dalam kitab ‘Aun Ma’bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal  Pahala dari tiga hal ini — sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh–, akan tetap mengalir.‎

Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

”Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]

Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ



“Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat.  Nabi saw pun bersabda, “Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir.  Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya.  Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid.  Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]

Apa Perbedaan Antara Zakat Dengan Wakaf?

Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus.  Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut.  Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya.  Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran.  Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.
Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya.  Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Apa Perbedaan Waqaf Dengan Sedekah?

Waqaf termasuk bagian dari sedekah.  Hanya saja, pada waqaf yang diambil hanyalah manfaat atau guna dari harta waqaf tersebut, tanpa melenyapkan harta waqafnya.   Dengan kata lain, orang yang diberi waqaf hanya berhak atas manfaatnya belaka. Sedangkan sedekah dalam pengertian umum, adalah menyerahkan harta dan gunanya sekaligus kepada orang lain.  Dengan demikian, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja, tidak pada bendanya.  Berbeda dengan sedekah; penerima sedekah berhak atas benda dan manfaatnya sekaligus.
Apa Perbedaan Wakaf Dengan Hibah (Hadiah)?

Hibah (hadiah) adalah pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain.  Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah apapun; mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah, dan lain sebagainya.  Sedangkan harta yang diwaqafkan disyaratkan harus tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan. Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan.  Syarat seperti ini tidak berlaku pada harta yang hendak dihibahkan.
Harta yang dihibahkan maupun manfaatnya berhak dimiliki oleh penerima hibah.  Adapun pada kasus waqaf, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja.
Dengan dasar hadits-hadits di atas maka kita mengetahui bahwa hukum asal wakaf adalah sunnah apabila dengan niat mencari pahala dari Alloh Ta’ala. Akan tetapi suatu ketika wakaf hukumnya bisa berubah sesuai dengan niatnya, karena setiap amalan tergantung pada niatnya.

Sebagai contoh:

Seorang yang mewakafkan tanahnya dengan maksud supaya mendapatkan pujian manusia maka hukum wakafnya menjadi haram, karena ini termasuk riya’ yang diharamkan dalam Islam.
Seorang yang bernadzar mewakafkan sebagian hartanya di jalan Alloh, maka hukum wakafnya    menjadi    wajib. karena ini termasuk nadzar sebuah ketaatan, dan nadzar ketaatan wajib dilaksanakan.
wakaf dianggap sah dengan dua perkara

Ada dua cara/jalan yang dapat dianggap sebagai wakaf yang sah, yaitu:

1. Dengan perbuatan

Apabila seseorang mewakafkan sebagian hartanya dengan cara melakukan sesuatu yang bermakna wakaf maka cara ini juga dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.

Sebagai contoh: Apabila seseorang membangun masjid kemudian membiarkan siapa saja yang shalat dalarn masjid itu maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan tanahnya di jalan Alloh shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”

Contoh lain: Apabila seorang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum dan tidak melarang siapa saja yang menguburkan jenazah di sana, maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Alloh Ta’ala, walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”

2. Dengan perkataan

Wakaf dengan perkataan dibagi menjadi dua macam:

a. Perkataan yang jelas (sharih), maksudnya adalah dengan perkataan yang bermakna wakaf secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk pesantren.”

b. Perkataan kiasan (kinayah), yaitu dengan perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan makna yang lain.

Contohnya, seorang berkata: “Aku sedekahkanrumah ini untuk para penuntut ilmu.”

Maka perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna sedekahsebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan lafazh ini untuk maksud wakaf.

Untuk membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud/makna tersebut, kalau dia mengatakan: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan maka ini dihukumi sebagai wakaf, tetapi kalau dia menginginkan/berniat sedekah maka perkataannya dihukumi sebagai sedekah.

Faidah. Perlu dibedakan antara wakaf dan sedekah, dikarenakan ada perbedaan yang sangat jelas antara keduanya. Di antara perbedaan yang sangat jelas adalah kalau wakaf berarti harta itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Berbeda dengan sedekah, maka orang yang diberi sedekah berhak melakukan apa saja terhadap harta itu karena sudah menjadi hak miliknya, sehingga boleh baginya menjual, menghibahkan, atau yang lainnya.

Wakaf boleh ditujukan kepada dua pihak

1. Kepada perwujudan ketaatan secara umum, dan tidak ditunjuk personilnya (al-waqfu ‘ala jihhatil birr)

Seperti kepentingan masjid, madrasah, fakir miskin, para mujahidin, ibnu sabil, orang-orang yang terlilit hutang, untuk mencetak buku-buku yang bermanfaat, untuk kepentingan memerdekakan budak yang ada, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, maksud dari wakaf adalah untuk mengharap pahala Alloh dengan melaksanakan ketaatan, sedang hal-hal yang tersebut di atas semuanya termasuk ketaatan, sehingga membantu terwujudnya ketaatan adalah sebuah ketaatan, dan merupakan tolong-menolong dalam ketaatan, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan to-long-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan. (QS. al-Maidah [5]: 2)

Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk pembangunan gereja atau untuk mencetak buku-buku bid’ah dan kesyirikan, maka wakaf seperti ini tidak sah karena di dalamnya merupakan tolong-menolong dalam mewujudkan kemaksiatan dan dosa.

2. Kepada orang-orang tertentu yang ditunjuk personilnya (al-Waqfu ‘ala syahsin mu’ayyanin)

Seperti wakaf untuk seorang yang bernama Muhammad, atau yang lainnya.

Adapun kriteria personil yang boleh diberi wakaf, maka mereka adalah setiap orang yang diperbolehkan untuk diperlakukan dengan baik.

Maka boleh bagi seseorang mewakafkan hartanya kepada setiap muslim, karena seorang muslim dibolehkan -bahkan disyari’atkan- untuk berbuat baik kepada muslim/sesamanya.

Seandainya seseorang mewakafkan hartanya untuk para penjahat dan pelaku kriminal yang jelas-jelas belum bertaubat dan akan bertambah kemaksiatannya dengan adanya wakaf tersebut, maka wakaf seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk tolong-menolong dalam kemaksiatan.

Adapun wakaf kepada orang kafir, maka hal ini perlu diperinci. Apabila orang kafir tersebut termasuk orang kafir yang boleh diperlakukan dengan baik (seperti kafir dzimmi dan kafir musta’min maka dibolehkan wakaf kepada mereka, karena apabila kita dibolehkan bersedekah kepada mereka, maka dibolehkan juga wakaf kepada mereka, ‎sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shafiyah binti Huyai istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah mewakafkan sesuatu kepada saudaranya yang bukan muslim, sebagaimana dalam sebuah hadits:

Bahwasanya Shafiyah binti Huyai radhiyallahu ‘anhaistri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernahmewakafkan (sesuatu) kepada saudara yahudinya.(HR. al-Baihaqi dan lainnya, lihat Irwa’ al-Ghalil6/1590, 

Akan tetapi berbeda dengan kafir harbi  ‎tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakafkan hartanya kepada mereka, karena seorang muslim tidak boleh berbuat baik kepada mereka lantaran mereka memerangi agama Islam, sebagaimana mafhum mukhalafah (makna kebalikan) dari firman Alloh Ta’ala:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak me-merangimu karena agama(mu) dan orang-orang yang tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kita boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang berbuat baik kepada kita dan tidak memerangi agama kita, walaupun mereka orang kafir.

Adapun orang kafir yang selalu memerangi agama kita (kafir harbi), maka kita tidak boleh ber-buat baik kepada mereka. Bahkan kita diperintahkan memerangi mereka sebagaimana dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ – وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah dari tempat mereka telah mengusir kamu. (QS. al-Baqarah [2]: 190-191)

Syarat sah wakaf

l.Hendaknya orang yang mewakafkan adalah pemilik sah harta tersebut

Hal ini dikarenakan harta seorang muslim haram hukumnya bagi yang lainnya kecuali dengan kerelaannya, sehingga tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menggunakan harta orang lain dengan cara apa pun seperti menjual atau mewakafkan kecuali dengan seizin pemiliknya, sebagaimana dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, di dalarnnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

Sesungguhnya darah dan harta kalian haram hukumnya atas sesama kalian. (HR. Muslim 2/886)

2. Barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan

Hal ini dikarenakan apabila sesuatu itu tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya sesuatu itu diwakafkan dan menjadi sia-sia, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu (HR. Bukhari-Muslim).

Misal, seandainya seseorang mewakafkan seekorhimar ahli (keledai jinak) yang sudah tua dan tidak dapat digunakan sama sekali maka wakaf ini tidak sah; karena keledai seperti ini tidak bisa dimanfaatkan, baik itu kegunaannya -karena telah tua- atau dagingnya pun tidak boleh dimakan karena keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari dalam adh-Dhaba’ih wa ash-Shaid 9/570, Muslim dalam ash-Shaid wa adh-Dhaba’ih 5/13/90)

3. Barang yang diwakafkan tetap ada dan tidak habis walaupun telah dimanfaatkan.

Hal ini karena makna wakaf adalah mengabadikan suatu barang dan menjalankan kemanfaatannya di jalan Alloh. Sehingga kalau sesuatu yang diwakafkan itu habis, maka hal itu bukan dinamakan wakaf .

Misal, seandainya seseorang mewakafkan makanan dan minuman untuk fakir miskin, maka wakaf seperti ini tidak sah dikarenakan makanan dan minuman akan habis apabila dimanfaatkan.‎

4.Hendaknya mewakafkan sesuatu di jalan Alloh untuk selama-lamanya.

Hal ini dikarenakan makna wakaf adalahmengabadikan suatu barang dan menjalankan kegunaannya di jalan Alloh. Sehingga apabila mewakafkan hartanya untuk sementara waktu, misalnya setahun atau dua tahun, maka wakaf seperti ini tidak sah.

Misal, seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk asrama para penuntut ilmu selama dua puluh tahun saja.” Maka wakaf ini tidak sah karena tidak diabadikan oleh pemiliknya.‎

5. Hendaknya pemilik harta tidak memberi syarat dalam wakafnya dengan syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan wakaf tersebut.

Misalnya, apabila seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali menjadi milikku” maka wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat yang membatalkan wakaf itu sendiri, sedangkan pemilik wakaf tidak boleh menjual atau memiliki kembali harta yang telah diwakafkan.

Beberapa hal yang berkaitan dengan sahnya wakaf

1. Wakaf yang telah sah -baik dengan cara perbuatan atau perkataan- harus dijalankan dan tidak boleh dibatalkan (dengan kata lain: orang yang mewakafkan tidak boleh rujuk/kembali kepada apa yang diwakafkan). Hal ini dikarenakan seseorang yang mewakafkan sebagian hartanya bermaksud mengeluarkan harta tersebut dari kepemilikannya dan mengabadikannya demi mendapat pahala dari Alloh Ta’ala, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa orang yang telah mewakafkan hartanya maka dia tidak boleh menjual, menghibahkan, dan tidak boleh mewariskan harta wakaf itu kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana hadits yang akan dijelaskan pada point berikutnya.

2. Orang yang mewakafkan hartanya tidak dapat menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan:

Tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli (oleh orang lain), tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.(HR. Bukhari-Muslim)

3. Orang yang mewakafkan hartanya tidak boleh ditujukan pada dirinya sendiri.

Hal ini karena maksud wakaf adalah mengeluarkan harta dari dirinya di jalan Alloh ‘azza wa jalla, sehingga kalau dia mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri, maka hakikatnya dia tidak berbuat apa-apa atas hartanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata:

Aku tidak mengetahui adanya wakaf kecuali harta yang dikeluarkan (oleh pemiliknya) untuk Alloh Ta’ala atau di jalan-Nya.‎

4. Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk para fakir dan miskin, kemudian ternyata dia termasuk fakir atau miskin, maka dia boleh memanfaatkan dan menggunakan wakaf tersebut. Hal ini didasari oleh hadits Utsman radhiyallahu ‘anhubeliau mengatakan:

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, sedangkan di sana tidak ada air segarkecuali air sumur Rumah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mau membeli sumur Rumah. kemudian (diwakafkan) dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaummuslimin, maka dia akan mendapatkan pahala (sebab wakaf itu) berupa kebaikan di surga?” Maka aku membelinya dengan hartaku sendiri. (Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi kitab al-Manaqib 18, dan disebutkan oleh Imam Bukhari secaraTa’liq/tanpa sanad)

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seorang yang mewakafkan sebuah sumur untuk kaum muslimin yang sedang membutuhkan air, maka dia (orang yang mewakafkan sumur tersebut) boleh juga memanfaatkan air sumur itu karena dia juga termasuk kaum muslimin yang membutuhkan air dari sumur tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “… dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaum muslimin” yaitu dia bersama-sama kaum muslimin menggunakan air sumur tersebut dengan memakai timbanya atau timba kaum muslimin.‎

Begitu juga seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk sebuah masjid, sekolah, atau pesantren, maka tidak diragukan lagi bagi orang yang mewakafkan tanahnya tersebut boleh memanfaatkan masjid untuk shalat di dalamnya, boleh juga belajar di sekolah dan pesantren tersebut.

5. Sesuatu yang sudah diwakafkan di jalan Alloh, maka tidak ada zakat atas harta tersebut, karena harta yang telah diwakafkan di jalan Alloh tidak menjadi milik siapa pun kecuali Alloh ‘azza wa jalla, sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Hurairah ‎radhiyallahu ‘anhu tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengutus Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai petugas penarik zakat. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa tidak ada kewajiban zakat atas Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu karena beliau telah mewakafkan hartanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

Adapun Khalid, dia telah mewakafkan harta dan senjata perangnya di jalan Alloh. (HR. Bukhari-Muslim)

6. Pengurus wakaf yang ditunjuk boleh memanfaatkan (menggunakan) wakaf dengan sewajarnya sebagai ganti pekerjaannya, hal ini sebagaimana dalam kelanjutan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Boleh bagi pengurus wakaf untuk makan dari (harta wakaf) dengan sewajarnya.

7. Apabila harta wakaf sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, maka boleh dipindahkan atau dijual harta wakaf tersebut kemudian diwujudkan lagi berupa wakaf yang semisalnya supaya wakaf tersebut tetap berjalan kegunaannya sesuai dengan maksud orang yang mewakafkan harta tersebut..

Misalnya, sebuah rumah wakaf yang telah rusak dan tidak dapat dipakai lagi, atau karena sudah ditinggalkan oleh penduduk tempat tersebut, maka boleh rumah itu dijual kemudian hasilnya dibelikan rumah kemudian dijadikan wakaf sebagaimana rumah yang telah dijual tadi, hal ini didasari oleh perkataan dan perintah Amirul Mu’minin Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal di negeri Kufah telah rusak:

Bahwasanya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhumenulis surat kepada Sa’d radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal yang ada di negeri Kufah telah rusak: “Hendaknya engkaupindahkan masjid yang ada di Tamarin, dan jadikan (buatlah) baitul mal di sebelah kiblat masjid, karena sesungguhnya di masjid itu orang yang shalat senantiasa ada. “

Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: “(Karena tidak diketahui seorang sahabat Nabi yang mengingkari perintah Umar radhiyallahu ‘anhu ini), maka hal ini adalah ijma’/kesepakatan para sahabat Nabi.”

Syarat menjadi pengurus wakaf

1. Hendaknya seorang pengurus wakaf adalah seorang muslim. Karena asal hukum seorang muslim adalah amanah, sedangkan selaih muslim mempunyai sifat khianat. Oleh karena itu, Alloh melarang kaum muslimin memberi kesempatan untuk orang kafir mengkhianati orang muslim dengan jalan apa pun, sebagaimana firman-Nya:

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan Alloh sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (mengalahkan) orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa’ [4]: 141)

2. Hendaknya pengurus wakaf adalah orang yang mengerti kemaslahatan harta, sehingga harta yang diwakafkan tidak segera habis atau tidak sia-sia. Oleh karena itu, Alloh berfirman:

فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan kepada mereka harta-harta mereka. (QS. an-Nisa’ [4]: 6)

Dalam ayat ini Alloh melarang kita menyerahkan harta anak yatim kepada mereka (padahal harta itu milik mereka), kecuali kalau mereka telah pandai memelihara harta. Maka demikian juga, dilarang kita menyerahkan harta wakaf kepada pengurus wakaf yang tidak memiliki harta tersebut kecuali kalau mereka pandai memelihara harta.

3. Hendaknya pengurus wakaf memiliki kemampuan dan sifat amanah dalam mengurusi wakaf. Hal ini dikarenakan seseorang yang dibebani suatu amanah, dia harus menjalankan amanahnya dengan cara yang paling baik, dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pengurus wakaf yang memiliki kemampuan dalam pengurusan wakaf tersebut. Sedangkan dibutuhkan sifat amanah karena kemampuan mengurusi wakaf saja tidak cukup untuk mewujudkan maksud orang yang mewakafkan hartanya. Oleh karena itu, Alloh Ta’ala berfirman:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Sesungguhnya orang paling baik yang kamu ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat (mampu) lagi dapat dipercaya. (QS. al-Qashash [28]: 26)

Demikian yang dapat kami himpun dari pembahasan wakaf menurut syari’at Islam. Mudah-mudahan dapat memberi gambaran dan tambahan ilmu kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan segala amalan di atas dasar ilmu yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallohu A’lam‎

Khotimah

Wakaf adalah sunnah Nabi saw dan generasisalafush shalih.  Di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir (pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan berhak memanfaatkan waqaf.

Bagi waaqif, wakaf adalah investasi berharga di akherat kelak.  Pasalnya, ketika banyak orang sudah tidak memiliki lagi “penghasilan akherat” akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran “penghasilan itu” sampai hari kiamat.  Tentunya, hal ini merupakan kesuksesan luar biasa!

Waqaf juga menunjukkan kesempurnaan kebaikan seseorang.  Jika kebaikan telah ada pada diri seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi kemudahan dan keberkahan dari Allah swt.  Lantas, di saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas untuk mewaqafkan harta kita di jalan Allah?

Wallohu A'lam‎

 

Hukum Menjual Dan Menyewakan Tanah Wakaf


Bahwa pada dasarnya tanah yang sudah berstatus wakaf secara hukum sudah tidak dapat diperjual-belikan kembali, oleh karena tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

قال ابن حجر والاظهر ان الملك في رقبة الموقوف على معين اوجهة ينتقل الى الله تعالى اي ينفك عن اختصاص الادميين " ( تحفة المحتاج : ج 6 ص 272

“ Telah berkata Ibnu Hajar: “sesungguhnya kepemilikan benda yang diwaqafkan kepada orang tertentu atau untuk umum itu pindah kepada ALLAH (lepas dari hak milik manusia) “. ( Tuhfatul Muhtaaj : Jilid. 6 hal. 272 ).

Pendapat bahwa [ Boleh menjual tanah wakaf, tapi peruntukkannya tidak berubah. Maksudnya, umpama wakaf itu untuk masjid, jika dijual, maka hasil harganya dibelikan utk tanah wakaf masjid lagi. Tdk boleh utk pesantren atau lainnya, begitu juga sebaliknya. Ini bisa terjadi jika memang lahan tanah wakafnya terlalu sempit ] 

Dasar hukum penjualan aset wakaf adalah hadist Abdullah bin Umar di bawah ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

  “ Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma bahwa Umar bin Khathab radliallahu 'anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut seraya  berkata: “ Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut? Maka Beliau berkata: “ Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya.” Ibnu Umar radliallahu 'anhu berkata: Maka Umar menshadaqahkannya ( hasilnya ), dan wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan,  namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma'ruf dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.”  (HR Bukhori)

Berdasarkan hadist di atas,  para ulama berpendapat bahwa aset wakaf tidak boleh dijual atau ditarik kembali  oleh pemiliknya, bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama. Berkata Imam Qurthubi : “ Pendapat yang membolehkan penarikan kembali barang yang sudah diwakafkan adalah pendapat yang menyelesihi kesepakatan ulama, maka tidak boleh diikuti. “Hanya saja dalam rinciannya ternyata para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf : “ Seandainya hadist di atas sampai kepada Abu Hanifah, niscaya dia akan mengikutinya dan akan menarik pendapatnya yang membolehkan penjualan aset wakaf. “

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ . 
 
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya". (As Syarqawi II/178)
 
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ . 
 
"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya". (Syarhul Kabir juz III /420)

Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syafi’I,‎ dan riwayat dari Imam Ahmad.

Adapun dalil pendapat ini sebagai berikut :

Dalil Pertama : Hadist Umar di atas yang menyebutkan : “ Wakaf tersebut tidak boleh dijual “ ,  kalimat ini bersifat umum, dan tidak ada pengecualian, sehingga tetap haram menjual benda wakaf dan ditukar dengan yang lain.

Dalil Kedua : Jika dibolehkan untuk ditukar dengan yang lain, hal itu akan menimbulkan kerusakan dimana-mana, karena setiap Nadhir wakaf, dengan mudahnya menjual benda wakaf dan menukarnya dengan yang lain, yang menurutnya lebih baik. Jika ini terjadi, maka akan sulit mengontrolnya, maka hal ini dilarang untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut.

Dalil ketiga : Hal ini seperti apa yang difatwakan oleh Imam Malik, ketika  Khalifah Harun Rasyid memintanya izin untuk membongkar Ka’bah dan dikembalikan kepada pondasi yang pernah dibangun Nabi Ibrahim, maka Imam Malik melarangnya dan mengatakan : “ Jangan sampai Ka’bah engkau jadikan sebagai permainan para raja. “ .  Padahal tujuan Khalifah Harun Rasyid adalah kebaikan.

Tetapi dalam madzhab Maliki sendiri dibolehkan menjual tanah atau rumah wakaf jika terkena pelebaran masjid, jalan atau kuburan umum, sebagaimana disebutkan dalam buku Hasyiat ad-Dasyuqi.

Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.

Adapun dalilnya sebagai berikut :

Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid  yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.

Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal  ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.

Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.

Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak, dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “

Berkata Ibnu Uqail : “ Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa melanggengkannya secara khusus ( karena rusak dan yang lainnya ), maka paling tidak kita menjaga maksud ( dari wakaf itu sendiri ), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan ( wakaf) itu sendiri  “

Dalil Ketiga : Meng-qiyaskan kepada hadist yang membolehkan seseorang merubah nadzarnya kepada nadzar yang lebih baik, sebagaimana dalam hadist Jabir :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه  أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا (رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)

“ Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekkah: Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar bila Allah menaklukan kota Mekkah kepada baginda, aku akan sholat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: "Sholatlah disini." Orang itu masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: "Kalau begitu, terserah engkau." (HR Ahmad dan Abu Daud, dan dishahihkan oleh Hakim)

Jika nadzar saja bisa dirubah dengan yang lebih baik, begitu juga wakaf, boleh dirubah dengan yang lebih baik.

Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya. Wallahu A’lam

Menyewakan Benda Wakaf

Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.

Berkata Imam Nawawi : “ Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf ( nadhir ) dibolehkan untuk menyewakan wakaf “

Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :

Pendapat Pertama : Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya ‎dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.

Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya

Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama limapuluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “ Tidak boleh pemerintah mengizinkannya ( untuk menyewakan benda wakaf ) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak ( hilang ) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang. “

Berkata Ibnu Nujaim al-Hanafi : “ Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar. “

Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.

Pendapat Kedua : Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.  

Berkata Ibnu Taimiyah : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama. “

Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.  

Berkata Bahuti  : “ Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya. “

Kesimpulan :

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.

 

Hukum Mengangkat Tangan Saat Berdoa


Kita menjumpai perkataan sebagian orang  yang mengatakan bahwa berdoa dengan mengangkat tangan adalah bid’ah, dan bahwa Rasulullah s.a.w tidak pernah melakukan hal itu. Dan bahwa hadits mengenai berdoa dengan mengangkat tangan seluruhnya dla’if (lemah). Pendapat ini marak di dunia maya, disalin dan tersebar luas, sehingga timbul pertanyaan dari sebagian orang apakah benar berdoa dengan mengangkat tangan adalah bid’ah?

Fatawa al-Azhar menyatakan riwayat tentang mengangkat tangan dalam berdoa terdapat dalam lebih dari seratus hadis. Apakah benar tak ada satu pun hadits shahih mengenai berdoa dengan mengangkat tangan dan seluruh hadits mengenai hal itu dla’if (lemah)?

Kami menyetujui bahwa perkara berdoa adalah termasuk perkara ibadah. Maka dalam perkara ibadah tidak dilakukan sesuatu kecuali ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. Karena dalam perkara ibadah hukum asal sesuatu adalah haram sampai ditemukan contoh dari Rasulullah s.a.w. yang menunjukkan hal itu berlaku.

Dalam kebanyakan masalah fiqih perbedaan pendapat seringkali terjadi disebabkan perbedaan dalam mengukur keshahihan hadits. Sekelompok ulama berpendapat hadits ini dla’if sementara ulama lain berpendapat hadits tersebut shahih. Perbedaan pendapat juga disebabkan karena berbeda dalam penilaian perawi hadits, sekelompok ulama menilai perawi-nya tidak dapat dipercaya (laisa bi sya’i), sedangkan yang lain menganggap perawi-nya jujur (shaduuq) atau terpercaya (tsiqat).

Terhadap berbagai perbedaan ini yang penting kami menyajikan duduk masalah apa adanya dan kesimpulan serta pilihan terserah kepada masing-masing orang untuk memilih pendapat mana yang lebih tenteram untuk dipilih.

Pada dasarnya mengangkat tangan ketika berdo’a dan dan mengusap wajah sesudahnya bukanlah sekedar tradisi yang tanpa dasa. Keduanya merupakan sunnah Rasulullah saw. sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya yang diceritakan oleh Ibn Abbas:

إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما  وجهك (رواه ابن ماجه)

Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya.

Demikian pula keterangan para ulama dari beberapa kitab. Bahkan mereka menganjurkan ketika semakin penting permintaan agar semakin tinggi pula mengangkat tangan. Adapun ukuran mengangkat tangan adalah setinggi kedua belah bahu. Dalam I’anatut Thaibin Juz Dua diterangkan:

ورفع يديه الطاهرتين حذو منكبيه ومسح الوجه بهما بعده

Dan diwaktu berdoa disunnahkan mengangkat kedua tangannya yang suci setinggi kedua bahu, dan disunnahkan pula menyapu muka dengan keduanya setelah berdo’a.

Keterangan ini ditambahi oleh keterangan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy dalam Al-Hawasyil Madaniyyah  dengan sangat singkat.

وغاية الرفع خذو المنكبين الا اذا شتد الأمر

Batas maksimal mengangkat tangan adalah setinggi kedua bahu, kecuali apabila keadaan sudah amat kritis, maka ketika itu bolehlah melewati tinggi kedua bahu.

 Akan tetapi, di masa sekarang ini banyak kelompok yang meragukan dan menyangsikan sunnah Rasulullah saw ini. mereka meanyakan kembali tentang keabsahannya. Sungguh hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena dulu telah disinggung oleh pengarang kitab al-Futuhatur rabbaniyyah:

قال المصنف وردت الاحاديث الكثيرة برفع اليد الى السماء فى كل دعاء من غير حصر ومن ادعى حصرها فقد غلط غلطا فاحشا

Sang pengarang telah berkata bahwa “telah ada hadits-hadits yang tak terbatas banyaknya mengenai mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a, barang siapa menganggap itu tidak ada, maka ia telah keliru.

Sangat banyak hadis yang menunjukkan tentang sunahnya mengangkat tangan saat berdoa, bahkan sebagian para ulama ada yang mengatakan bahwa hadisnya mencapai derajat mutawatir maknawi. Imam As Suyuthi mengatakan,

“Ada sekitar seratus hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau mengangkat tangan saat berdo’a, saya telah mengumpulkannya dalam sebuah kitab tersendiri, namun hal itu dalam keadaan yang berbeda-beda. Setiap keadaannya tidaklah mencapai derajat mutawatir, namun titik persamaan antara semuanya yaitu mengangkat tangan saat berdo’a mencapai derajat mutawatir.”
(Tadribur Rowi 2/180)

Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung terkabulnya doa. Mari kita bahas secara rinci bagaimana hukum dan tata caranya.

Hukum Asal Mengangkat Tangan Ketika Berdoa

Tidak kami ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil-dalil mengenai hal ini banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. 

Namun karena hadist-hadist tersebut banyak yang panjang, maka cukup disini disebutkan letak permasalahan mengenai mengangkat tangannya Rasulullah saat berdoa’. Hadits-hadits tersebut diantaranya adalah :

Imam Bukhari mencantumkan sebuah bab dalam kitab shahih beliau : “Bab mengangkat tanga saat berdo’a.” lalu beliau meriwayatkan beberapa hadits yaitu :

عن أبي موسى الأشعري : دعا النبي صلى الله عليه وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض إبطيه
وقال بن عمر: رفع النبي صلى الله عليه وسلم وقال : اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه رفع يديه حتى رأيت بياض إبطيه

Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata : “Rasulullah berdoa kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan saya melihat putih kedua ketiak beliau.”

Dari Ibnu Umar berkata : “Rasulullah mengangkat kedua tangan beliau, lalu beliau berdoa : “Ya Allah, saya berlindung darimu atas apa yang diperbuat Khalid.” (Shahih Bukhari 7/189 secara mu’alllaq)

Dari Anas dari Rasulullah bahwasannya beliau mengangkat tangan beliau sehingga saya melihat putih kedua ketiaknya.”
(Shahih Bukhari no : 6341)

Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/142 mengisyaratkan kepada beberapa hadits mengenai hal ini diantaranya :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Thufail bin Amr datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Sesungguhnya Bani Daus telah durhaka, maka berdoalah kepada Allah untuk kehancuran mereka.” Maka Rasulullah menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya lalu berkata : “Ya Allah, berilah hidayah kepada Bani Daus.”(Adab Mufrad no : 611, hadits ini dalam shahihain tanpa tambahan : “Mengangkat kedua tangannya”)

Dari Jabir bin Abdillah berkata : “Sesungguhnya Thufail bin Amr pergi hijrah…” lalu beliau menyebutkan kisah hijrah beliau bersama seseorang yang bersamanya. Dalam hadits ini terdapat lafadz : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,“Ya Allah, Ampunilah kedua orang tuanya.” Dan beliau mengangkat kedua tangan beliau.” (Adabul Mufrad : 614 dengan sanad shahih, Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim : 116 tanpa tambahan : “Mengangkat kedua tangannya.”)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sesungguhnya beliau melihat Rasulullah berdoa sambil mengangkat tangan dan berkata : “Ya Allah, sesungguhnya saya hanyalah seorang manusia …” (Adab Mufrad 613, berkata Al Hafidl : “Sanadnya shahih.”)

Al Hafidl Ibnu Hajar juga berkata, “Diantara hadits-hadits shahih tentang masalah mengangkat tangan dalam berdoa adalah :
Apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Raf’ul Yadain.” 157 : “Saya melihat Rosulullah mengangkat kedua tangan beliau mendoakan Utsman.”

Imam Muslim 913 meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Samurah tentang kisah shalat gerhana matahari, beliau berkata : “Saya sampai pada Rasulullah , dan saat itu beliau sedang mengangkat tangan berdoa.”

Juga dari hadits Aisyah tentang shalat gerhana : “Bahwasannya Rasulullah mengangkat tangan saat berdoa.” (Shahih Muslim 901)

Juga hadits Aisyah tentang doa beliau untuk ahli kubur baqi’, beliau berkata : “Rasulullah mengangkat tangannya tiga kali.” (Shahih Muslim : 973)

Dalam sebuah hadits panjang tentang pembebasan kota Makkah dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya dan berdoa. (Shahih Muslim : 1780)

Juga hadits tentang kisah Ibnul Lutbiyyah terdapat kisah, “Kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangan beliau sehingga saya melihat putih kedua ketiak beliau. Beliau berkata : “Ya Allah, bukankah sudah saya sampaikan.” (Bukhari : 2597, Muslim : 1832)

Hadits Amr bin Ash : “Bahwasannya Rasulullah menyebutkan kisah Nabi Ibrahim dan Isa, maka beliau mengangkat tangannya dan berkata : “Ya Allah, selamatkanlah ummatku.” (Muslim : 202)

Dari Usamah bin Zaid berkata : “Saya membonceng Rasulullah di Arafah, lalu beliau mengangkat tangannya berdoa, lalu unta beliau itu agak miring sehingga jatuh tali pelananya, maka beliau mengambilnya dengan satu tangan sementara beliau masih mengangkat tangan lainnya.” (HR. Nasa’i 5/254 dengan sanad shohih).” (Lihat Fathul Bari 11/142)

Diantara hadits shahih yang menunjukan masyru’nya mengangkat tangan adalah apa yang diriwayatkan oleh Salman Al Farisi bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,“Sesungghnya Allah itu Maha Pemalu dan Pemurah, Dia malu terhadap hamba Nya apabila mengangkat tangan berdoa lalu mengembalikan dengan tangan hampa.” (HR. Abu Dawud 1488, Turmudli 3556 dengan sanad shahih, lihat Shahihul Jami’ 1753)

Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51). Alla Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172). Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)

Hadits di atas jelas ke-shahih-an nya. Namun orang-orang yang cenderung berpendapat berdoa mengangkat tangan adalah bid’ah, beralasan bahwa hadits ini tidak secara tegas menunjukkan perintah Rasulullah s.a.w. untuk berdoa dengan mengangkat tangan. Mereka berkata : hadits di atas justru menceritakan bahwa doa orang tersebut tidak terkabul. Orang yang jujur dan teliti akan berkata benar, bahwa hadits di atas tidak secara tegas menunjukkan perintah Rasulullah s.a.w. untuk berdoa. Namun hadits di atas menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. sedang menggambarkan orang yang berdoa namun tidak dikabulkan karena memakan yang haram. Adapun Rasulullah s.a.w. menggambarkan orang berdoa itu dengan mengangkat tangan dan berseru “Wahai Tuhankku, Wahai Tuhanku!” Tentu Rasulullah tidak bermaksud memberi keterangan “mengangkat tangan” di situ sebagai penyebab tidak terkabulnya doa. Karena yang menyebabkan tidak terkabulnya doa adalah makanan yang haram dan bukannya karena mengangkat tangan. Adapun penyebutan berdoa dengan mengangkat tangan di situ jelas-jelas menunjukkan keumuman atau kelaziman aktifitas doa (hadits tsb tidak menceritakan orang tertentu) bahwa berdoa itu ya umumnya dengan mengangkat tangan. Walaupun dalam kondisi lain tidak mengangkat tangan pun tidak mengapa.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud 1488, At Tirmidzi 3556, di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 2070)

As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits-hadits mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam, 2/708)

Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Dalam Suatu Ibadah

Banyak hadits-hadits yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya:

1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah

Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “maksudnya, dalam kondisi khutbah Nabi tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut) beliau berdoa memohon hujan (istisqa)” (Syarhul Mumthi’, 5/215). Menunjukkan bahwa ini dilakukan ketika istisqa baik dalam khutbah istisqa, ataupun dalam khutbah yang lainnya.

2. Ketika berdoa qunut dalam shalat

Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:

فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad 12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)

Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi’ :

صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء

“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)

3. Ketika melempar jumrah

Berdasarkan hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR Bukhari 1753)

4. Ketika wukuf di Arafah

Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu:

 كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ «فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو

“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa” (HR. An Nasa’i 3993, Ibnu Khuzaimah 2824, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i)

Dan masih banyak hadits lainnya, Namun yang disebutkan diatas insya Allah sudah mencukupi.

Semua hadits tersebut yang mencapai derajat mutawatir maknawi menunjukan bahwa termasuk adab berdoa adalah mengangkat tangan, bahkan juga termasuk hal-hal yang bisa membuat do’a tersebut dikabulkan oleh Alloh Ta’ala. (Lihat Fiqh Al Ad’iyah wal Adzkar Oleh Syaikh Abdur Rozzaq Al Abbad 2/175)

Berkata Imam Syaukani rahimahullah, “Yang menunjukkan atas di syariatkannya mengangkat tangan saat berdoa adalah apa yang dilakukan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar tiga puluh tempat dalam berbagai macam doa bahwa beliau mengangkat tangan.” (Lihat Tuhfatudz Dzakirin hal : 36)

Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah, “Mengangkat tangan adalah termasuk salah satu adab dalam berdoa, yang itu bisa membuat doa mustajabah.” (Lihat Jami’ Ulum Wal Hikam 1/253)

Dalam Kitab Ad Durar As Sunniyah fil Ajwibah An Najdiyah 4/158 disebutkan bahwa Syaikh Sa’id bin Haji tatkala ditanya tentang mengangkat tangan dalam berdoa beliau menjawab, “Banyak hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengangkat tangan saat berdoa, tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang yang bodoh.”

Tata Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa

Setelah kita memahami bahwa mengangkat tangan saat berdoa itu sunnah Rosulullh, maka sekarang bagaimana cara mengangkat tangan tersebut ?

Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat-riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut namun khilaf ini merupakan khilaf  tanawwu’ (variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Namun mengingkat banyak sekali praktek mengangkat tangan dalam berdoa yang beredar di masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek-praktek mengangkat tangan yang dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara-cara yang tidak diketahui asalnya.

Jika kita kelompokkan, praktek-praktek mengangkat tangan dalam berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma :

المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا

“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk. Al Ibtihal adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud 1489, dishahihkan oleh Al Albani dalamShahih Al Jami’ 6694)

Jenis pertama: Al Mas’alah. Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits:

إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا

“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu Daud 1486, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 595)

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

 Sedangkan Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits
 
كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani 5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya1/326). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Umumnya bentuk ini yang digunakan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam dalam berdoa. Namun terkadang beliau beliau berdoa di Arafah dengan cara begini: mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih dikatakan ada di pertengahan dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112)

 Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a, 1/117)

Jenis kedua: Al Istighfar. Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112). Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.

Dalil dari jenis ini diantaranya hadits:

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»

“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib) di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini: (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim, 847)

Jenis ketiga: Al Ibtihal. Yaitu dengan bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangan ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar-benar sulit, mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat-sangat mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau ketika istisqa (memohon hujan). Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik ‎Radhiallahu’anhu :

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke langit” (HR. Muslim 895)

Faedah yng dipetik dari syariat mengangkat tangan saat berdoa

Semua syariat Allah Ta’ala pasti mengandung hikmah yang sangat tinggi tak terbatas. Akal pikiran kita terlalu lemah untuk bisa mengungkap hikmah dibalik semua syariat yang ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Cukuplah bagi kita merupakan sebuah keutamaan kalau kita bisa mengungkap sebagiannya.

Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,

“Jika engkau perhatikan hikmah yang menakjubkan dari syariat agama islam ini, tidak ada untaian kalimat yang bisa menerangkannya dan tidak ada satu pun akal yang bisa mengusulkan sebuah syariat yang lebih sempurna darinya, maka cukuplah sebagai sebuah kesempurnaan akal kalau dia mengetahui keagungan dan keutamaannya.” (Miftah Darus Sa’adah 2/308)

Diantara makna dan hikmah yang tersembunyi dibalik syariat angkat tangan dalam berdoa ini adalah :

1. Menunjukkan kerendahan, hajat dan kebutuhan dirinya pada Allah Ta’ala, yang dengan ini seseorang akan bertambah khusu’ dalam doanya dan itu merupakan sebab diterimanya doa AllohTa’ala berfirman :
“Wahai sekalian manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) Alloh dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Fahir : 15)

Berkata Imam As Safarini,

“Berkata para ulama’ : “Disyariatkannya mengangkat tangan dalam berdoa adalah supaya lebih merendahkan diri pada Allah, yang dengannya dia akan bisa benar-benar tadlarru’ dalam beribadah kepada Allah. Juga terkadang seseorang itu tidak mampu untuk membangkitkan hatinya dari kelalaian, maka dia bisa lakukan dengan penggabungan tangan dengan lisan, ini semua adalah salah satu cara untuk menuju khusu’nya hati.” (Lihat Syarah Tsulatsiyat Musnad 1/655)

2. Dalam mengangkat tangan terdapat makna bahwa Allah adalah Dzat yang mengatur alam semesta, dan berbuat sekehandak Nya. Oleh karena itulah Dia berhak di ibadahi dan dimintai serta direndahkan diri pada Nya dengan serendah-rendahnya, karena memang barang siapa yang meyombong pada Nya akan memperoleh kehinaan dan yang orang yang merasa cukup dengan keutamaan Nya akan memperoleh kefaqiran.

3. Dalam mengangkat tangan juga menunjukkan bahwa Allah Dzat yang Maha Pengasih dan Pemurah, yang akan mengabulkan semua permintaan hamba Nya, tidak ada dosa yang tidak bisa diampuni oleh Nya, tidak ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi Nya, oleh karena itu Allah Malu melihat hamba Nya yang mengangkat tangan pada Nya kemudian mengembalikannya dalam keadaan hampa, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah.

4. Mengangkat tangan saat berdoa menunjukkan bahwa Alloh berada di atas , tepatnya di Arsy di atas langit ke tujuh. Pembahasan ini insya Allah kita bahas pada edisi berikutnya

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, yaitu :

Doa adalah ibadah.
Syarat diterimanya ibadah ada dua, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikut sunnah Rosulullah ).
Hadits yang menunjukan mengangkat tangan dalam berdoa mutawatir maknawi.
Cara mengangkat tangan dalam berdo’a ada tiga, sebagaimana perincian diatas.
Banyak hikmah yang diambil dari syariat mengangkat tangan saat berdo’a.

Wallohu A'lam

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...