Rabu, 25 November 2020

Hukum Memakan Harta Anak Yatim


Islam adalah agama yang datang dari Allâh Yang Maha sempurna. Oleh karena itu, ajaran agama Islam juga sempurna. Islam mengajarkan kepada manusia untuk beribadah kepada al-Khâliq, Allâh Sang Pencipta, juga mengajarkan untuk berbuat baik kepada makhluk. Marilah kita perhatikan satu ayat yang agung dan bawah ini:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا 

Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. [An-Nisa’/4: 36]

PERINTAH BERBUAT BAIK KEPADA ANAK YATIM
 
Di antara ajaran Islam yang agung adalah perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam ayat di atas. Anak yatim adalah anak yang belum baligh dan telah ditinggal mati oleh bapaknya. 

Allâh Azza wa Jalla memuji al-Abrâr (orang-orang yang berbakti kepada Allâh), karena sifat-sifat mereka yanng utama. Salah satunya adalah memberi makan kepada anak yatim. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Al-Insân/76: 8]

Dan Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang yang tidak mempedulikan anak yatim.

كَلَّا ۖ بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ ﴿١٧﴾ وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. [Al-Fajr/89: 17-18]

Anjuran berbuat baik kepada anak yatim lebih ditekankan jika anak yatim itu merupakan kerabat. Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ﴿١١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ ﴿١٣﴾ أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ 

Tetapi dia (manusia itu) tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. [Al-Balad/90: 11-15]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alahi wa sallam juga memberitakan bahwa orang yang mencukupi kebutuhan anak yatim akan masuk surga berdekatan dengan Beliau Shallallahu ‘alahi wa sallam.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Saya dan orang yang mencukupi anak yatim di dalam sorga seperti ini”, beliau berisyarat dengan dua jari beliau, jari telunjuk dan jari tengah. [HR Al-Bukhâri]

Beliau juga bersabda di lain kesempatan :

 خير بيت فى المسلمين بيت فيه يتيم محسن اليه, وشر بيت فى المسلمين بيت فيه يتيم يساء اليه (رواه ابن ماجه

“Rumah yang paling baik di kalangan kaum muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim dipelihara dengan baik-baik. Dan rumah yang paling jelek di kalangan muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim diperlakukan dengan jelek.( Hadits riwayat Ibnu Majah)” 

Alangkah luhurnya apa yang dianjurkan oleh Islam, yaitu kita harus berlaku hati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim, dan kita dibebani agar menanggung mereka serta memelihara mereka dengan baik-baik seolah-olah kita memelihara anak-anak kita sendiri. Karena dengan perlakuan yang baik dari kita, mereka akan merasakan penderitaannya akan hilang dan hatinya menjadi terhibur, sehingga mereka bisa tumbuh dengan wajar dan kelak mereka akan bisa menjadi orang-orang yang berguna.‎

Larangan memakan harta anak yatim

Memakan harta anak yatim secara tidak sah adalah termasuk dosa besar. Sebab anak yatim adalah sosok manusia yang sangat membutuhkan bantuan baik dibidang pendidikan, kehidupan, sehari – hari  seperti sandang, papan dan lain – lain. Oleh karena itu mengambil harta anak yatim dengan cara aniaya termasuk dosa besar. 
Ketika seorang anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orangtuanya, Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan. Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi dewasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut.

(Tafsir QS. An-Nisa [4] : 6)

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَا
رًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ‌ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا
 
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk nikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mempunyai rusydan, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Siapa yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu dengan ma'ruf. Kemudian apabila kamu meyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)."
Asbabun Nuzul
Dalam tafsir al-munir dikisahkan, bahwa seorang yatim bernama Tsabit bin Rifa'ah. Rifa'ah wafat meninggalkan harta sedangkan Tsabit masih kecil. Pamannya (saudara Rifa'ah) menjadi pengurusnya. Ia mendatangi Rasulullah SAW, katanya "sungguh anak saudaraku seorang yatim dalam pemeliharaanku, apakah hartanya halal jika saya makan? Harus kapan diserahkan kepada Tsabit?" sebagai jawabannya, maka turunlah ayat ini (atas).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a, bahwa ayat ini diturunkan sekaitan dengan wali anak yatim yang faqir sehingga ia makan hartanya karena sangat membutuhkan.
Tafsir Mufrodat
Nikah
Nikah sering diartikan kawin. Pada ayat ini tidak diartikan kawin, tetapi yang dimaksudkan adalah dewasa, jika laki-laki sudah ihtilam (mimpi bersenggama), kalau perempuan sudah haidl. Tetapi jika dikaitkan dengan harta, maka maksudnya adalah sudah bisa mengurus diri sendiri, mengelola hartanya dan membiayai sendiri. Ayat ini memberi pengertian lain ; sekalipun seorang anak laki-laki sudah ihtilam, jika belum bisa mengurus diri dan hidupnya masih tergantung kepada orang tua, maka ia tidak layak menikah. Demikian juga perempuan yang tidak bisa mengatur belanja belum layak berumah tangga. Disebut siap menikah apabila seseorang sudah mempunyai kematangan biologis, ekonomi, sosial, intelektual, emosional, dan spiritual.

Rusydan
ROSYADA - YARSYUDU artinya memimpin, mengajar, mendapai kedewasaan. ROSYID artinya orang yang berakal, pintar, bijaksana, insaf, yang mengikuti jalan yang benar. RUSYDAN artinya akal, dewasa, keshalehan, kebenaran, kesadaran, jalan yang lurus. Firman Allah

لااكره فى الدين قد تبين الرشد من الغي



"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat... (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

Ma'ruf
AROFA - YA'RIFU - IRFANAN artinya mengetahui, mengenal, mengakui, arif bijaksana, sabar. 'ARIF orangnya, MA'RUF = yang diketahui, maksudnya yang diketahui nilai baiknya. Adat atau sikap yang sopan yang tidak diatur dalam agama tetapi tidak bertentangan dengan syari'at. Misalnya cium tangan kepada Ibu Bapak. Ma'ruf dalam mengelola harta adalah tidak membelanjakan kepada hal-hal yang tidak berguna.

Tafsir Ayat

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَـٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ

Didiklah anak-anak yatim dengan agama Islam dan ilmu pengetahuan lain serta keterampilan sebagaimana mendidik anak sendiri, sehingga apabila sudah berumur baligh ujilah mereka. Pengujian tidak dilakukan seperti kepada anak sekolah secara regular. Lihatlah kemampuan kerjanya, perhatikan pelaksanaann ibadahnya, amati tingkah lakunya, ajak ngobrol tentang masa depannya. Latihlah dalam membelanjakan uangnya. Berilah kepercayaan kepadanya untuk mengelola harta secara bertahap. Tanya pula apakah ia sudah siap untuk nikah.

فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡہُمۡ رُشۡدً۬ا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ‌ۖ

Jika hasilnya menggembirakan sebagaimana yang diharapkan dan kamu benar-benar mengetahui, merasakan dan melihat sikap rusydan pada diri mereka serahkanlah harta mereka. Beritahukan riwayat kekayaannya, asal usul kepemilikan dan perpindahan hak kepengurusannya. Ada ujian bagi orang yang sudah merasa sukses dan diuntungkan dengan mengurus harta yatim, tentu ia tidak ingin segera menyerahkannya. Atau bahkan mengalihkan kepemilikannya. Sebab itu Allah SWT mengancam mereka dengan firmannya

وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۚ وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِ‌ۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـُٔولاً۬

"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya. (QS. Al-Israa [17] : 34)
وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافً۬ا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْ‌ۚ

Saat mereka belum siap menerima tanggung jawab dalam pengelolaan hartanya, janganlan diserahkan kepadanya. Dalam pengelolaan hartanya tidak boleh membelanjakannya secara berlebihan, sehingga melampaui keperluan. Kecuali sangat diperlukan dengan perhitungan sebagai bekal masa depannya. Misalnya untuk biaya sekolah. Itu pun bila tidak ada jalan lain untuk mendanainya. Berhematlah dalam membelanjakannya, jangan habis sebelum mereka dewasa atau mandiri. Dari ayat ini dapat difahami bahwa harta anak yatim harus diurus dan dikembangkan menjadi banyak. Merekapun harus dididik sampai menjadi manusia yang mandiri dan termasuk kategori siap nikah.

وَمَن كَانَ غَنِيًّ۬ا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ‌ۖ

Bagi orang kaya yang diamanati mengurus harta anak yatim, hendaklah dapat menahan diri dari membelanjakannya. Haram hukumnya memakan harta mereka, sementara ia orang yang berkecukupan. Lebih-lebih jika milik anak yatim itu tidak banyak dan bisa habis sebelum mereka dewasa.

وَمَن كَانَ فَقِيرً۬ا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ

Jika penurus anak yatim itu seorang yang faqir, sedangkan harta yang duruskan banyak, maka tidak mengapa ia makan harta peninggalan itu sebagai upah yang wajar, karena ia sebagai wali yatim. Bahkan bisa mengambil keuntungan dari kepengurusannya bila hasil pengelolaannya melimpah. Hal ini lebih dekat kepadab Musyarakah (bekerja sama antara pemilik modal dengan pengelola).

Aisyah r.a menjelaskan maksud ayat diatas


"Ia mengatakan bahwa ayat WAMAN KAANA GHANIYYAN...BILMA'RUFI (siapa yang kaya hendaklah menahan diri, siapa yang faqir bolehlah ia makan dengan cara ma'ruf). Ayat ini diturunkan tentang wali anak yatim yang mengurusnya dan membereskan hartanya, jika wali itu faqir, ia boleh memakan dari harta itu secara ma'ruf (sekedar memenuhi kebutuhan pokoknya). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dikisahkan pula orang faqir yang mengurus anak yatim

"Bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW, katanya "Sungguh saya seorang faqir, saya tidak punya apa-apa, tapi saya punya anak yatim." sabda beliau, "Makanlah dari harta anak yatimmu, jangan berlebihan, jangan mubadzir, dan jangan merusak hartanya" (HR Abu Daud)

فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡہِمۡ أَمۡوَٲلَهُمۡ فَأَشۡہِدُواْ عَلَيۡہِمۡ

Dalam serah terima harta anak yatim hendaklah dilakukan dengan acara khusus yang disaksikan kerabat atau walinya dan para saksi yang adil. Alangkah lebh baik jika dicatat berita acara dan dibubuhi tanda tangan para saksi. Hal ini untuk menjaga amanat dab kepercayaan serta menghindari kecurigaan dari pihak-pihak tertentu.

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبً۬ا

Allah sebagai pengawas atas berita acara serta jalannya kepengurusan, bimbingan, didikannya. Allah mengetahui maksud baik para kafil yatim dan segala usahanya serta menyediakan pahala yang besar bagi mereka. Allah pun mencatat segala kecurangannya serta menyediakan siksa bagi pelakunya.

Jika ada anak yatim khususnya dari keluarga kita atau keluarga yang tidak mampu, jadikanlah ia sebagai peluang untuk beramal shaleh. Baik bagi orang kaya maupun bagi orang miskin. Yang kaya berpeluang untuk membiayai hidupnya. Sedangkan bagi orang miskin terbuka untuk mengurus dan mendidiknya. Orang yang menelantarkan anak yatim apalagi mengusirnya, dicap oleh Allah sebagai pendusta agama. Dan haram hukumnya menyakiti anak yatim. Firman allah

فَأَمَّا ٱلۡيَتِيمَ فَلَا تَقۡهَرۡ

"Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS. Adl Dluhaa [93] : 9)

Sekilas nampaknya gampang-gampang susah mengurus anak yatim, membiarkannya durhaka, mengurusnya khawatir berbuat zhalim. Memang tantangan untuk berbuat baik itu jika tidak didasari iman akan terasa sulit, tetapi kita harus berusaha menjadi orang shaleh orang yang mendidiknya dan mengurus hartanya (kafil) akan mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Sabda Rasulullah SAW

وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا


"Saya dan kafil anak yatim berada di surga begini (beliau mengisyaratkan telunjuk dan jari tengahnya dan sedikit merengganngkannya) (HR. Al-Bukhari no. 5304, 6005)

Imam Muslim meriwavatkan bahwa beliau Sholallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ» وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Pengasuh anak yatim, baik masih kerabatnya atau bukan, akan bersamaku kelak di surga seperti ini.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim, no. 2983)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)

وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)

Qatādah berkata, “Ayat itu turun berkenaan dengan seorang dari Bani Ghathfān yan menguasai harta saudaranya yang masih kecil dan yatim pula. Lalu ia memakannya.” Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَاراً أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."

“Barangsiapa (dari pemelihara anak yatim itu) yang cukup mampu, hendaklah ia menjaga dirinya (dari memakan harta anak yatim yang dipeliharanya) dan siapa yang hidup miskin, boleh memakannya menurut cara yang patut.” (QS an-Nisā’ [4]: 6)

Maksudnya, pemelihara anak yatim yang tidak mampu, bisa mengambil harta anak yatim sekedar keperluannya saja; mengambilnya sebagai pinjaman; sekadar upah pekerjaannya; atau karena terpaksa. Jika ia mampu, hendaknya harta itu dikembalikan. Jika tidak, harta itu halal baginya.

Allah SWT mengingatkan dengan tegas akan hak orang-orang yatim melalui firman-Nya:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
 
“Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan. Oleh karena itu, hendaklah mereka patuh kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang benar.”
(QS an-Nisā’ [4]: 9) 

Maksudnya, siapa yang memelihara anak yatim, hendaklah ia memperlakukannya dengan baik, bahkan memanggilnya, “Anakku…,” sebagaimana ia memanggil anak-anaknya. Hendaklah ia bersikap baik, santun, serta memelihara harta dan keluarga si anak yatim sebagaimana ia memelihara harta dan keluarganya sendiri.

Diriwayatkan, Allah SWT berfirman kepada Dâwud a.s.: ”Wahai Dâwud, terhadap anak yatim, bersikaplah seperti bapak yang pengasih; terhadap para janda, bersikaplah seperti suami yang penyayang. Ketahuilah, engkau akan menuai apa yang telah engkau tanam. Sebab, engkau pasti mati, serta meninggalkan anak dan istrimu.”

Berkaitan dengan memelihara harta anak yatim dan kezaliman, banyak hadist diriwayatkan sejalan dengan ayat di atas yang berisi ancaman keras dan peringatan bagi manusia yang menzalimi mereka. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim, bahwa Nabi SAW bersabda: “Hindarilah tujuh hal yang akan membinasakan.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang tujuh hal itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali yang dibenarkan, memakan barang hasil riba, memakan harta anak yatim!”

Al-Hākim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah berhak untuk tidak memasukkan mereka kedalam surga dan tidak merasakan kenikmatannya. Mereka itu adalah peminum khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yatim tanpa hak, dan pendurhaka kepada kedua orang tuanya.”

Dalam Shahĩh-nya, Ibn Hibbān menyebutkan bahwa dari sejumlah surat Nabi SAW yang dikirimkan melalui ‘Umar ibn Hazm kepada penduduk Yaman berbunyi:“Dosa-dosa besar yang paling besar pada Hari Kiamat adalah menyekutukan Allah, membunuh orang Mukmin tanpa kebenaran, lari dari medan perang di jalan Allah pada hari melelahkan, durhaka kepada kedua orangtua, tuduhan berzina kepada perempuan suci, mempelajari sihir, memakan hasil riba, dan memakan harta anak yatim.”

Abũ Ya’lā meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada Hari Kiamat, ada suatu kaum dibangkitkan dari kubur mereka dengan nyala api di mulut mereka.”
"Siapa mereka itu, ya Rasulullah?” Tanya para sahabat.
"Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan cara yang tidak lurus, mereka akan memakan api sepenuh perutnya." (QS an-Nisā’ [4]: 10)

Dalam hadist Mikraj yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiba-tiba aku melihat orang-orang yang dilaknati. Sementara yang lain membawa batu dari api, menelannya, lalu api itu keluar dari dubur mereka. Aku lantas bertanya kepada Jibrĩl, ‘Ya Jibril, siapakah mereka?’ Jibrĩl menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim. Sesungguhnya mereka benar-benar memakan api ke dalam perut mereka.”

Sementara dalam Tafsir al-Qurthubĩ dinukil hadist dari Abũ Sa’ĩd al-Khudrĩ bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada malam Isra’ aku melihat satu kaum yang memiliki bibir seperti bibir unta. Lalu bibir mereka ditarik dan di masuki batu dari api ke dalam mulut mereka. Lalu api itu keluar dari dubur mereka. Aku lalu bertanya, ‘Ya Jibrĩl, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim.

As-Suddiy berkata, ”Orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan keluar nyala api dari mulut, telinga, hidung, dan matanya. Siapa pun yang meiihatnya pasti mengetahui bahwa ia adalah pemakan harta anak yatim” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (8722))‎

Mujâhid rahimahullah berkata, “Janganlah kamu merendahkan anak yatim, karena kamu dahulu juga sebagai anak yatim.” 

Al-Fara’ dan az-Zajjâj berkata, “Janganlah kamu berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dengan menguasai hartanya, lalu kamu merampas haknya karena kelemahannya”. Demikianlah bangsa Arab dahulu berbuat terhadap anak-anak yatim. Mereka mengambil harta anak-anak yatim dan hak-hak mereka. [Lihat Tafsir al-Baghawi, 8/457]

Perbuatan sewenang-wenang kepada anak yatim menunjukkan pelakunya tidak memiliki iman atau keimanan terhadap hari pembalasan itu lemah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [Al-Mâ’ûn/107: 1-3]

Adapun orang-orang yang beriman kepada agama Islam, yang mengajarkan adanya hari pembalasan amal, maka kepercayaannya itu akan mendorongnya untuk berbuat baik kepada anak yatim dan memberi makan orang miskin. Walaupun dia mengetahui bahwa anak yatim dan orang miskin tidak mampu membalas kebaikannya, namun dia meyakini bahwa Rabb, Penguasa anak yatim dan orang miskin, Maha Kuasa dan Pemurah memberikan balasannya pada hari pembalasan.
Para ulama berkata, “Setiap wali anak yatim, jika ia seorang yang miskin lalu ia memakan harta anak yatim itu dengan cara yang baik sesuai dengan tanggungjawabnya, mengurusnya dan mengembangkan hartanya, itu tidak mengapa. Namun jika melebihi dari yang sewajarnya, maka itu adalah harta haram”. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
Mengasuh anak yatim artinya mengurus segala kebutuhan dan kemaslahatannya; mulai dari urusan makan, pakaian, dan mengem-bangkan hartanya jika anak yatim itu memiliki harta. Sedangkan jika anak yatim itu tidak memiliki harta maka pengasuh anak yatim memberikan nafkah dan pakaian untuknya demi mengharapkan wajah Allah. Adapun maksud lafazh ‘baik masih kerabatnya atau bukan’ dalam hadits di atas adalah bahwa si pengasuh itu bisa jadi kakeknya, saudaranya, ibunya, pamannya, ayah tirinya, bibinya, atau pun kerabat-kerabat yang lain. Dan bisa juga orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya sama sekali.
KISAH TAUBAT SEORANG SALAF
Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab al-Kabâir meriwayatkan kisah taubat seorang Salaf dengan sebab anak yatim. Dia bercerita, “Dahulu aku berkubang dalam berbagai kemaksiatan dan minum khamr. Suatu hari, aku mendapati seorang yatim yang miskin. Kemudian aku memungutnya dan berbuat baik kepadanya, aku memberi makan dan pakaian kepadanya. Aku masukkan ke kamar mandi, aku membersihkannya dan memuliakannya seperti seorang bapak yang memuliakan anaknya, bahkan lebih. Setelah itu aku bermimpi bahwa hari kiamat telah terjadi. Aku dipanggil menghadapi hisab dan telah diperintahkan dibawa ke neraka karena keburukan berbagai kemaksiatan yang telah aku lakukan. Para malaikat telah menahanku untuk dimasukkan ke dalam neraka. Di hadapan mereka aku hina dan rendah. Mereka menyeretku menuju neraka, tiba-tiba anak yatim itu menghadangku di jalan dan berkata, “Lepaskan dia wahai para malaikat Rabbku, sampai aku memohonkan syafa’at untuknya kepada Rabbku. Karena dia telah berbuat baik kepadaku dan memulaikanku”. Para Malaikat menjawab, “Kami tidak diperintahkan untuk melepaskannya”. Tiba-tiba ada suara dari Allâh Azza wa Jalla yang berfirman, “Lepaskan dia, Aku telah memberikan kebaikan kepadanya dengan sebab syafa’at anak yatim dan perbuatan baiknya kepada anak yatim”. Kemudian aku terbangun dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla. Dan aku selalu berusaha untuk memberikan kasih sayng kepada anak-anak yatim”. [al-Kabâ'ir, hlm. 65, karya imam Adz-Dzahabi]
Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Dawud: ‘Wahai Dawud. jadilah untuk anak yatim sebagai ayah yang penya-yang, dan jadilah untuk janda sebagai suami yang pengasih! Ketahuilah, sebagaimana engkau telah menanam engkau pun akan menuai.” Maksud dari kalimat terakhir adalah sebagaimana engkau berbuat, maka orang lain pun akan berbuat yang sama terhadapmu. Karena engkau akan mati dan meninggalkan anak serta istri. (Diriwayatkan oleh AI-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (11039))

Dalam salah satu munajatnya, Dawud ‘Alayhissalam bertanya, “Duhai Ilah-ku, apakah pahala bagi orang yang menyayangi anak yatim dan janda untuk mengharap wajah-Mu semata?” Allah menjawab, “Pahalanya, aku naungi ia di bawah naungan-Ku pada hari tidak ada naungan selain naunganku.” Maksudnva adalah naungan ‘arsy-Ku pada hari kiamat. (Dikisahkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kaba’ir)

Ada sebuah kisah berkenaan dengan berbuat baik kepada janda dan anak yatim. Adalah satu keluarga yang masih merupakan keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib. Mereka tinggal di luar tanah Arab, di kota Balkh dengan kecukupan. Seorang suami, istri dan anak-anak perempuan. Suatu hari meninggallah sang suami, dan kehidupan pun berbalik 180 derajat. Janda dan anak-anak perempuannya jatuh miskin. Akhirnya mereka pun meninggalkan negeri mereka khawatir akan kejahatan orang-orang yang tidak suka dengan keberadaan mereka. Kebetulan ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnva. Ketika memasuki sebuah negeri wanita itu menempatkan anak-anak-nva di sebuah masjid tua yang sudah lama tidak dipakai. la sendiri pergi mencarikan sesuap makanan untuk mereka. Malam itu ia melewati dua komplek; pertama dipimpin oleh seorang lelaki muslim yang adalah syaikhul balad, petinggi negeri itu. Satu komplek lagi dipimpin oleh seorang lelaki majusi yang adalah dlaminul balad, kepala keamanan negeri. Wanita itu menemui lelaki muslim terlebih dahulu dan menceritakan keadaannya kepadanya. Katanya, “Saya adalah seorang wanita ‘alawiyyah, keturunan All bin Abi Thalib “Saya membawa anak-anak perempuan yang yatim, yang saya tempatkan di sebuah masjid tua. Saya minta bantuan makanan buat mereka malam ini.” Lelaki itu menjawab, “Datangkan bukti bahwa kamu ini benar-benar seorang wanita ‘alawiyyah yang mulia.” Wanita itu berkata lagi, “Saya adalah seorang asing di negeri ini. Siapa yang mengenali saya?”. Lelaki itu berpaling dan tidak mau menolongnva. Wanita itu pergi dengan hati yang berkeping-keping. Maka ia pun menemui lelaki majusi, menjelaskan keadaannva. la ceritakan bahwa bersamanya ada anak-anak perempuan yang yatim dan ia sendiri adalah seorang perempuan keturunan baik-baik yang asing. la juga menceritakan kejadian antara dia dan syaikhul balad. Orang Majusi itu bangkit dan menyuruh istrinya untuk menjemput anak-anak perempuan wanita itu. Mereka diberi makanan yang lezat dan pakaian yang indah. Mereka menginap di rumah itu dengan penuh kenikmatan dan kemuliaan. Pada malam itu juga orang muslim yang telah menolak wanita janda itu bermimpi sepertinya kiamat sudah terjadi. Panji pun telah dikibarkan di atas kepala Nabi. Tiba-tiba tampak sebuah istana yang terbuat dari zamrud hijau, serambinya terbuat dari mutiara dan merah delima, dan kubahnya terbuat dari mutiara dan permata marjan. Lelaki itu bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah istana ini?”. “Untuk seorang Lelaki muslim ahli tauhid.”, jawab beliau. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku seorang muslim ahli tauhid.” Rasulullah bersabda. “Datangkan bukti bahwa kamu adalah seorang muslim ahli tauhid!” Maka orang itu kebingungan. Lalu Rasulullah menjelaskan, “Ketika kamu dimintai tolong oleh seorang wanita ‘alawiyyah itu, kamu mengatakan ‘datangkan bukti bahwa kamu benar-benar seorang ‘alawiyyah’. Begitu juga denganmu sekarang. Coba datangkan bukti bahwa kamu benar-benar seorang muslim.” Lelaki itu terbangun dan sangat bersedih telah menolak wanita itu. Maka ia berkeliling ke seluruh penjuru kota mencari wanita itu sampai ada yang menunjukkan kepadanya bahwa wanita itu ada di rumah seorang majusi. la mendatanginya dan berkata, “Aku ingin menjemput wanita yang mulia, wanita ’alawiyyah beserta anak-anaknya.” Orang itu berkata, “Tidak bisa ! Aku telah mendapatkan barakah yang tidak terhingga atas kedatangan mereka.”. “Aku beri kamu seribu dinar dan serahkan mereka kepadaku.”, rayu si muslim. “Tidak bisa?”. jawab orang itu. “Harus.”, kata si muslim lagi. Orang itu berkata lagi, “Apa yang kamu inginkan sungguh aku lebih berhak memilikinya. Istana yang kamu lihat dalam mimpimu itu diciptakan bagiku. Apakah kamu akan menunjukkan kepadaku tentang Islam? Demi Allah. aku dan keluargaku tidak tidur tadi malam kecuali bahwa kami semua sudah masuk Islam berkat wanita itu. Dan aku pun bermimpi seperti yang kau impikan.” Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah wanita ‘alawiyyah dan anak-anaknya bersamamu?” Aku jawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Istana itu untukmu dan keluargamu. Kamu dan keluargamu menjadi penghuni surga. Kamu diciptakan sebagai mukmin oleh Allah sejak zaman azali.”Si muslim pun pulang dengan penuh rasa sedih dan kecewa. Tidak ada yang tahu sedalam apa kesedihan dan kekecewaannya selain Allah. (Dikisahkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kaba’ir)
Lihatlah, betapa benar barokah berbuat baik kepada janda dan anak yatim. Betapa ia dapat mendatangkan kemuliaan di dunia bagi orang yang melakukannya.

Karena itulah dalam hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda:
 
السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
 
“Orang yang berusaha untuk janda dan orang-orang miskin itu bagaikan pejuang di jalan Allah”.
Perawi hadits ini mengatakan, “Saya kira beliau Sholallahu’alaihi wa sallam juga bersabda”:
 
كَالقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ، وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ
 
“Dan seperti orang yang bangun malam (untuk beribadah) yang tiada henti, dan laksana orang yang berpuasa tanpa berbuka”. (Diriwayatkan oleh AI-Bukhari (6007) dan Muslim (2982))

Berusaha untuk janda dan orang-orang miskin itu maksudnya mengurus berbagai keperluan dan kemaslahatan bagi mereka karena mengharapkan wajah Allah semata.

Semoga sedikit tulisan ini memotifasi kita untuk selalu beribadah kepada Allâh dan berbuat baik kepada sesama, terutama kepada anak-anak yatim, dan menjauhi segala bentuk kezhaliman. Dan Semoga Allah menunjukkan jalan untuk itu dengan anugerah dan kemurahan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.‎

 

Hukum Makan Kepiting


Di antara masalah hukum yang masih ramai dibicarakan adalah mengenai hukum makan kepiting. Apakah makan kepiting itu halal atau haram?

Belakangan ini, semakin banyak muncul pertanyaan seputar masalah seafood khususnya kepiting, seiring dengan munculnya wirausaha retoran seafood dan budi daya kepiting. Penjelasan tentang hukum makan kepiting sering membuat sebagian umat muslim ragu-ragu untuk menyantapnya.
Persoalan ini mungkin jarang dibahas dalam buku-buku fiqh sementara pada realitasnya, banyak persoalan yang muncul dalam keseharian, baik dari sisi konsumsi, produksi maupun distribusi penjualannya.
Di kalangkan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih di pertanyakan kehalalannya. Hal tersebut berawal dari kesadaran umum akan pentingnya sikap berhati-hati menghindari barang yang haram dan hanya mengkonsumsi barang yang halal.

Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk mengkonsumsi yang halal dan thoyyibah, baik dalam mengkonsumsi jenis makanan hewani dan jenis-jenis lainnya. Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan dirinya,,,”.

Hukum memakan kepiting masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama’. Ada yang berpendapat bahwa memakan kepiting hukumnya haram sementara yang lain menyatakan halal. Perbedaan seperti ini sangat wajar dan sering terjadi di kalangan para ulama dalam menyikapi suatu masalah mengingat cara menganalisa dan pengambilan kesimpulan yang tidak sama.

Para ulama yang menyatakan bahwa kepiting tidak boleh dimakan (haram) berasumsi bahwa hewan ini bisa hidup di dua alam (laut dan darat). Sementara ulama yang berpendapat bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi berhujjah bahwa hewan ini tidak dapat hidup di darat. Ia hanya bisa hidup di air (laut) saja.

Selain itu ada qaul dhaif yang bersumber dari al-Halimi sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi yang berpendapat bahwa hewan ini tetap dihukumi halal, meskipun bisa hidup di dua alam. Masing-masing dari kedua pendapat ini tentunya telah melalui uji materi serta lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Referensi yang kami jadikan rujukan adalah kitab al-Maj’mu’ Syarah al-Muhaddzab:

 وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيمِيِّ.

Artinya: Dari bagian ini (hewan yang dapat hidup di dua tempat), asy-Syekh Abu Hamid dan imam al-Haramain memasukkan katak dan ketam (jenis kepiting). Dua hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan madzhab yang shahih (benar). Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat ini. Ada pendapat dhaif yang diceritakan oleh al-Baghawi bersumber dari al-Halimi yang mengatakan bahwa kedua hewan ini halal.

Perselisihan Ulama

Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.

Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.

Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.

Ulama Hambali: Hewan  yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah.

Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.

Hukum asal semua binatang laut adalah halal. Sebagaimana firman Allah,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

“Dihalalkan bagi kalian untuk memburu hewan laut (ketika ihram) dan bangkai hewannya, sebagai kenikmatan bagi kalian dan sebagai (bekal) bagi para musafir…” (Q.s. Al-Maidah: 96)

Imam Bukhari menyebutkan satu riwayat dari beberapa sahabat:
Abu Bakr radliallahu ‘anhu mengatakan, “Bangkai ikan halal.” Ibn Abbas mengatakan: “Yang dimaksud kata ‘tha’amuhu‘ = bangkainya, kecuali yang kotor.” Syuraih – salah seorang sahabat – mengatakan, “Segala sesuatu yang di laut, (jika mati) sudah (dianggap) disembelih.” (Shahih Bukhari, 5/2091)

Dalil lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hukum wudhu dengan air laut, beliau menjawab,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (H.r. Turmudzi 69, Abu Daud 83 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 1/42)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya maka itu halal, dan apa yang Dia haramkan maka itu haram. Adapun benda yang didiamkan (tidak dijelaskan hukumnya) maka itu adalah ampunan, karena itu terimalah ampunan dari Allah. Karena Allah tidak lupa.” (H.r. Baihaqi 20216 dan dishahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah 2256)

Kepiting meskipun dia mampu bertahan di daratan, namun dia termasuk hewan laut, hewan air. Dan hewan air yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala 'alihi wa Sallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صلى الله عليه و سلم - فِي البَحْرِ : ((هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَـتُهُ)) أخرجه الأربعة و ابن أبي شيبة, واللفظ له, وصححه ابن خزيمة و الترمذي, و رواه مالك و الشافعي و أحمد.

Dari Abu Hurairoh radiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang laut, “Thohur (suci dan mensucikan) airnya dan halal bangkai (di dalam)-nya”. (Dikeluarkan oleh imam yang empat dan Ibnu Abi Syaibah, lafadz tersebut darinya, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam As Syafi'i, dan Imam Ahmad)

Oleh karena itu, yang hidup di laut, hukumnya tidak sama dengan yang ada di daratan. Yang disyaratkan harus disembelih. Disembelih dengan bismillah. Adapun yang di lautan, bangkaipun tidak jadi masalah.

Dan apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia secara umum, dalam memanfaatkan makanan tersebut, dan itu juga merupakan kemaslahatan mereka, tidak mengapa Insya Allahu Ta'ala dan tidak termasuk penyiksaan. Seorang makan kadang-kadang pengennya yang segar. Datang ke restoran, ikannya hidup semua. Kadang-kadang ada yang tidak suka kalau sudah dikasih es, apalagi kalau sudah bertahan selama sehari. Ini langsung ditangkap, langsung dipotong. Apakah itu penyiksaan? Ya iya, tidak termasuk penyiksaan, naam.

Berdasarkan keterangan di atas maka makan udang, kepiting, semuanya adalah halal dan tidak ada halangan, berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan bolehkan makan hewan buruan laut. Namun jika hewannya beracun atau bisa membahayakan bagi orang yang mengkonsumsinya maka hukumnya haram, karena makan hewan ini berbahaya bukan karena haram zatnya.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya adalah burung air, kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah ditanya,

السَّرَطَانُ لَا بَأْسَ بِهِ .قِيلَ لَهُ : يُذْبَحُ ؟ قَالَ : لَا

“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya tidak butuh untuk disembelih.”

Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.

Seperti itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan itu semua untuk manusia:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Baqarah: 29)

Yang ada di laut bangkai, bangkainya pun halal. Termasuk diantaranya ketika seorang menjadikan udang itu sebagai umpan mancing. itu kan maunya, biasanya ikan itu akan makan kalau udangnya masing bergerak-gerak, masih hidup, iya kan? Udangnya bergerak, ditusuk pakai alat pancing itu. Wah ini penyiksaan ini, tidak termasuk penyiksaan Insya Allah. Karena itu demi kemaslahatan manusia, dan itu termasuk dari hewan laut, tidak mengapa. Bangkainya pun tidak mengapa.

Berbeda halnya dengan darat, hewan darat. Kambing masih hidup potong kakinya, dijual, nah ini tidak diperbolehkan.

و عن أبي واقد اليثي رضي الله عنه قال : قال رسول الله - صلى الله عليه و سلم- : ((ما قطع من البهيمة و هي حية فهو ميت)) أخرجه أبو داود, و الترميذي, و حسنه, و اللفظ له

Dari Abu Waqid Al Laitsi –radiyallahu ‘anhu-, dia berkata bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Bagian yang terpotong (terpisah) dari hewan (mamah biak) dalam keadaan hidup adalah bangkai”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi, dia menghasankannya dan lafadz ini darinya)

Bangkai darat tidak halal, tapi bangkai di laut tidak mengapa Insya Allahu Ta'ala.
Kesimpulan Mengenai Hewan Air

Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:

Pertama: Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan darat) adalah halal.
Kedua: Katak itu haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.
Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96). Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharamkannya.
Kelima: Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti kepiting.
Keenam: Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”  (QS. Al Baqarah: 195)

Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi. 

Kesimpulan

Pendapat bahwa kepiting itu bukan hewan dua alam dikemukakan oleh banyak pakar di bidang perkepitingan. Umumnya mereka memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit.

Tetapi tidak demikian halnya dengan kepiting. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, dia mati. Jadi kepiting tidak bisa lepas dari air.

Penjelasan bahwa kepiting bukan hewan amphibi disampaikan oleh ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Wallahu a’lam bish showab.

 

Hukum Makan Hewan Dari Berburu


Hewan-hewan hasil buruan itu pada dasarnya halal dimakan, kecuali hewan yang aslinya tidak boleh dimakan seperti biawak karena termasuk hewan buas. 

Selebihnya, ayam hutan, kelinci, rusa dan lainnya pada dasarnya memang hewan halal, maka kalau mati dengan cara diburu dengan sengaja dan memenuhi ketentuan syariat Islam, hukum dagingnya halal dimakan, meski tidak lewat penyembelihan.

Dalam syariat Islam, sesungguhnya berburu adalah salah satu cara untuk mendapatkan makanan yang halal, selain lewat penyembelihan yang syar'i. 

Cara kematian hewan yang menjadi syarat kehalalannya dibedakan antara yang jinak dan yang liar. Untuk hewan jinak, kematiannya harus dengan disembelih secara syar’i, sedangkan untuk hewan liar, kematiannya boleh dengan dua cara: pertama, dengan melepaskan anjing pemburu yang sudah terlatih; kedua, dengan lemparan.

Dasar Kebolehan Menurut Al-Quran dan As-Sunnah

Bahkan Al-Quran Al-Karim sendiri tegas menghalalkan hewan yang didapat dari hasil berburu. Tentu saja hewan itu mati ketika diburu, sehingga tidak perlu lagi disembelih secara syar'i, karena penyembelihan syar'inya digantikan dengan perburuan.

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Apabila kalian telah bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-Maidah : 2)

Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu yang dibolehkan adalah anjing pemburu. 


أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. (QS. Al-Maidah :4)

Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :

مَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُل ومَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan panahmu dan melafadzkan nama Allah, makanlah. Dan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)

عن عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَال : قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَتَصَيَّدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَمَا يَحِل لَنَا مِنْهَا ؟ فَقَال : إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كَلْبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُل .

Dari Adi bin Hatim radhiyalahuanhu berkata,”Aku bertanya,”Ya Rasulallah, kami adalah kaum yang biasa berburu dengan menggunakan anjing, apakah halal hasil buruannya?”. Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu melepaskan anjingmu yang sudah terlatih dengan menyebut nama Allah, maka makanlah dari hasil buruannya. Namun bila anjing itu ikut memakannya, maka jangan dimakan, karena aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. Dan bila ada anjing lain yang ikut makan, janganlah dimakan. (HR. Bukhari)

Intinya, hewan yang mati karena sengaja kita berburu adalah hewan yang halal dimakan. Termasuk bila berburu menggunakan hewan buas yang sudah dilatih.

Melihat bahwa perburuan menggunakan senapan tergolong mematikan hewan dengan lemparan atau lontaran, maka jawaban dari pertanyaan di atas lebih spesifik pada sifat lemparan. Sebelumnya, berikut ini nash yang menunjukkan kehalalan hewan yang mati karena lemparan.

عن أبي ثعلبة الخشني قال قلت يا نبي الله إنا بأرض قوم من أهل الكتاب أفنأكل في آنيتهم وبأرض صيد أصيد بقوسي وبكلبي الذي ليس بمعلم وبكلبي المعلم فما يصلح لي قال أما ما ذكرت من أهل الكتاب فإن وجدتم غيرها فلا تأكلوا فيها وإن لم تجدوا فاغسلوها وكلوا فيها وما صدت بقوسك فذكرت اسم الله فكل وما صدت بكلبك المعلم فذكرت اسم الله فكل وما صدت بكلبك غير معلم فأدركت ذكاته فكل . رواه البخاري

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, beliau berkata: Wahai Nabi Allah saw, sesungguhnya kami tinggal di lingkungan Ahli Kitab, apakah boleh kami makan dengan menggunakan bejana mereka? dan kami juga di wilayah perburuan dengan berburu menggunakan busur panah, anjing yang tidak terlatih, dan anjing yang sudah terlatih, apa yang boleh bagiku?. Beliau menjawab: “Adapun yang engkau sebutkan mengenai Ahli Kitab tadi, maka jika kalian menemukan bejana selain itu maka jangan kalian makan menggunakan bejana itu, jika kalian tidak menemukan selain itu maka cucilah terlebih dahulu kemudian  makanlah kalian dengannya, adapun apa yang engkau buru menggunakan busur panahmu dan engkau sebut nama Allah swt (saat memanah) maka makanlah, adapun apa yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih dan engkau sebut nama Allah swt saat melepaskannya maka makanlah, dan adapun apa yang engkau buru dengan anjingmu yang tidak terlatih dan kamu masih sempat menyembelih hewan buruan tersebut maka makanlah.” (HR Bukhari)

Nash di atas ini menunjukkan kebolehan membunuh hewan buruan dengan menggunakan benda yang dilemparkan, dilontarkan, atau ditembakkan. Tanpa melihat bagian mana dari tubuh hewan tersebut yang terkenai lemparan (tidak harus mengenai leher dan memutus saluran makanan, pernafasan, dan darah), asalkan saat melempar disertai dengan menyebut nama Allah swt.

Selanjutnya terkait dampak lemparan, paling tidak ada tiga kemungkinan: lemparan yang mematikan, lemparan yang melumpuhkan, dan lemparan yang melukai.

Untuk lemparan yang mematikan, harus menggunakan benda tajam/runcing. Berdasarkan hadits:

عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن المعراض فقال إذا أصاب بحده فكل وإذا أصاب بعرضه فقتل فلا تأكل فإنه وقيذ قلت يا رسول الله أرسل كلبي وأسمي فأجد معه على الصيد كلبا آخر لم أسم عليه ولا أدري أيهما أخذ قال لا تأكل إنما سميت على كلبك ولم تسم على الآخر . رواه البخاري

Dari ‘Adi bin Hatim ra, berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang mi’radh (tongkat yang di ujungnya dipasang benda tajam untuk berburu), Beliau menjawab: “Apabila yang mengenai (hewan buruan) bagian yang tajam maka makanlah, tapi apabila yang mengenai tongkatnya (bukan bagian yang tajam) dan menjadikannya mati maka janganlah kamu makan, karena dia termasuk waqiydz (hewan yang mati karena pukulan benda tumpul).”, Aku berkata: Wahai Rasulullah saw, aku melepaskan anjingku dengan menyebut nama Allah swt, kemudian aku melihat ada anjing lain yang menyertainya yang aku tidak menyebut nama Allah swt atasnya, dan aku tidak tahu mana di antara dua anjing tersebut yang berhasil menangkap (hewan buruan), Beliau berkata: “Jangan kamu makan, karena kamu hanya menyebut nama Allah swt atas anjingmu saja bukan atas anjing yang lain.” (HR. Al-Bukhari)

Secara sharih hadits tersebut berisi larangan memakan hewan yang mati akibat benturan benda tumpul. Lafazh al-waqidz di situ adalah apa yang dimaksud al-mauqudzah dalam ayat berikut ini.


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ … [المائدة/3]

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul (benda tumpul), yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. …” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Jadi peluru senapan yang digunakan untuk berburu haruslah peluru tajam, bukan peluru tumpul, meskipun sama-sama berpotensi mematikan. Karena yang menjadi perhitungan di sini adalah sifat tajamnya peluru, bukan sifat bisa mematikan nya. Terbukti Rasulullah saw melarang memakan binatang yang mati terkena bagian tumpul dari mi’radh, dan membolehkan jika kematiannya karena terkena bagian tajamnya. Sebagai contoh, di antara peluru senapan angin pada gambar berikut ini, yang memenuhi syarat untuk menjadikan hewan buruan menjadi halal adalah peluru nomor satu dan dua dari kanan saja, sedangkan enam lainnya tidak karena berpenampang tumpul.

Untuk lemparan yang melumpuhkan, maka penggunaan peluru tumpul dibolehkan asalkan secara ghalabatu-zh-zhann (dugaan kuat) lemparan tersebut melumpuhkan. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi berikut ini.

ومن ذلك رمى الطيور الكبار بالبندق اذا كان لا يقتلها غالبا بل تدرك حية وتذكى فهو جائز

Dan diantaranya adalah melempar burung-burung besar dengan peluru (baik dari batu, tanah yang keras, atau besi), jika pada umumnya tidak mematikannya melainkan dia masih bisa ditemukan hidup kemudian disembelih, maka dia boleh (hukumnya mubah). (Syarah Shahih Muslim, 13/106)

Kehalalan hewan di atas karena kematiannya dengan cara disembelih (setelah sebelumnya dilumpuhkan), bukan dikarenakan tembakannya. Adapun jika peluru tumpul tersebut pada umumnya atau diduga kuat mematikan, maka lebih baik dia dihindari penggunaannya, karena hanya akan menghasilkan hewan buruan yang terhitung bangkai (haram dimakan), dan dalam penggunaannya terdapat kesia-siaan. Kecuali jika memang untuk mencari hewan buruan tidak untuk dimakan manusia, seperti mencari burung untuk makanan kucing piaraan, untuk makanan ikan, dan semacamnya, maka tidak masalah menggunakan peluru tumpul.

Untuk jenis terakhir, yaitu lemparan yang melukai, hukumnya terlarang berdasarkan hadits Nabi saw:

عن عبد الله بن مغفل المزني قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الخذف وقال إنه لا يقتل الصيد ولا ينكأ العدو وإنه يفقأ العين ويكسر السن . رواه البخاري

Dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani berkata: Nabi saw melarang Khadzaf, Beliau berkata: “Khadzaf itu tidak mematikan binatang buruan, tidak pula membunuh musuh, ia hanya melepaskan mata dan memecahkan gigi.” (HR. Al-Bukhari)

Khadzaf adalah melempar batu kecil dengan jemari tangan. Dikatakan terlarang karena lemparan semacam ini tidak mematikan, yang ada hanya menyakiti atau menyiksa (melepaskan mata dan memecahkan gigi).

Jika suatu bentuk lemparan atau tembakan yang pada umumnya hanya melukai namun digunakan untuk mematikan hewan buruan, maka yang semacam ini bertentangan dengan perintah agar memperbagus pembunuhan tanpa boleh ada unsur penyiksaan.

عن شداد بن أوس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله كتب الإحسان على كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته . رواه مسلم

Dari Syaddad bin Aus, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan kebagusan pada setiap sesuatu, apabila kalian membunuh maka perbaguslah pembunuhannya, dan apabila kalian menyembelih maka perbaguslah penyembelihan, dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam senjatanya dan membuat senang binatang sembelihannya.” (HR. Muslim)

Adapun memperjualbelikan peluru, baik itu peluru tumpul maupun peluru tajam, maka boleh-boleh saja. Karena meskipun peluru tumpul, dia bisa juga digunakan untuk tujuan yang dibolehkan syara’, seperti mencari burung untuk makanan kucing piaraan atau ikan, mencari belalang. Atau bahkan untuk tujuan yang disunnahkan, seperti untuk membunuh cicak atau tokek, untuk membunuh tikus, untuk membunuh ular, dsb.

Penjelasan Lebih Dalam

Namun tidak cukup kita hanya membaca dalil Al-Quran dan Hadits saja. Kita perlu membaca lebih dalam tentang detail teknis dari berburu, sebagaimana yang telah dituliskan oleh para ulama. Misalnya tentang syarat apa saja yang wajib terpenuhi bagi seorang pemburu, agar hewan hasil buruannya menjadi halal. Selain itu hewan yang diburu pun harus memenuhi syarat tertentu. 

Dan apabila kita berburu dengan menggunakan hewan pemburu, juga ada syarat dan ketentuannya. 

A. Syarat Pemburu
Agar hasil buruannya menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan adalah sebagai berikut :

1. Aqil dan Mumayyiz

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat dari mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus aqil dan mumayyiz.

Maka agar hasil hewan buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah bahwa pemburu harus orang yang berakal dan bukan orang gila atau tidak waras. Orang gila meski pintar berburu, hasil buruannya haram dimakan.

Demikian juga anak kecil yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu berburu dan berhasil mendapatkan hasil buruan. Namun hasil buruannya belum boleh dimakan, karena ada syarat minimal, bahwa seorang anak harus sudah mumayyiz untuk dibolehkan berburu.

Namun pendapat yang lain dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan pemburu harus aqil dan baligh. Maka dalam pendapat yang lainnya dari mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl buruan orang gila dan anak kecil hukumnya halal dan boleh dimakan.

2. Tidak Dalam Keadaan Berihram

Orang yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah diharuskan berihram. Dan di antara larangan daam berihram adalah tidak boleh menyembelih atau berburu hewan. Maka bila seorang yang sedang berihram melakukannya, dia berdosa dan wajib membayar kaffarah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.(QS. Al-Maidah : )

Lalu bagaimana dengan hewan hasil buruannya?

Para ulama mengatakan hewan hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil berburu yang sesuai dengan syariat. Karena itu hukumnya pun tidak halal dimakan, karena kedudukannya sama seperti bangkai hewan umumnya.

Mungkin di masa sekarang ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih sempat berburu hewan. Tetapi di masa lalu, dimana haji masih dilakukan dengan berjalan kaki melintasi alam liar atau padang pasir, kebutuhan untuk makan salah satunya didapat dengan cara berburu hewan. Namun jamaah haji tidak boleh berburu hewan.

3. Muslim atau Ahli Kitab

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih hewan, maka faktor agama yang dianut oleh orang yang berburu sangat berpengaruh pada kehalalan hewan buruannya. Hanya mereka yang beragama Islam atau ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang dianggap sah perburuannya dan halal hasilnya.

Demikian juga dengan hasil buruan orang yang beragama Nasrani atau Yahudi (ahlul kitab) dihalalkan dalam syariat Islam karena Allah SWT berfirman:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah: 5).

Tidak perlu ada ukuran tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif menjalankan ritus-ritus keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal seseorang mengakui agama yang dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil buruan orang yang mengaku beragama Islam dianggap halal, meskipun barangkali dia sering meninggalkan shalat, puasa, atau melanggar perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan hanya status dan bukan kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.

Demikian juga dengan kaum Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat dan rajin menjalankan ritual keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran adalah formalitas pengakuan atas agama yang dianutnya. Kualitas dalam menjalankan agamanya tidak dijadikan patokan.

Kesimpulannya, orang yang beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Shinto dan lain-lain, tidak sah jika berburu dan hasil buruannya haram dimakan.

4. Membaca Basmalah

Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh para ulama. Dalilnya adalah firman Allah:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan. Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah.

Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah (membaca basmalah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan. Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.

Pertama, mereka beralasan dengan hadis riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ  إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)

Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.

Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan saja.

Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah. Maksud kata "disebut nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna "tidak membaca basmalah".

Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)

Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.

Namun demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.

5. Bukan Niat Untuk Yang Selain Allah

Seorang pemburu hewan tidak boleh berniat ketika berburu untuk dipersembahkan kepada apapun selain Allah. Tidak boleh diniatkan buruan itu untuk dipersembahkan kepada berhala, roh, arwah, jin, setan dan sebagainya.

Hewan hasil buruan ahlul kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika berburu, semisal menyebut nama Isa Almasih, ‘Udzair, atau berhala, maka saat itu hasil buruan mereka menjadi tidak halal, berdasarkan firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)

6. Melakukannya Dengan Tangannya Sendiri

Seorang pemburu harus menggunakan tangannya sendiri ketika berburu, meski dengan memanfaatkan alat seperti panah, tombak, pisau, senapan, dan lainnya.

Tidak boleh menggunakan tangan orang lain, seperti budak, pembantu, asisten, pemburu bayaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang memang telah memenuhi syarat untuk berburu.

7. Bukan Hewan Salah Sasaran

Ketika seorang berburu dan melepaskan anak panah atau menembakkan senjatanya, sejak awal maksud yang ada di dalam hatinya harus benar-benar berburu, bukan untuk maksud yang lain atau karena tidak sengaja, atau juga bukan karena salah sasaran.

Umpamanya ada seseorang yang sedang belajar atau latihan menambak. Sasarannya adalah botol-botol kosong yang ditumpuk sekian meter jauhnya. Ketika peluru dilepaskan, tak ada satu pun dari peluru itu yang mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba ayam tetangga jatuh tergeletak tak berdaya dan mati. Ternyata ayam itu mati menjadi korban salah sasaran tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam itu langsung mati mendadak, otomatis berubah jadi bangkai.

Tetapi bila sebelum menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi pertolongan terakhir, alias disembelih secara syar’i, maka ada harapan untuk makan sate ayam mendadak. Tentu dengan kewajiban membayar kerugian harga seekor ayam.

Berdosa saja agar yang kena peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam tetangga, dan jangan sampai burung perkutut yang baru memenangkan kejuaraan tingkat nasional.

Kenapa?

Karena harganya bisa sampai 1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang terjadi, maka kita rugi dua kali. Selain perkutut yang mati ketembak itu berubah jadi bangkai tidak bisa dimakan, harga uang penggantiannya pun bisa langsung mengubah seseorang jadi kere alias gelandangan untuk beberapa keturunan, karena harus menjual seluruh rumah warisan dari nenek moyang.

8. Tidak Buta

Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan haruslah orang yang masih bisa melihat dengan baik dan tidak buta.

Syarat ini diajukan oleh mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka mengharamkan orang buta untuk melepaskan anak panah untuk berburu hewan, atau dengan memanfaatkan hewan pemburu.

B. Syarat Hewan Yang Diburu

Tidak semua hewan halal untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antarnya :

1. Halal Dagingnya

Seluruh ulama menegaskan bahwa syarat yang paling utama dalam hal kehalalan hewan yang matinya dengan cara diburu adalah hewan itu sendiri harus termasuk jenis hewan yang halal daging sejak semula. Seperti rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau pun hewan-hewan yang hidup di dalam air.

Sedangkan hewan-hewan yang hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram, apabila niatnya untuk dimakan.

Namun bila berburu hewan yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para ulama berbeda pendapat, apakah boleh memburu hewan yang haram dimakan atau tidak tetap tidak boleh.

a. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah : Syarat Berburu

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan itu tidak halal untuk dimakan.

Dan pendapat itu tercermin dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :

حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ

Hewan yang halal dagingnya yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik perorangan dan tidak bisa dipelihara

b. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Bukan Syarat

Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak mengapa. Mereka memandang hukum memburunya kembali kepada hukum dasar, yaitu boleh atau halal. Sebab bisa saja manfaat yang ingin didapat bukan untuk memakan dagingnya, melainkan untuk diambil kulitnya.

Dan kulit hewan yang haram dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)


Selain boleh diburu untuk diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya untuk diburu juga atas sebab bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari hewan itu sendiri.

2. Mutawahhisy

Yang dimaksud hewan mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di alam bebas, dimana cirinya tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali dengan perangkap khusus atau diburu dengan senjata.

Meski kalau dikejar-kejar bisa berlari menghindar, tetapi ayam peliharaan bukan termasuk hewan mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap dengan mudah. Apalagi ayam broiler yang sama sekali tidak bisa mempertahankan diri.

Oleh karena itu berburu ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler dengan cara ditembak hanya akan menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.

Tetapi ayam hutan yang hidup liar di tengah belantara, tidak bisa ditangkap pakai tangan. Harus digunakan perangkap tertentu untuk bisa mendapatkannya, karena sifatnya yang liar atau mutawahhisy itu. Ayam hutan itu layak untuk diburu hingga mati dan dagingnya halal dimakan. 

3. Bukan Hewan Tanah Haram

Hewan yang menjadi penghuni tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal bagi siapa pun sebelum Aku dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)

4. Matinya Karena Terkena Peluru Senjata

Disyaratkan agar hewan yang diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika ditembakkan dengan senjata, baik anak panah, tombak atau peluru panas, hewan itu mati saat itu juga atau beberapa saat namun tidak terlalu lama.

Bila hewan itu masih hidup terus dalam waktu yang lama, dengan hidup yang normal, baru kemudian mati, ada kemungkinan hewan itu tidak mati karena sebab panah si pemburu. Maka hewan itu tidak halal dimakan dan statusnya menjadi bangkai

5. Tidak Menghilang Terlalu Lama

Syarat lainnya adalah hewan yang sudah terkena tembakan itu tidak menghilang dalam waktu yang lama. Sebab bila hewan yang sudah kena tembak itu sempat menghilang dalam waktu lama, dan pemburunya sudah menyelesaikan perburuannya, baru kemudian hewan itu ditemukan dalam keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu mati bukan karena peluru, tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.

C. Syarat Berburu Menggunakan Senjata

Senjata yang dibenarkan dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan bisa melukai atau merobek kulit hewan buruan, sehingga terjadi luka dan menyemburkan darah dari luka itu.

Senjata itu bisa saja berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak atau pun peluru tajam yang ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya bagaimana peluru itu bisa menembus kulit hewan sehingga melukai dan keluar darah dari lukanya.

Sedangkan senjata yang sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek kulit hingga mengeluarkan darah, meski mematikan, tetapi tidak halal untuk digunakan.

Maka berburu dengan batu yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram, palu godam atau martil, hukumnya haram. Karena meski bisa mematikan, namun tidak mampu mengoyak kulit hewan buruannya.

Demikian juga berburu dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau kelereng, meski hewan itu mati, tetapi bila tidak ada koyak pada kulit hewan itu hingga mengeluarkan darah, hukumnya tidak sah.

D. Syarat Berburu Menggunakan Hewan

Selain menggunakan senjata, berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu. Tentunya hewan pemburu adalah hewan yang buas dan punya kemampuan dasar berburu. Hewan-hewan jinak atau ternak biasanya tidak punya kemampuan itu.

Yang dimaksud dengan berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan buruan itu dengan dikejar dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi intinya, hewan yang diburu itu memang mati semata-mata oleh sebab dilukai dan diterkam oleh hewan pemburu.

Fungsi dan peran hewan pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan bukan sekedar untuk menangkap hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia. Dan hukum memakan hasil buruan ini halal dimakan dalam pandangan syariat, sehingga sudah tidak perlu lagi dilakukan penyembelihan.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Makanlah hewan yang diburu oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama Allah (ketika melepas hewan pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)

Namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi dalam syariat Islam, antara lain :

1. Hewan Pemburu Harus Terlatih

Di dalam istilah Al-Quran, istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم), artinya hewan itu sudah diajarkan tata cara berburu dan terlatih untuk melakukanya dengan benar, serta taat dan patuh pada perintah pemiliknya.

Dasar dari syarat ini adalah firman Allah SWT :

وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ

Dan hewan-hewan yang kamu ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)

Dan juga didasarkan kepada hadits nabi SAW :

مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)

Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa bila bahwa syarat dari hewan yang terlatih adalah bila diperintah, dia mengerjakan. Sebaliknya, bila dilarang, dia pun tidak mengerjakan.

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu bila hewan itu memburu hewan lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan hewan buruannya itu. Hal itu didasari oleh hadits nabi :

إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ

Kecuali bila anjing pemburu itu ikut memakannya, maka janganlah kamu makan (hewan burua itu), sebab aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari)

Namun syarat ini tidak berlaku bila hewan pemburunya berupa burung pemburu, karena sulitnya mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak termasuk bila hewan pemburu itu meminum darahnya tapi tidak memakan dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu itu hanya meminum darah korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan itu masih halal untuk dimakan manusia.

2. Kulit Buruan Harus Luka dan Terkoyak

Syarat kedua dalam masalah ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu hewan pemburu itu harus dapat sampai mengoyak kulit hewan buruannya, sehingga dari lukanya itu keluar darah segar. Dan matinya hewan buruan itu semata-mata karena luka dan kehabisan darah.

Posisi letak luka yang mengeluarkan darah segara itu sendiri tidak harus di leher seperti ketika menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari tubuhnya. Sebab intinya bagaimana caranya agar hewan buruan itu mati karena kehabisan darah, akibat keluar lewat luka-luka yang menganga.

Maka bila hewan buruan itu ditemukan mati setelah diburu dan dikejar-kejar, tetapi tidak ada luka menganga dan tidak ada darah yang keluar, berarti boleh jadi hewan itu mati oleh sebab lain. Hewan buruan yang terbukti mati karena tercekik, terantuk batu, jatuh dari ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan sebagainya, maka hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai. Baik hal itu disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu mengalami sendiri.

Syarat ini diajukan oleh Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara resmi, dan juga oleh sebagian dari para ulama di dalam lingkup mazhab As-Syafi’iyah. Istilahnya versi muqabilul adhzar.

Sedangkan versi al-ahdzhar dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan masalah ini. Demikian juga pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di dalam jajaran para ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, tidak mengajukan syarat ini. Dasar pendapat mereka adalah umumnya ayat, dimana Allah SWT mempersilahkan kita makan dari apa yang diburu oleh hewan pemburu, tanpa menyebutkan syarat harus ada luka di tubuh hewan itu yang mengeluarkan darah dan mati karena hal itu.

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

Makanlah dari apa yang telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS. Al-Maidah : 4)

3. Tuannya Harus Muslim atau Ahli Kitab

Syarat ketiga adalah bahwa hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja atas perintah dan komando dari tuannya. Dan syarat yang berlaku dalam hal ini, tuannya harus seorang muslim, atau setidak-tidaknya dia seorang ahli kitab, baik memeluk agama Kristen dan Yahudi.

Bila hewan itu tanpa dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski tidak dimakannya, tetap saja hasil buruannya itu haram dimakan.

Sebaliknya, meski hewan itu berburu lewat perintah tuannya, tapi bila tuannya bukan seorang muslim atau ahli kitab, tetap saja hewan buruan itu haram dimakan.

Dasar dari syarat ini dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ

Sembelihan ahli kitab itu halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)

Meski ayat ini bicara tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat ini juga mencakup masalah berburu hewan menggunakan hewan pemburu.

4. Hewan Itu Tidak Mengerjakan Hal Lain

Syarat yang keempat dari berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu adalah ketika diperintah oleh tuannya, hewan itu tidak mengerjakan perbuatan yang lain, tetapi langsung berburu. Syarat ini dinashkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

Sebab kalau hewan itu mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu, maka langkahnya dalam berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya, melainkan karena keinginannya sediri.

Maka bila setelah diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat makan roti terlebih dahulu, atau menunaikan hajatnya seperti kencing atau buang air besar, maka ketika dia meneruskan berburunya, diaggap sudah bukan lagi atas dasar perintah tuannya.

Hal yang sama juga berlaku manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak berhasil dan kembali lagi kepada tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu kembali lagi mengejar buruannya semula namun tanpa perintah dari tuannya, maka hukumnya hasil buruannya juga tidak halal.

Demikian penjelasan singkat terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam. Semoga bermanfaat, amin.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...