Rabu, 25 November 2020

Hukum Makan Hewan Dari Berburu


Hewan-hewan hasil buruan itu pada dasarnya halal dimakan, kecuali hewan yang aslinya tidak boleh dimakan seperti biawak karena termasuk hewan buas. 

Selebihnya, ayam hutan, kelinci, rusa dan lainnya pada dasarnya memang hewan halal, maka kalau mati dengan cara diburu dengan sengaja dan memenuhi ketentuan syariat Islam, hukum dagingnya halal dimakan, meski tidak lewat penyembelihan.

Dalam syariat Islam, sesungguhnya berburu adalah salah satu cara untuk mendapatkan makanan yang halal, selain lewat penyembelihan yang syar'i. 

Cara kematian hewan yang menjadi syarat kehalalannya dibedakan antara yang jinak dan yang liar. Untuk hewan jinak, kematiannya harus dengan disembelih secara syar’i, sedangkan untuk hewan liar, kematiannya boleh dengan dua cara: pertama, dengan melepaskan anjing pemburu yang sudah terlatih; kedua, dengan lemparan.

Dasar Kebolehan Menurut Al-Quran dan As-Sunnah

Bahkan Al-Quran Al-Karim sendiri tegas menghalalkan hewan yang didapat dari hasil berburu. Tentu saja hewan itu mati ketika diburu, sehingga tidak perlu lagi disembelih secara syar'i, karena penyembelihan syar'inya digantikan dengan perburuan.

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Apabila kalian telah bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-Maidah : 2)

Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu yang dibolehkan adalah anjing pemburu. 


أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. (QS. Al-Maidah :4)

Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :

مَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُل ومَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan panahmu dan melafadzkan nama Allah, makanlah. Dan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)

عن عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَال : قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَتَصَيَّدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَمَا يَحِل لَنَا مِنْهَا ؟ فَقَال : إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كَلْبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُل .

Dari Adi bin Hatim radhiyalahuanhu berkata,”Aku bertanya,”Ya Rasulallah, kami adalah kaum yang biasa berburu dengan menggunakan anjing, apakah halal hasil buruannya?”. Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu melepaskan anjingmu yang sudah terlatih dengan menyebut nama Allah, maka makanlah dari hasil buruannya. Namun bila anjing itu ikut memakannya, maka jangan dimakan, karena aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. Dan bila ada anjing lain yang ikut makan, janganlah dimakan. (HR. Bukhari)

Intinya, hewan yang mati karena sengaja kita berburu adalah hewan yang halal dimakan. Termasuk bila berburu menggunakan hewan buas yang sudah dilatih.

Melihat bahwa perburuan menggunakan senapan tergolong mematikan hewan dengan lemparan atau lontaran, maka jawaban dari pertanyaan di atas lebih spesifik pada sifat lemparan. Sebelumnya, berikut ini nash yang menunjukkan kehalalan hewan yang mati karena lemparan.

عن أبي ثعلبة الخشني قال قلت يا نبي الله إنا بأرض قوم من أهل الكتاب أفنأكل في آنيتهم وبأرض صيد أصيد بقوسي وبكلبي الذي ليس بمعلم وبكلبي المعلم فما يصلح لي قال أما ما ذكرت من أهل الكتاب فإن وجدتم غيرها فلا تأكلوا فيها وإن لم تجدوا فاغسلوها وكلوا فيها وما صدت بقوسك فذكرت اسم الله فكل وما صدت بكلبك المعلم فذكرت اسم الله فكل وما صدت بكلبك غير معلم فأدركت ذكاته فكل . رواه البخاري

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, beliau berkata: Wahai Nabi Allah saw, sesungguhnya kami tinggal di lingkungan Ahli Kitab, apakah boleh kami makan dengan menggunakan bejana mereka? dan kami juga di wilayah perburuan dengan berburu menggunakan busur panah, anjing yang tidak terlatih, dan anjing yang sudah terlatih, apa yang boleh bagiku?. Beliau menjawab: “Adapun yang engkau sebutkan mengenai Ahli Kitab tadi, maka jika kalian menemukan bejana selain itu maka jangan kalian makan menggunakan bejana itu, jika kalian tidak menemukan selain itu maka cucilah terlebih dahulu kemudian  makanlah kalian dengannya, adapun apa yang engkau buru menggunakan busur panahmu dan engkau sebut nama Allah swt (saat memanah) maka makanlah, adapun apa yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih dan engkau sebut nama Allah swt saat melepaskannya maka makanlah, dan adapun apa yang engkau buru dengan anjingmu yang tidak terlatih dan kamu masih sempat menyembelih hewan buruan tersebut maka makanlah.” (HR Bukhari)

Nash di atas ini menunjukkan kebolehan membunuh hewan buruan dengan menggunakan benda yang dilemparkan, dilontarkan, atau ditembakkan. Tanpa melihat bagian mana dari tubuh hewan tersebut yang terkenai lemparan (tidak harus mengenai leher dan memutus saluran makanan, pernafasan, dan darah), asalkan saat melempar disertai dengan menyebut nama Allah swt.

Selanjutnya terkait dampak lemparan, paling tidak ada tiga kemungkinan: lemparan yang mematikan, lemparan yang melumpuhkan, dan lemparan yang melukai.

Untuk lemparan yang mematikan, harus menggunakan benda tajam/runcing. Berdasarkan hadits:

عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن المعراض فقال إذا أصاب بحده فكل وإذا أصاب بعرضه فقتل فلا تأكل فإنه وقيذ قلت يا رسول الله أرسل كلبي وأسمي فأجد معه على الصيد كلبا آخر لم أسم عليه ولا أدري أيهما أخذ قال لا تأكل إنما سميت على كلبك ولم تسم على الآخر . رواه البخاري

Dari ‘Adi bin Hatim ra, berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang mi’radh (tongkat yang di ujungnya dipasang benda tajam untuk berburu), Beliau menjawab: “Apabila yang mengenai (hewan buruan) bagian yang tajam maka makanlah, tapi apabila yang mengenai tongkatnya (bukan bagian yang tajam) dan menjadikannya mati maka janganlah kamu makan, karena dia termasuk waqiydz (hewan yang mati karena pukulan benda tumpul).”, Aku berkata: Wahai Rasulullah saw, aku melepaskan anjingku dengan menyebut nama Allah swt, kemudian aku melihat ada anjing lain yang menyertainya yang aku tidak menyebut nama Allah swt atasnya, dan aku tidak tahu mana di antara dua anjing tersebut yang berhasil menangkap (hewan buruan), Beliau berkata: “Jangan kamu makan, karena kamu hanya menyebut nama Allah swt atas anjingmu saja bukan atas anjing yang lain.” (HR. Al-Bukhari)

Secara sharih hadits tersebut berisi larangan memakan hewan yang mati akibat benturan benda tumpul. Lafazh al-waqidz di situ adalah apa yang dimaksud al-mauqudzah dalam ayat berikut ini.


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ … [المائدة/3]

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul (benda tumpul), yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. …” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Jadi peluru senapan yang digunakan untuk berburu haruslah peluru tajam, bukan peluru tumpul, meskipun sama-sama berpotensi mematikan. Karena yang menjadi perhitungan di sini adalah sifat tajamnya peluru, bukan sifat bisa mematikan nya. Terbukti Rasulullah saw melarang memakan binatang yang mati terkena bagian tumpul dari mi’radh, dan membolehkan jika kematiannya karena terkena bagian tajamnya. Sebagai contoh, di antara peluru senapan angin pada gambar berikut ini, yang memenuhi syarat untuk menjadikan hewan buruan menjadi halal adalah peluru nomor satu dan dua dari kanan saja, sedangkan enam lainnya tidak karena berpenampang tumpul.

Untuk lemparan yang melumpuhkan, maka penggunaan peluru tumpul dibolehkan asalkan secara ghalabatu-zh-zhann (dugaan kuat) lemparan tersebut melumpuhkan. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi berikut ini.

ومن ذلك رمى الطيور الكبار بالبندق اذا كان لا يقتلها غالبا بل تدرك حية وتذكى فهو جائز

Dan diantaranya adalah melempar burung-burung besar dengan peluru (baik dari batu, tanah yang keras, atau besi), jika pada umumnya tidak mematikannya melainkan dia masih bisa ditemukan hidup kemudian disembelih, maka dia boleh (hukumnya mubah). (Syarah Shahih Muslim, 13/106)

Kehalalan hewan di atas karena kematiannya dengan cara disembelih (setelah sebelumnya dilumpuhkan), bukan dikarenakan tembakannya. Adapun jika peluru tumpul tersebut pada umumnya atau diduga kuat mematikan, maka lebih baik dia dihindari penggunaannya, karena hanya akan menghasilkan hewan buruan yang terhitung bangkai (haram dimakan), dan dalam penggunaannya terdapat kesia-siaan. Kecuali jika memang untuk mencari hewan buruan tidak untuk dimakan manusia, seperti mencari burung untuk makanan kucing piaraan, untuk makanan ikan, dan semacamnya, maka tidak masalah menggunakan peluru tumpul.

Untuk jenis terakhir, yaitu lemparan yang melukai, hukumnya terlarang berdasarkan hadits Nabi saw:

عن عبد الله بن مغفل المزني قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الخذف وقال إنه لا يقتل الصيد ولا ينكأ العدو وإنه يفقأ العين ويكسر السن . رواه البخاري

Dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani berkata: Nabi saw melarang Khadzaf, Beliau berkata: “Khadzaf itu tidak mematikan binatang buruan, tidak pula membunuh musuh, ia hanya melepaskan mata dan memecahkan gigi.” (HR. Al-Bukhari)

Khadzaf adalah melempar batu kecil dengan jemari tangan. Dikatakan terlarang karena lemparan semacam ini tidak mematikan, yang ada hanya menyakiti atau menyiksa (melepaskan mata dan memecahkan gigi).

Jika suatu bentuk lemparan atau tembakan yang pada umumnya hanya melukai namun digunakan untuk mematikan hewan buruan, maka yang semacam ini bertentangan dengan perintah agar memperbagus pembunuhan tanpa boleh ada unsur penyiksaan.

عن شداد بن أوس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله كتب الإحسان على كل شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح وليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته . رواه مسلم

Dari Syaddad bin Aus, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan kebagusan pada setiap sesuatu, apabila kalian membunuh maka perbaguslah pembunuhannya, dan apabila kalian menyembelih maka perbaguslah penyembelihan, dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam senjatanya dan membuat senang binatang sembelihannya.” (HR. Muslim)

Adapun memperjualbelikan peluru, baik itu peluru tumpul maupun peluru tajam, maka boleh-boleh saja. Karena meskipun peluru tumpul, dia bisa juga digunakan untuk tujuan yang dibolehkan syara’, seperti mencari burung untuk makanan kucing piaraan atau ikan, mencari belalang. Atau bahkan untuk tujuan yang disunnahkan, seperti untuk membunuh cicak atau tokek, untuk membunuh tikus, untuk membunuh ular, dsb.

Penjelasan Lebih Dalam

Namun tidak cukup kita hanya membaca dalil Al-Quran dan Hadits saja. Kita perlu membaca lebih dalam tentang detail teknis dari berburu, sebagaimana yang telah dituliskan oleh para ulama. Misalnya tentang syarat apa saja yang wajib terpenuhi bagi seorang pemburu, agar hewan hasil buruannya menjadi halal. Selain itu hewan yang diburu pun harus memenuhi syarat tertentu. 

Dan apabila kita berburu dengan menggunakan hewan pemburu, juga ada syarat dan ketentuannya. 

A. Syarat Pemburu
Agar hasil buruannya menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan adalah sebagai berikut :

1. Aqil dan Mumayyiz

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat dari mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus aqil dan mumayyiz.

Maka agar hasil hewan buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah bahwa pemburu harus orang yang berakal dan bukan orang gila atau tidak waras. Orang gila meski pintar berburu, hasil buruannya haram dimakan.

Demikian juga anak kecil yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu berburu dan berhasil mendapatkan hasil buruan. Namun hasil buruannya belum boleh dimakan, karena ada syarat minimal, bahwa seorang anak harus sudah mumayyiz untuk dibolehkan berburu.

Namun pendapat yang lain dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan pemburu harus aqil dan baligh. Maka dalam pendapat yang lainnya dari mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl buruan orang gila dan anak kecil hukumnya halal dan boleh dimakan.

2. Tidak Dalam Keadaan Berihram

Orang yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah diharuskan berihram. Dan di antara larangan daam berihram adalah tidak boleh menyembelih atau berburu hewan. Maka bila seorang yang sedang berihram melakukannya, dia berdosa dan wajib membayar kaffarah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.(QS. Al-Maidah : )

Lalu bagaimana dengan hewan hasil buruannya?

Para ulama mengatakan hewan hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil berburu yang sesuai dengan syariat. Karena itu hukumnya pun tidak halal dimakan, karena kedudukannya sama seperti bangkai hewan umumnya.

Mungkin di masa sekarang ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih sempat berburu hewan. Tetapi di masa lalu, dimana haji masih dilakukan dengan berjalan kaki melintasi alam liar atau padang pasir, kebutuhan untuk makan salah satunya didapat dengan cara berburu hewan. Namun jamaah haji tidak boleh berburu hewan.

3. Muslim atau Ahli Kitab

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih hewan, maka faktor agama yang dianut oleh orang yang berburu sangat berpengaruh pada kehalalan hewan buruannya. Hanya mereka yang beragama Islam atau ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang dianggap sah perburuannya dan halal hasilnya.

Demikian juga dengan hasil buruan orang yang beragama Nasrani atau Yahudi (ahlul kitab) dihalalkan dalam syariat Islam karena Allah SWT berfirman:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah: 5).

Tidak perlu ada ukuran tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif menjalankan ritus-ritus keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal seseorang mengakui agama yang dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil buruan orang yang mengaku beragama Islam dianggap halal, meskipun barangkali dia sering meninggalkan shalat, puasa, atau melanggar perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan hanya status dan bukan kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.

Demikian juga dengan kaum Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat dan rajin menjalankan ritual keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran adalah formalitas pengakuan atas agama yang dianutnya. Kualitas dalam menjalankan agamanya tidak dijadikan patokan.

Kesimpulannya, orang yang beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Shinto dan lain-lain, tidak sah jika berburu dan hasil buruannya haram dimakan.

4. Membaca Basmalah

Membaca lafadz basmalah (بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan oleh para ulama. Dalilnya adalah firman Allah:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan. (HR. Bukhari)

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah merupakan syarat sah penyembelihan. Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau karena sengaja, hukumnya tidak sah.

Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah (membaca basmalah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah penyembelihan. Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam penyembelihan.

Pertama, mereka beralasan dengan hadis riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah radhiyallahuanha :

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ  إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada satu kaum berkata kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)

Hadits ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca basamalah.

Seandainya bacaan basmalah itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah memerintahkan untuk memakan saja.

Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه), mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah. Maksud kata "disebut nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan bermakna "tidak membaca basmalah".

Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di dalam surat Al-Maidah ayat 5.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Dan sembelihan ahli kitab hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)

Padahal para ahli kitab itu belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya. Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.

Namun demikian, mazhab Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.

5. Bukan Niat Untuk Yang Selain Allah

Seorang pemburu hewan tidak boleh berniat ketika berburu untuk dipersembahkan kepada apapun selain Allah. Tidak boleh diniatkan buruan itu untuk dipersembahkan kepada berhala, roh, arwah, jin, setan dan sebagainya.

Hewan hasil buruan ahlul kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika berburu, semisal menyebut nama Isa Almasih, ‘Udzair, atau berhala, maka saat itu hasil buruan mereka menjadi tidak halal, berdasarkan firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)

6. Melakukannya Dengan Tangannya Sendiri

Seorang pemburu harus menggunakan tangannya sendiri ketika berburu, meski dengan memanfaatkan alat seperti panah, tombak, pisau, senapan, dan lainnya.

Tidak boleh menggunakan tangan orang lain, seperti budak, pembantu, asisten, pemburu bayaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang memang telah memenuhi syarat untuk berburu.

7. Bukan Hewan Salah Sasaran

Ketika seorang berburu dan melepaskan anak panah atau menembakkan senjatanya, sejak awal maksud yang ada di dalam hatinya harus benar-benar berburu, bukan untuk maksud yang lain atau karena tidak sengaja, atau juga bukan karena salah sasaran.

Umpamanya ada seseorang yang sedang belajar atau latihan menambak. Sasarannya adalah botol-botol kosong yang ditumpuk sekian meter jauhnya. Ketika peluru dilepaskan, tak ada satu pun dari peluru itu yang mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba ayam tetangga jatuh tergeletak tak berdaya dan mati. Ternyata ayam itu mati menjadi korban salah sasaran tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam itu langsung mati mendadak, otomatis berubah jadi bangkai.

Tetapi bila sebelum menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi pertolongan terakhir, alias disembelih secara syar’i, maka ada harapan untuk makan sate ayam mendadak. Tentu dengan kewajiban membayar kerugian harga seekor ayam.

Berdosa saja agar yang kena peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam tetangga, dan jangan sampai burung perkutut yang baru memenangkan kejuaraan tingkat nasional.

Kenapa?

Karena harganya bisa sampai 1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang terjadi, maka kita rugi dua kali. Selain perkutut yang mati ketembak itu berubah jadi bangkai tidak bisa dimakan, harga uang penggantiannya pun bisa langsung mengubah seseorang jadi kere alias gelandangan untuk beberapa keturunan, karena harus menjual seluruh rumah warisan dari nenek moyang.

8. Tidak Buta

Syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan haruslah orang yang masih bisa melihat dengan baik dan tidak buta.

Syarat ini diajukan oleh mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka mengharamkan orang buta untuk melepaskan anak panah untuk berburu hewan, atau dengan memanfaatkan hewan pemburu.

B. Syarat Hewan Yang Diburu

Tidak semua hewan halal untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antarnya :

1. Halal Dagingnya

Seluruh ulama menegaskan bahwa syarat yang paling utama dalam hal kehalalan hewan yang matinya dengan cara diburu adalah hewan itu sendiri harus termasuk jenis hewan yang halal daging sejak semula. Seperti rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau pun hewan-hewan yang hidup di dalam air.

Sedangkan hewan-hewan yang hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram, apabila niatnya untuk dimakan.

Namun bila berburu hewan yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para ulama berbeda pendapat, apakah boleh memburu hewan yang haram dimakan atau tidak tetap tidak boleh.

a. Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah : Syarat Berburu

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan itu tidak halal untuk dimakan.

Dan pendapat itu tercermin dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :

حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ

Hewan yang halal dagingnya yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik perorangan dan tidak bisa dipelihara

b. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah : Bukan Syarat

Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak mengapa. Mereka memandang hukum memburunya kembali kepada hukum dasar, yaitu boleh atau halal. Sebab bisa saja manfaat yang ingin didapat bukan untuk memakan dagingnya, melainkan untuk diambil kulitnya.

Dan kulit hewan yang haram dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR. Muslim)

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)


Selain boleh diburu untuk diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya untuk diburu juga atas sebab bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari hewan itu sendiri.

2. Mutawahhisy

Yang dimaksud hewan mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di alam bebas, dimana cirinya tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali dengan perangkap khusus atau diburu dengan senjata.

Meski kalau dikejar-kejar bisa berlari menghindar, tetapi ayam peliharaan bukan termasuk hewan mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap dengan mudah. Apalagi ayam broiler yang sama sekali tidak bisa mempertahankan diri.

Oleh karena itu berburu ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler dengan cara ditembak hanya akan menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.

Tetapi ayam hutan yang hidup liar di tengah belantara, tidak bisa ditangkap pakai tangan. Harus digunakan perangkap tertentu untuk bisa mendapatkannya, karena sifatnya yang liar atau mutawahhisy itu. Ayam hutan itu layak untuk diburu hingga mati dan dagingnya halal dimakan. 

3. Bukan Hewan Tanah Haram

Hewan yang menjadi penghuni tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal bagi siapa pun sebelum Aku dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)

4. Matinya Karena Terkena Peluru Senjata

Disyaratkan agar hewan yang diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika ditembakkan dengan senjata, baik anak panah, tombak atau peluru panas, hewan itu mati saat itu juga atau beberapa saat namun tidak terlalu lama.

Bila hewan itu masih hidup terus dalam waktu yang lama, dengan hidup yang normal, baru kemudian mati, ada kemungkinan hewan itu tidak mati karena sebab panah si pemburu. Maka hewan itu tidak halal dimakan dan statusnya menjadi bangkai

5. Tidak Menghilang Terlalu Lama

Syarat lainnya adalah hewan yang sudah terkena tembakan itu tidak menghilang dalam waktu yang lama. Sebab bila hewan yang sudah kena tembak itu sempat menghilang dalam waktu lama, dan pemburunya sudah menyelesaikan perburuannya, baru kemudian hewan itu ditemukan dalam keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu mati bukan karena peluru, tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.

C. Syarat Berburu Menggunakan Senjata

Senjata yang dibenarkan dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan bisa melukai atau merobek kulit hewan buruan, sehingga terjadi luka dan menyemburkan darah dari luka itu.

Senjata itu bisa saja berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak atau pun peluru tajam yang ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya bagaimana peluru itu bisa menembus kulit hewan sehingga melukai dan keluar darah dari lukanya.

Sedangkan senjata yang sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek kulit hingga mengeluarkan darah, meski mematikan, tetapi tidak halal untuk digunakan.

Maka berburu dengan batu yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram, palu godam atau martil, hukumnya haram. Karena meski bisa mematikan, namun tidak mampu mengoyak kulit hewan buruannya.

Demikian juga berburu dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau kelereng, meski hewan itu mati, tetapi bila tidak ada koyak pada kulit hewan itu hingga mengeluarkan darah, hukumnya tidak sah.

D. Syarat Berburu Menggunakan Hewan

Selain menggunakan senjata, berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu. Tentunya hewan pemburu adalah hewan yang buas dan punya kemampuan dasar berburu. Hewan-hewan jinak atau ternak biasanya tidak punya kemampuan itu.

Yang dimaksud dengan berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan buruan itu dengan dikejar dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi intinya, hewan yang diburu itu memang mati semata-mata oleh sebab dilukai dan diterkam oleh hewan pemburu.

Fungsi dan peran hewan pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan bukan sekedar untuk menangkap hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia. Dan hukum memakan hasil buruan ini halal dimakan dalam pandangan syariat, sehingga sudah tidak perlu lagi dilakukan penyembelihan.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Makanlah hewan yang diburu oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama Allah (ketika melepas hewan pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)

Namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi dalam syariat Islam, antara lain :

1. Hewan Pemburu Harus Terlatih

Di dalam istilah Al-Quran, istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم), artinya hewan itu sudah diajarkan tata cara berburu dan terlatih untuk melakukanya dengan benar, serta taat dan patuh pada perintah pemiliknya.

Dasar dari syarat ini adalah firman Allah SWT :

وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ

Dan hewan-hewan yang kamu ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)

Dan juga didasarkan kepada hadits nabi SAW :

مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل

Hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)

Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa bila bahwa syarat dari hewan yang terlatih adalah bila diperintah, dia mengerjakan. Sebaliknya, bila dilarang, dia pun tidak mengerjakan.

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu bila hewan itu memburu hewan lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan hewan buruannya itu. Hal itu didasari oleh hadits nabi :

إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ

Kecuali bila anjing pemburu itu ikut memakannya, maka janganlah kamu makan (hewan burua itu), sebab aku khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari)

Namun syarat ini tidak berlaku bila hewan pemburunya berupa burung pemburu, karena sulitnya mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak termasuk bila hewan pemburu itu meminum darahnya tapi tidak memakan dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu itu hanya meminum darah korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan itu masih halal untuk dimakan manusia.

2. Kulit Buruan Harus Luka dan Terkoyak

Syarat kedua dalam masalah ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu hewan pemburu itu harus dapat sampai mengoyak kulit hewan buruannya, sehingga dari lukanya itu keluar darah segar. Dan matinya hewan buruan itu semata-mata karena luka dan kehabisan darah.

Posisi letak luka yang mengeluarkan darah segara itu sendiri tidak harus di leher seperti ketika menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari tubuhnya. Sebab intinya bagaimana caranya agar hewan buruan itu mati karena kehabisan darah, akibat keluar lewat luka-luka yang menganga.

Maka bila hewan buruan itu ditemukan mati setelah diburu dan dikejar-kejar, tetapi tidak ada luka menganga dan tidak ada darah yang keluar, berarti boleh jadi hewan itu mati oleh sebab lain. Hewan buruan yang terbukti mati karena tercekik, terantuk batu, jatuh dari ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan sebagainya, maka hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai. Baik hal itu disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu mengalami sendiri.

Syarat ini diajukan oleh Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara resmi, dan juga oleh sebagian dari para ulama di dalam lingkup mazhab As-Syafi’iyah. Istilahnya versi muqabilul adhzar.

Sedangkan versi al-ahdzhar dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan masalah ini. Demikian juga pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di dalam jajaran para ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, tidak mengajukan syarat ini. Dasar pendapat mereka adalah umumnya ayat, dimana Allah SWT mempersilahkan kita makan dari apa yang diburu oleh hewan pemburu, tanpa menyebutkan syarat harus ada luka di tubuh hewan itu yang mengeluarkan darah dan mati karena hal itu.

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

Makanlah dari apa yang telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS. Al-Maidah : 4)

3. Tuannya Harus Muslim atau Ahli Kitab

Syarat ketiga adalah bahwa hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja atas perintah dan komando dari tuannya. Dan syarat yang berlaku dalam hal ini, tuannya harus seorang muslim, atau setidak-tidaknya dia seorang ahli kitab, baik memeluk agama Kristen dan Yahudi.

Bila hewan itu tanpa dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski tidak dimakannya, tetap saja hasil buruannya itu haram dimakan.

Sebaliknya, meski hewan itu berburu lewat perintah tuannya, tapi bila tuannya bukan seorang muslim atau ahli kitab, tetap saja hewan buruan itu haram dimakan.

Dasar dari syarat ini dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ

Sembelihan ahli kitab itu halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)

Meski ayat ini bicara tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat ini juga mencakup masalah berburu hewan menggunakan hewan pemburu.

4. Hewan Itu Tidak Mengerjakan Hal Lain

Syarat yang keempat dari berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu adalah ketika diperintah oleh tuannya, hewan itu tidak mengerjakan perbuatan yang lain, tetapi langsung berburu. Syarat ini dinashkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.

Sebab kalau hewan itu mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu, maka langkahnya dalam berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya, melainkan karena keinginannya sediri.

Maka bila setelah diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat makan roti terlebih dahulu, atau menunaikan hajatnya seperti kencing atau buang air besar, maka ketika dia meneruskan berburunya, diaggap sudah bukan lagi atas dasar perintah tuannya.

Hal yang sama juga berlaku manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak berhasil dan kembali lagi kepada tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu kembali lagi mengejar buruannya semula namun tanpa perintah dari tuannya, maka hukumnya hasil buruannya juga tidak halal.

Demikian penjelasan singkat terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam. Semoga bermanfaat, amin.

 

Hukum Memakan Daging Dhobb Dan Biawak


Sebuah pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqih yang satu ini sangatlah hangat dan selalu menjadi pertanyaan yang berulang-ulang di majelis-majelis ta'lim dan semisalnya.

Dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Kitab Khabarul Ahad, Bab ‎Khobarul Mar’ah Waahidah,

قَالَ (ابن عمر رضي الله عنه): كَانَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلىالله عليه وسلم، فِيهمْ سَعْدٌ، فَذَهَبُوا يَأْكُلُونَ مِنْ لَحْمٍ،فَنَادَتْهُمُ امْرَأَةٌ مِنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم،إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ، فَأَمْسَكُوا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:كُلُوا أَوِ اطْعَمُوا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ أَوْ قَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ وَلكِنَّهُلَيْسَ مِنْ طَعَامِي.

Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam yang di antara mereka terdapat Sa’ad makan daging. Kemudian salah seorang isteri Nabi ‎Shallallahu ’alaihi wasallam memanggil mereka seraya berkata, ‘Itu daging ‎dhab’. Mereka pun berhenti makan. Maka Rasulullah ‎Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Makanlah, karena karena daging itu halal atau beliau bersabda: “tidak mengapa dimakan, akan tetapi daging hewan itu bukanlah makananku“.

Hadits diatas merupakan salah satu hadits yang menerangkan tentang kehalalan hewan dhab sehingga tidak ada keraguan lagi pada diri kita akan kehalalannya. Namun, yang menjadi masalah adalah banyak sebagian dari kita yang menterjemahkan dhab dengan biawak sehingga konsekwensinya mereka menghalalkan pula memakan biawak.

Karena kami merasa hal ini belum banyak diketahui oleh kaum muslimin, maka ingin rasanya untuk ikut berpartisipasi dalam menjelaskan perkara ini walau dengan ringkas.
Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam, dan lainnya. Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo.

Dengan demikian, biawak haram dimakan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Seluruh binatang pemangsa dengan gigi taringnya maka haram memakannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

Terdapat hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya.

Jangan disangka bahwa biawak (waral) adalah dhab (hewan mirip biawak) yang halal. Dhab dihalalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Khalid bin al-Walid Radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n بَيْتَ مَيْمُونَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ n بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوا رَسُولَ اللهِ n بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ. فَقَالُوا: هُوَ ضَبٌّ، يَا رَسُولَ اللهِ. فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ، يَا رَسُولَ الله؟ِ فَقَالَ: لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللهِ n يَنْظُرُ.

“Ia masuk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah ‎Shalallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi ‎Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikanku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim serta lainnya).

Dhab adalah golongan kadal besar yang serupa dengan biawak dan sama-sama berdiam di dalam lubang di tanah. Berikut ini keterangan ahli bahasa Arab tentang dhab sekaligus perbandingannya dengan biawak.

Binatang ini adalah jenis melata yang tergolong kadal besar seperti halnya biawak.‎
Bentuknya mirip biawak. ‎
Banyak ditemukan di gurun pasir (sahara) Arab. Lain halnya dengan biawak yang hidupnya di tepi-tepi sungai.
Panjang tubuhnya lebih pendek dari biawak. 
Ekornya bersisik kasar seperti ekor buaya dengan bentuk yang lebar dan maksimal panjangnya hanya sejengkal. Berbeda halnya dengan ekor biawak yang tidak bersisik kasar dan berukuran panjang seperti ekor ular.
Makanannya adalah rumput, belalang kecil (dabah), dan jenis belalang lainnya yang disebut jundub (jamaknya janaadib). Adapun biawak adalah predator (hewan pemangsa hewan lain) yang memangsa ular dan lainnya. 
Binatang biawak (seliro atau mencawak) itu bukan binatang dhabb, oleh karenanya maka haram dimakan.

Keterangan dari kitab Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Syarh al-Minhaaj 4/259, cetakan al Haramain sebagai berikut: 


قَوْلُهُ وَضَبٌّ: هُوَ حَيَوَانٌ يُشْبِهُ الْوَرَلَ يَعِيشُ نَحْوِ سَبْعَمِائَةِ سَنَةٍ وَمِنْ شَأْنِهِ أَنَّهُ لَا يَشْرَبُ الْمَاءَ وَأَنَّهُ يَبُولُ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مَرَّةً وَلَا يَسْقُطُ لَهُ سِنٌّ وَلِلْأُنْثَى مِنْهُ فَرْجَانِ وَلِلذَّكَرِ ذَكَرَانِ 

"Keterangan binatang dhab: binatang dhab adalah binatang yang menyerupaibiawakyang mampu hidup sekitar tujuh ratus tahun, binatang ini tidak minum air dan ia kencing sekali dalam 40 hari, betinanya memiliki dua alat kelamin betina dan yang jantan pun juga memiliki dua alat kelamin jantan."

Jadi, jangan disangka bahwa hukum memakan daging biawak (waral) yang termasuk binatang buas itu sama dengan makan daging dhabb (hewan mirip biawak). Daging biawak hukumnya haram dimakan, sedangkan daging dhabb sendiri dihalalkan oleh Nabi saw, sebagaimana dalam hadits Khalid bin Walid ra:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ، فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَنْظُرُ. مسلم 


Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging dhabb yang telah dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata, “Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, “Apakah daging tersebut haram wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Tidak, tetapi karena ia tidak ada di negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, “Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

Hukum makan Dhobb
Alhamdulillah, sebagian dari kita dan kebanyakan dari mereka sudah mengetahui hukum memakan daging DHOBB (bisa ditulis dengan DHAB), yang hal itu sudah kita ketahui haditsnya ketika membahas permasalahan aqidah, hadits,  ataupun lainnya.
Di dalam sebuah hadits berikut yang insya Alloh kebanyakan dari ikhwah kita pernah mendengarnya;

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
(( لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ ))

Dari Abu Sa'id Al-Khudri dari Nabi shallallohu 'alai wa sallam bersabda:
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhobb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pen.), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

(HR. Al-Bukhari no. 7320, Muslim di dalam Al'Imu bab Ittiba' Sunan Al-Yahud wa An-Nashoro no. 2669, Ahmad no. 9819, dll. Dari jalur riwayat sahabat Abu Sa’id Al-Khudri)

Ketahuilah saudaraku, di dalam hadits di atas telah disebutkan lafazh Dhobb, akan tetapi belumlah disebutkan tentang hukum memakan dagingnya.

Berikut ini insya Alloh saya akan bawakan langsung beberapa hadits yang menyebutkan atau yang difatwakan langsung oleh Nabi shallallohu'alaihi wa sallam tentang hukum memakan daging dhobb.

HUKUM MAKAN DAGING DHOBB ADALAH HALAL

Hukum halal tersebut telah disebutkan di dalam nash-nash hadits, diantaranya :

HADITS PERTAMA
عن ابْن عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم:
الضَبُّ لَسْتُ آكِلَهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ.

Dari Ibnu ‘Umar –Radhiyallohu 'anhuma-, Dia berkata: telah bersabda Rasululloh -shallallohu ‘alaihi wa sallam-:
“Aku tidak memakan dhobb dan aku tidak mengharamkannya.” [HR. Bukhori no. 5536]

HADITS KEDUA
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ:‎
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوْذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ، فَقَالُوْا: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: (لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ). قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

Dari ‘Abdulloh bin ‘Abbas -Radhiyallohu 'anhuma -, dari Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya-: bahwasanya ia bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke rumah Maimunah -semoga Allah meridhainya-, lalu didatangkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- daging dhobb panggang, kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melayangkan tangannya kearah daging tersebut, lalu sebagian kaum wanita berkata:
“Beritahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya”,
maka para sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah! Itu adalah daging dhobb”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat tangannya, lalu aku -Khalid- bertanya: “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya”,
Khalid berkata:
“Aku pun mengambilnya lalu memakannya dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya”. [HR. Bukhori no. 3836]
HADITS KETIGA‎
عَنِ ابْنِ عُمَرَ. قَالَ:
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ؟ فَقَالَ:
لاَ آكِلُهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ.

Dari Ibnu ‘Umar - Radhiyallohu 'anhuma-, ia berkata:
“Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya ketika sedang berada di atas mimbar tentang memakan dhobb, lalu Beliau menjawab:
“Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim no. 5141]

HADITS KEEMPAT

عن ابْن عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ. وَأُتُوْا بِلَحْمِ ضَبٍّ. فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: كُلُوْا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ. وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِيْ.

“Dari Ibnu ‘Umar - Radhiyallohu'anhuma-: bahwasanya Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama beberapa orang dari sahabatnya -semoga Alloh meridhai mereka-, diantaranya adalah Sa’d. Didatangkan kepada mereka daging dhobb, lalu ada seorang wanita berteriak:
“Itu adalah daging dhobb”,
kemudian Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku”. [HR. Muslim no. 5144]

PENGERTIAN DHOBB

APA ITU DHOBB?
Untuk mengetahui apa itu dhobb, pembaca -semoga diberkahi Alloh- bisa membuka Kitab Al Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya . Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhobb terlebih lagi pada kitab yang pertama, disana kita bisa mengetahui banyak tentang dhobb.

Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
- Dhobb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
- Dapat hidup selama 700 tahun.
- termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
- termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
- umurnya panjang,
- sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
- warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
- tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
- ekor adalah senjatanya,
- gigi-giginya tumbuh berbarengan,
- mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
- sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
- hewan yang dimakan hanya belalang,
- terkadang memakan anaknya sendiri,
- makan tetumbuhan sejenis rumput,
- menyukai kurma,
- sebagian orang arab merasa jijik dengannya.

Pernah pada suatu kesempatan (Syuhada Abu Syakir AlIskandar AlJawaghy AsSalafy)  bertanya kepada Syaikh Shalih Abdul Aziz Al Ghusn (hafizhahulloh),
Seperti apa dhobb itu?,
beliau menjawab: “dhobb adalah hewan barr (padang pasir) yang berjalan diatas perutnya”.
Apakah dhobb bertaring?,
beliau menjawab: “dhobb tidak bertaring, hewan ini memakan rerumputan dan tidak meminum air, dan sebagian orang memakan dagingnya”.

Dhab (Uromastyx aegyptia) ‎adalah sejenis biawak yang terdapat di padang pasir dan sebagai salah satu anggota terbesar dari genus Uromastyx. Dhab dapat di temui di Mesir, Libya dan seluruh daerah Timur Tengah tetapi sangat jarang ditemui saat kini karena penurunan habitatnya.
Kulitnya yang sangat keras sering digunakan oleh Arab Badui, sementara dagingnya dimakan sebagai salah satu alternatif sumber protein dan mereka bisa menunjukkan cara untuk menyembelihnya. ‎Nama Inggrisnya ‎Egyptian Mastigure atau Egyptian dab lizard atau Egyptian spiny-tailed lizard.
Menurut keyakinan umat Islam, dhab ini halal dimakan ‎dan dikatakan merupakan sejenis obat perangsang pria‎.

Kehidupan seekor dhab

Dhab tergolong dalam keluarga kadal dan termasuk hewan herbivora. Ia menghabiskan banyak waktunya dalam lubang yang digalinya untuk menyembunyikan dirinya atau dicelah batuan yang aman untuk berlindung. Panjang seekor dhab lebih kurang 14 inci sampai dengan 36 inci.
Sebagai sejenis biawak, dhab merupakan hewan reptilia yang berdarah dingin, dan berkembang biak dengan cara bertelur, dan mempunyai kulit bersisik tebal. Mereka hidup di daerah kering dan berbatu.
Usia dhab bisa menjangkau sampai 700 tahun. Ia dikatakan hanya akan kencing 4 tahun sekali dan berubah kelamin pada setiap 2 tahun. Ia mampu bertahan dengan lingkungan habitatnya yang panas dan kering tanpa meminum air.

APA ITU BIAWAK?‎

Berbeda dengan dhobb, diantara keterangan tentang biawak adalah sebagai berikut:
- biawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil,
- hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai,
- bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya,
- makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora,
- dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,
- ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya.

Biawak adalah sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, suku biawak-biawakan (Varanidae). Biawak dalam bahasa lain disebut sebagai bayawak (Sunda), ‎menyawak atau nyambik (Jawa), berekai (Madura), dan monitor lizard atau goanna (Inggris).

Biawak adalah binatang melata serupa dng ‎bengkarung besar, panjang seluruh tubuhnya ‎kira-kira dua‎ setengah meter.

HUKUM DAGING BIAWAK

(MASIH ADA KHILAF TENTANG BOLEH DAN TIDAKNYA)
Memang benar ada hadits yang mengatakan bahwa setiap hewan bertaring dan buas itu haram dimakan berdasarkan hadits-hadits di bawah ini akan tetapi dalam menyikapi masalah Al-Waral (Biawak) masih diperselisihkan.
HADITS PERTAMA
عَنِ الزُّهْرِيْ:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

Dari Az Zuhri:
“Nabi -shallallohu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”. [HR. Bukhori no. 5527]
HADITS KEDUA
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyni:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk memakan setiap yang bertaring dari hewan buas”. [HR. Bukhori no. 5530]
HADITS KETIGA
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ :
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ.

Dari Abu Hurairah - Radhiyallohu'anhu-, dari Nabi -shallallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda:
“Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram”.[HR. Muslim no. 5101]
HADITS KEEMPAT

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ. وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.

Dari Ibnu ‘Abbas - Radhiyallohu'anhuma-:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan dari setiap burung yang bercakar (yakni untuk dimakan.pent)”.‎ [HR. Muslim no. 5103]
PENDAPAT PARA ULAMA' TENTANG HUKUM MEMAKAN AL-WARAL (BIAWAK)
·        قال سألت ابي عن الورل
فقال ما ادري وكل شيء يشتبه عليك فدعه‎
Abdulloh Bin Ahmad bin Hanbal pernah berkata; Aku pernah bertanya kepada Ayahku tentang Al-Waral(biawak)' , maka beliau menjawab; "Aku tidak tahu. Segala sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah".
[dinukil pada Masa-il Ahmad bin Hanbal oleh Abdulloh bin Ahmad bin Hanbal, Tahqiq Zuhair Asy-Syawish juz 1 hal. 269-270]

·        عبدالرزاق قال أخبرني رجل من ولد سعيد بن المسيب قال أخبرني يحيى بن سعيد قال كنت عند سعيد بن المسيب فجاءه رجل من غطفا فسأله عن الورل فقال لا بأس به وان كان معكم منه شيء فطعمونا منه قال عبدالزاق والورل شبه الضب
       
 Abdur Rozzaq berkata, 'telah mengabarkan kepadaku seorang dari anak Sa'id bin Al-Musayyib; berkata; 'telah mengabarkanku Yahya bin Sa'id berkata; 'aku pernah di sisi Sa'id bin Al-Musayyib kemudian datanglah kepadanya seseorang dari Ghathafa kemudian menanyakannya tentang Al-Waral (biawak) beliau mengatakan:
"Tidak mengapa, jika kalian kalian memilikinya maka berikanlah kepada kami sebagai makanan".
Abdur Rozzaq berkata: "Al-Waral(biawak) serupa dengan Dhobb".
[dinukil dari At-Tamhid Lima fi Muwaththo' Minal Ma'ani wal Asanid oleh Ibnu 'Abdil Barr An-Numari]
 
·      ( الضب ) حيوان بري يشبه الورل ( لست آكله ) لكوني أعافه وليس كل حلال تطيب النفس به ( ولا أحرمه ) فيحل أكله إجماعاً ولا يكره عند الثلاثة وكرهه الحنفية
·        

Adh-Dhobb adalah hewan darat yang serupa dengan Al-Waral (biawak), -'aku tidak memakannya'- karena aku merasa jijik darinya, dan tidak semua yang halal itu disukai oleh jiwa, -'tidak pula aku mengharamkannya'-, maka hukum memakannya adalah halal secara ijma' dan tidak pula dibenci oleh yang tiga (mazhab yang tiga) kecuali pengikut Abu Hanifah membencinya".
[dinukil dari At-Taisir Bi Syarhil Jami' Ash-Shoghir oleh Imam Al-Munawi juz 2 hal. 219]

pernah ditanyakan tentang hukum memakan daging Al-Waral (biawak) halal atau haram? Maka dijawab (kami ambil kesimpulan akhirnya-pent) dengan teks sebagai berikut:
 
وقد عده صاحب منار السبيل من الحشرات المحرمة الأكل فالحاصل أنه أباحه كثير من أهل العلم وأن الإمام أحمد توقف فيه وصرح بعض متأخرى الحنابلة والشافعية بتحريمه . والله أعلم

"Sungguh telah dimasukkan oleh pengarang ‎Manar as-Sabil bahwa dia (al-waral/biawak)  termasuk hewan serangga yang diharamkan. Kesimpulannya bahwa al-waral telah dihalalkan oleh banyak para Ulama' dan adapun Imam Ahmad tidak menanggapi. Adapun para pengikut belakangan dari Mazhab Hanbali dan Syafi'i menyatakan tentang keharamannya. Wallohu A'lam."
Kesimpulan & Faedah:
1.      Halal hukumnya memakan daging Dhobb berdasarkan dalil-dalil di atas.
2.      Bahwa kata dhobb dalam bahasa arab tidak bisa kita artikan biawak dalam bahasa Indonesia, karena keduanya adalah hewan yang saling berbeda. Adapun dalam menerjemahkan kata Dhobb adalah binatang yang menyerupai biawak.
3.      Bahwasanya hal ini pernah saya tanyakan kepada Syaikh Fahd bin Abdur Rahman Asy-Syuwayyib ketiga beliau datang ke Lombok Timur yang saya tanyakan pada hari selasa tanggal 20 desember 2011 – 25 muharram 1433 H.
Ketika saya (Abu Abdillah Riza Firmansyah) tanyakan tentang apakah kebolehan makan daging dhobb itu umum, dan apakah dhobb yang ada di dunia sekarang ini juga sama?‎
Beliau menjawab (ringkas-pent) ya sama.
Akan tetapi ketika syaikh dijelaskan lagi perbedaan dhobb dengan biawakIndonesia beliau mengecualikan hukumnya apabila dia itu memakan hewan seperti ayam (seolah-olah beliau merasa jijik darinya).
4. Kesimpulannya bahwa al-waral telahdihalalkan oleh banyak para Ulama' dan adapun Imam Ahmad mengatakan, ' Aku tidak tahu, Segala sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah'. Adapun para pengikut belakangan dari Mazhab Hanbali dan Syafi'i menyatakan tentang keharamannya. Wallohu A'lam.

5.      Ada satu spesies jenis dhobb yang saya buka di situs berbahasa arab cecara zahir ditampilkan bermacam-macam dhobb; mulai dari dhobb Arab, Sudan, Maroko, Mali, Brazil, Indonesia, dll. ‎‎
‎‎
- Dhabb berbeda dengan biawak. Sebenarnya kalau kita mau membuka kamus, kita akan dapati bahwa biawak dalam bahasa Arab disebut waral (الوَرَلُ), bukan dhabb (الضَّبّ)/ hewan mirip biawak.
- Dhabb merupakan hewan yang halal untuk dimakan meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, akan tetapi lebih kuat hujjah yang menghalalkan.
- Sedangkan biawak adalah hewan yang haram untuk dimakan dikarenakan: biawak merupakan hewan yang menjijikkan (khabits), biawak merupakan hewan buas, para ulama mutaqaddimin pun telah mengharamkan biawak, para ulama mutaakhirin dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya biawak. 
Wallohu A'lam bishshowab

 

Hukum Makan Daging Tikus


Akhir-akhir ini, ada semacam trend yang cukup aneh dalam hal konsumsi makanan. Daging hewan yang beberapa waktu sebelumnya dianggap menjijikkan, kini malah dijajakan di warung pinggir jalan. Sajian semacam sate jamu atau rica-rica anjing, sate ular, tokek, kadal dan bahkan tikus dihidangkan sebagai menu utama. Harganya pun relatif lebih mahal dari pada daging ayam, bebek atau dara, dikarenakan memang daging hewan tersebut tidak mudah diperoleh.

Dalam merespon fenomena ini,masyarakat  dalam hal ini umat Islam, ada yang sekedar merasa jijik, ada yang memilih diam dan cuek, ada yang masih ragu, haramkah hewan tersebut? Dan yang paling memprihatinkan adalah yang penasaran lalu mencicipi dan akhirnya kesengsem.

Diakui, hukum hewan-hewan tersebut masih samar bagi sebagian besar umat Islam. Tidak sebagaimana daging babi, yang secara sharih (jelas) di terangkan dalam Al Qur’an. Sehingga manakala suatu makanan diindikasikan terkontaminasi babi, umat segera merespon dengan keras. Dalam hal ini, sensitivitas umat masih cukup tinggi. Meski hal diatas kita nilai masih menggembirakan, namun menjamurnya penjualan daging hewan-hewan diatas yang bisa jadi hukumnya tidak jauh berbeda dengan babi, perlu kita cermati dengan serius.

Disamping itu, terlepas apakah nantinya daging hewan tersebut makruh atau haram, kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang tidak hanya halal tapi juga thayyibah. Jadi meski hukumnya makruh sekalipun, tapi tidak thayyib dan bermanfaat bagi kita sebaiknya  kita tidak mengkonsumsinya.

Allah berfirman :

 يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168)

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. 5:88)

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. 16:114)

Rasulullah Sholallohu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menyukai kecuali yang thayyib.” (HR.   Bukhari                   )

Perintah ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kesehatan umat , baik jasmani maupun rohani. Sehat jasmani karena makan yang thayyib mengandung gizi dan berbagai manfaat. Dan sebaliknya, makanan yang tidak thayyib (khabits) , meski barangkali ada manfaat namun banyak mengandung efek samping. Dan sehat secara rohani, karena disamping sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, memakan makanan yang thayib akan menjauhkan kita dari rasa was-was dan kesan jorok dalam hal makan. Dan yang paling utma adalah menghindarkan diri dari makanan yang haram, sebab makanan yangkhobits adalah haram.

Maka ada yang mesti kita jawab dari pertanyaan, apakah statsus hewan semacam tikus, ular, tokek, biawak, landak, cicak, kodok dan hewan sejenis? Juga hewan yang biasa dikonsumsi orang awam (baca: kampung) semisal laron, tawon, lebah, ulat dan lainnya? layak konsumsi dan thayyibkah daging hewan ini?. Hal ini perlu kita kaji lebih dalam. Jika ternyata hukumnya makruh, pun kita dianjurkan menjaga diri dari yang makruh, lalu bagaimana jika ternyata haram?
 Dalam makalah ini, tidak akan dibahas hukum hewan diatas satu persatu, namun pembahasan bersifat umum yaitu tentang hasyarat.

Hasyarat

Mengapa kita membahas hasyarat?  Sebab dalam terminologi arab, kata ini bersifat general (umum), mencakup sekian banyak hewan yang telah disinggung tadi. Jadi, manakala hukum hasyarat telah diketahui, otomatis status hukum hewan-hewan yang termasuk didalam kategori ‎hasyarat dapat diketahui pula.
  
Arti hasyarat dalam bahasa Indonesia adalah serangga, atau dalam istilah biologi dikenal sebagai hewan invertebrata. Yaitu hewan tak bertulang belakang, memiliki ciri ; badan terbagi menjadi beberapa segmen :  Kepala (head) dada (thorax) dan perut (abdomen). Ciri-ciri hewan dewasa memiliki tiga pasang kaki, dua antena dan sepasang sayap. Berkembang biak dengan larva yang mengalami methamorphosis. Makanannya antara lain kayu, daun, embun, nectar, darah dan terkadang sabun dan lainnya. ‎Definisi semisal terdapat dalam kamus Munjid fie Lughah.‎Contoh: Kumbang, lebah, kupu, belalang dan lain-lain.
          
Meski secara bahasa hasyarat bermakna serangga, namun dalam terminologi Arab hasyarat memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas. Dalam Lisanul Arab disebutkan, Hasyarat adalah hewan bumi, termasuk didalamnya jerboa, landak, biawak juga hewan melata yang kecil dan lainnya. Dikatakan pula hasyarat adalah binatang bumi yang tak memiliki nama.
            
Imam as Sanqity menjelaskan, termasuk hewan khobits (kotor) diantaranya hasyarat, seperti tikus, ular, kalajengking, tokek, kodok, tikus mondok, jengkrik, kumbang, kecoa, cacing dan lainnya.
          
Ibnu Ruslan mengatakan bahwa hasayarat itu seperti biawak, landak, jerboa dan lainnya.

Serangga atau hewan invertebrata sebagaimana dalam terminologi yang kita kenal juga termasuk hasyarat. Hewan bumi yang kecil-kecil dengan beragam bentuknya pun bisa dikategorikan hasyarat. Mungkin ada semacam kekaburan definisi dalam hal ini, namun secara umum hasyarat adalah hewan-hewan bumi baik yang melata seperti tokek, kadal, cicak, ular, kalajengking, iguana dan selainnya, maupun yang terbang (serangga terbang) seperti capung, kumbang, laron, semut terbang, dan sebagainya. Atau hewan lain semisal tikus, jerboa dan landak. Diantara hewan-hewan tersebut ada yang telah dijelaskan status halal-haramnya dalam hadits dengan keterangan para ulama dan ada yang tidak. Adapun yang tidak dijelaskan dalam hadits maka masuk dalam keumuman hukum hasyarat.

Hukum hasyarat.
Ada dua pendapat yang masyhur yaitu :
Imam as Sanqity berpendapat bahwa hasyarat termasukkhobaits (benda kotor) yang diharamkan. Beliau menyebutkan beberapa diantaranya : tikus, ular, kalajengking, hewan melata ; tokek, kadal atau kumbang, jengkerik, laba-laba,cacing, kecoa dan kodok. ‎Ini adalah pendapat beliau dalam menafsirkan ayat 157 surat al A’raf.

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa salah satu kaidah pengharaman suatu jenis hewan adalah istikhbats,  yaitu manakala suatu jenis hewan dianggap kotor (khobits) oleh bangsa Arab semisal semua jenis hasyarat, kodok, kepiting air tawar, kura-kura kecuali belalang dan biawak, maka hukumnya haram.

Hasyarat secara umum adalah khobits baik yang melata seperti tokek, ular dan cicak maupun yang terbang seperti capung, lalat ataupun semut terbang.
Jumhur Ulama’ sepakat akan keharaman hewan-hewan ini karena termasuk khobaits. Diantaranya adalah Imam Syafi’i. Abu Hanifah, Ahmad, Abu Syihab dan Urwah juga Abu Daud.

Tokek atau Cecak

Tokek atau cecak juga termasuk jenis hewan fawasiq, walaupun tidak disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Namun ada beberapa hadits lainnya yang menyebutkan bahwa hewan itu termasuk fawasiq, dan oleh karena itu hukumnya juga haram dimakan.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cecak atau tokek, dan beliau dinamakan fuwaisiq. (HR. Muslim)

Secara harfiyah makna fuwaisiq adalah binatang jahat yang kecil.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِيْ أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ وَمَنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الْأُوْلَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الثَّانِيَةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan pertama maka dia akan mendapatkan pahala sekian dan sekian, dan barang siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan yang kedua maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian-dan sekian di bawah kebaikan yang pertama, dan barang siapa yang membunuhnya pada pukulan ketiga maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian dan sekian di bawak kebaikan yang kedua.” (HR. Muslim)

Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa cicak/tokek termasuk hewan kecil yang mengganggu.”

Al-Munawi mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk membunuh cicak/tokek karena hewan itu memiliki sifat yang jelek, yaitu konon dahulu hewan inilah yang meniup-niup api yang membakar Ibrahim sehingga menjadi besar.”

Cecak Atau Tokek?
Tokek dalam bahasa Arab disebut dengan kata Saamm Abrash. Nama ilmiahnya Gecko gekko. Binatang ini masih satu famili dengan cicak ( Arab : al-wazagh ), yaitu famili Geckonidae. Nama ilmiah cicak Cosymbotus platyurus. Sedangkan cecak dalam bahasa Arab disebut dengan sihliyah (سحلية).

Tiga dalil hadits di atas diterjemahkan dengan agak ragu, atas makna wazagh (وَزَغ), sehingga dituliskan menjadi cecak atau tokek. Sebagian kalangan menterjemahkannya sebagai cecak, namun sebagian lagi menterjemahkan sebagai tokek.

Lalu mana yang benar, apakah yang dimaksud itu cecak, tokek atau memang keduanya?

Pendapat Pertama : Cecak dan Tokek Sama Haramnya

Sebagian ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram. Imam Nawawi berkata, bahwa menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek ( saam abrash ), karena tokek adalah cicak besar.

Pengarang kitab Aunul Ma’bud menerangkan bahwa, “Cicak itu ialah binatang yang dapat disebut juga tokek.

Imam Syaukani berkata bahwa tokek adalah salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar.

Syihabuddin Asy-Syafii dalam kitabnya, At-Tibyan limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman, mengatakan bahwa berdasarkan penjelasan di atas, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram.

Pendapat Lainnya

Sementara sebagian pendapat mengatakan bahwa yang diharamkan itu tokek dan bukan cecak. Sebab makna wazagh lebih lebih tepat diartikan sebagai tokek dan bukan cecak. Bahasa Arabnya cecak adalah sihliyah (سحلية).

Hukum Memakan Tikus 

Para ulama sepakat untuk memasukkan tikus ke dalam hewan yang haram dimakan dengan dalil bahwa tikus termasuk hewan fawasiq. Rasulullah SAW menamakan beberapa hewan dengan sebutan fawasiq (فواسق), yang asalnya dari kata fisq. Al-Fisq secara bahasa berarti :
الْخُرُوجُ عَنِ الاِسْتِقَامَةِ

Keluar dari garis yang lurus
 
Maksudnya keluar dari garis yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Maka orang yang melakukan dosa besar disebut sebagai fasik. Hewan-hewan yang disebut sebagai fawasiq oleh Rasulullah SAW adalah merupakan bentuk meminjam istilah (isti'arah), karena hewan-hewan tersebut termasuk banyak memberikan masalah, madharat dan juga berbahaya.

Hewan-hewan yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai fawasiq inilah yang kita mendapatkan perintah dari beliau SAW untuk membunuhnya. Dan konsekuensinya adalah bahwa kita diharamkan untuk memakannya. Hal itu sebagaimana disebutkan dengan tegas di dalam hadits-hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسُ فَوَاسِق يُقْتَلْنَ فِي الْحِل وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأْبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : ular, burung gagak, tikus, anjing hitam dan burung buas. (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ أَرْبَعٌ كُلُّهُنَّ فَاسَقٌ يُقْتَلْنَ فيِ الحَلِّ وَالحَرَمِ : الْحِدَأَةُ وَالْغُرَابُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ " قَالَ : فَقُلْتُ لِلْقَاسِمِ : أَفَرَأَيْتَ الْحَيَّةَ ؟ قَالَ : " تُقْتَلُ بِصُغْرٍ لَهَا

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Empat binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : burung buas, gagak, tikus dan anjing hitam.(HR. Muslim)

Mazhab Al-Hanafiyah tidak membedakan apakah tikus itu termasuk tikus liar yang merusak dan merugikan, ataukah tikus peliharaan. Keduanya masuk dalam hewan fawasiq yang harus dibunuh.

Demikian juga dengan pendapat Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari. Setelah menyebutkan berbagai macam jenis tikus, beliau mengatakan bahwa semuanya termasuk bagian dari hewan fawasiq yang harus dibunuh.

Tikus banyak disifati dengan kejelekan dalam banyak nash. Bahkan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tikus dalam klasifikasi binatang fasiq sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

خَمِّرُوا الْآنِيَةَ، وَأَجِيفُوا الْأَبْوَابَ، وَأَطْفِئُوا الْمَصَابِيحَ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ رُبَّمَا جَرَّتِ الْفَتِيلَةَ، فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ الْبَيْتِ

“Tutuplah bejana-bejana dan pintu-pintu kalian, serta matikanlah lampu-lampu kalian, karena tikus (al-fuwaisiqah) kadangkala akan menarik sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni rumah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3316 & 6295, Muslim no. 2012, At-Tirmidziy no. 1812, dan yang lainnya].

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا

“Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya].

Dalam satu riwayat, tikus merupakan binatang yang diubah sebagaimana riwayat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فُقِدَتْ أُمَّةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا يُدْرَى مَا فَعَلَتْ وَإِنِّي لَا أُرَاهَا إِلَّا الْفَارَ إِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الْإِبِلِ لَمْ تَشْرَبْ، وَإِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الشَّاءِ شَرِبَتْ فَحَدَّثْتُ كَعْبًا، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ؟، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لِي مِرَارًا، فَقُلْتُ: أَفَأَقْرَأُ التَّوْرَاةَ "

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata : “Satu umat dari Bani Israaiil telah hilang dan tidak diketahui apa yang telah dilakukan oleh mereka. Sesungguhnya aku tidak melihatnya kecuali mereka telah dijelmakan dalam bentuk tikus, yang apabila mereka disuguhi susu unta, mereka tidak meminumnya, dan bila diberi susu kambing, mereka meminumnya”. Kemudian aku ceritakan hal ini kepada Ka'ab, maka ia berkata : “Apakah engkau mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti itu?”. Aku jawab : “Ya”. Ia bertanya kepadaku berkali-kali hingga akhirnya aku katakan kepadanya : “Apakah perlu aku bacakan kitab Taurat ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.‎].

Tentang hukum makan dagingnya, berikut sebagian perkataan ulama madzhab:

Ad-Dasuuqiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:

وَاَلَّذِي فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ مِنْ التَّوْضِيحِ أَنَّ فِي الْفَأْرِ وَالْوَطْوَاطِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِالتَّحْرِيمِ هُوَ الْمَشْهُورُ وَنَقَلَهُ ، وَذُكِرَ عَنْ ابْنِ رُشْدٍ أَيْضًا أَنَّهُ اسْتَظْهَرَ التَّحْرِيمَ

“Yang terdapat dalam kitab Ath-Thaharah minat-Taudliih, tentang tikus dan wathwaath (sejenis kelelawar) ada tiga pendapat. Pendapat yang menyatakan keharaman adalah masyhur dan Penulis menukilnya. Dan disebutkan juga dari Ibnu Rusyd bahwasannya iaberhati-hati dalam pengharaman” [Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy, 6/333].

Ibnu Qudaamah Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:

وَلَنَا ، قَوْله تَعَالَى { : وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ } وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { خَمْسٌ فَوَاسِقُ ، يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ ؛ الْعَقْرَبُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْحِدَأَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ } .
وَفِي حَدِيثٍ : " الْحَيَّةُ " مَكَانَ : " الْفَأْرَةِ " .
وَلَوْ كَانَتْ مِنْ الصَّيْدِ الْمُبَاحِ ، لَمْ يُبَحْ قَتْلُهَا ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : { لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ } .
وَقَالَ : { وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدَ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا } .
وَلِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ ، فَحُرِّمَتْ ، كَالْوَزَغِ أَوْ مَأْمُورٌ بِقَتْلِهَا ......

“Dan bagi kami, dalilnya adalah firman Allahta’ala : ‘dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk’ (QS. Al-A’raaf : 157), dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ada lima binatang fasiq yang boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram, yaitu kalajengking, tikus, burung gagak, rajawali, dan anjing yang suka menggigit’. Dalam hadits yang lain disebutkan ‘ular’ sebagai pengganti ‘tikus’. Seandainya hewan tersebut termasuk hewan buruan yang diperbolehkan (untuk memakannya), tentu tidak akan diperbolehkan untuk membunuhnya karena Allah ta’alaberfirman : ‘Janganlah engkau membunuh hewan buruan ketika engkau dalam keadaan ihram’ (QS. Al-Maaidah : 95). ‘Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram’ (QS. Al-Maaidah : 96). Dikarenakan hewan tersebut merupakan hewan yang khabiits, maka diharamkan seperti halnya wazagh (sejenis tokek) atau binatang yang yang diperintahkan untuk membunuhnya…..” [Al-Mughniy, 11/65].

Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah di atas, para ulama telah menjelaskan satu kaedah bahwa binantang yang disyari’atkan untuk membunuhnya haram untukdimakan.

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله.........

“Telah berkata shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah) : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

ما أمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام

“Semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, haram dimakan” [Al-Majmuu’, 9/22].

Pendalilan keharaman daging tikus dari sisi ini sangat kuat. Selain itu, beberapa ulama memasukkan tikus dalam jenis hewan yangkhabiits (kotor).

‘Alaauddiin As-Samarqandiy Al-Hanafiyrahimahullah berkata:

أما ما ليس له دم سائل - فكله حرام إلا الجراد، مثل الذباب، والزنبور وسائر هوام الارض وما يدب عليها وما يكون تحت الارض من الفأرة واليربوع والحيات والعقارب، لانها من جملة الخبائث

“Adapun hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, semuanya diharamkan - kecuali belalang - seperti misal lalat, kumbang, seluruh hewan berbisa di bumi, hewan melata, dan hewan yang ada di atas permukaan bumi dari jenis tikus, yarbuu’[3], ular, dan kalajengking; karena termasuk khabiits” [Tuhfatul-Fuqahaa’, 3/64].

Allah ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabiits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقال بعض العلماء: كل ما أحل الله تعالى، فهو طيب نافع في البدن والدين، وكل ما حرمه، فهو خبيث ضار في البدن والدين

“Sebagian ulama berkata : segala sesuatu yang dihalalkan Allah ta’ala, maka itu baik bagi badan dan agama; sedangkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka itu buruk dan membahayakan badan dan agama” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/488].

Kesimpulan : Tikus haram hukumnya untuk dimakan. Inilah pendapat jumhur ulama’.

Wallohu A'lam

 

Hukum Makan Daging Kelinci


Sebagian orang merasa tak tega menyantap daging kelinci, mamalia berbulu yang sering dijadikan peliharaan. Padahal, daging kelinci halal. Namun, ada pula yang menganggap daging kelinci haram dikonsumsi. Mana yang benar?
Meski tak sepopuler daging sapi atau ayam, daging kelinci juga dikonsumsi di Eropa, Tiongkok, Amerika, dan sebagian Timur Tengah. Rasanya disebut-sebut mirip daging ayam yang cocok dipadukan dengan bumbu apa saja.

Daging kelincipun lebih rendah lemak dibanding daging sapi, babi, dan ayam. Dagingnya juga disebut-sebut rendah kolesterol dan tinggi protein. Namun, kandungan asam lemak esensialnya tak begitu banyak.

Sebagian muslim menilai daging kelinci haram dikonsumsi. Alasannya, ‎ kelinci termasuk hewan yang telah mengalami maskh (perubahan dari satu bentuk menjadi bentuk lain). Hewan lainnya adalah monyet, babi, anjing, gajah, serigala, tikus, cicak, dan sebagainya.

Kelinci juga dianggap haram karena memiliki cakar seperti kucing dan hewan-hewan buas. Selain itu, kelinci diyakini memiliki darah mirip darah wanita (yang dikeluarkan saat menstruasi). Maka, dagingnya haram.

Kelinci adalah binatang dengan gigi serinya yang sudah amat kita kenal. Apakah karena giginya tersebut kelinci haram dimakan, atau bahkan halal? Tulisan sederhana berikut membuktikan akan halalnya kelinci. Semoga manfaat.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا وَنَحْنُ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ ، فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا ، فَأَخَذْتُهَا فَجِئْتُ بِهَا إِلَى أَبِى طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا ، فَبَعَثَ بِوَرِكَيْهَا – أَوْ قَالَ بِفَخِذَيْهَا – إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَبِلَهَا

“Kami pernah berusaha menangkap kelinci di lembah Marru Zhohran. Orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka kelelahan. Kemudian aku berhasil menangkapnya lalu aku berikan kepada Abu Tholhah. Diapun menyembelihnya kemudian daging paha diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan beliau menerimanya.” (HR. Bukhari 5535, Muslim 1953).

Hadits Tirmidzi 1711

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسٍ قَال سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلْفَهَا فَأَدْرَكْتُهَا فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا بِمَرْوَةٍ فَبَعَثَ مَعِي بِفَخِذِهَا أَوْ بِوَرِكِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَهُ قَالَ قُلْتُ أَكَلَهُ قَالَ قَبِلَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَعَمَّارٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ صَفْوَانَ وَيُقَالُ مُحَمَّدُ بْنُ صَيْفِيٍّ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِأَكْلِ الْأَرْنَبِ بَأْسًا وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَكْلَ الْأَرْنَبِ وَقَالُوا إِنَّهَا تَدْمَى

Kami menemukan kelinci di Marru Azh Zhahran, maka para sahabat Nabi berjalan di belakangnya. Kemudian aku pun melihatnya & menangkapnya lalu membawanya ke hadapan Abu Thalhah, maka Abu Thalhah menyembelihnya di Marwa. Kemudian ia mengutusku untuk mengirimkan pahanya atau pangkal pahanya kepada Nabi , maka beliau pun memakannya. Abu Isa berkata; Di dalam bab ini tercantum; Dari Jabir & Muhammad bin Shafwan & biasanya ia dipanggil Muhammad bin Shaifi, & ini adl hadits Hasan Shahih. Dan menurut kebanyakan Ahlul Ilmi, memakan daging kelinci tidaklah mengapa, namun sebagian dari mereka membencinya & mereka berkata, Sesungguhnya kelinci itu mengeluarkan darah. [HR. Tirmidzi No.1711].

Kemudian dalam hadis lain dari Muhammad bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَصَبْتُ أَرْنَبَيْنِ فَلَمْ أَجِدْ مَا أُذَكِّيهِمَا بِهِ فَذَكَّيْتُهُمَا بِمَرْوَةٍ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَأَمَرَنِي بِأَكْلِهِمَا

Saya menangkap 2 kelinci, namun saya tidak mendapatkan alat untuk menyembelihnya, hingga saya bisa menyembelihnya di Marwah. Kemudian aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menyuruhku untuk memakannya. (HR. Nasai 4313, Abu Daud 2822, Ibnu Majah 3175, dan dishahihkan al-Albani).

Tiga hadis di atas memberikan kesimpulan bahwa kelinci hukumnya halal. Dan ini merupakan pendapat Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Said, Atha, Ibnul Musayyab, Al-Laits, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Bahkan Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا نعلم أحدا قائلا بتحريمها، إلا شيئا روي عن عمرو بن العاص

“Kami tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang berpendapat haramnya kelinci kecuali satu riwayat dari Amr bin Al-Ash.” (Al-Mughni, 9/412).

Diantara ulama melarang kelinci, alasannya bukan masalah halal-haram, tapi terkait masalah kesehatan. Setelah menyebutkan hadis Anas bin Malik tentang kelinci, Turmudzi mengatakan,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: لَا يَرَوْنَ بِأَكْلِ الأَرْنَبِ بَأْسًا، وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ أَكْلَ الأَرْنَبِ، وَقَالُوا: إِنَّهَا تُدْمِي

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka berpendapat bahwa makan kelinci tidak masalah. Namun ada sebagian ulama yang memakruhkan makan kelinci, mereka beralasan, Kelinci membuat mudah mimisan. (Jami’ at-Turmudzi, 4/251).

Hal ini yang menunjukkan akan halalnya kelinci. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama jika seseorang memperhatikan perkataan-perkataan mereka. Jadi bisa dikatakan halalnya kelinci adalah ijma’ (kata sepakat ulama).

Sebagian kalangan ada yang meragukan akan halalnya kelinci dan mereka tidak punya landasan dalil sama sekali. Namun sebagian besar ulama menyatakan makan kelinci itu mubah (boleh). Sebagian golongan yang terkenal bid’ahnya sebenarnya amat serupa dengan Yahudi karena Yahudi juga mengharamkan memakan kelinci. Dari sisi ini, golongan tersebut memiliki sisi keserupaan dengan Yahudi.

Ada juga yang beralasan bahwa kelinci itu terlarang (makruh) dimakan karena kelinci itu memiliki siklus haidh. Namun dalil bisa terbantahkan dengan kita katakan bahwa seandainya memang benar, maka itu tidak menunjukkan akan terlarangnya mengkonsumsi kelinci. Dalil shahih dan tegas di atas sudah jelas menunjukkan halalnya.

Perlu diketahui bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Sa’id Al Khudri, ‘Atho, Ibnul Musayib, Al Laits, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, mereka-mereka yang sudah terkenal keilmuannya (di antara mereka adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) memberi keringanan akan bolehnya memakan kelinci.

Perlu diketahui bahwa kelinci itu tidak ‎memiliki taring yang digunakan untuk menerkam mangsanya sehingga membuatnya haram sebagaimana harimau yang punya taring dan memburu mangsa dengan taring tersebut.

Dari sini tidak perlu khawatir lagi akan halalnya kelinci selama penyembilahannya benar dan memenuhi syarat syarat.

Wallohu A'lam

 

Hukum Makan Daging Kodok


Swike atau Swikee adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal dari dialek Hokkian, (Tionghoa) sui (air) dan ke(ayam), yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air". Makanan ini biasanya dikaitkan dengan kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya dari "kodok hijau" atau "kodok ijo" (Jw.)) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng dan daun seledri di atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih.

PERMASALAHAN DAN PANDANGAN DARI BERBAGAI MAZHAB

Terdapat dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia; yaitu masalah agama dan lingkungan. Dalam aturan panganIslam, mayoritas mahzab dalam hukum syariahmenganggap daging kodok bersifat haram (non-halal). Masuknya daging kodok dalam kategori haram didasari dua pendapat; makanan yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya larangan untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah, dan burung laut bagi umat Muslim. 

Sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i,Hanafi, dan Hambali secara jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab Maliki ‎memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi hanya untuk jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun dan menjijikkan..

Pendapat yang kuat, katak terlarang untuk dimakan. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdurrahman bin Utsman radhiallallahu ‘anhu,

ذكر طبيب عند رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم دواء وذكر الضفدع يجعل فيه فنهى رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم عن قتل الضفدع

Ada seorang dokter yang menjelaskan tentang suatu penyakit di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dokter itu menjelaskan bahwa katak bisa dijadikan obat untuk penyakit itu. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh katak. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)

Dalam riwayat yang lain, dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن خمسة: “النملة، والنحلة، والضفدع والصرد والهدهد

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh 5 hal: Semut, lebah, katak, burung suradi, dan burung hudhud. (HR. Baihaqi)

Sebagian ulama menetapkan kaidah: “Setiap binatang yang dilarang untuk dibunuh maka haram untuk dikonsumsi.” Karena tidak ada cara yang sesuai syariat untuk memakan binatang kecuali dengan menyembelihnya. Sementara kita tidak mungkin menyembelih yang dilarang untuk dibunuh.

Ketika menjelaskan hadis dari Abdurrahman bin Utsman, As-Syaukani menyatakan,

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ أَكْلِهَا بَعْدَ تَسْلِيمٍ، أَنَّ النَّهْيَ عَنْ الْقَتْلِ يَسْتَلْزِمُ تَحْرِيمَ الْأَكْلِ

Hadis ini dalil haramnya memakan katak, setelah kita menerima kaidah, bahwa larang membunuh berkonsekuensi haram untuk dimakan. (NailulAuthar, 8:143)

Setelah kita menyimpulkan katak hukumnya haram, konsekuensi selanjutnya adalah haram untuk diperjual-belikan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:

إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan hasil penjualan barang itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Allahu a’lam

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...