Rabu, 25 November 2020

Hukum Memakan Daging Dhobb Dan Biawak


Sebuah pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqih yang satu ini sangatlah hangat dan selalu menjadi pertanyaan yang berulang-ulang di majelis-majelis ta'lim dan semisalnya.

Dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dalam Kitab Khabarul Ahad, Bab ‎Khobarul Mar’ah Waahidah,

قَالَ (ابن عمر رضي الله عنه): كَانَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلىالله عليه وسلم، فِيهمْ سَعْدٌ، فَذَهَبُوا يَأْكُلُونَ مِنْ لَحْمٍ،فَنَادَتْهُمُ امْرَأَةٌ مِنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم،إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ، فَأَمْسَكُوا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:كُلُوا أَوِ اطْعَمُوا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ أَوْ قَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ وَلكِنَّهُلَيْسَ مِنْ طَعَامِي.

Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam yang di antara mereka terdapat Sa’ad makan daging. Kemudian salah seorang isteri Nabi ‎Shallallahu ’alaihi wasallam memanggil mereka seraya berkata, ‘Itu daging ‎dhab’. Mereka pun berhenti makan. Maka Rasulullah ‎Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Makanlah, karena karena daging itu halal atau beliau bersabda: “tidak mengapa dimakan, akan tetapi daging hewan itu bukanlah makananku“.

Hadits diatas merupakan salah satu hadits yang menerangkan tentang kehalalan hewan dhab sehingga tidak ada keraguan lagi pada diri kita akan kehalalannya. Namun, yang menjadi masalah adalah banyak sebagian dari kita yang menterjemahkan dhab dengan biawak sehingga konsekwensinya mereka menghalalkan pula memakan biawak.

Karena kami merasa hal ini belum banyak diketahui oleh kaum muslimin, maka ingin rasanya untuk ikut berpartisipasi dalam menjelaskan perkara ini walau dengan ringkas.
Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam, dan lainnya. Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo.

Dengan demikian, biawak haram dimakan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Seluruh binatang pemangsa dengan gigi taringnya maka haram memakannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)

Terdapat hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya.

Jangan disangka bahwa biawak (waral) adalah dhab (hewan mirip biawak) yang halal. Dhab dihalalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Khalid bin al-Walid Radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n بَيْتَ مَيْمُونَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ n بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوا رَسُولَ اللهِ n بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ. فَقَالُوا: هُوَ ضَبٌّ، يَا رَسُولَ اللهِ. فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ، يَا رَسُولَ الله؟ِ فَقَالَ: لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللهِ n يَنْظُرُ.

“Ia masuk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah ‎Shalallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi ‎Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikanku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim serta lainnya).

Dhab adalah golongan kadal besar yang serupa dengan biawak dan sama-sama berdiam di dalam lubang di tanah. Berikut ini keterangan ahli bahasa Arab tentang dhab sekaligus perbandingannya dengan biawak.

Binatang ini adalah jenis melata yang tergolong kadal besar seperti halnya biawak.‎
Bentuknya mirip biawak. ‎
Banyak ditemukan di gurun pasir (sahara) Arab. Lain halnya dengan biawak yang hidupnya di tepi-tepi sungai.
Panjang tubuhnya lebih pendek dari biawak. 
Ekornya bersisik kasar seperti ekor buaya dengan bentuk yang lebar dan maksimal panjangnya hanya sejengkal. Berbeda halnya dengan ekor biawak yang tidak bersisik kasar dan berukuran panjang seperti ekor ular.
Makanannya adalah rumput, belalang kecil (dabah), dan jenis belalang lainnya yang disebut jundub (jamaknya janaadib). Adapun biawak adalah predator (hewan pemangsa hewan lain) yang memangsa ular dan lainnya. 
Binatang biawak (seliro atau mencawak) itu bukan binatang dhabb, oleh karenanya maka haram dimakan.

Keterangan dari kitab Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Syarh al-Minhaaj 4/259, cetakan al Haramain sebagai berikut: 


قَوْلُهُ وَضَبٌّ: هُوَ حَيَوَانٌ يُشْبِهُ الْوَرَلَ يَعِيشُ نَحْوِ سَبْعَمِائَةِ سَنَةٍ وَمِنْ شَأْنِهِ أَنَّهُ لَا يَشْرَبُ الْمَاءَ وَأَنَّهُ يَبُولُ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ يَوْمًا مَرَّةً وَلَا يَسْقُطُ لَهُ سِنٌّ وَلِلْأُنْثَى مِنْهُ فَرْجَانِ وَلِلذَّكَرِ ذَكَرَانِ 

"Keterangan binatang dhab: binatang dhab adalah binatang yang menyerupaibiawakyang mampu hidup sekitar tujuh ratus tahun, binatang ini tidak minum air dan ia kencing sekali dalam 40 hari, betinanya memiliki dua alat kelamin betina dan yang jantan pun juga memiliki dua alat kelamin jantan."

Jadi, jangan disangka bahwa hukum memakan daging biawak (waral) yang termasuk binatang buas itu sama dengan makan daging dhabb (hewan mirip biawak). Daging biawak hukumnya haram dimakan, sedangkan daging dhabb sendiri dihalalkan oleh Nabi saw, sebagaimana dalam hadits Khalid bin Walid ra:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلْتُ اَنَا وَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَاُتِيَ بِضَبّ مَحْنُوْذٍ، فَاَهْوَى اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النّسْوَةِ اللاَّتِي فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ اَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ ص بِمَا يُرِيْدُ اَنْ يَأْكُلَ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدَهُ، فَقُلْتُ اَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ. قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَاَكَلْتُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَنْظُرُ. مسلم 


Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging dhabb yang telah dibakar, Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut, tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata, “Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, “Apakah daging tersebut haram wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Tidak, tetapi karena ia tidak ada di negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, “Lalu saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]

Hukum makan Dhobb
Alhamdulillah, sebagian dari kita dan kebanyakan dari mereka sudah mengetahui hukum memakan daging DHOBB (bisa ditulis dengan DHAB), yang hal itu sudah kita ketahui haditsnya ketika membahas permasalahan aqidah, hadits,  ataupun lainnya.
Di dalam sebuah hadits berikut yang insya Alloh kebanyakan dari ikhwah kita pernah mendengarnya;

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
(( لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ ))

Dari Abu Sa'id Al-Khudri dari Nabi shallallohu 'alai wa sallam bersabda:
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhobb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pen.), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

(HR. Al-Bukhari no. 7320, Muslim di dalam Al'Imu bab Ittiba' Sunan Al-Yahud wa An-Nashoro no. 2669, Ahmad no. 9819, dll. Dari jalur riwayat sahabat Abu Sa’id Al-Khudri)

Ketahuilah saudaraku, di dalam hadits di atas telah disebutkan lafazh Dhobb, akan tetapi belumlah disebutkan tentang hukum memakan dagingnya.

Berikut ini insya Alloh saya akan bawakan langsung beberapa hadits yang menyebutkan atau yang difatwakan langsung oleh Nabi shallallohu'alaihi wa sallam tentang hukum memakan daging dhobb.

HUKUM MAKAN DAGING DHOBB ADALAH HALAL

Hukum halal tersebut telah disebutkan di dalam nash-nash hadits, diantaranya :

HADITS PERTAMA
عن ابْن عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم:
الضَبُّ لَسْتُ آكِلَهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ.

Dari Ibnu ‘Umar –Radhiyallohu 'anhuma-, Dia berkata: telah bersabda Rasululloh -shallallohu ‘alaihi wa sallam-:
“Aku tidak memakan dhobb dan aku tidak mengharamkannya.” [HR. Bukhori no. 5536]

HADITS KEDUA
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ:‎
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوْذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ، فَقَالُوْا: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: (لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ). قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

Dari ‘Abdulloh bin ‘Abbas -Radhiyallohu 'anhuma -, dari Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya-: bahwasanya ia bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke rumah Maimunah -semoga Allah meridhainya-, lalu didatangkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- daging dhobb panggang, kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melayangkan tangannya kearah daging tersebut, lalu sebagian kaum wanita berkata:
“Beritahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya”,
maka para sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah! Itu adalah daging dhobb”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat tangannya, lalu aku -Khalid- bertanya: “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya”,
Khalid berkata:
“Aku pun mengambilnya lalu memakannya dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya”. [HR. Bukhori no. 3836]
HADITS KETIGA‎
عَنِ ابْنِ عُمَرَ. قَالَ:
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ؟ فَقَالَ:
لاَ آكِلُهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ.

Dari Ibnu ‘Umar - Radhiyallohu 'anhuma-, ia berkata:
“Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya ketika sedang berada di atas mimbar tentang memakan dhobb, lalu Beliau menjawab:
“Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya”. [HR. Muslim no. 5141]

HADITS KEEMPAT

عن ابْن عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ. وَأُتُوْا بِلَحْمِ ضَبٍّ. فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: كُلُوْا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ. وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِيْ.

“Dari Ibnu ‘Umar - Radhiyallohu'anhuma-: bahwasanya Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama beberapa orang dari sahabatnya -semoga Alloh meridhai mereka-, diantaranya adalah Sa’d. Didatangkan kepada mereka daging dhobb, lalu ada seorang wanita berteriak:
“Itu adalah daging dhobb”,
kemudian Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku”. [HR. Muslim no. 5144]

PENGERTIAN DHOBB

APA ITU DHOBB?
Untuk mengetahui apa itu dhobb, pembaca -semoga diberkahi Alloh- bisa membuka Kitab Al Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya . Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhobb terlebih lagi pada kitab yang pertama, disana kita bisa mengetahui banyak tentang dhobb.

Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
- Dhobb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
- Dapat hidup selama 700 tahun.
- termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
- termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
- umurnya panjang,
- sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
- warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
- tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
- ekor adalah senjatanya,
- gigi-giginya tumbuh berbarengan,
- mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
- sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
- hewan yang dimakan hanya belalang,
- terkadang memakan anaknya sendiri,
- makan tetumbuhan sejenis rumput,
- menyukai kurma,
- sebagian orang arab merasa jijik dengannya.

Pernah pada suatu kesempatan (Syuhada Abu Syakir AlIskandar AlJawaghy AsSalafy)  bertanya kepada Syaikh Shalih Abdul Aziz Al Ghusn (hafizhahulloh),
Seperti apa dhobb itu?,
beliau menjawab: “dhobb adalah hewan barr (padang pasir) yang berjalan diatas perutnya”.
Apakah dhobb bertaring?,
beliau menjawab: “dhobb tidak bertaring, hewan ini memakan rerumputan dan tidak meminum air, dan sebagian orang memakan dagingnya”.

Dhab (Uromastyx aegyptia) ‎adalah sejenis biawak yang terdapat di padang pasir dan sebagai salah satu anggota terbesar dari genus Uromastyx. Dhab dapat di temui di Mesir, Libya dan seluruh daerah Timur Tengah tetapi sangat jarang ditemui saat kini karena penurunan habitatnya.
Kulitnya yang sangat keras sering digunakan oleh Arab Badui, sementara dagingnya dimakan sebagai salah satu alternatif sumber protein dan mereka bisa menunjukkan cara untuk menyembelihnya. ‎Nama Inggrisnya ‎Egyptian Mastigure atau Egyptian dab lizard atau Egyptian spiny-tailed lizard.
Menurut keyakinan umat Islam, dhab ini halal dimakan ‎dan dikatakan merupakan sejenis obat perangsang pria‎.

Kehidupan seekor dhab

Dhab tergolong dalam keluarga kadal dan termasuk hewan herbivora. Ia menghabiskan banyak waktunya dalam lubang yang digalinya untuk menyembunyikan dirinya atau dicelah batuan yang aman untuk berlindung. Panjang seekor dhab lebih kurang 14 inci sampai dengan 36 inci.
Sebagai sejenis biawak, dhab merupakan hewan reptilia yang berdarah dingin, dan berkembang biak dengan cara bertelur, dan mempunyai kulit bersisik tebal. Mereka hidup di daerah kering dan berbatu.
Usia dhab bisa menjangkau sampai 700 tahun. Ia dikatakan hanya akan kencing 4 tahun sekali dan berubah kelamin pada setiap 2 tahun. Ia mampu bertahan dengan lingkungan habitatnya yang panas dan kering tanpa meminum air.

APA ITU BIAWAK?‎

Berbeda dengan dhobb, diantara keterangan tentang biawak adalah sebagai berikut:
- biawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil,
- hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai,
- bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya,
- makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora,
- dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,
- ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya.

Biawak adalah sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, suku biawak-biawakan (Varanidae). Biawak dalam bahasa lain disebut sebagai bayawak (Sunda), ‎menyawak atau nyambik (Jawa), berekai (Madura), dan monitor lizard atau goanna (Inggris).

Biawak adalah binatang melata serupa dng ‎bengkarung besar, panjang seluruh tubuhnya ‎kira-kira dua‎ setengah meter.

HUKUM DAGING BIAWAK

(MASIH ADA KHILAF TENTANG BOLEH DAN TIDAKNYA)
Memang benar ada hadits yang mengatakan bahwa setiap hewan bertaring dan buas itu haram dimakan berdasarkan hadits-hadits di bawah ini akan tetapi dalam menyikapi masalah Al-Waral (Biawak) masih diperselisihkan.
HADITS PERTAMA
عَنِ الزُّهْرِيْ:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

Dari Az Zuhri:
“Nabi -shallallohu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”. [HR. Bukhori no. 5527]
HADITS KEDUA
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyni:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk memakan setiap yang bertaring dari hewan buas”. [HR. Bukhori no. 5530]
HADITS KETIGA
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ :
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ.

Dari Abu Hurairah - Radhiyallohu'anhu-, dari Nabi -shallallohu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda:
“Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram”.[HR. Muslim no. 5101]
HADITS KEEMPAT

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ. وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.

Dari Ibnu ‘Abbas - Radhiyallohu'anhuma-:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallohu ‘alaihi wa sallam- melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan dari setiap burung yang bercakar (yakni untuk dimakan.pent)”.‎ [HR. Muslim no. 5103]
PENDAPAT PARA ULAMA' TENTANG HUKUM MEMAKAN AL-WARAL (BIAWAK)
·        قال سألت ابي عن الورل
فقال ما ادري وكل شيء يشتبه عليك فدعه‎
Abdulloh Bin Ahmad bin Hanbal pernah berkata; Aku pernah bertanya kepada Ayahku tentang Al-Waral(biawak)' , maka beliau menjawab; "Aku tidak tahu. Segala sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah".
[dinukil pada Masa-il Ahmad bin Hanbal oleh Abdulloh bin Ahmad bin Hanbal, Tahqiq Zuhair Asy-Syawish juz 1 hal. 269-270]

·        عبدالرزاق قال أخبرني رجل من ولد سعيد بن المسيب قال أخبرني يحيى بن سعيد قال كنت عند سعيد بن المسيب فجاءه رجل من غطفا فسأله عن الورل فقال لا بأس به وان كان معكم منه شيء فطعمونا منه قال عبدالزاق والورل شبه الضب
       
 Abdur Rozzaq berkata, 'telah mengabarkan kepadaku seorang dari anak Sa'id bin Al-Musayyib; berkata; 'telah mengabarkanku Yahya bin Sa'id berkata; 'aku pernah di sisi Sa'id bin Al-Musayyib kemudian datanglah kepadanya seseorang dari Ghathafa kemudian menanyakannya tentang Al-Waral (biawak) beliau mengatakan:
"Tidak mengapa, jika kalian kalian memilikinya maka berikanlah kepada kami sebagai makanan".
Abdur Rozzaq berkata: "Al-Waral(biawak) serupa dengan Dhobb".
[dinukil dari At-Tamhid Lima fi Muwaththo' Minal Ma'ani wal Asanid oleh Ibnu 'Abdil Barr An-Numari]
 
·      ( الضب ) حيوان بري يشبه الورل ( لست آكله ) لكوني أعافه وليس كل حلال تطيب النفس به ( ولا أحرمه ) فيحل أكله إجماعاً ولا يكره عند الثلاثة وكرهه الحنفية
·        

Adh-Dhobb adalah hewan darat yang serupa dengan Al-Waral (biawak), -'aku tidak memakannya'- karena aku merasa jijik darinya, dan tidak semua yang halal itu disukai oleh jiwa, -'tidak pula aku mengharamkannya'-, maka hukum memakannya adalah halal secara ijma' dan tidak pula dibenci oleh yang tiga (mazhab yang tiga) kecuali pengikut Abu Hanifah membencinya".
[dinukil dari At-Taisir Bi Syarhil Jami' Ash-Shoghir oleh Imam Al-Munawi juz 2 hal. 219]

pernah ditanyakan tentang hukum memakan daging Al-Waral (biawak) halal atau haram? Maka dijawab (kami ambil kesimpulan akhirnya-pent) dengan teks sebagai berikut:
 
وقد عده صاحب منار السبيل من الحشرات المحرمة الأكل فالحاصل أنه أباحه كثير من أهل العلم وأن الإمام أحمد توقف فيه وصرح بعض متأخرى الحنابلة والشافعية بتحريمه . والله أعلم

"Sungguh telah dimasukkan oleh pengarang ‎Manar as-Sabil bahwa dia (al-waral/biawak)  termasuk hewan serangga yang diharamkan. Kesimpulannya bahwa al-waral telah dihalalkan oleh banyak para Ulama' dan adapun Imam Ahmad tidak menanggapi. Adapun para pengikut belakangan dari Mazhab Hanbali dan Syafi'i menyatakan tentang keharamannya. Wallohu A'lam."
Kesimpulan & Faedah:
1.      Halal hukumnya memakan daging Dhobb berdasarkan dalil-dalil di atas.
2.      Bahwa kata dhobb dalam bahasa arab tidak bisa kita artikan biawak dalam bahasa Indonesia, karena keduanya adalah hewan yang saling berbeda. Adapun dalam menerjemahkan kata Dhobb adalah binatang yang menyerupai biawak.
3.      Bahwasanya hal ini pernah saya tanyakan kepada Syaikh Fahd bin Abdur Rahman Asy-Syuwayyib ketiga beliau datang ke Lombok Timur yang saya tanyakan pada hari selasa tanggal 20 desember 2011 – 25 muharram 1433 H.
Ketika saya (Abu Abdillah Riza Firmansyah) tanyakan tentang apakah kebolehan makan daging dhobb itu umum, dan apakah dhobb yang ada di dunia sekarang ini juga sama?‎
Beliau menjawab (ringkas-pent) ya sama.
Akan tetapi ketika syaikh dijelaskan lagi perbedaan dhobb dengan biawakIndonesia beliau mengecualikan hukumnya apabila dia itu memakan hewan seperti ayam (seolah-olah beliau merasa jijik darinya).
4. Kesimpulannya bahwa al-waral telahdihalalkan oleh banyak para Ulama' dan adapun Imam Ahmad mengatakan, ' Aku tidak tahu, Segala sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah'. Adapun para pengikut belakangan dari Mazhab Hanbali dan Syafi'i menyatakan tentang keharamannya. Wallohu A'lam.

5.      Ada satu spesies jenis dhobb yang saya buka di situs berbahasa arab cecara zahir ditampilkan bermacam-macam dhobb; mulai dari dhobb Arab, Sudan, Maroko, Mali, Brazil, Indonesia, dll. ‎‎
‎‎
- Dhabb berbeda dengan biawak. Sebenarnya kalau kita mau membuka kamus, kita akan dapati bahwa biawak dalam bahasa Arab disebut waral (الوَرَلُ), bukan dhabb (الضَّبّ)/ hewan mirip biawak.
- Dhabb merupakan hewan yang halal untuk dimakan meskipun ada sebagian ulama yang mengharamkannya, akan tetapi lebih kuat hujjah yang menghalalkan.
- Sedangkan biawak adalah hewan yang haram untuk dimakan dikarenakan: biawak merupakan hewan yang menjijikkan (khabits), biawak merupakan hewan buas, para ulama mutaqaddimin pun telah mengharamkan biawak, para ulama mutaakhirin dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah telah menegaskan tentang kejelasan haramnya biawak. 
Wallohu A'lam bishshowab

 

Hukum Makan Daging Tikus


Akhir-akhir ini, ada semacam trend yang cukup aneh dalam hal konsumsi makanan. Daging hewan yang beberapa waktu sebelumnya dianggap menjijikkan, kini malah dijajakan di warung pinggir jalan. Sajian semacam sate jamu atau rica-rica anjing, sate ular, tokek, kadal dan bahkan tikus dihidangkan sebagai menu utama. Harganya pun relatif lebih mahal dari pada daging ayam, bebek atau dara, dikarenakan memang daging hewan tersebut tidak mudah diperoleh.

Dalam merespon fenomena ini,masyarakat  dalam hal ini umat Islam, ada yang sekedar merasa jijik, ada yang memilih diam dan cuek, ada yang masih ragu, haramkah hewan tersebut? Dan yang paling memprihatinkan adalah yang penasaran lalu mencicipi dan akhirnya kesengsem.

Diakui, hukum hewan-hewan tersebut masih samar bagi sebagian besar umat Islam. Tidak sebagaimana daging babi, yang secara sharih (jelas) di terangkan dalam Al Qur’an. Sehingga manakala suatu makanan diindikasikan terkontaminasi babi, umat segera merespon dengan keras. Dalam hal ini, sensitivitas umat masih cukup tinggi. Meski hal diatas kita nilai masih menggembirakan, namun menjamurnya penjualan daging hewan-hewan diatas yang bisa jadi hukumnya tidak jauh berbeda dengan babi, perlu kita cermati dengan serius.

Disamping itu, terlepas apakah nantinya daging hewan tersebut makruh atau haram, kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang tidak hanya halal tapi juga thayyibah. Jadi meski hukumnya makruh sekalipun, tapi tidak thayyib dan bermanfaat bagi kita sebaiknya  kita tidak mengkonsumsinya.

Allah berfirman :

 يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168)

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. 5:88)

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. 16:114)

Rasulullah Sholallohu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :
“ Sesungguhnya Allah itu thayyib dan tidak menyukai kecuali yang thayyib.” (HR.   Bukhari                   )

Perintah ini tidak lain adalah demi kemaslahatan dan kesehatan umat , baik jasmani maupun rohani. Sehat jasmani karena makan yang thayyib mengandung gizi dan berbagai manfaat. Dan sebaliknya, makanan yang tidak thayyib (khabits) , meski barangkali ada manfaat namun banyak mengandung efek samping. Dan sehat secara rohani, karena disamping sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, memakan makanan yang thayib akan menjauhkan kita dari rasa was-was dan kesan jorok dalam hal makan. Dan yang paling utma adalah menghindarkan diri dari makanan yang haram, sebab makanan yangkhobits adalah haram.

Maka ada yang mesti kita jawab dari pertanyaan, apakah statsus hewan semacam tikus, ular, tokek, biawak, landak, cicak, kodok dan hewan sejenis? Juga hewan yang biasa dikonsumsi orang awam (baca: kampung) semisal laron, tawon, lebah, ulat dan lainnya? layak konsumsi dan thayyibkah daging hewan ini?. Hal ini perlu kita kaji lebih dalam. Jika ternyata hukumnya makruh, pun kita dianjurkan menjaga diri dari yang makruh, lalu bagaimana jika ternyata haram?
 Dalam makalah ini, tidak akan dibahas hukum hewan diatas satu persatu, namun pembahasan bersifat umum yaitu tentang hasyarat.

Hasyarat

Mengapa kita membahas hasyarat?  Sebab dalam terminologi arab, kata ini bersifat general (umum), mencakup sekian banyak hewan yang telah disinggung tadi. Jadi, manakala hukum hasyarat telah diketahui, otomatis status hukum hewan-hewan yang termasuk didalam kategori ‎hasyarat dapat diketahui pula.
  
Arti hasyarat dalam bahasa Indonesia adalah serangga, atau dalam istilah biologi dikenal sebagai hewan invertebrata. Yaitu hewan tak bertulang belakang, memiliki ciri ; badan terbagi menjadi beberapa segmen :  Kepala (head) dada (thorax) dan perut (abdomen). Ciri-ciri hewan dewasa memiliki tiga pasang kaki, dua antena dan sepasang sayap. Berkembang biak dengan larva yang mengalami methamorphosis. Makanannya antara lain kayu, daun, embun, nectar, darah dan terkadang sabun dan lainnya. ‎Definisi semisal terdapat dalam kamus Munjid fie Lughah.‎Contoh: Kumbang, lebah, kupu, belalang dan lain-lain.
          
Meski secara bahasa hasyarat bermakna serangga, namun dalam terminologi Arab hasyarat memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas. Dalam Lisanul Arab disebutkan, Hasyarat adalah hewan bumi, termasuk didalamnya jerboa, landak, biawak juga hewan melata yang kecil dan lainnya. Dikatakan pula hasyarat adalah binatang bumi yang tak memiliki nama.
            
Imam as Sanqity menjelaskan, termasuk hewan khobits (kotor) diantaranya hasyarat, seperti tikus, ular, kalajengking, tokek, kodok, tikus mondok, jengkrik, kumbang, kecoa, cacing dan lainnya.
          
Ibnu Ruslan mengatakan bahwa hasayarat itu seperti biawak, landak, jerboa dan lainnya.

Serangga atau hewan invertebrata sebagaimana dalam terminologi yang kita kenal juga termasuk hasyarat. Hewan bumi yang kecil-kecil dengan beragam bentuknya pun bisa dikategorikan hasyarat. Mungkin ada semacam kekaburan definisi dalam hal ini, namun secara umum hasyarat adalah hewan-hewan bumi baik yang melata seperti tokek, kadal, cicak, ular, kalajengking, iguana dan selainnya, maupun yang terbang (serangga terbang) seperti capung, kumbang, laron, semut terbang, dan sebagainya. Atau hewan lain semisal tikus, jerboa dan landak. Diantara hewan-hewan tersebut ada yang telah dijelaskan status halal-haramnya dalam hadits dengan keterangan para ulama dan ada yang tidak. Adapun yang tidak dijelaskan dalam hadits maka masuk dalam keumuman hukum hasyarat.

Hukum hasyarat.
Ada dua pendapat yang masyhur yaitu :
Imam as Sanqity berpendapat bahwa hasyarat termasukkhobaits (benda kotor) yang diharamkan. Beliau menyebutkan beberapa diantaranya : tikus, ular, kalajengking, hewan melata ; tokek, kadal atau kumbang, jengkerik, laba-laba,cacing, kecoa dan kodok. ‎Ini adalah pendapat beliau dalam menafsirkan ayat 157 surat al A’raf.

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa salah satu kaidah pengharaman suatu jenis hewan adalah istikhbats,  yaitu manakala suatu jenis hewan dianggap kotor (khobits) oleh bangsa Arab semisal semua jenis hasyarat, kodok, kepiting air tawar, kura-kura kecuali belalang dan biawak, maka hukumnya haram.

Hasyarat secara umum adalah khobits baik yang melata seperti tokek, ular dan cicak maupun yang terbang seperti capung, lalat ataupun semut terbang.
Jumhur Ulama’ sepakat akan keharaman hewan-hewan ini karena termasuk khobaits. Diantaranya adalah Imam Syafi’i. Abu Hanifah, Ahmad, Abu Syihab dan Urwah juga Abu Daud.

Tokek atau Cecak

Tokek atau cecak juga termasuk jenis hewan fawasiq, walaupun tidak disebutkan di dalam hadits-hadits di atas. Namun ada beberapa hadits lainnya yang menyebutkan bahwa hewan itu termasuk fawasiq, dan oleh karena itu hukumnya juga haram dimakan.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

Bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cecak atau tokek, dan beliau dinamakan fuwaisiq. (HR. Muslim)

Secara harfiyah makna fuwaisiq adalah binatang jahat yang kecil.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله مَنْ قَتَلَ وَزَغَةً فِيْ أَوَّلِ ضَرْبَةٍ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ وَمَنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّانِيَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الْأُوْلَى وَإِنْ قَتَلَهَا فِيْ الضَّرْبَةِ الثَّالِثَةِ فَلَهُ كَذَا وَكَذَا حَسَنَةٌ لِدُوْنِ الثَّانِيَةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan pertama maka dia akan mendapatkan pahala sekian dan sekian, dan barang siapa yang membunuh cecak atau tokek pada pukulan yang kedua maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian-dan sekian di bawah kebaikan yang pertama, dan barang siapa yang membunuhnya pada pukulan ketiga maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian dan sekian di bawak kebaikan yang kedua.” (HR. Muslim)

Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa cicak/tokek termasuk hewan kecil yang mengganggu.”

Al-Munawi mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk membunuh cicak/tokek karena hewan itu memiliki sifat yang jelek, yaitu konon dahulu hewan inilah yang meniup-niup api yang membakar Ibrahim sehingga menjadi besar.”

Cecak Atau Tokek?
Tokek dalam bahasa Arab disebut dengan kata Saamm Abrash. Nama ilmiahnya Gecko gekko. Binatang ini masih satu famili dengan cicak ( Arab : al-wazagh ), yaitu famili Geckonidae. Nama ilmiah cicak Cosymbotus platyurus. Sedangkan cecak dalam bahasa Arab disebut dengan sihliyah (سحلية).

Tiga dalil hadits di atas diterjemahkan dengan agak ragu, atas makna wazagh (وَزَغ), sehingga dituliskan menjadi cecak atau tokek. Sebagian kalangan menterjemahkannya sebagai cecak, namun sebagian lagi menterjemahkan sebagai tokek.

Lalu mana yang benar, apakah yang dimaksud itu cecak, tokek atau memang keduanya?

Pendapat Pertama : Cecak dan Tokek Sama Haramnya

Sebagian ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram. Imam Nawawi berkata, bahwa menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek ( saam abrash ), karena tokek adalah cicak besar.

Pengarang kitab Aunul Ma’bud menerangkan bahwa, “Cicak itu ialah binatang yang dapat disebut juga tokek.

Imam Syaukani berkata bahwa tokek adalah salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar.

Syihabuddin Asy-Syafii dalam kitabnya, At-Tibyan limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman, mengatakan bahwa berdasarkan penjelasan di atas, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram.

Pendapat Lainnya

Sementara sebagian pendapat mengatakan bahwa yang diharamkan itu tokek dan bukan cecak. Sebab makna wazagh lebih lebih tepat diartikan sebagai tokek dan bukan cecak. Bahasa Arabnya cecak adalah sihliyah (سحلية).

Hukum Memakan Tikus 

Para ulama sepakat untuk memasukkan tikus ke dalam hewan yang haram dimakan dengan dalil bahwa tikus termasuk hewan fawasiq. Rasulullah SAW menamakan beberapa hewan dengan sebutan fawasiq (فواسق), yang asalnya dari kata fisq. Al-Fisq secara bahasa berarti :
الْخُرُوجُ عَنِ الاِسْتِقَامَةِ

Keluar dari garis yang lurus
 
Maksudnya keluar dari garis yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Maka orang yang melakukan dosa besar disebut sebagai fasik. Hewan-hewan yang disebut sebagai fawasiq oleh Rasulullah SAW adalah merupakan bentuk meminjam istilah (isti'arah), karena hewan-hewan tersebut termasuk banyak memberikan masalah, madharat dan juga berbahaya.

Hewan-hewan yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai fawasiq inilah yang kita mendapatkan perintah dari beliau SAW untuk membunuhnya. Dan konsekuensinya adalah bahwa kita diharamkan untuk memakannya. Hal itu sebagaimana disebutkan dengan tegas di dalam hadits-hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسُ فَوَاسِق يُقْتَلْنَ فِي الْحِل وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأْبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : ular, burung gagak, tikus, anjing hitam dan burung buas. (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ قَالَ أَرْبَعٌ كُلُّهُنَّ فَاسَقٌ يُقْتَلْنَ فيِ الحَلِّ وَالحَرَمِ : الْحِدَأَةُ وَالْغُرَابُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ " قَالَ : فَقُلْتُ لِلْقَاسِمِ : أَفَرَأَيْتَ الْحَيَّةَ ؟ قَالَ : " تُقْتَلُ بِصُغْرٍ لَهَا

Dari Aisyah radhiyallahuanha, Rasulullah SAW bersabda," “Empat binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau tanah haram : burung buas, gagak, tikus dan anjing hitam.(HR. Muslim)

Mazhab Al-Hanafiyah tidak membedakan apakah tikus itu termasuk tikus liar yang merusak dan merugikan, ataukah tikus peliharaan. Keduanya masuk dalam hewan fawasiq yang harus dibunuh.

Demikian juga dengan pendapat Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari. Setelah menyebutkan berbagai macam jenis tikus, beliau mengatakan bahwa semuanya termasuk bagian dari hewan fawasiq yang harus dibunuh.

Tikus banyak disifati dengan kejelekan dalam banyak nash. Bahkan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tikus dalam klasifikasi binatang fasiq sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

خَمِّرُوا الْآنِيَةَ، وَأَجِيفُوا الْأَبْوَابَ، وَأَطْفِئُوا الْمَصَابِيحَ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ رُبَّمَا جَرَّتِ الْفَتِيلَةَ، فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ الْبَيْتِ

“Tutuplah bejana-bejana dan pintu-pintu kalian, serta matikanlah lampu-lampu kalian, karena tikus (al-fuwaisiqah) kadangkala akan menarik sumbu lampu sehingga mengakibatkan kebakaran yang menimpa para penghuni rumah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3316 & 6295, Muslim no. 2012, At-Tirmidziy no. 1812, dan yang lainnya].

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا

“Ada lima jenis binatang fasik yang boleh diboleh dibunuh di luar tanah haram maupun di tanah haram, yaitu : ular, burung gagak, tikus, anjing yang suka menggigit, dan burung elang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1829 & 3314, Muslim no. 1198, At-Tirmidziy no. 837, An-Nasaa’iy no. 2829, dan yang lainnya].

Dalam satu riwayat, tikus merupakan binatang yang diubah sebagaimana riwayat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فُقِدَتْ أُمَّةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا يُدْرَى مَا فَعَلَتْ وَإِنِّي لَا أُرَاهَا إِلَّا الْفَارَ إِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الْإِبِلِ لَمْ تَشْرَبْ، وَإِذَا وُضِعَ لَهَا أَلْبَانُ الشَّاءِ شَرِبَتْ فَحَدَّثْتُ كَعْبًا، فَقَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ؟، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لِي مِرَارًا، فَقُلْتُ: أَفَأَقْرَأُ التَّوْرَاةَ "

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata : “Satu umat dari Bani Israaiil telah hilang dan tidak diketahui apa yang telah dilakukan oleh mereka. Sesungguhnya aku tidak melihatnya kecuali mereka telah dijelmakan dalam bentuk tikus, yang apabila mereka disuguhi susu unta, mereka tidak meminumnya, dan bila diberi susu kambing, mereka meminumnya”. Kemudian aku ceritakan hal ini kepada Ka'ab, maka ia berkata : “Apakah engkau mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti itu?”. Aku jawab : “Ya”. Ia bertanya kepadaku berkali-kali hingga akhirnya aku katakan kepadanya : “Apakah perlu aku bacakan kitab Taurat ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.‎].

Tentang hukum makan dagingnya, berikut sebagian perkataan ulama madzhab:

Ad-Dasuuqiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:

وَاَلَّذِي فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ مِنْ التَّوْضِيحِ أَنَّ فِي الْفَأْرِ وَالْوَطْوَاطِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِالتَّحْرِيمِ هُوَ الْمَشْهُورُ وَنَقَلَهُ ، وَذُكِرَ عَنْ ابْنِ رُشْدٍ أَيْضًا أَنَّهُ اسْتَظْهَرَ التَّحْرِيمَ

“Yang terdapat dalam kitab Ath-Thaharah minat-Taudliih, tentang tikus dan wathwaath (sejenis kelelawar) ada tiga pendapat. Pendapat yang menyatakan keharaman adalah masyhur dan Penulis menukilnya. Dan disebutkan juga dari Ibnu Rusyd bahwasannya iaberhati-hati dalam pengharaman” [Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy, 6/333].

Ibnu Qudaamah Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:

وَلَنَا ، قَوْله تَعَالَى { : وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ } وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { خَمْسٌ فَوَاسِقُ ، يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ ؛ الْعَقْرَبُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْحِدَأَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ } .
وَفِي حَدِيثٍ : " الْحَيَّةُ " مَكَانَ : " الْفَأْرَةِ " .
وَلَوْ كَانَتْ مِنْ الصَّيْدِ الْمُبَاحِ ، لَمْ يُبَحْ قَتْلُهَا ، وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : { لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ } .
وَقَالَ : { وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدَ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا } .
وَلِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ ، فَحُرِّمَتْ ، كَالْوَزَغِ أَوْ مَأْمُورٌ بِقَتْلِهَا ......

“Dan bagi kami, dalilnya adalah firman Allahta’ala : ‘dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk’ (QS. Al-A’raaf : 157), dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ada lima binatang fasiq yang boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram, yaitu kalajengking, tikus, burung gagak, rajawali, dan anjing yang suka menggigit’. Dalam hadits yang lain disebutkan ‘ular’ sebagai pengganti ‘tikus’. Seandainya hewan tersebut termasuk hewan buruan yang diperbolehkan (untuk memakannya), tentu tidak akan diperbolehkan untuk membunuhnya karena Allah ta’alaberfirman : ‘Janganlah engkau membunuh hewan buruan ketika engkau dalam keadaan ihram’ (QS. Al-Maaidah : 95). ‘Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram’ (QS. Al-Maaidah : 96). Dikarenakan hewan tersebut merupakan hewan yang khabiits, maka diharamkan seperti halnya wazagh (sejenis tokek) atau binatang yang yang diperintahkan untuk membunuhnya…..” [Al-Mughniy, 11/65].

Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudaamah rahimahullah di atas, para ulama telah menjelaskan satu kaedah bahwa binantang yang disyari’atkan untuk membunuhnya haram untukdimakan.

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله.........

“Telah berkata shahabat-shahabat kami (ulama Syaafi’iyyah) : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

ما أمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام

“Semua hewan yang diperintahkan untuk membunuhnya, haram dimakan” [Al-Majmuu’, 9/22].

Pendalilan keharaman daging tikus dari sisi ini sangat kuat. Selain itu, beberapa ulama memasukkan tikus dalam jenis hewan yangkhabiits (kotor).

‘Alaauddiin As-Samarqandiy Al-Hanafiyrahimahullah berkata:

أما ما ليس له دم سائل - فكله حرام إلا الجراد، مثل الذباب، والزنبور وسائر هوام الارض وما يدب عليها وما يكون تحت الارض من الفأرة واليربوع والحيات والعقارب، لانها من جملة الخبائث

“Adapun hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, semuanya diharamkan - kecuali belalang - seperti misal lalat, kumbang, seluruh hewan berbisa di bumi, hewan melata, dan hewan yang ada di atas permukaan bumi dari jenis tikus, yarbuu’[3], ular, dan kalajengking; karena termasuk khabiits” [Tuhfatul-Fuqahaa’, 3/64].

Allah ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabiits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقال بعض العلماء: كل ما أحل الله تعالى، فهو طيب نافع في البدن والدين، وكل ما حرمه، فهو خبيث ضار في البدن والدين

“Sebagian ulama berkata : segala sesuatu yang dihalalkan Allah ta’ala, maka itu baik bagi badan dan agama; sedangkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka itu buruk dan membahayakan badan dan agama” [Tafsiir Ibni Katsiir, 3/488].

Kesimpulan : Tikus haram hukumnya untuk dimakan. Inilah pendapat jumhur ulama’.

Wallohu A'lam

 

Hukum Makan Daging Kelinci


Sebagian orang merasa tak tega menyantap daging kelinci, mamalia berbulu yang sering dijadikan peliharaan. Padahal, daging kelinci halal. Namun, ada pula yang menganggap daging kelinci haram dikonsumsi. Mana yang benar?
Meski tak sepopuler daging sapi atau ayam, daging kelinci juga dikonsumsi di Eropa, Tiongkok, Amerika, dan sebagian Timur Tengah. Rasanya disebut-sebut mirip daging ayam yang cocok dipadukan dengan bumbu apa saja.

Daging kelincipun lebih rendah lemak dibanding daging sapi, babi, dan ayam. Dagingnya juga disebut-sebut rendah kolesterol dan tinggi protein. Namun, kandungan asam lemak esensialnya tak begitu banyak.

Sebagian muslim menilai daging kelinci haram dikonsumsi. Alasannya, ‎ kelinci termasuk hewan yang telah mengalami maskh (perubahan dari satu bentuk menjadi bentuk lain). Hewan lainnya adalah monyet, babi, anjing, gajah, serigala, tikus, cicak, dan sebagainya.

Kelinci juga dianggap haram karena memiliki cakar seperti kucing dan hewan-hewan buas. Selain itu, kelinci diyakini memiliki darah mirip darah wanita (yang dikeluarkan saat menstruasi). Maka, dagingnya haram.

Kelinci adalah binatang dengan gigi serinya yang sudah amat kita kenal. Apakah karena giginya tersebut kelinci haram dimakan, atau bahkan halal? Tulisan sederhana berikut membuktikan akan halalnya kelinci. Semoga manfaat.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا وَنَحْنُ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ ، فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا ، فَأَخَذْتُهَا فَجِئْتُ بِهَا إِلَى أَبِى طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا ، فَبَعَثَ بِوَرِكَيْهَا – أَوْ قَالَ بِفَخِذَيْهَا – إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَبِلَهَا

“Kami pernah berusaha menangkap kelinci di lembah Marru Zhohran. Orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka kelelahan. Kemudian aku berhasil menangkapnya lalu aku berikan kepada Abu Tholhah. Diapun menyembelihnya kemudian daging paha diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan beliau menerimanya.” (HR. Bukhari 5535, Muslim 1953).

Hadits Tirmidzi 1711

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسٍ قَال سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلْفَهَا فَأَدْرَكْتُهَا فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا بِمَرْوَةٍ فَبَعَثَ مَعِي بِفَخِذِهَا أَوْ بِوَرِكِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَهُ قَالَ قُلْتُ أَكَلَهُ قَالَ قَبِلَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَعَمَّارٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ صَفْوَانَ وَيُقَالُ مُحَمَّدُ بْنُ صَيْفِيٍّ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِأَكْلِ الْأَرْنَبِ بَأْسًا وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَكْلَ الْأَرْنَبِ وَقَالُوا إِنَّهَا تَدْمَى

Kami menemukan kelinci di Marru Azh Zhahran, maka para sahabat Nabi berjalan di belakangnya. Kemudian aku pun melihatnya & menangkapnya lalu membawanya ke hadapan Abu Thalhah, maka Abu Thalhah menyembelihnya di Marwa. Kemudian ia mengutusku untuk mengirimkan pahanya atau pangkal pahanya kepada Nabi , maka beliau pun memakannya. Abu Isa berkata; Di dalam bab ini tercantum; Dari Jabir & Muhammad bin Shafwan & biasanya ia dipanggil Muhammad bin Shaifi, & ini adl hadits Hasan Shahih. Dan menurut kebanyakan Ahlul Ilmi, memakan daging kelinci tidaklah mengapa, namun sebagian dari mereka membencinya & mereka berkata, Sesungguhnya kelinci itu mengeluarkan darah. [HR. Tirmidzi No.1711].

Kemudian dalam hadis lain dari Muhammad bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَصَبْتُ أَرْنَبَيْنِ فَلَمْ أَجِدْ مَا أُذَكِّيهِمَا بِهِ فَذَكَّيْتُهُمَا بِمَرْوَةٍ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَأَمَرَنِي بِأَكْلِهِمَا

Saya menangkap 2 kelinci, namun saya tidak mendapatkan alat untuk menyembelihnya, hingga saya bisa menyembelihnya di Marwah. Kemudian aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menyuruhku untuk memakannya. (HR. Nasai 4313, Abu Daud 2822, Ibnu Majah 3175, dan dishahihkan al-Albani).

Tiga hadis di atas memberikan kesimpulan bahwa kelinci hukumnya halal. Dan ini merupakan pendapat Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Said, Atha, Ibnul Musayyab, Al-Laits, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Bahkan Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا نعلم أحدا قائلا بتحريمها، إلا شيئا روي عن عمرو بن العاص

“Kami tidak mengetahui ada seorangpun ulama yang berpendapat haramnya kelinci kecuali satu riwayat dari Amr bin Al-Ash.” (Al-Mughni, 9/412).

Diantara ulama melarang kelinci, alasannya bukan masalah halal-haram, tapi terkait masalah kesehatan. Setelah menyebutkan hadis Anas bin Malik tentang kelinci, Turmudzi mengatakan,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: لَا يَرَوْنَ بِأَكْلِ الأَرْنَبِ بَأْسًا، وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ أَكْلَ الأَرْنَبِ، وَقَالُوا: إِنَّهَا تُدْمِي

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka berpendapat bahwa makan kelinci tidak masalah. Namun ada sebagian ulama yang memakruhkan makan kelinci, mereka beralasan, Kelinci membuat mudah mimisan. (Jami’ at-Turmudzi, 4/251).

Hal ini yang menunjukkan akan halalnya kelinci. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama jika seseorang memperhatikan perkataan-perkataan mereka. Jadi bisa dikatakan halalnya kelinci adalah ijma’ (kata sepakat ulama).

Sebagian kalangan ada yang meragukan akan halalnya kelinci dan mereka tidak punya landasan dalil sama sekali. Namun sebagian besar ulama menyatakan makan kelinci itu mubah (boleh). Sebagian golongan yang terkenal bid’ahnya sebenarnya amat serupa dengan Yahudi karena Yahudi juga mengharamkan memakan kelinci. Dari sisi ini, golongan tersebut memiliki sisi keserupaan dengan Yahudi.

Ada juga yang beralasan bahwa kelinci itu terlarang (makruh) dimakan karena kelinci itu memiliki siklus haidh. Namun dalil bisa terbantahkan dengan kita katakan bahwa seandainya memang benar, maka itu tidak menunjukkan akan terlarangnya mengkonsumsi kelinci. Dalil shahih dan tegas di atas sudah jelas menunjukkan halalnya.

Perlu diketahui bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Sa’id Al Khudri, ‘Atho, Ibnul Musayib, Al Laits, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, mereka-mereka yang sudah terkenal keilmuannya (di antara mereka adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) memberi keringanan akan bolehnya memakan kelinci.

Perlu diketahui bahwa kelinci itu tidak ‎memiliki taring yang digunakan untuk menerkam mangsanya sehingga membuatnya haram sebagaimana harimau yang punya taring dan memburu mangsa dengan taring tersebut.

Dari sini tidak perlu khawatir lagi akan halalnya kelinci selama penyembilahannya benar dan memenuhi syarat syarat.

Wallohu A'lam

 

Hukum Makan Daging Kodok


Swike atau Swikee adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha kodok. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, atau ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah "swikee" berasal dari dialek Hokkian, (Tionghoa) sui (air) dan ke(ayam), yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air". Makanan ini biasanya dikaitkan dengan kota Purwodadi, Jawa Tengah. Bahan utama hidangan ini adalah kaki kodok (umumnya dari "kodok hijau" atau "kodok ijo" (Jw.)) dengan bumbu bawang putih, jahe, dan tauco, garam dan lada. Dihidangkan dengan taburan bawang putih goreng dan daun seledri di atasnya, swike biasanya disajikan dengan nasi putih.

PERMASALAHAN DAN PANDANGAN DARI BERBAGAI MAZHAB

Terdapat dua masalah utama mengenai konsumsi kodok di Indonesia; yaitu masalah agama dan lingkungan. Dalam aturan panganIslam, mayoritas mahzab dalam hukum syariahmenganggap daging kodok bersifat haram (non-halal). Masuknya daging kodok dalam kategori haram didasari dua pendapat; makanan yang boleh dikonsumsi tidak boleh menjijikkan, dan adanya larangan untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut, lebah, dan burung laut bagi umat Muslim. 

Sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i,Hanafi, dan Hambali secara jelas melarang konsumsi daging kodok, akan tetapi mazhab Maliki ‎memperbolehkan umat Islam untuk mengkonsumsi kodok tetapi hanya untuk jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun dan menjijikkan..

Pendapat yang kuat, katak terlarang untuk dimakan. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdurrahman bin Utsman radhiallallahu ‘anhu,

ذكر طبيب عند رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم دواء وذكر الضفدع يجعل فيه فنهى رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم عن قتل الضفدع

Ada seorang dokter yang menjelaskan tentang suatu penyakit di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dokter itu menjelaskan bahwa katak bisa dijadikan obat untuk penyakit itu. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh katak. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)

Dalam riwayat yang lain, dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن خمسة: “النملة، والنحلة، والضفدع والصرد والهدهد

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh 5 hal: Semut, lebah, katak, burung suradi, dan burung hudhud. (HR. Baihaqi)

Sebagian ulama menetapkan kaidah: “Setiap binatang yang dilarang untuk dibunuh maka haram untuk dikonsumsi.” Karena tidak ada cara yang sesuai syariat untuk memakan binatang kecuali dengan menyembelihnya. Sementara kita tidak mungkin menyembelih yang dilarang untuk dibunuh.

Ketika menjelaskan hadis dari Abdurrahman bin Utsman, As-Syaukani menyatakan,

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ أَكْلِهَا بَعْدَ تَسْلِيمٍ، أَنَّ النَّهْيَ عَنْ الْقَتْلِ يَسْتَلْزِمُ تَحْرِيمَ الْأَكْلِ

Hadis ini dalil haramnya memakan katak, setelah kita menerima kaidah, bahwa larang membunuh berkonsekuensi haram untuk dimakan. (NailulAuthar, 8:143)

Setelah kita menyimpulkan katak hukumnya haram, konsekuensi selanjutnya adalah haram untuk diperjual-belikan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis:

إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan hasil penjualan barang itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Allahu a’lam

 

Hukum Makan Daging Kuda


Daging kuda maksudnya ialah daging yang dihasilkan dari kuda yang disembelih. Daging kuda rasanya agak manis, empuk, rendah lemak, dan berprotein tinggi. Bentuk dari daging kuda mirip dengan daging sapi, daging babi juga daging kerbau loh namun daging kuda berwarna merah dan bebas lemak. Tidak adanya lemak pada daging kuda dibuktikan dengan tidak adanya asap saat daging dibakar. nah daging kuda ini dianggap tabu dalam banyak kebudayaan. 

Memang benar bahwa di beberapa tempat di negeri kita ada hidangan daging kuda. Misalnya di Makassar ada sop kuda. Namun sebagian orang masih merasa risih makan daging kuda, karena umumnya kuda bukan untuk dimakan melainkan untuk ditunggangi menjadi alat transportasi.

Lalu bagaimana hukum makan daging kuda, halal atau haram? 

Dalam hal ini kalau kita telusuri maraji; dan sumber rujukan fiqih dari kitab-kitab para ulama di masa klasik, kita akan menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian dari mereka menghalalkan makan daging kuda, namun sebagian lagi malah mengharamkan. Dan di tengah-tengah ada yang tidak sampai mengharamkan, tetapi juga tidak 100% membolehkan, jadi hukumnya makruh.

1. Halal

Jumhur ulama dari madzhab Asy-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan sebuah qaul yang rajih (kuat) dari madzhab Al-Malikyah bersepakat bahwa kuda itu halal dimakan dagingnya. Sehingga boleh disembelih juga, baik kuda itu kuda Arab ('irab) atau pun kuda yang bukan Arab (baradzin).

Dalilnya adalah dua hadits nabi berikut ini :

جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَال : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَْهْلِيَّةِ ، وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْل

Dari Jabir radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW pada perang Khaibar melarang makan daging keledai peliharaan dan mengizinkan untuk makan daging kuda. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)

أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ : نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ وَنَحْنُ بِالْمَدِينَةِ

Dari Asma' bin Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata,"Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah SAW, dan kami makan sedangkan kami berada di Madinah. (HR. Al-Buhkari dan Muslim)

2. Makruh

Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah dalam qaul yang rajih (yang lebih kuat) mengatakan bahwa kuda itu halal, namun dengan karahah tanzih. (kurang disukai). Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Auza'i dan Abu Ubaid.

Namun begitu mereka tidak menganggap bahwa kuda itu najis, demikian juga dengan liurnya, mereka tetap mengatakan kuda itu suci, hanya saja makruh kalau disembelih dan dimakan.

Dalil pendapat ini adalah

1. Di surat An-Nahl ayat 5 sampai 7, Allah menyebutkan tentang Bahimatul An’am (onta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan. Kemudian di ayat ke-8 Allah menyebutkan jenis hewan yang lain:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui.” (QS. An-Nahl: 8).

Di ayat ke-8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka untuk dimakan. Padahal Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang disebutkan di ayat sebelumnya.

Sanggahan:

Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya. Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.

2. Hadis dari Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن لحوم الخيل والبغال والحمير وكل ذي ناب من السباع

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging kuda, bighal, khimar, dan semua hewan buas yang bertaring.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, dan Ibn Majah)

Sanggahan:

Hadis ini dinilai dhaif oleh banyak ulama. An-Nawawi dalam al-Majmu’ 9:4 mengatakan,

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ مَنْسُوخ

Ulama ahli hadis dan yang lainnya sepakat bahwa hadis ini adalah hadis dhaif. Sebagian ada yang mengatakan: Hadis ini mansukh.

Kemudian an-Nawawi menyebutkan beberapa penilaian ulama tentang hadis ini:

a. Al-Hafidz Musa bin Harus al-Hammal mengatakan:

هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ

“Ini hadis dhaif”

b. Imam Bukhari mengatakan:

هذا الحديث فيه نظر

“Hadis ini sangat dhaif”

c. Al-Baihaqi mengatakan:

هذا إسناد مضطرب , ومع اضطرابه هو مخالف لأحاديث الثقات

“Hadis ini sanadnya goncang. Disamping itu, bertentangan dengan hadis shahih (yang membolehkan makan kuda).”

d. Abu Daud perawi hadis mengatakan:

هذا الحديث منسوخ

“Hadis ini mansukh”

3. Haram

Dan sebagian yang lain dari ulama madzhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa kuda itu haram dimakan dagingnya. Pendapat yang mengharamkan kuda ini bagian dari mazhab Abu Hanifah, yaitu lewat jalur periwayatan Al-Hasan bin Ziyad. Selain juga ada pendapat kedua dari mazhab Al-Malikyah yang minoritas yang mendukung fatwa ini.

Mereka yang memakruhkan dan mengharamkan daging kuda, berasalan bukan karena daging kuda itu najis, melainkan karena dua hal :

a. Alat Perang
Alasan pertama terkait dengan fungsi fungsi kuda di masa itu lebih utama bukan untuk dimakan, melainkan untuk alat berjihad.

Logikanya, kalau kuda disembelih dan dimakan dagingnya, maka hal itu dianggap mengurangi kekuatan umat Islam dalam berperang di jalan Allah.

Sebab secara khusus Allah SWT memang memerintahkan untuk mempersiapkan kuda untuk peperangan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْل تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan persiapkanlah yang kamu mampu dari kekuatan dan kuda-kuda yang tertambat, dengan itu kamu dapat menakuti musuh Allah dan musuhmu. (QS. Al-Anfal : 60)

b. Alat Penganguktan dan Perhiasan
Selain untuk perang, di dalam Al-Quran Allah juga mengkhususkan kuda itu untuk kendaraan atau tunggangan serta perhiasan, sehingga kalau disembelih dan dimakan dagingnya, seperti melanggar ketentuan Allah SWT.

وَالْخَيْل وَالْبِغَال وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً

Dan kuda, bagal serta keledai, agar kamu menungganginya serta menjadi perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (QS. An-Nahl : 8)

Pengkhususan kuda untuk dijadikan tunggangan serta perhiasan dalam pandangan mazhab ini merupakan isyarat yang melarang kuda untuk disembelih dan dimakan dagingnya. Seandainya boleh dimakan, seharusnya disebutkan dalam ayat sebagaimana hewan ternak lain.

وَالأَْنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa'at, dan sebahagiannya kamu makan.(QS. An-Nahl : 5)

Dengan demikian tetaplah kehalalan daging kuda. So apakah teman-teman masih mergukan kehalalannya? Selain itu daging kuda juga banyak khasiatnya untuk kesehatan manusia. Dengan cara pemotongan, penyimpanan, hingga cara masak yang benar dapat mempengaruhi rasa dan khasiat daging kuda. Jadi cara pemotongan secara higienis, penyayatan daging mengikuti seratnya, dan memasak dengan api sedang agar membuat khasiat dan rasa daging kuda maksimal loh.

Dalam suatu website diceritakan juga bahwa khasiat daging kuda sendiri ternyata sangat banyak untuk tubuh manusia, Antara lain menambah stamina, keperkasaan pria, asma, diabetes, menurunkan kolesterol, dan menurunkan darah tinggi. Jadi jangan ragu lagi ya 

Wallahu a'lam bishshowab 

Hukum Keledai piaraan (jinak)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk dimakan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتْ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia,sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)

Sedangkan keledai liar itu halal untuk dimakan dan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pun memakannya, sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal ini. Abu Qotadah menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ حَاجًّا ، فَخَرَجُوا مَعَهُ فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ ، فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ حَتَّى نَلْتَقِىَ . فَأَخَذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ ، فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلاَّ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا حُمُرَ وَحْشٍ ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا ، وَقَالُوا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِ الأَتَانِ ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ، فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِهَا .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka (para sahabat) berangkat untuk menunaikan haji. Lalu sebagian rombongan ada yang berpisah, di antaranya adalah Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, kepada rombongan ini: “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai hingga kita bertemu”. Maka mereka mengambil jalan di tepian pantai. Ketika mereka hendak berangkat, semua anggota rambongan itu berihram kecuali Abu Qatadah. Ketika mereka sedang berjalan, mereka melihat ada seeokor keledai liar. Maka Abu Qatadah menghampiri keledai itu lalu menyembelihnya yang sebagian dagingnya dibawa ke hadapan kami. Maka mereka berhenti lalu memakan daging keledai tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Maka kami bawa sisa daging tersebut. Ketika mereka berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami sedang berihram sedangkan Abu Qatadah tidak. Lalu kami melihat ada keledai-keledai liarkemudian Abu Qatadah menangkapnya lalu menyembelihnya kemudian sebagian dagingnya dibawa kepada kami, lalu kami berhenti dan memakan dari daging tersebut kemudian diantara kami ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Lalu kami bawa sisa dagingnya itu kemari”. Beliau bertanya: “Apakah ada seseorang diantara kalian yang sedang berihram menyuruh Abu Qatadah untuk memburunya atau memberi isyarat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka Beliau bersabda: “Makanlah sisa daging yang ada itu”.” (HR. Bukhari no. 1824 dan Muslim no. 1196

Wallohu A'lam

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...