Selasa, 24 November 2020

Sejarah Kerajaan Selimbau


Kerajaan Selimbau adalah sebuah kerajaan yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kerajaan Selimbau merupakan kerajaan hindu tertua di Kalimantan Barat dan mempunyai susunan pemerintahan yang lengkap. Kerajaan Selimbau dahulu bernama ‎Kerajaan Pelembang, didirikan oleh sri paduka maharaja Bindu Mahkota terletak sekitar 2 km dari kota selimbau.

Asal Mula Kerajaan Selimbau‎
          
Berdasarkan dokumen yag disimpan Donald P. Tick dari Vlaardingen Nederland di Belanda bahwa cikal bakal Kerajaan Selimbau sekarang adalah sebuah kerajaan kecil yang bernama Palembang, dan terletak 2 Km dari Selimbau sekarang.
          
Kerajaan Palembang didirikan oleh Abang Bhindu yang bergelar Guntur Baju Bindu Kulit Lambai Lalu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama Dayang Haji Melayu bergelar Putri Sri Batara. Perkawinan mereka menurunkan seorang putra yang bernama Abang Aji Lidi. Raja Abang Aji Lidi menurunkan Raja-raja negeri Palembang. Selanjutnya kerajaan dipindahkan ke Sungai Terus oleh Pangeran Suta Muhammad Jalaludin dan menjadi Kerajaan Islam. Kerajaan Islam ini diberi nama Kerajaan Selimbau atau Selimbau yang berasal dari bahasa Arab Salim berarti Selamat dan kata Nabau yang berarti Ular Naga Besar, dan juga berasal dari kata Penimbau yang berarti tempat pembuatan kapal. Kerajaan Selimbau mengalami zaman keemasan setelah berdiri di Muara Sungai Terus. Meskipun Kerajaan Selimbau selalu mendapat rongrongan dari sebelah Utara Serawak dan sebelah barat Sintang namun Kerajaan ini tetap bertahan dan berdiri hingga tahun 1917M. Raja terakhir Magkat dan hilanglah Sejarah Raja-raja Selimbau berjumlah 24 Turunan yang dimulai dari Sejarah Raja-raja di Negeri Palembang atau kini disebut Temawang Ala’. Sampai hari ini Selimbau masih produktif membuat kapal-kapal kayu yang disebut kapal bandung dan kapal bandung ini masih tetap berlayar menyusuri Sungai Kapuas hingga sampai Pontianak.

Sejarah Singkat Kerajaan Selimbau
          
Legenda Perahu Tingkung Tekakak merupakan legenda yang terjadi di Zaman Kerajaan Selimbau Hindu yang berada pada masa pengaruh Kerajaan Majapahit. Adapun Agama Islam masuk ke Selimbau Hindu diperkirakan terjadi pada Abad ke-15 Masehi, akan tetapi belum bisa menembus pengaruh Hindu yang sudah di anut oleh masyarakat selama seratus tahun, baru ada masa pemerintahan Pangeran Kunjan Jaya Mangkunegara (Raja Selimbau). Perlahan tapi pasti Agama Islam mulai di anut oleh segala lapisan masyarakat dan kasta-kasta yang membedakan manusia yang terjadi dalam Agama Hindu otomatis hilang bersama leburnya Agama Hindu. Rakyat merasa dihargai.
          
Pada masa Pemerintahan Pangeran Suta Jalaludin, sebuah kelompok kecil di bawah pimpinan Abang Kawan di kirimkan ke Mempawah untuk melakukan Studi Banding, Mempawah pada masa itu di kuasai oleh Opu Daeng Manambon. Selanjutnya ekspedisi kedua terjadi pada masa Raden Sutanegara belajar Ilmu Tauhid kepada Syeh Habib Al-Husin Al-Qadri. Konon ceritanya bahwa Syeh Habib Al-Husin Al-Qadri masih keturunan Nabi Muhammad SAW banyak kerajaan lain yang berguru pada beliau. Dari sinilah permulaan hubungan kekeluargaan antara kerajaan Selimbau, Mempawah, dan Pontianak, Raden Sutanegara di beri Baju Jubah Masturi berwarna Hijau Daun Delima oleh Habib Al-Husin Al-Qadri.
          
Berkat bantuan Kerajaan Mempawah dan Pontianak, Kerajaan Selimbau dengan pesatnya tumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan disegani. Pada tahun 1775 didirikanlah sebuah Masjid yang cukup besar di Selimbau untuk mengantikan Masjid pertama yang sangat tua dan sederhana sekali, Arsitektur Masjid ini membentuk Limas. Kemudian pada tanggal 15 November 1823 Belanda datang ke Selimbau dan mengakui kedaulatan Kerajaan Selimbau sebagai penguasa Tanah Negeri Kapuas Hulu dari Negeri Silat. Peraturan Pemerintah di atur dan disepakati bersama-sama di dalam rapat Mentri-mentri Kerajaan.
          
Setelah mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda maka Kerajaan Selimbau memperluas kerajaan dengan mengangkat Abang Berita yang kemudian diberi gelar Raden Suta untuk mendirikan negeri baru yang bernama Nanga Bunut. Atas restu dari Pangeran Suma yang menjadi Raja Selimbau pada masa itu maka berdirilah Negeri Nanga Bunut. Beberapa waktu kemudian tanggal 15 Desember 1947 Pangeran Muhammad Abbas Suryanegara mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda untuk memimpin Tanah Kapuas Hulu, dari Hulu Negeri Silat. Pada masa inilah terjadi peperangan yang paling dahsyat di Kapuas Hulu. Kerajaan Sintang melakukan penyerangan ke Kerajaan Selimbau tahun 1838 untuk menaklukan Selimbau, dan Selimbau melakukan penyerangan balik dengan bantuan Suku Kayan, Taman, Punan, Bukat, Kantuk, Iban Embaloh, Pengaki, Mayan, Suhaid, Embau, Buntu, dan Undup. Akibat dari penyerangan itu Sintang kehilangan wilayahnya yang bernama Seberuang dan Kerajaan Silat yang bersekutu dengan Kerajaan Sintang juga ikut menanggung akibat perang tersebut.
          
Pada tanggal 27 Maret 1855, Belanda menandatangani kontrak kerja dengan Panembahan H. Muhammad Abbas Suryanegara dan mengakui kedaulatan Kerajaan Selimbau atas Tanah Kapuas Hulu.
          
Pada tahun 1862 didirikanlah Masjid Jami’ di Selimbau dengan bentuk meniru cakup Masjid Demak. Pada masa ini terjadi pengislaman oleh Baginda Panembahan H. Gusti Muhammad Abbas Suryanegara terhadap Suku Pengaki, Embau, Pengkadan, Bebuwak Limbang, Embaloh, Suruk (Tanjung Buaya), Sungai Boyan, dan Kalis serta Suhaid.‎
         
Pada tanggal 28 Februari 1882 Masehi. Panembahan Haji Muda Agung Pakunegara Selimbau mendapat pengakuan kedaulatan sebagai Raja Selimbau yang ke-23 dari Pemerintahan Belanda di Betawi. Pada masa inilah didirikan bangunan-bangunan yang indah di Selimbau seperti Istana Agung Nur Mahkota, Balai Sidang Pertemuan Bertingkat Dua, Paseban Agung Keputren, Pesanggarahan Balai Perangin di Mungguk Batu, panggung Bangsawan dan Kompleks Makam Kubah Bercungkup Tiga Buah. Pada masa ini hidup penyair terkenal yang bernama Maharaja Hatib Sri Kusuma yang menjabat sebagai Mentri Kerajaan Selimbau. Beliaulah yang banyak menyalin kitab-kitab dari Negeri Siak Indrapura dan beliau jugalah yang mengarang Syair-syair Emas Sisilah Raja-raja Negeri Selimbau 23 Keturunan. Di Zaman Pemerintahan Panemabahan Haji Muda Agung Pakunegara ini telah terjalin hubungan dengan Raja Serawak, Brunei, Siak Indrapura, Cirebon, Surakarta, dan Arab Saudi. Pada masa ini Emabu didirikan Kerajaan Baru yang bernama Kerajaan Jongkong dengan mengangkat Abang Sulaiman sebagai Raja di Jongkong atas restu Panembahan Selimbau.
Ketika baginda wafat, diangkatlah Pengeran Haji Muda Indra Sri Negara Muhammad Yunus sebagai Raja Pemangku, akan tetapi beberapa tahun kemudian beliau wafat, mati disambar Buaya di Paseban Agung  ketika sedang berwudhu, panjang buaya tersebut sekitar 12 meter dan merupakan Buaya Siluman suruhan orang.
   
Selanjutnya pemerintahan diganti oleh Panembahan H. Gusti Muhammad Usman dengan penobatan dari Pemerintah Belanda. Pada masa ini rakyat dikenai pajak yang tinggi dari kerajaan yang disebabkan tekanan dari Belanda. Beberapa kerajaan mengadakan pemberontakan seperti Bunut dan lain-lain. Pemerintahan tersebut berakhir dengan mangkatnya Sang Raja pada tahun 1925. Pada masa itu terjadi perpecahan didalam dan diluar Kerajaan Selimbau. Pada zaman Panembahan Usman terjadi peristiwa orang Warga Negara Mekah ke Kerajaan Selimbau untuk meminta perlindungan karena hendak dibunuh oleh Kaum Wahabi di Mekah. Pemegang Kunci Ka’bah ini bernama Habib Hamzah yang lari membawa Kunci Makam Nabi Muhammad SAW seberat 0,5 kg Emas , akhirnya Habib ini kawin di Selimbau dan wafat di Selimbau di makamkan di tepi Sungai Menyebut Selimbau.‎‎

Silsilah Para Raja Selimbau Darussalam 

Kerajaan Selimbau diperintah secara berganti ganti turun temurun selama 25 generasi. Dimulai dari Raja-Raja beragama Hindu hingga sampai masa pemerintahan Raja Islam. ‎Raja Hindu Pertama bernama Sri Paduka Maharaja Bindu Mahkota disebutkan sebagai manusia Raksasa bersenjata palu gada wesi kuning dan keris permata biru. B‎eliau mempunyai permaisuri bernama ‎Ratu Sri Batara yang selanjutnya menurunkan hingga 25 generasi Raja-Raja Kerajaan Selimbau.

Silsilah Pemimpin Kerajaan Selimbau, antara lain:‎

1 Raja Abang Bhindu Bergelar Guntur Baju Bindu Kilat Lambai Lalu 600 M
2 Raja Abang Lidi Bergelar Kyai Aji Lidi 600 – 650 M
3 Raja Abang Tedung I Bergelar Kyai Tedung 650 – 710 M
4 Raja Abang Jamal Megah Sari Bergelar Kyai Megat Sari 710 -780 M
5 Raja Abang Upak Bergelar Kyai Pati Agung Nata 780 – 850 M
6 Raja Abang Bujang Bergelar Kyai Natasari 850 – 920 M
7 Raja Abang Amal 920 – 980 M
8 Raja Abang Tela Bergelar Kyai Agung Jaya 980 – 1040 M
9 Raja Abang Para Bergelar Kyai Ira (Kyai Wira) 1040 – 1100 M
10 Raja Abang Gunung Bergelar Kyai Agung 1100 – 1150 M
11 Raja Abang Tedung II Bergelar Kyai Suryanata 1150 – 1200 M
12 Raja Abang Idin Bergelar Kyai Agung Seri 1200 – 1250 M
13 Raja Abang Tajak Bergelar Kyai Suradila Sri Pakunegara 1250 – 1280 M
14 Ratu Dayang Payung Bergelar Ratu Suryanegera 1280 – 1300 M
15 Raja Abang Kina Bergelar Kyai Agung Natanegara 1300 – 1380 M
16 Raja Abang Keladi Bergelar Kyai Agung Cakra Negara 1380 – 1435 M
17 Raja Abang Sasap Bergelar Kyai Agung Kusuma Negara 1435 – 1490 M
18 Raja Abang Tela II Bergelar Kyai Pati Setia Negara 1490 – 1590 M
19 Pangeran Kujan Bergelar Pangeran Jaya Mangkunegara 1590 – 1640 M
20 Pangeran Muhammad Jalaludin Bergelar Pangeran Suta Kusuma 1640 – 1680 M
21 Abang Muhammad Mahidin Bergelar Raden Suta Negara 1680 – 1730 M
22 Panembahan Haji Gusti Muhammad Abbas Suryanegara 1730 – 1800 M
23 Panembahan Haji Muda Agung Pakunegara Gusti Muhammad Saleh 1800 – 1840 M
24 Pangeran Haji Muda Indra Sri Negara 1840 – 1880 M
25 Panembahan Gusti Muhammad Usman 1880 – 1925 M
Wilayah Kekuasaan
Kerajaan Selimbau memulai perjanjian dengan Belanda pada tahun 1823 dengan wilayah jajahannya meliputi sebelah timur hulu kerajaan Silat hingga mencapai Hulu Kapuas. ‎Selanjutnya kerajaan memperluas ekspansi ke arah utara berbatasan dengan Serawak, Malaysia Timur. ‎Peperangan demi peperangan berlangsung hampir tiap tahun dalam mempertahankan kedaulatan wilayah kerajaan. ‎Pada tahun 1886 wilayah taklukan Kerajaan Selimbau mencapai 20,33% luas Kalimantan Barat.

Peninggalan-peninggalan Sejarah Kerajaan Selimbau

1) Istana Selimbau
          
Lokasi Istana Selimbau berada di tepian Sungai Terus yang bermuara ke Sungai Kapuas. Lebih kurang 200 meter dari muara sungai  di sebelah Barat Sungai Terus dapat kita temui Masjid Jami’ Istana Selimbau yang hingga kini masih berfungsi dan telah mengalami renofasi pada beberapa bagian fisik bangunannya. Di utara masjid adalah letak lokasi Istana Selimbau yang sekarang tinggal beberapa kolom tiang yang hanya tiang bendera yang masih berdiri tegak.

2) Masjid Jami’
          
Masjid ini didirikan pada 1862, di Selimbau yang meniru bentuk cakup Masjid Demak. Pada masa inilah terjadi pengislaman oleh Baginda Panembahan H. Gusti Muhammad Abbas Surya Negara terhadap Suku Pengaki, Embau, Pengkadan, Bebuwak Limbang, Embaloh, Suruk (Tanjung Buaya), Sungai Boyan, dan Kalis serta Suhaid.

3) Makam
          
Makam tua, dan makam Kyai Patih Jaya Negara, berada di Temawang.

4) Temawang
          
Sebuah tanjung yang terletak disebelah hulu Kota Selimbau sebelah kiri mudik Sungai Kapuas, kurang lebih dua jam menggunakan perahu terdapatlah suatu tempat Temawang, karena di tempat itu ada sebuah betang panjang yang hangus terbakar sampai ke puting tiang, ini terjadi karena peperangan antar suku karena mereka kalah dalam peperangan itu maka diberilah nama Temawah Alah.

5) Lentap Senandung
          
Terdapat di belakang Betang Panjang ini terbentang lahan persawahan yag cukup subur yang diberi  nama Lentap Senandung, hal ini membuktikan bahwa mereka bekerja sebagai petani di samping juga menangkap ikan.

6) Danau Selimbau   

Setelah mendapat pemukiman yang baru cukup lama maka ditemukanlah satu tempat yang cukup aman yaitu Danau Selimbau, danau ini terletak sebelah barat Kota Selimbau kurang lebih satu tanjung sebelah kanan milir dari kota Selmbau. Bertahun-tahun mereka berada di sini karena merasa situasi sudah cukup aman maka mereka mencoba membuat perahu dan mungkinlah ini yang diartikan Penimbau. Setelah perahu mereka dapat dipergunakan dengan baik maka mulailah mereka membuat pemukiman yag baru yang kelak kenal diantara Sungai Markadung dan Sungai Terus dan di apit oleh Sungai Kerinan Bandung. Tempat ini memang strategis terutama bagi lalu lintas. Disinilah mereka menetap dan membuat perkampungan baru yang kelak diberi nama Selimbau.‎

 

Sejarah Kerajaan Negara Daha dan Peran Pangeran Samudra


Kerajaan Negara Daha adalah sebuah Kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan sezaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini berada di Muhara Hulak atau dikenal sebagai kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama Kerajaan Negara Dipa yaitu Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).

Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Melayu pra-Islam yang pernah eksis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari dua kerajaan sebelumnya, yakni Kerajaan Nan Sarunai yang dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan dan Kerajaan Negara Dipa oleh orang-orang dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Negara Daha juga merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi Kesultanan Banjar yang bercorak Islam.

Pusat Kerajaan Negara Daha terletak di tepi sungai Negara dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibukota provinsi Kalimantan Selatan.

Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena kota itu dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.‎

Sejarah berdirinya Kerajaan

Riwayat berdirinya Kerajaan Negara Daha sangat bersinggungan dengan sejarah dua kerajaan lain yang menjadi cikal-bakal kemunculan kerajaan bercorak Hindu di Kalimantan Selatan. Dua kerajaan yang menjadi pendahulu Kerajaan Negara Daha tersebut adalah Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Nan Sarunai adalah suatu pemerintahan purba yang diperkirakan sudah eksis sejak zaman Sebelum Masehi. Bukti arkeologis yang ditemukan menyebutkan bahwa kerajaan ini mulai muncul antara tahun 242-226 Sebelum Masehi dan dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan.‎

Eksistensi Kerajaan Nan Sarunai bertahan cukup lama. Memasuki abad ke-14, benih-benih keruntuhan kerajaan ini mulai muncul. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur), berambisi untuk menguasainya. Pada sekitar tahun 1355 Masehi, Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan Majapahit waktu itu, memerintahkan panglimanya yang bernama Empu Jatmika untuk menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Akhirnya, Kerajaan Nan Sarunai menjadi bagian dari kekuasaan imperium Majapahit. Peristiwa ini dikenang oleh para seniman lokal dalam tutur wadian atau puisi ratapan yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Para seniman lokal mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa”. Sedangkan Fridolin Ukur (1977) menyebutnya sebagai “kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa”.

Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di seberang". Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di seberang” ini sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa.

Berbeda dengan Kerajaan Nan Sarunai yang eksis hingga ratusan tahun lamanya, Kerajaan Negara Dipa yang mulai berdiri pada tahun 1355 M itu hanya bertahan kurang dari satu abad saja. Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa berawal dari kepemimpinan Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya dan pada akhirnya digantikan oleh sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Negara Daha.

Sama halnya dengan Kerajaan Nan Sarunai dan Kerajaan Negara Dipa, para sejarawan dan peneliti menggunakan Hikayat Banjar sebagai sumber utama dalam upaya melacak riwayat Kerajaan Negara Daha, yaitu dari cerita tutur yang termaktub dalam hikayat ini. Sejarah Indonesia pada umumnya dalam menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu pada historiografi tradisional, seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme, dan antroposentrisme. Hikayat Banjar ditulis sepanjang 4.787 baris atau 120 halaman. Informasi yang diperoleh dari Hikayat Banjar ditandai oleh sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada unsur waktu dalam urutan ceritanya‎. Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), penulisan Hikayat Banjar terbagi menjadi dua versi. Pertama adalah versi yang diubah dan disusun pada masa Kesultanan Banjar yang telah memeluk Islam, sedangkan versi kedua adalah versi dari Kerajaan Negara Dipa (dan Kerajaan Negara Daha) yang memeluk agama Hindu.

Hikayat Banjar meriwayatkan, beralihnya Kerajaan Negara Dipa menjadi Kerajaan Negara Daha terjadi pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang atau Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan yang berkuasa sejak tahun 1448 M. Terdapat peristiwa yang mewarnai pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pada masa sebelum dan hingga Raden Sekar Sungsang dinobatkan menjadi raja. Raja terakhir Kerajaan Negara Dipa ini telah menikahi ibunya sendiri, yaitu Putri (Ratu) Kalungsu. Ratu Kalungsu adalah pemimpin Kerajaan Negara Dipa sebelum era pemerintahan Raden Sekar Sungsang, yakni pada periode 1436-1448 M.

Kisah perkawinan ibu dan anak itu diceritakan dalam Hikayat Banjar. Dikisahkan, Putri Kalungsu melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Sekar Sungsang. Pada suatu hari, ketika sang pangeran berusia enam tahun, Putri Kalungsu sedang membuat kue (dalam Hikayat Banjar disebutkan dengan nama juadah) dan Raden Sekar Sungsang sesekali mendekati ibundanya untuk meminta makan. Putri Kalungsu meminta anaknya pergi sejenak sembari menunggu matangnya juadah. Namun, rupanya Raden Sekar Sungsang tidak dapat lagi menahan seleranya, juadah yang belum matang itu dimakannya. Putri Kalungsu menjadi marah dan kemudian memukul kepala Raden Sekar Sungsang dengan sendok. Akibat kemurkaan sang ibu, Raden Sekar Sungsang melarikan diri dengan kepala yang masih bercucuran darah menuju pelabuhan. Seorang saudagar dari Jawa bernama Juragan Balaba melihat Raden Sekar Sungsang yang sedang kalut kemudian mengajaknya untuk ikut berlayar ke Jawa. Juragan Balaba merasa anak muda yang dilihatnya itu bukan anak sembarangan karena dari tubuhnya mengeluarkan cahaya terang.‎

Sementara itu di istana, Putri Kalungsu memerintahkan pencarian Raden Sekar Sungsang ke seluruh pelosok negeri. Akhirnya diperoleh kabar bahwa tentang sebuah kapal yang berlayar dengan membawa anak kecil, namun belum dapat dipastikan apakah anak yang dimaksud adalah Raden Sekar Sungsang atau bukan. Mangkubumi (patih/perdana menteri) Kerajaan Negara Dipa, Lambung Mangkurat, kemudian mengirim empat kapal untuk mengejar kapal itu. Empat kapal milik Kerajaan Negara Dipa itu akhirnya tiba di seberang lautan, tepatnya di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Surabaya (Jawa Timur). Akan tetapi, meskipun Lambung Mangkurat telah mengirim sejumlah penyidik untuk mencari tahu keberadaan Raden Sekar Sungsang, namun keberadaan sang pangeran masih belum dapat dilacak juga.

Sebenarnya Raden Sungsang ada Surabaya. Ia diangkat anak oleh Juragan Balaba dan memakai nama Ki Mas Lelana (Kiai Mas Lalana). Setelah ayah angkatnya meninggal dunia, Ki Mas Lelana tetap tinggal di Surabaya bersama ibu angkatnya. Pada suatu hari, Ki Mas Lelana mengungkapkan keinginannya ingin pergi ke Kerajaan Negara Dipa dengan menumpang kapal Juragan Dampu Awang, teman Juragan Balaba. Pada awalnya, ibu angkat Ki Mas Lelana keberatan. Akan tetapi, karena melihat ketetapan hati anak angkatnya, maka kemudian janda Juragan Balaba itu mengizinkan Ki Mas Lelana untuk pergi ke Kerajaan Negara Dipa bersama Juragan Dampu Awang.

Sesampainya di pelabuhan Muara Bahan, Juragan Dampu Awang yang dibantu Ki Mas Lelana mulai berdagang. Kebetulan, Lambung Mangkurat sedang berada di pelabuhan. Lambung Mangkurat tampaknya tertarik pada kecakapan Ki Mas Lelana dan kemudian membujuk Ki Mas Lelana untuk tinggal di istana Kerajaan Negara Dipa (Sahriadi, 2009). Rupa-rupanya, Lambung Mangkurat, yang tidak mengetahui bahwa Ki Mas Lelana sebenarnya adalah Raden Sekar Sungsang, berniat menjodohkan anak muda itu dengan Ratu Kalungsu yang sudah lama menjanda. Pada waktu itu, Ratu Kalungsu adalah penguasa Kerajaan Negara Dipa. Ratu Kalungsu (berkuasa pada periode (1436-1448 M) meneruskan tahta suaminya, yakni Raden (Maharaja) Carang Lalean (berkuasa pada kurun 1421-1436 M), karena putra mahkota, yaitu Raden Sekar Sungsang, tidak diketahui keberadaannya.

Singkat cerita, akhirnya digelarlah pesta perkawinan antara Ki Mas Lelana dengan Ratu Kalungsu. Pada suatu waktu, ketika Ratu Kalungsu sedang membersihkan kepala Ki Mas Lelana, ia melihat tanda bekas luka di kepala suaminya itu. Ratu Kalungsu kemudian bertanya mengapa luka itu bisa terjadi. Mula-mula Ki Mas Lelana menerangkan bahwa ia sendiri pun tidak mengetahuinya. Tetapi ketika istrinya terus-menerus mendesak, akhirnya ia menceritakan kisahnya. Ki Mas Lelana berkisah, saat masih kecil, ia pernah mendapat pukulan di kepala dari ibunya hingga terluka. Diceritakan juga oleh Ki Mas Lelana bahwa ia kemudian lari dan beberapa tahun tinggal di Jawa, ikut dengan Juragan Balaba. Alangkah terkejutnya Ratu Kalungsu mendengar cerita itu. Ki Mas Lelana pun sama terperanjatnya dan memohon ampun serta meminta supaya Ratu Kalungsu membunuhnya. Ratu Kalungsu memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya. Selain itu, Ratu Kalungsu mengganti nama Ki Mas Lelana atau Raden Sekar Sungsang dengan Raden Sari Kaburangan.‎

Pada tahun 1448 M, Raden Sari Kaburangan dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Negara Dipa dan berhak menyandang gelar sebagai Maharaja sebagai simbol penguasa tertinggi. Maharaja Sari Kaburangan berhak menjadi Raja Kerajaan Negara Dipa karena ia adalah putra mahkota yang memang sudah diproyeksikan untuk menduduki tahta Kerajaan Negara Dipa meski kemudian terjadi berbagai kejadian yang menggemparkan, yakni dimulai dari hilangnya Raden Sekar Sungsang hingga peristiwa pernikahannya dengan ibu kandungnya sendiri.

Setahun setelah Maharaja Raden Sari Kaburangan berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, ia memindahkan kedudukan pusat pemerintahan ke Muara Hulak, atau di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Negara. Sejak tahun 1449 M itulah, Kerajaan Negara Daha resmi berdiri. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa tidak lama setelah Kerajaan Negara Daha berdiri, Ratu Kalungsu yang masih tinggal di bekas istana Kerajaan Negara Dipa, menghilang secara misterius (muksa) bersama 500 orang pengiringinya. Pada waktu yang hampir bersamaan, sang Mangkubumi, Lambung Mangkurat meninggal dunia. Pengganti Lambung Mangkurat adalah Aria Taranggana untuk mendampingi Maharaja Sari Kaburangan mengelola pemerintahan Kerajaan Negara Daha.‎

Tampilnya Maharaja Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Suku Dayak Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada masa Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Di dalam tubuh Maharaja Sari Kaburangan memang mengalir darah Jawa (dari Majapahit) yang diwarisinya dari kakek buyutnya yakni Pangeran Suryanata (penguasa Kerajaan Negara Dipa pada kurun 1362-1358 M). Namun, darah Jawa itu sudah semakin memudar karena Maharaja Sari Kaburangan merupakan generasi ke-4 alias buyut. Ini berarti, secara genetik, darah yang mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah Suku Dayak Maanyan.

Baik Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha, masih memiliki koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Anton Abraham Cense (1928) dalam penelitiannya bertajuk De Kroniek van Bandjarmasin menyebutkan beberapa jenis pusaka tersebut, antara lain mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama Rambut Peradah, canang bernama Macan Papatuk, tombak bernama Panutus, dan keris yang bernama Masagirang dan Jokopiturun. ‎ Kerajaan Negara Daha juga masih memiliki pusaka peninggalan Majapahit lainnya, yaitu singgasana, emas, payung kerajaan, keris bernama Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut dari emas dan gagangnya bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak, beberapa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak, serta seperangkat gamelan dan kain langgundi.‎

Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan Negara Daha adalah penemuan sebuah candi yang kemudian dikenal sebagai Candi Laras. Candi ini terletak di pinggiran Desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Margasari terkenal akan wisata sungainya serta masyarakatnya yang berprofesi sebagai perajin anyaman rotan sejak ratusan tahun. Pada abad ke-14 M, desa ini merupakan gerbang bandar Kerajaan Negara Dipa. Pengujian yang dilakukan terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M. Selain itu, Candi Agung,  prasasti yang ditemukan sebelumnya dan yang diduga sudah ada sejak zaman Kerajaan Nan Sarunai, juga masih digunakan pada masa Kerajaan Negara Daha.

Era pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan berakhir pada tahun 1486 M. Selanjutnya, tahta tertinggi pemerintahan Kerajaan Negara Daha dilanjutkan oleh Raden Paksa yang kemudian menyandang gelar sebagai Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahan raja ke-2 Kerajaan Negara Daha ini, tepatnya pada tahun 1511 M, Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan orang-orang Melayu dari Kesultanan Melaka. Orang-orang Melayu Semenanjung tersebut melakukan migrasi massal seiring dengan takluknya Kesultanan Melaka oleh bangsa Portugis. Para imigran dari Melaka ini kemudian menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin atau di Muara Kuin (Banjarmasin) dan bergabung dengan suku bangsa Melayu lainnya.

Pada akhir era pemerintahan Maharaja Sukarama, terjadi pertikaian di lingkungan internal Kerajaan Negara Daha. Permasalahan dimulai ketika pada tahun 1515 M, Maharaja Sukarama mengeluarkan wasiat agar kelak kekuasaan tertinggi Kerajaan Negara Daha dilimpahkan kepada cucunya yang bernama Pangeran Samudera. Kebijakan ini mendapat tentangan dari ketiga putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, Pangeran Tumenggung (Tomonggong), dan Pangeran Bagalung.

Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan keluarga istana Kerajaan Negara Daha. Ketika Maharaja Sukarama meninggal dunia pada tahun 1525 M, atau sepuluh tahun setelah dikeluarkannya wasiat yang menunjuk Pangeran  Samudera (Cucu Maharaja) sebagai calon raja, terjadilah perselisihan di antara keturunan Maharaja Sukarama. Putra sulung Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Aria Mangkubumi, yang merasa dilangkahi oleh keponakannya sendiri (Pangeran Samudera), merasa tidak terima dan kemudian merebut tahta Kerajaan Negara Daha yang sebenarnya bukan menjadi haknya.

Pangeran Samudera yang masih berusia belia diungsikan ke hilir Sungai Barito, tepatnya di Muara Kuin. Pangeran Samudera mendapat perlindungan dari beberapa kelompok suku bangsa yang bermukim di Muara Kuin, terutama oleh komunitas orang-orang Melayu. Oleh orang-orang Dayak Manyaan, kampung orang-orang Melayu di Muara Kuin itu dengan nama “Banjar Oloh Masih”, yang berarti kampungnya orang Melayu dengan pemimpinnya yang  bernama Pati Masih. Banjar Oloh Masih lambat-laun disingkat menjadi Banjarmasih hingga akhirnya menjadi Banjarmasin hingga sekarang. Namun, pada tahun 1525 M itu, Maharaja Aria Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh. Setelah Aria Pangeran Mangkubumi meninggal dunia, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Daha yang baru.

Sementara itu, Pangeran Samudera, pewaris tahta Kerajaan Negara Daha yang sah, semakin mendapat tempat di kalangan orang-orang Melayu yang bermukim di Muara Kuin atau Banjarmasih. Dalam pelarian politiknya, Pangeran Samudera melihat bahwa Banjarmasih merupakan kekuatan potensial untuk mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Negara Daha. Potensi Banjarmasih untuk menentang kekuatan pusat akhirnya mendapat pengakuan ketika Pangeran Samudera diangkat menjadi pemimpin oleh kelompok Melayu di daerah itu.

Pengangkatan Pangeran Samudera sebagai pemimpin di Banjarmasih melambangkan terbentuknya kekuatan politik tandingan, perpaduan kultural, dan kelak merupakan embrio bagi kelahiran urang Banjar dan Kesultanan Banjar. Terbentuknya kekuatan politik baru di  Banjarmasih bagi Pangeran Samudera merupakan kekuatan tandingan untuk memperoleh haknya sebagai calon raja yang sah di Kerajaan Negara Daha, sedangkan bagi kelompok Melayu, independensi mereka di Banjarmasih menjadi bentuk perlawanan untuk tidak membayar pajak kepada Kerajaan Negara Daha.

Konflik yang terjadi kemudian adalah perang saudara yang melibatkan kubu Pangeran Tumenggung dengan pihak Raden Samudera. Perang saudara antara keponakan dengan paman ini memakan korban jiwa yang cukup besar. Untuk melawan pasukan Kerajaan Negara Daha yang lebih kuat, Raden Samudera meminta bantuan dari Kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa yang menggantikan hegemoni Kerajaan Majapahit) yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono (berkuasa sejak tahun 1524 M). Sultan Trenggono menyanggupi permintaan Pangeran Samudera dengan syarat, Pangeran Samudera harus menggunakan hukum agama Islam di Kerajaan  jika ia berhasil memenangkan perang saudara itu.

Pada tahun 1526 M, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung dan resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha. Kemenangan Raden Samudera menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Negara Daha sekaligus menjadi awal dari berdirinya Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Setelah mengalahkan Kerajaan Negara Daha, Pangeran Samudera dinobatkan dirinya sebagai pemimpin Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah sejak tanggal 25 September 1526 M. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar berada di Banjarmasin. Selain itu, Sultan Suriansyah memindahkan penduduk Kerajaan Negara Daha ke Banjarmasin. Inilah masa dimulainya proses kemajemukan di Banjarmasin, di mana masyarakatnya terdiri dari orang-orang dari berbagai suku bangsa, yaitu orang-orang Dayak, Melayu,  dan  Jawa.‎

Silsilah Kerajaan Negara Daha
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah duduk sebagai pemimpin Kerajaan Negara Daha:
1.      Maharaja Sari Kaburangan atau Raden Sakar Sungsang atau Panji Agung Rama Nata atau Ki Mas Lelana (1448-1486 M.)
2.      Maharaja Sukarama atau Raden Paksa (1486-1525 M.)
3.      Maharaja Pangeran Aria Mangkubumi (1525 M.)
4.      Maharaja Pangeran Tumenggung atau Raden Panjang (1525-1526 M.).

Sistem Pemerintahan

Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Status seorang pemimpin cenderung berkaitan dengan penilaian sosial terhadap kehormatan dan citra, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial bersifat pembagian politik. Dalam struktur politik pemerintahan Kerajaan Negara Daha, raja adalah titik pusat kekuasaan. Raja Negara Daha sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan, seperti benda-benda pusaka, gelar, atau mitos-mitos  geneologi yang berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja sebagai penguasa.

Kedudukan raja dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Daha diwarisi secara turun-temurun sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan. Posisi raja bersifat keramat karena dianggap mempunyai kesaktian yang dapat menambah wewenang. Wewenang raja pada dasarnya merupakan salah satu komponen kekuasaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi yang juga berhak menguasai rakyat sebagai  hambanya. Jika dicermati, wewenang yang dimiliki oleh raja memungkinkan sekali baginya untuk bertindak absolut. Namun, meskipun memiliki wewenang yang cukup besar, namun belum berarti seorang raja dapat menguasai seluruh kekuasaan karena faktor kekayaan turut menentukan kedudukan raja.

Proses suksesi kekuasaan yang berlaku di Kerajaan Negara Daha diterangkan dalam Hikayat Banjar. Ad‎a sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat raja atau putra mahkota, yakni (1) pangeran yang dipilih sebagai putra mahkota harus benar-benar keturunan raja dari permaisuri, (2) dapat berbuat adil kepada rakyat dan keluarga, (3) terbuka untuk menerima saran dan kritik, (4) tidak boleh memiliki sifat iri dan dengki, (4) bersedia menyelesaikan setiap persoalan yang ada melalui mufakat. Apabila putra mahkota dianggap belum cukup umur untuk menjabat sebagai raja, maka untuk sementara, kendali pemerintahan kerajaan dijalankan oleh sistem perwalian yang terdiri dari kerabat raja. Orang yang biasanya bertindak sebagai pemimpin sementara sembari menunggu putra mahkota dewasa dan dirasa berhak memimpin pemerintahan adalah Mangkubumi (Patih), jabatan yang setara dengan perdana menteri.

Penobatan seorang putra mahkota menjadi raja dilakukan melalui suatu ritual upacara. Ritual upacara suci yang dianggap sebagai simbol kekuasaan raja ini dikenal sebagai upacara badudusan. Disebutkan bahwa upacara ini dimulai ketika seluruh kerabat sudah berkumpul. Putra mahkota atau calon raja duduk di sebelah kursi lalu diperciki dengan air suci oleh keluarga yang sedarah dengan raja. Kemudian, air suci itu dibawa ke dalam istana dan ditimbang sebanyak tiga kali. Jika sudah diketahui beratnya, maka calon raja diukur dengan benang emas dan perak. Setelah itu, diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya adalah hari penobatan putra mahkota sebagai raja, yakni dilakukan pada hari ke delapan. Sebenarnya upacara penobatan raja merupakan salah satu cara untuk mengesahkan kedudukan raja. Upacara badudusan ini mulai diperkenalkan sejak Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata diangkat menjadi raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1362 M.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Negara Daha sebagai pemimpin tertinggi mendelegasikan kekuasaannya ke bawah melalui jabatan birokrasi. Jabatan birokrasi ini biasanya diemban oleh kerabat raja. Model birokrasi seperti ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial. Para pelaku dan jabatan sistem pemerintahan yang diterapkan di Kerajaan Negara Daha hampir sama dengan yang berlaku di Kerajaan Negara Dipa pada masa-masa sebelumnya. Raja Negara Dipa sebagai puncak piramida kekuasaan didukung oleh seseorang yang dipercaya sebagai Mangkubumi. Mangkubumi adalah jabatan yang paling strategis karena seorang Mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Dalam mengelola pemerintahan kerajaan, Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi tugas pejabat-pejabat kerajaan lainnya, seperti Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan 40 orang Mantri Sikep.

Selain itu, terdapat sejumlah jabatan dan wewenang yang berlaku dalam pemerintahan Kerajaan Negara Daha, yaitu Lelawang (kepala distrik), Sarabraja (koordinator pasukan penjaga keluarga istana), Sarayuda (koordinator pasukan pengawal pribadi raja), Singapati (koordinator pasukan Parabawa yang bertugas menjaga keamanan kerajaan, Saradipa (koordinator pasukan penjaga senjata), Puspawana (koordinator pasukan Tuhaburu yang bertugas mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu), Rasajiwa (koordinator petugas pembantu istana, Pamayungan (penghias balai), Wargasari (koordinator petugas penyedia makanan kerajaan), Anggaprana (koordinator pujangga istana), Mangkumbara (kepala urusan upacara), Wiramartas (bertugas untuk mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, Bujangga (kepala urusan bangunan rumah peribadatan), dan Singabana (bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum).

Wilayah Kekuasaan

Dalam buku Sejarah Banjar suntingan Ideham dan kawan-kawan disebutkan bahwa secara garis besar, keseluruhan wilayah Kerajaan Negara Daha terbagi atas dua bagian, yakni wilayah negara (kraton) dan daerah taklukan. Bagian yang pertama, yakni wilayah negara (kraton) merupakan wilayah unit politik terbesar. Istilah “negara” sendiri  menunjukkan adanya suatu kawasan pemerintah di bawah seorang penguasa tertinggi yang memakai gelar kehormatan maharaja di depan namanya dengan pemerintahan yang merdeka. Wilayah negara disebut juga sebagai wilayah inti yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan sekaligus berfungsi  sebagai ibukota negara.

Pusat pemerintahan Kerajaan Negara Daha terletak di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Muara Hulak. Selain itu, kerajaan ini juga mempunyai pelabuhan dan bandar dagang yang terletak di Muara Bahan. Penyebutan “muara” yang terdapat pada Muara Hulak dan Muara Bahan menunjukkan bahwa kedua tempat itu dekat dengan daerah perairan. Sejak zaman purba hingga saat ini, sungai-sungai di Kalimantan Selatan memang berfungsi sebagai tempat konsentrasi permukiman penduduk dan menjadi prasarana lalulintas yang menghubungkan daerah muara dengan daerah perdalaman. Di Kalimantan Selatan, sungai adalah jantung kehidupan karena kehidupan mereka sangat dekat dengan sungai. Antara masyarakat dengan sungai saling berinteraksi, beradaptasi, dan saling mengisi. Bermula dari fakta inilah maka etnis di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya penduduk Kerajaan Negara Daha, dikenal sebagai suku bangsa yang identik dengan budaya sungai.

Nama Muara Hulak dan Muara Bahan sebagai pusat pemerintahan dan pelabuhan Kerajaan Negara Daha disebutkan dalam Hikayat Banjar. Kemudian Raden Sari Kaburungan dinobatkan menjadi raja. Setahun kemudian raja memindahkan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru itu disebut Negara Daha dan sampai sekarang ini tempat itu masih bernama Negara. Di Muara Bahan dibuat sebuah pangkalan (pelabuhan) yang kemudian ramai sekali didatangi para pedagang.”.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha meliputi daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa, termasuk juga wilayah yang merupakan daerah taklukan. Disebutkan bahwa daerah-daerah yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dan kemudian beralih menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Negara Daha. Daerah-daerah tersebut antara lain Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, Batang Emas, Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau. Selain itu, Kerajaan Negara Daha memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai Sewa Agung dan Bunyut. Sedangkan menurut C.A.L.M. Schwaner (1953) dalam karyanya yang berjudul Borneo disebutkan bahwa selama masa pemerintahan Kerajaan Negara Daha, penduduk yang mendiami aliran Sungai Negara dan Sungai Bahan telah mengalami masa kemakmuran.

Bukti Peninggalan Sejarah
Kerajaan Negara Daha masih memiliki koleksi barang-barang atau pusaka yang berasal dari kerajaan Majapahit, antara lain: mahkota kerajaan, gamelan yang bernama larasati, gong yang bernama rambut peradah, canang yang bernama Macan Papatuk, tombak yang bernama pnutos, dan keris yang bernama masagirang dan jokopitoron, singasanam emas, payung kerajaan, keris bernama baru lembah dan naga salira dengan sarungnya yang berbalut dari emas dan gagangnya berlian, sebilah  pedang, lima buah tombak, beberpa buah perisai  yang terbuat dari emas dan perak,Salah satu peniggalan arkeologis adalah penemuan sebuah candi laras. Candi ini terletak di pinggiran desa Margasari, Kecamatan Candi Laras Selatan.
Kerajaan negara daha adalah sebuah  kerajaan Hindu yang pernah berdri di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari kerajaan Negara DIpa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/ Candi Agung. Kerajaan Negara Daha yang merupakan salah satu rangkaian pemerintahan yang kelak menjelma menjadi kesultanan Banjar yang bercorak Islam.
Sejarah perpindahan dari Negara Daha ke Kesultanan Banjarmasin 

Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patihKerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.
Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.
Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaansekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.‎
Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.
Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.
Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.‎

 

Sejarah Kerajaan Negara Dipa


Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan bercorak Hindu yang pernah eksis di kawasan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Dipa merupakan kelanjutan dari Kerajaan Nan Sarunai yang runtuh akibat serangan dari Kerajaan Majapahit. Selain Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Negara Dipa juga menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan sejarah orang Banjar, yaitu sebagai salah satu mata rantai pemerintahan yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banjar di Banjarmasin.

Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan di pedalaman Kalimantan Selatan yang merupakan pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. 

Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan adalah Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel). Keling, propinsi Majapahit di barat daya Kediri. 

Sejarah Kerajaan Negara Dipa

Kemunculan Kerajaan Negara Dipa sangat berkaitan dengan keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai didirikan dan dikelola oleh orang-orang Suku Dayak Maanyan, komunitas adat Suku Dayak yang datang dari tepi Sungai Barito Timur, Kalimantan Tengah. Akibat fenomena pendangkalan air laut yang terjadi di daerah asal asal mereka, orang-orang Suku Dayak Maanyan kemudian melakukan migrasi massal untuk mencari tempat kehidupan yang baru. Hingga kemudian, perpindahan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan tiba di sebuah tempat. Dalam Hikayat Banjar, tempat ini disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah, sedangkan Kitab Negarakrtagama menyebut tempat ini dengan nama Tanjung Negara. Pulau Hujung Tanah terletak di tepi aliran Sungai Tabalong ini dan pada masa sekarang diperkirakan berlokasi di antara Amuntai (termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan Tanjung (termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabalong), Kalimantan Selatan, serta berada di sebelah barat Pegunungan Meratus.

Peradaban Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai diperkirakan sudah ada sejak zaman prasejarah. Salah satu buktinya adalah dengan ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap bukti arkeologis tersebut dan menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi. Kehidupan orang-orang Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai bertahan sangat lama, hingga pada akhirnya kerajaan ini menuai masa keemasannya ketika beribukota di sebuah tempat bernama Lili Kumeah. Pada waktu itu, perekonomian di Kerajaan Nan Sarunai sangat maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan negeri-negeri lain, termasuk Indragiri, Majapahit, Bugis, bahkan hingga Madagaskar. Lili Kumeah berkembang menjadi tempat permukiman yang ramai dan Teluk Sarunai menjadi tempat persinggahan yang ramai bagi perahu dagang yang datang dari berbagai penjuru. Lili Kumeah semakin pesar perkembangannya hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai yang gilang-gemilang.

Pada tahun 1355 Masehi, Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, memerintahkan seorang panglimanya yang bernama Empu Jatmika untiuk memimpin armada perang dengan misi menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun yang sama, pasukan Empu Jatmika berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa tentang penyerbuan angkatan perang Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Nan Sarunai ini dikisahkan dalam Hikayat Banjar dan diabadikan oleh para seniman lokal melalui tutur wadian (puisi ratapan) yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Mereka mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sabunai dengan menyebutnya sebagai peristiwa “Usak Jawa” atau “Penyerangan oleh Kerajaan Jawa” .  Tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai, Fridolin Ukur menyebutnya sebagai “sebuah kerajaan orang Dayak Maanyan yang rusak oleh Jawa”. Akibat serangan dari Majapahit itu, peradaban Suku Dayak Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai yang sudah bertahan selama berabad-abad mengalami kehancuran.

Setelah berhasil mengalahkan peradaban orang-orang Suku Dayak Manyaan, Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama “Dipa” diambil dari bahasa Dayak Maanyan, yakni “dipah ten” yang berarti “kerajaan yang terletak di seberang”. Pemberian nama dengan makna “kerajaan yang terletak di seberang” sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa. Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika memang memposisikan Kerajaan Negara Dipa yang dirintisnya sebagai wilayah taklukan yang mengabdi di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Riwayat Empu Jatmika dikisahkan dalam Hikayat Banjar. Menurut Hikayat Banjar, Empu Jatmika berasal dari negeri Keling. Keling identik dengan Kediri, tepatnya Kediri bagian utara. Dalam Hikayat Banjar, seperti yang terangkum dalam sinopsis Hikayat Banjar yang disusun oleh Adum M. Sahriadi, diceritakan bahwa Empu Jatmika adalah putra dari seorang saudagar besar bernama Aria Mangkubumi yang beristrikan Siti Rara. Setelah Empu Jatmika beranjak dewasa, ia kemudian menikah dengan seorang perempuan yang bernama Sari Manguntur. Perkawinan ini dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Lambung Mangkurat dan Mandastana.

Saat kedua anak Empu Jatmika menginjak usia remaja, Aria Mangkubumi jatuh sakit. Maka kemudian Empu Jatmika dan kedua anaknya bergantian menjaga Aria Mangkubumi selama 40 hari, siang dan malam. Ketika kondisi kesehatan Aria Mangkubumi semakin kritis, ia memanggil anak dan kedua cucunya dan berpesan supaya mereka menjaga keutuhan seluruh anggota keluarga dengan sebaik-baiknya dan tidak bersifat kikir serta berlaku adil kepada semua orang dengan mendengar keluhan atau permohonan dari setiap orang yang datang.

Selain itu, Aria Mangkubumi juga berwasiat kepada Empu Jatmika agar pergi merantau ke luar dari negeri Keling karena di negeri ini banyak orang yang bertabiat tidak baik, seperti perasaan iri hati serta rasa dengki. Aria Mangkubumi berpesan, Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk dapat mengetahui tanah yang dimaksud itu, Empu Jatmika dihimbau supaya menggali sekepal tanah yang didatanginya pada tengah malam dan dicium untuk merasakan aroma tanah itu. Apabila tempat yang memenuhi syarat-syarat itu telah berhasil ditemukan, Aria Mangkubumi menyarankan agar Empu Jatmika menetap di sana karena kehidupan di tempat itu akan dikaruniai rahmat dan kebahagiaan yang melimpah. Kesuburan dan kesejahteraan akan senantiasa diperoleh di tanah yang berbau harum itu sehingga segala jenis tanaman dapat tumbuh dengan subur.

Selain itu, negeri tersebut akan didatangi banyak saudagar dari berbagai negeri sehingga membuatnya menjadi negeri yang besar dan makmur, serta akan selalu terhindar dari serangan musuh. Namun, jika tanah yang ditemukan berbau harum namun terasa dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanya akan diperoleh sekadarnya saja. Negeri itu akan selalu terancam marabahaya dan akan menderita kesukaran yang tidak putus-putusnya. Tidak lama setelah menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada anak dan kedua cucunya, Aria Mangkubumi meninggal dunia. Empu Jatmika bertekad akan melaksanakan pesan-pesan ayahnya, yaitu mencari dan menemukan sebuah tempat yang tanahnya panas dan berbau harum.

Sejauh ini belum diketahui bagaimana awal hubungan Empu Jatmika dengan Kerajaan Majapahit karena ketika Empu Jatmika memimpin serangan ke Kerajaan Nan Sarunai, ia adalah panglima perang yang diutus oleh Raja Majapahit. Besar kemungkinan, sebelum berangkat mencari tempat yang dimaksudkan oleh sang ayah, Empu Jatmika bersama keluarganya terlebih dulu mengabdi di Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit pada waktu itu terletak di Trowulan (Mojokerto, Jawa Timur) dan berada tidak jauh dari Keling (Kediri). Mengingat saat itu Kerajaan Majapahit merupakan sebuah imporium yang besar, besar kemungkinan bahwa negeri Keling termasuk wilayah taklukan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Singkat cerita, pada tahun 1355 M, Raja Majapahit memerintahkan Empu Jatmika memimpin armada perang untuk menyerbu Kerajaan Nan Sarunai yang berada di seberang pulau Jawa, yakni di pulau Borneo. Raja Majapahit yang dimaksud kemungkinan besar adalah Hayam Wuruk yang berkuasa di Kerajaan Majapahit sejak tahun 1350 sampai dengan 1389 M. Pada waktu itu, Kerajaan Nan Sarunai sudah terkenal sebagai kerajaan yang maju dan makmur. Kejayaan yang dimiliki oleh Kerajaan Nan Sarunai itulah yang membuat Majapahit berambisi untuk menguasainya.

Empu Jatmika tiba di Pulau Hujung Tanah, tempat di mana Kerajaan Nan Sarunai berdiri, bersama rombongannya yang antara lain terdiri dari Sira Manguntur (istri Empu Jatmika), Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat (anak Empu Jatmika), seorang nahkoda kapal sekaligus ahli bahasa bernama Wiramarta, dua orang hulubalang yakni Aria Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa, beserta pasukannya. Ketika digali, tanah di Pulau Hujung Tanah ternyata panas laksana api dan berbau harum wewangian daun pudak. Inilah rupanya tanah yang dimaksud oleh ayahanda Empu Jatmika. Setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika membangun negeri baru bernama Kerajaan Negara Dipa dan sebuah candi yang diberi nama Candi Laras. Selain membangun candi, Empu Jatmika juga mendirikan balairung, istana, ruang sidang, dan menara. Dalam mengelola pemerintahan Kerajaan Negara Dipa, Empu Jatmika didampingi oleh Aria Megatsari sebagai patih kerajaan.

Kedudukan Empu Jatmika sebagai penguasa di Kerajaan Negara Dipa hanya bersifat sementara sembari menunggu kebijakan dari Kerajaan Majapahit selaku kerajaan induk yang menguasai bekas wilayah Kerajaan Negara Dipa. Selain itu, Empu Jatmika sadar diri bahwa ia bukan keturunan raja dan bukan berasal dari kasta brahmana atau satria. Empu Jatmika khawatir akan terkena kutukan jika ia tetap mengangkat dirinya sebagai seorang raja karena ia paham betul bahwa kedudukan manusia sudah ditetapkan oleh takdir dan kedudukan raja pun telah dikodratkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, maka kemudian Empu Jatmika memerintahkan anak buahnya untuk membuat patung dari kayu cendana sebagai simbolisasi kedudukan raja yang berkuasa di Kerajaan Negara Dipa.

Atas perintah Empu Jatmika, ahli-ahli tatah dan ukir membuat dua buah patung yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kedua patung itu dihias dengan seindah-indahnya dan diberi wewangian untuk kemudian diletakkan di dalam candi. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa sehari dalam seminggu, Empu Jatmika datang ke candi untuk melakukan penghormatan kepada patung-patung tersebut. Hal ini dilakukan supaya Empu Jatmika beserta keturunannya kelak di kemudian hari terhindar dari segala macam marabahaya. Dari sini terlihat bahwa pandangan sejarah tradisional berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan oleh berhasil atau tidaknya manusia, tetapi keterkaitan manusia terhadap takdir dan kutukan.

Pada suatu ketika, Empu Jatmika menyatakan keinginannya untuk mengganti patung-patung yang dibuat dari kayu cendana itu karena sudah terlihat lapuk. Empu Jatmika menginginkan patung-patung baru dibuat dari gangsa (logam/perunggu). Namun, tidak ada seorang pun di Kerajaan Negara Dipa yang bisa membuat patung dari gangsa waktu itu. Dari kabar yang beredar, Empu Jatmika kemudian mengetahui bahwa bangsa Tiongkok adalah bangsa yang ahli dalam pembuatan patung gangsa. Maka Empu Jatmika memutuskan mengutus Wiramartas untuk menghadap Raja Tiongkok dengan membawa bingkisan yang berisi barang-barang berharga, di antaranya terdapat 10 ekor kera jenis orang hutan, sebagai hadiah persembahan kepada Raja Tiongkok.

Rombongan duta Kerajaan Negara Dipa di bawah pimpinan Wiramartas akhirnya tiba di Tiongkok. Di dalam suatu sidang resmi, Wiramartas mempersembahkan surat dari Empu Jatmika. Raja Tiongkok rupanya berkenan untuk memenuhi permintaan Empu Jatmika selaku pemimpin Kerajaan Negara Dipa. Dalam perjalanan pulang ke Borneo, sebanyak 40 orang ahli patung dari Kerajaan Tiongkok ikut serta ke Kerajaan Negara Dipa. Selain itu, dikirim pula berbagai aneka macam hadiah balasan dari Raja Tiongkok kepada Empu Jatmika, termasuk permadani, kain sutera, dan barang-barang porselen. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah dan sebilah pedang Jepang. Setelah Wiramartas sampai di pelabuhan Kerajaan Negara Dipa, ia disambut secara meriah. Dalam sidang kerajaan, Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalanan dan membacakan surat dari Raja Tiongkok. Wiramartas beserta para pengiringnya kemudian diberi hadiah sebagai balas jasa atas menjalankan kewajibannya dengan sangat baik.

Setelah sekian waktu lamanya menjalankan pemerintahan di Kerajaan Negara Dipa, Empu Jatmika jatuh sakit. Di tengah sakitnya itu, Empu Jatmika berwasiat kepada kedua anaknya, yaitu Lambung Mangkurat dan Mandastana, agar jangan sekali-kali berambisi menjadi raja. Khusus kepada Lambung Mangkurat, Empu Jatmika berpesan kepada anaknya itu agar pergi bertapa sebagai usaha untuk mencari pemangku tahta Kerajaan Negara Dipa yang sah. Tidak lama kemudian, Empu Jatmika meninggal dunia.

Sesuai wasiat ayahnya, Lambung Mangkurat kemudian melakukan semedi (balampah) di tepi sebuah sungai dengan harapan memperoleh petunjuk akan datangnya seorang raja yang akan memimpin Kerajaan Negara Dipa. Menurut mitos yang diyakini masyarakat setempat, ketika Lambung Mangkurat sedang bertapa, tiba-tiba muncul buih yang bersinar dari pusaran air sungai dan kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita. Putri itu kemudian oleh Lambung Mangkurat disembah dan dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, yang berarti seorang putri yang muncul dari buih untuk dimuliakan menjadi ratu di Kerajaan Negara Dipa.

Putri Junjung Buih diyakini adalah anak perempuan dari penguasa terakhir Kerajaan Nan Sarunai yang sebelumnya ditaklukkan Empu Jatmika atas nama Kerajaan Majapahit. Atas dasar itulah Lambung Mangkurat berpendapat bahwa Putri Junjung Buih inilah orang yang berhak memimpin Kerajaan Negara Dipa sepeninggal Empu Jatmika. Tidak lama kemudian, Putri Junjung Buih dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Negara Dipa. Gelar Putri Junjung Buih sebagai raja yang sah di Kerajaan Negara Dipa adalah ratu. Nama Junjung Buih memiliki makna bahwa ia adalah seorang putri yang harus dijunjung, sedangkan gelar ratu lebih berkaitan dengan wilayah kedaulatan Kerajaan Negara Dipa yang belum luas ketika ia memerintah. Wilayah Kerajaan Negara Dipa ketika masa pemerintahan Ratu Junjung Buih adalah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, dan Batang Emas.

Setelah Putri Junjung Buih diangkat menjadi ratu di Negara Dipa, Lambung Mangkurat merasa berkewajiban untuk mencari calon suami bagi sang ratu. Niat Lambung Mangkurat tersebut disetujui oleh Ratu Junjung Buih namun dengan syarat, bahwa calon suaminya harus mempunyai kekuatan adikodrati yang hanya bisa didapatkan melalui proses bertapa. Setelah mendengarkan syarat yang diinginkan oleh Ratu Junjung Buih, Lambung Mangkurat kemudian pergi ke suatu tempat untuk bertapa. Dari hasil semedinya, Lambung Mangkurat secara gaib bertemu dengan seorang pemuda bernama Raden Putra atau yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Suryanata. Dalam keyakinan Lambung Mangkurat, Raden Putra bukanlah manusia biasa, melainkan Putra Matahari.

Sedangkan dalam versi non-mitos, dikisahkan bahwa Pangeran Suryanata adalah salah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Raden Putra atau Pangeran Suryanata memiliki nama lain, yaitu Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa. Rencana penobatan Pangeran Suryanata sebagai pemimpin di Kerajaan Negara Dipa sebenarnya sudah direncanakan oleh Raja Hayam Wuruk sejak Empu Jatmika masih mengelola Kerajaan Negara Dipa untuk sementara. Pada tahun 1362 M, Empu Jatmika mulai mempersiapkan prosesi penjemputan Pangeran Suryanata dari Kerajaan Majapahit. Akan tetapi, pada tahun 1362 M itu Empu Jatmika tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia pada tahun yang sama. Akhirnya, tugas penjemputan itu diambil-alih oleh Lambung Mangkurat.

Pangeran Suryanata kemudian menikah dengan Ratu Junjung Buih dan mengemban tugas bersama-sama untuk memimpin pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Pernikahan Pangeran Suryanata dengan Ratu Junjung Buih tersebut melambangkan harmonisasi antara Kerajaan Nan Sarunai (Suku Dayak Maanyan) dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Pernikahan ini mengetengahkan sejumlah data   tentang  asal usul  munculnya  Negara  Dipa  yang harus dipahami dengan pemahaman ideologi dan religi. Mitos pernikahan itu secara ideologi merupakan pernikahan politik antara Majapahit dan puteri penguasa lokal dan pelegitimasi masuknya pengaruh Majapahit ke Kalimantan Selatan dengan jalan yang sangat elok dan mempunyai akar yang sangat dalam. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya tata cara Jawa di Kerajaan Negara Dipa.

Pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata, pusat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa berada di sekitar Kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di pertemuan antara sungai Tabalong dengan Sungai Balangan. Selama masa kepemimpinannya, Pangeran Suryanata berhasil memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa dengan menaklukkan beberapa negeri lain, seperti Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau. Pangeran Suryanata berkuasa di Kerajaan Negara Dipa selama kurang lebih 23 tahun, dari tahun 1362 hingga 1385 M.

Sepeninggal Pangeran Suryanata, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa dipimpin oleh putra mahkota, yaitu Aria Dewangsa yang bergelar Pangeran atau Maharaja Surya Gangga Wangsa. Anak lelaki Pangeran Suryanata dengan Ratu Junjung Buih ini mengemban mandat sebagai Raja Negara Dipa sejak tahun 1385 M dan masa kekuasaannya berakhir pada tahun 1421 M. Setelah era pemerintahan Maharaja Surya Gangga berakhir, tampuk kepemimpinan Kerajaan Negara Dipa dipercayakan kepada Raden Carang Lalean yang memerintah pada periode tahun 1421 sampai dengan 1436 M. Setelah itu, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa diampu oleh seorang pemimpin perempuan yang bernama Putri (Ratu) Kalungsu pada kurun waktu 1436-1448 M.

Terakhir, ketika masa pemerintahan Ratu Kalungsu berakhir pada tahun 1448 M, tampuk kepemimpinan Kerajaan Negara Dipa diteruskan oleh Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kaburangan. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya akibat perselisihan internal, dan pada akhirnya muncul sebuah kerajaan baru sebagai penerus Kerajaan Negara Dipa, yaitu sebuah pemerintahan yang bernama Kerajaan Negara Daha.
Raja Negara Dipa

1- Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II. 
2- Ampu Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan?) negeri Candi Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [= raja negeri lama yang berdiri sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang muncul di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina). 
3- Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan. 
4- Raden Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung Buih [= perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara). 
5- Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata [= perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas dinasti]. Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?). 

6- Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja. 

7- Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [= Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti. Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). 

Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku. Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara. 
Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di lingkungan Kerajaan Negara Dipa terkait dengan konsep pemerintahan tentang prinsip hierarki jabatan, khususnya hierarki jabatan pada negara tradisional  Dalam konsep negara tradisional (misalnya dalam pemerintahan yang berbentuk kerajaan), hierarki jabatan cenderung muncul dari nilai-nilai primordial yang bersifat sakral sehingga melahirkan apa yang disebut model birokrasi tradisional. Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional berakar kepada struktur sosial yang tertata berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Posisi status dalam negara tradisional cenderung berkaitan dengan penilaian sosial terhadap kehormatan dan citra seseorang, sedangkan pembagian atas kelas-kelas sosial lebih bersifat pembagian secara politik.

Struktur politik yang lazim diberlakukan di negara tradisional juga diterapkan di dalam sistem pemerintahan Kerajaan Negara Dipa di mana raja adalah titik pusat kekuasaan. Raja sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam hierarki kerajaan mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut-atribut kerajaan atau kingship, seperti benda-benda pusaka, gelar, ataupun mitos-mitos geneologi yang kesemuanya berfungsi untuk mengabsahkan kedudukan raja sebagai penguasa. Raja kemudian mendelegasikan kekuasaannya ke tingkat di bawahnya melalui jabatan birokrasi. Model birokrasi yang seperti ini dikenal sebagai model birokrasi patrimonial‎.

Puncak hierarki kekuasaan pada pemerintahan Kerajaan Negara Dipa adalah raja. Jabatan raja diwarisi secara turun-temurun sesuai dengan garis geneologi atau kekerabatan dan bersifat keramat karena dianggap mempunyai kesaktian yang dapat menambah wewenang. Pada dasarnya, wewenang merupakan salah satu komponen kerajaan. Kerabat raja berada pada tataran kedudukan tinggi juga berhak menguasai rakyat sebagai hambanya.

Kedudukan Raja Negara Dipa diyakini sebagai kepanjangan tangan dari dewa. Oleh karena itu, raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, khususnya sejak pemerintahan Pangeran Suryanata, memakai gelar Maharaja dan acapkali disebut sebagai Syah Alam karena posisi raja dalam konsep “dewa-raja” berperan sebagai pelindung agama sekaligus sebagai penjaga alam dunia. Gelar Maharaja dan Syah Alam juga menggambarkan keluasan wilayah Kerajaan Negara Dipa yang lebih besar dari raja-raja kecil yang telah berhasil ditaklukkan.

Negara adalah pranata sosial, negara adalah tempat orang bersama-sama berupaya mencapai tujuan tertentu. Agar tujuan bersama itu dapat terwujud, maka diperlukan aparat negara untuk mengatur dan mengelola pemerintahan. Dalam konteks pemerintahan yang berlaku dalam sistem negara tradisional, termasuk di Kerajaan Negara Dipa, aparat pemerintahan yang dimaksud adalah raja yang dibantu oleh para pejabat pemerintahan yang berperan sebagai penghubung antara penguasa dengan rakyat.

Para pejabat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa terdiri dari kerabat dan anggota keluarga kerajaan yang merupakan kepanjangan tangan dari raja. Dalam memimpin roda pemerintahannya, Raja Negara Dipa sebagai puncak piramida kekuasaan didukung oleh seseorang yang dipercaya Raja dan diberi gelar kehormatan sebagai Mangkubumi. Mangkubumi adalah jabatan yang paling strategis karena seorang Mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala kebijakan yang dikeluarkan oleh raja. Jabatan Mangkubumi pernah dijabat oleh Lambung Mangkurat, salah seorang anak laki-laki Empu Jatmika. Dalam mengelola pemerintahan, Mangkubumi memimpin dan mengkoordinasi tugas pejabat-pejabat kerajaan lainnya, seperti Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi, dan 40 orang Mantri Sikep.

Masih ada sejumlah jabatan lainnya dalam pemerintahan Kerajaan Negara Dipa, yaitu 

(1) Lelawang adalah jabatan untuk kepala distrik; ‎
(2) Sarabraja memimpin 50 orang yang bertugas untuk menjaga keluarga istana;‎
(3) Sarayuda mengepalai 30 orang pasukan Mamagarsari dengan tugas menjaga raja; ‎
(4) Singapati memimpin 40 orang yang tergabung dalam pasukan Parabawa dan bertugas sebagai polisi untuk menjaga keamanan kerajaan; ‎
(5) Saradipa membawahi pasukan Parabawa yang berjumlah 40 orang dengan tugas menjaga senjata; ‎
(6) Puspawana mengkoordinir 40 orang pasukan Tuhaburu dan bertugas mengawal raja ketika raja sedang pergi berburu; ‎
(7) Rasajiwa memimpin 50 orang anggota Pangdapan sebagai pembantu istana; ‎
(8) Pamayungan bertugas sebagai penghias balai; ‎
(9) Wargasari mengepalai 30 orang bawahan sebagai penyedia makanan; ‎
(10) Anggaprana mempunyai 40 orang anak buah yang bertugas sebagai pujangga istana; ‎
(11) Mangkumbara berperan sebagai kepala urusan upacara; ‎
(12) Wiramartas mengemban tugas untuk mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri; ‎
(13) Bujangga berperan sebagai kepala urusan bangunan rumah peribadatan; dan ‎
(14) Singabana yang bertanggungjawab atas terjaminnya ketenteraman umum.

Gelar dan jabatan di atas memperlihatkan bahwa Kerajaan Negara Dipa telah memiliki sistem pemerintahan yang cukup tertata. Apabila dicermati, nama-nama jabatan aparat Kerajaan Negara Dipa memuat beberapa kemiripan dengan gelar-gelar yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Dalam Hikayat Banjar, memang telah dikisahkan bahwa Raja Negara Dipa, Pangeran Suryanata, telah membuat wasiat agar konsep pemerintahan Kerajaan Negara Dipa meniru dengan apa yang telah berlaku di Kerajaan Majapahit.

Wilayah Kekuasaan

Pada masa pemerintahan Ratu Junjung Buih, daerah-daerah yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa antara lain meliputi Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit, dan Batang Emas. Sementara itu, pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata, Kerajaan Negara Dipa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan Sukadana, Sambas, Batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau.

Kerajaan Negara Dipa memiliki sejumlah daerah taklukan yang pada umumnya masih berupa daerah yang dihuni oleh komunitas-komunitas suku adat. Pemerintahan di wilayah-wilayah taklukan Kerajaan Negara Dipa itu didasarkan pada aturan adat-istiadat setempat. Raja Negara Dipa memberikan kepercayaan dan kebebasan sepenuhnya kepada para kepala daerah (kepala suku) untuk memimpin komunitasnya yang bernaung di bawah pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Kepala daerah yang mengakui kekuasaan Kerajaan Negara Dipa diberi jabatan sebagai Tamanggong. Penerima gelar Tamanggong dipercaya merupakan keturunan langsung dari Keilahian yang tertinggi sekaligus pewaris dari kekayaan dan pusaka sebagai asesoris predikat Keilahian.

Selain faktor geneologi, penyandang gelar Tamanggong juga dipilih berdasarkan kecerdikan, kekayaan, kearifan, kearifan, kejujuran, keadilan, keberanian, dan pengetahuan tentang adat dan tradisi. Dalam buku berjudul Tanya Jawab Tentang Suku Dayak yang ditulis oleh Fridolin Ukur (1977) disebutkan bahwa selain jabatan Tamanggong yang mengemban tugas untuk mengendalikan pemerintahan di daerah taklukan, Raja Negara Dipa juga memberikan sejumlah jabatan lainnya di tataran pemerintah daerah, antara lain Pangkalima yang bertugas untuk berperang,Damang sebagai kepala adat, dan Balian sebagai kelompok iman yang menyelenggarakan ritual keagamaan.
Peninggalan Kerajaan Negara Dipa
Peninggalan Negara Dipa yang terkenal adalah candi agung. Candi agung ini berlokasi di kawasan Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Candi Agung adalah sebuah situs Candi Hindu berukuran kecil. Konon candi inilah bangunan pertama yang menjadi cikal bakal Kerajaan Negara Dipa. Lokasi candi di kawasan Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dari Banjarmasin menuju Amuntai memerlukan waktu tempuh sekitar 5 jam jika menggunakan transportasi darat.
Lamanya waktu tempuh relatif, tergantung arus lalu lintas saat kita di perjalanan, ditambah lagi waktu rehat (isi bahan bakar dan isi perut di warung).
Menurut Khairiyah, warga Banjarmasin, yang akhir pekan lalu berkunjung ke Amuntai, obyek wisata ini terpelihara dengan baik. Memasuki kawasan candi tersebut, kita disambut gapura bertulis Candi Agung.‎
“Cukup banyak masyarakat yang berkunjung ke Candi Agung, terutama masyarakat dari luar Amuntai,” 
Memang candi Agung tidak seperti candi di Pulau Jawa, namun keberadaan candi ini menjadi daya tarik karena bernilai historis. Seperti diketahui Candi Agung erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kerajaan Banjar.
“Obyek wisata sejarah ini banyak memberikan pelajaran bagi kita dan generasi muda. Jadi sangat perlu untuk menyempatkan waktu ke candi ini jika kita berkunjung ke Amuntai, tentunya bermanfaat untuk menambah wawasan,” 
Sebagaimana diketahui, Candi Agung yang dibangun Empu Jatmika, pendiri Kerajaan Negaradipa Khuripan, pada abad ke XIV Masehi. Dari kerajaan ini akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin.
Menurut cerita, Kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di persimpangan tiga aliran sungai; Tabalong, Balangan dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar itu diperintah Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negara dipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...