Selasa, 24 November 2020

Sejarah Kesultanan Siak Sri Indrapura


Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan salah satu kesultanan terbesar di Provinsi Riau. Awalnya Riau merupakan provinsi yang mencakup Riau (Daratan) danKepulauan Riau (Kepri). Tetapi sejak 24 September 2004, Provinsi Kepri ditetapkan sebagai daerah otonom di Provinsi Riau dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang pembentukan Provinsi Kepri sebagai pemekaran Provinsi Riau. ‎Pada 1 Juli 2004, secara resmi Provinsi Kepri mengalami pemekaran dan menjadi provinsi ke 32 di Indonesia.

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India,Sihag atau Asiagh yang bermaksudpedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, ‎masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Straboseorang penulis geografi dari Yunani. Ber‎kaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.

Kesultanan Siak Sri Indrapura kini berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kabupaten ini meliputi wilayah seluas 8.233,57 km² dengan pusat administrasi di Kota Siak Sri Indrapura. Daerah ini berada pada posisi 1º16‘30" LU dan 100º54‘21" 102º54‘21" 102º10‘59" BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan; di sebelah Barat berbatasan dengan Kota Pekanbaru; dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan.
Sebelum menetap di daerah yang dinamakan Kabupaten Siak, Kesultanan Siak Sri Indrapura beberapa kali mengalami perpindahan pusat kekuasaan. Ketika pertama kali didirikan, pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Buantan, kemudian berpindah ke Mempura, Senapelan Pekanbaru, kembali lagi ke Mempura, dan ketika diperintah oleh Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864) pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap di sana sampai pemerintahan Sultan Siak Sri Indrapura yang terakhir, Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946).
Pada masa awal Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama islam. Setelah itu perkembangan agamaIslam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau mengislamkan dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan ‎Orang Siak. ‎Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.‎

Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh Minangkabau masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.‎

Menurut sejarahnya Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan sebuah kesultanan yang didirikan oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (13-1746) pada 1723. Raja Kecil merupakan keturunan dari Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Sultan Johor) dan Encik Pung.‎ Disebutkan dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) Sultan Siak Pertama.
“Maka Baginda (Raja Kecil) itu, adalah putera dari pada Sulthan Mahmud Abdul Jalil Ra‘yat Syah, almarhum mangkat Dijulang Johor dengan … Encik Pung binti Datuk Laksamana Johor … Maka Sulthan Mahmud Abdul Jalil Ra‘yat Syah itu keturunan daripada Sultan mahmud Syah Malaka.- Setelah Malaka kalah dari Alphonso Alburqueque (Portugis) pada tahun 1511 Masehi, maka berpindahlah Raja Malaka ke Johor turun-temurun hingga sampai pada Sulthan Mahmud yang tersebut” 
Sebagai pewaris Kesultanan Johor, Raja Kecil tidak serta merta langsung bisa menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Sultan Johor. Kesulitan ini terjadi karena sebelum Raja Kecil dilahirkan, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dibunuh oleh Megat Sri Rama pada 1699. Istri sang sultan, Encik Pung yang sedang mengandung Raja Kecil, akhirnya dilarikan ke Singapura (Temasik) kemudian ke Jambi. Dalam pelarian inilah, Raja Kecil lahir dan dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sedangkan tahta Kesultanan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara Tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Shah.‎

Setelah dewasa Raja Kecil menuntut haknya selaku pewaris tahta Kesultanan Johor. Kesultanan Johor akhirnya diserang dan ditaklukkan pada 21 Maret 1717. Raja Kecil akhirnya ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Johor dengan gelar bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah.

Akan tetapi pada 1722 terjadi perebutan tahta antara Raja Kecil dengan Tengku Sulaiman yang merupakan putera dari Datuk Bendahara Tun Habib. Dalam upaya merebut tahta Kesultanan Johor, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan dari Bugis. Seperti tertulis dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) Sultan Siak Pertama (1985), bangsawan Bugis yang membantu Tengku Sulaiman adalah Daeng Relak alias Opu Tandriburung, putera ketiga dari Raja Negeri Luok (Bugis) yang bernama Landu Salat. Dalam membantu Tengku Sulaiman, Daeng Relak mengikutsertakan kelima anaknya yang bernama Daeng Parani (Daeng Berani), Daeng Menambung, Daeng Merewah, Daeng Celak (Daeng Pulai), dan Daeng Kemasi.‎

Perebutan tahta Kesultanan Johor antara Raja Kecil dan Tengku Sulaiman sebenarnya tidak pernah berakhir. Kedua belah kubu bisa dikatakan sama-sama kuat. Akibat dari perebutan tahta ini, banyak korban yang diderita oleh kedua belah pihak. Akhirnya kedua belah pihak membuat kesepakatan (perjanjian) untuk mengakhiri konflik perebutan tahta. Seperti dikutip dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) Sultan Siak Pertama, kesepakatan tersebut berbunyi:

“Satu : Kerajaan Riau dibagi dua, yakni Pulau-pulau Riau, Lingga, Negeri Johor serta Negeri Pahang, menjadi Kerajaan Raja Suleman yang ditabalkan dengan seruan: ‘Sultan Suleman Badra‘ Alamsyah‘
Dua : Siak serta jajahan yang di pulau Sumatera dan pulau yang berhampiran mulai dari Karimun, menjadi Kerajaan Siak, pulang kepada Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah).
Tiga : Segala alat kebesaran seperti nobat dan lain-lainnya pun dibagi dua, demikian juga orang-orang jadi jawatan adat-adat seperti suku Bintang ada di Siak dan kerjanya memasang meriam nobat, kepalanya bernama Jenang, karena itu orang Bolang dinamakan Bolang Biduanda”
Berdasarkan kesepakatan inilah, kubu dari Tengku Sulaiman menyingkir ke Pahang, sedangkan kubu Raja Kecil menyingkir ke Buantan. Buantan merupakan daerah pedalaman sungai Siak yang terletak kurang lebih 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang. Dari Buantan inilah pada 1723, Kesultanan Siak Sri Indrapura didirikan oleh Raja Kecil sampai menjadi pusat penyebaran agama Islam di Sumatera Timur‎.

Pemerintahan Raja Kecil ditandai dengan pembuatan landasan sistem pemerintahan, militer, dan sistem perekonomian untuk menentang monopoli Belanda dan Bugis. Beliau juga mengarahkan sistem pemerintahan untuk menjalin hubungan dengan luar khususnya negeri Islam, seperti negeri-negeri Islam Minangkabau, Turki, Arab, dan Mesir. Seperti disebutkan dalam buku Sejarah Riau (2004), untuk membangun kekuatan di bidang militer, Raja Kecil memerintahkan kepada Datuk Laksmana Raja Di Laut untuk membangun armada laut yang kuat. Perintah ini dilaksanakan oleh Laksmana Raja Di Laut dengan menjadikan Bintan s‎ebagai tempat pembuatan kapal-kapal perang di mana persenjataan kapal-kapal tersebut didatangkan dari negeri-negeri Islam. Sedang dalam bidang perekonomian, Raja Kecil memanfaatkan Bandar Sabah Auh untuk melakukan hubungan dagang dengan negeri pesisir timur Sumatera sampai Aceh dan Minangkabau. Raja Kecil juga memberlakukan pajak yang dinamakan pancung alas(pajak atas hasil hutan) dan tapak lawang (pajak kepala). Setelah kekuatan militer, pemerintahan, dan ekonomi telah memadai, Raja Kecil kembali menyerang Kesultanan Johor pada 1724-1726. Dalam sebuah pertempuran di Kedah, Raja Kecil berhasil membunuh Daeng Parani akan tetapi tidak berhasil menguasai Kedah. Tetapi keberhasilan penyerangan ini dapat dilihat dari masuknya wilayah Rokan, Tanah Putih, Bangka, dan Kulo ke dalam wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selepas penyerangan ke Kesultanan Johor, Raja Kecil yang kini telah bekerjasama dengan orang-orang Bugis, berkali-kali muncul di Selat Malaka untuk mengacaukan alur perdagangan Belanda. Kejadian ini berlangsung antara 1740-1745. Pada 1746, Raja Kecil wafat dan dimakamkan di Buantan. Sebagai pengganti Raja Kecil, tampuk kekuasaan dipegang oleh Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765).‎

Perpindahan kekuasaan dari Raja Kecil ke Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah sebenarnya diwarnai dengan sengketa perebutan tahta. Hal ini terjadi karena sultan pengganti merupakan anak bungsu dari Raja Kecil. Raja Kecil sebenarnya mempunyai 3 orang putera, yaitu Tengku Alamuddin, Tengku Muda, dan Tengku Buang Asmara. Perebutan tahta terjadi antara Tengku Buang Asmara dan Tengku Alamuddin. Sedangkan Tengku Muda telah meninggal dunia di usia yang masih sangat muda. Akhirnya perebutan tahta dimenangkan oleh Tengku Muda, sedangkan Tengku Alamuddin mengundurkan diri ke Johor.

Pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah ditandai dengan perpindahan pusat kekuasaan dari Buantan ke Mempura pada 1760 dan penggantian nama Sungai Jantan menjadi Sungai Siak. Oleh karena itu dinamakan pula Kesultanan Siak dan pusatnya bernama Siak Sri Indrapura. Sejak saat itulah, Kesultanan Siak resmi memakai nama Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selain itu, pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah juga ditandai dengan konfrontasi secara langsung dengan Belanda untuk pertama kalinya. Perang terjadi di daerah Guntung pada 1760. Inilah kemenangan terbesar Kesultanan Siak Sri Indrapura atas Belanda. Atas kekalahan ini, Belanda mundur dan untuk sementara menghentikan upaya penaklukan Kesultanan Siak Sri Indrapura.‎

Pada 1765 Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah wafat dan dimakamkan di Mempura. Sebagai pengganti naiklah puteranya bernama Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1767). Pergantian pemegang kekuasaan di Kesultanan Siak Sri Indrapura membuat keinginan Belanda untuk menaklukkan Kesultanan Siak Sri Indrapura muncul kembali. Dengan memperalat Tengku Alamuddin, Belanda kembali menyerang Kesultanan Siak Sri Indrapura dan berhasil menaklukkannya pada 1766. Pada 1967 bertahtalah Tengku Alamuddin dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berpindah ke Senapelan. Beliau membuat sebuah pekan (pasar) untuk perdagangan. Tempat tersebut kini dikenal sebagai Pekanbaru. ‎Selama memerintah beliau memperbesar pusat perdagangan dan membuka alur perdagangan dengan daerah pedalaman yang menghubungkan dengan Senapelan.

Kebijakan untuk memelihara dan mengembangkan perdagangan di Senapelan tetap dilanjutkan pada masa pemerintahan Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Akan tetapi kegemilangan menjadikan Senapelan sebagai pusat perdagangan mulai goyah, ketika terjadi perpindahan pusat kekuasaan dari Senapelan ke Mempura. Perpindahan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784). Perpindahan pusat kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan karena terjadi perebutan tahta sultan antara Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah dan Said Ali. Perebutan tahta sebenarnya dimulai ketika Sultan Muhammad Ali selaku pemegang tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura berhasil dikalahkan oleh Sultan Ismail yang dulu pernah dikalahkan oleh Sultan Alamuddin (ayah dari Sultan Muhammad Ali) dan menyingkir ke Pelalawan hingga ke Langkat. Ketika Sultan Ismail wafat, beliau telah menyiapkan pengganti yaitu Sultan Yahya. Akan tetapi karena Sultan Yahya masih kecil, tampuk kekuasaan diserahkan kepada Tengku Muhammad Ali yang sebelumnya telah mendapat pengampunan oleh Sultan Ismail dan diangkat sebagai Raja Muda. Setelah dewasa Sultan Yahya akhirnya naik tahta pada 1782. Naiknya Sultan Yahya ditandai dengan perebutan tahta antara Sultan Yahya dengan keturunan dari Sultan Alamuddin yaitu Said Ali (cucu dari Sultan Alamuddin).‎

Kedudukan Sultan Yahya sebagai pemegang tampuk kekuasaan ternyata tidak berlangsung lama karena terus menerus mendapat tekanan dari Said Ali. Sultan Yahya akhirnya menyingkir ke Kampar kemudian ke Trenggano dan akhirnya ke Dungun dan wafat di sana pada 1784. Said Ali akhirnya naik sebagai pengganti dari Sultan Yahya. Said Ali yang bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) adalah putra dari Tengku Embung Badariah dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab, sehingga beliau merupakan Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa pemerintahannya Kesultanan Siak Sri Indrapura memiliki 12 daerah jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang‎. Masa pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi ditandai dengan kembali berpindahnya pusat kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura dari Mempura ke Kota Tinggi.‎

Kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mulai pudar pasca turunnya Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi dan digantikan oleh putera beliau, Tengku Said Ibrahim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827). Kemunduran Kesultanan Siak Sri Indrapura dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama, penduduk Kesultanan Siak Sri Indrapura mulai banyak yang berpindah tempat ke Lingga, Tambelan, Trenggano, bahkan Pontianak. Kedua, masuknya intervensi Barat seperti perjanjian dengan Kolonel William Farquhar (Kepala Perwakilan Kompeni Hindia Inggris di Penang) dan Belanda, turut memberikan andil mundurnya Kesultanan Siak Sri Indrapura. Perjanjian dengan kedua belah pihak ini (Inggris dan Belanda) merupakan perjanjian yang mengikat dan tidak jarang merugikan Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Seperti tertulis di dalam buku Sejarah Riau (2004), kemunduran Kesultanan Siak Sri Indrapura semakin parah ketika terjadi pemberontakan dari dalam ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Perselisihan ini dimulai ketika Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin mengalami gangguan jiwa dan terpaksa meletakkan tampuk kekuasaan. Para Dewan Kesultanan akhirnya berunding dan disepakati untuk mengangkat Tengku Said Ismail sebagai pengganti sultan. Padahal jika dirunut dari garis keturunan, Tengku Said Ismail adalah anak dari Tengku Muhammad dengan saudara perempuan sultan, yaitu Tengku Mandah. Naiknya Tengku Ismail sebagai pengganti sultan praktis membuat garis keturunan langsung dari Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin terputus karena terjadi alih keturunan. Beberapa kalangan yang tidak sependapat dengan pengangkatan ini akhirnya melancarkan pemberontakan. Mereka di antaranya adalah Tengku Do yang bergelar Yam Mertuan Raja Di Laut dari daerah Bangko, Kubu, dan Tanah Putih, serta pemberontakan yang berasal dari dalam kalangan istana yang dipimpin oleh Tengku Putera. Di luar Kesultanan Siak Sri Indrapura, ternyata Aceh mengambil keuntungan dengan merebut daerah jajahan Kesultanan Siak Sri Indrapura di Temiang dan Kualuh. Atas dasar pemberontakan ini, Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin meminta bantuan dari pihak Inggris yang dipimpin oleh Wilson. Wilson sukses menghalau pemberontakan dan meminta upah dengan menduduki Bengkalis. Tindakan Wilson tidak berkenan di hati Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin, sehingga beliau meminta bantuan Belanda untuk mengusir Wilson dari Bengkalis. Belanda menyanggupinya dan berhasil mengusir Wilson dari Bengkalis. Sebagai balas jasa, Belanda mengadakan perjanjian kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura. Perjanjian kemudian dilakukan pada 1 Februari 1858 yang dikenal dengan Traktat Siak.

Penandatangan Traktat Siak justru semakin memperparah kemunduran Kesultanan Siak Sri Indrapura. Baik dilihat dari sistem pemerintahan maupun wilayah kekuasaan, Kesultanan Siak Sri Indrapura berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Akan tetapi masuknya kekuasaan Belanda di dalam Kesultanan Siak Sri Indrapura, menjadi tanda bahwa kehidupan modern mulai berlaku di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kehidupan modern, khususnya di dalam lingkungan istana dimulai ketika Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada 1864-1889. Beliau berhasil mendirikan Masjid Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan, memulai modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
Kehidupan modern di Kesultanan Siak Sri Indrapura berlanjut ketika Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada 1889-1908. Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura(2005), beliau meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Beliau juga membangun Balai Kerapatan Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dari perak, tempat gula yang khusus dipesan dari Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun Al Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Khususnya di bidang pendidikan, beliau berupaya menandingi dominasi pendidikan Belanda lewat HIS (Hollandsche Inlandsche Schoolatau Sekolah Dasar). Sekolah yang didirikan oleh Belanda ini seluruh pembiayaannya dibebankan kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sekolah ini hanya menampung anak-anak pembesar kesultanan, kaum bangsawan, dan anak-anak hartawan Cina, Arab, serta India. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyat yang tidak tertampung dalam HIS, Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin mendirikan Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama pendidikan 7 tahun. Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama mendirikan sekolah kepandaian puteri, Latifah School. Sepeninggal permaisuri pertama pada 1927, Tengku Maharatu yang merupakan permaisuri kedua mendirikan asrama puteri bernama Istana Limas yang menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School dan diberi tugas di lingkungan istana membantu semua kegiatan istana, seperti menerima tamu, memasak, dan membersihkan istana. Di samping itu didirikan pula Madrasyahtul Nisak untuk kaum perempuan dengan lama pendidikan 7 tahun, serta sebuah Taman Kanak-kanak.‎
Sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Ketika Sultan Said Kasim II memerintah, beliau melakukan beberapa hal, antara lain: penanaman kapuk, pembukaan jalan raya Tratak Buluh-Si Malinjang-Gunung Sahilan-Teluk (Sumatera Barat), peningkatan jalan Siak-Pekanbaru-hulu Sungai Siak, pembukaan bank kredit rakyat di Bagansiapi-api atas nama Bank Bagan Madjoe pada 1917, dan membentuk Dewan Kesultanan Siak yang telah dihapuskan Belanda sejak Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.‎
Sultan Said Kasim II juga menaruh perhatian di bidang kesenian. Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim II menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kesenian di istana, terutama pada Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri Indrapura, pada saat menerima tamu kerajaan, dan pada saat upacara persembahan kepada sultan. Istana juga mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil. Grup tonil ini dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin mendapat tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah, dan Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater rakyat, Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat‎.

Selain memberikan perhatian dibidang perekonomian, pembangunan, dan kesenian, Sultan Said Kasim II juga merupakan seorang nasionalis. Hal ini dibuktikan ketika terjadi Revolusi Sosial di sebagian wilayah Sumatera Timur pada minggu pertama bulan Maret 1946, lima istana kesultanan yang ada di pantai timur Sumatera dibakar, kecuali Istana Maimoon di Medan dan Istana Asserayah Al Hasyimiah di Kesultanan Siak Sri Indrapura‎. Penyebab utama tidak ikut dibakarnya Istana Asserayah Al Hasyimiah di Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah tindakan Sultan Said Kasim II yang dengan tegas telah menunjukkan keberpihakan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap sang sultan juga diwujudkan secara nyata dengan pemberian dukungan dari pihak Kesultanan Siak Sri Indrapura kepada Negara Kesatuan republik Indonesia sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan pada bulan Oktober 1945, Sultan Said Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak yang segera disusul dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan upacara pengibaran Bendera Merah-Putih di halaman istana. Sebagai tanda menjadi bagian dari Republik Indonesia, Sultan Said Kasim II menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak yang kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia (Museum Gajah) dan menyerahkan sebagain hartanya untuk membantu perjuangan kemerdekaan‎.

Silsilah
Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah diperintah oleh 12 sultan, yaitu:
1. Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (1723-1746). Raja Kecil adalah pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura setelah sebelumnya merebut Kesultanan Johor pada 1717.
2. Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahannya nama Siak Sri Indrapura resmi digunakan.
3. Tengku Ismail bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1767). Beliau juga dikenal dengan sebutan “Sultan Kudung” karena tangannya kudung dalam peperangan melawan Belanda pada 1766.
4. Tengku Alamuddin bergelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780).
5. Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Pada masa pemerintahannya Pekanbaru berkembang menjadi pusat perdagangan.
6. Tengku Sulung/Yahya bergelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784).
7. Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Beliau adalah putra dari Tengku Embung Badariah dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan Arab, sehingga beliau merupakan Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah jajahan, di antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang.
8. Tengku Said Ibrahim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827).
9. Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.
10. Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889). Beliau berhasil mendirikan Masjid Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan, memulai modernisasi pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.‎
11. Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Beliau meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkaya kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Beliau juga membangun Balai Kerapatan Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang diisi dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dari perak, tempat gula yang khusus dipesan dari Limoges, Perancis, dan alat musik Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun Al Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Babul Qawa‘id diartikan sebagai “Pintu Segala Pegangan”.‎
12. Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Sultan Kasim II adalah sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pada 25 April 1968 beliau ditetapkan sebagai Warga Utama Daerah Riau, dan pada 6 November 1998 beliau mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Sistem Pemerintahan
Raja Kecil (1723-1746) merupakan pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura sekaligus sultan pertama yang membangun landasan sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura mengatur bahwa seorang sultan dibantu oleh Dewan Kesultanan yang berfungsi sebagai pelaksana dan penasehat sultan. 

Di dalam buku Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya (1999/2000), Dewan Kesultanan tersebut terdiri dari:

Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Paduka Raja
Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa
Di samping keempat datuk tersebut ada pula Datuk Bintara Kanan dan Kiri yang mengatur tata pemerintahan, hukum dan undang-undang kesultanan; Datuk Laksmana untuk mengatur laut; dan Panglima untuk kawasan darat.

Di luar pusat pemerintahan, Kesultanan Siak Sri Indrapura juga mengatur sistem pemerintahan di daerah. Sebagaimana tercatat di buku Sejarah Riau (2004), pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Ketiga jabatan tersebut sama kedudukannya, hanya saja Penghulu tidak mempunyai hutan tanah. Dalam menjalankan tugasnya Penghulu dibantu oleh:

Sangko Penghulu (wakil Penghulu)
Malim Penghulu (pembantu urusan kepercayaan/agama)
Lelo Penghulu (pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang).
Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku asli. 
Jabatan ini didapat secara turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). 
Dalam menjalankan tugasnya, Batin dibantu oleh:

Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
Monti (pembantu Batin urusan adat)
Antan-antan (pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan).     
Pada masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang aliran Sungai Siak, antara lain: Perbatinan Gassib, Senapelan, Sejaleh, dan Perawang. Perbatinan sebelah selatan Sungai Siak antara lain: Perbatinan Sakai dan Petalangan. Sedangkan perbatinan di pulau-pulau, antara lain : Perbatinan Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang. Sementara itu, daerah asli yang kepala sukunya disebut penghulu antara lain: Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah.

Model sistem pemerintahan yang dirancang oleh Raja Kecil bertahan hingga Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin merubah sistem pemerintahan dan meletakkan landasan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional. Sistem ini ditandai dengan penyusunan dan pemberlakukanAl Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura).

Babul Qawa‘id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawa‘id merupakan bagian pembukaan yang terdiri dari dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, latar belakang, nama dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terlibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan melibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.‎

Masih di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), pada bagian utama Babul Qawa‘idterdiri dari 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain: “Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tinggi, Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi, Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi, Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan, Nama-nama Suku” .

Selain Babul Qawa‘id, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada lembaga pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di dalam buku Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya (1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari:

Sultan
Merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
Dewan Menteri (Dewan Kesultanan)
Dewan ini bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
Hakim Kerapatan Tinggi
Hakim Kerapatan Tinggi bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum. Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak. Kepala dari Kerapatan Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
Hakim Polisi
Merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan. Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dari 10 provinsi.
Hakim Syariah‎
Hakim Syariah terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dari Kadi Siak menangani pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
Hakim Kepala Suku/Hinduk‎
Merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertugas melaksanakan pemerintahan dan mengatur kehidupan bermasyarakat, beragama, dan berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk tunduk pada Hakim Polisi Provinsi.
Perubahan sistem pemerintahan ini bertahan hingga muncul pewaris tahta, yaitu Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Hanya saja ketika pewaris tahta ini ditunjuk untuk menggantikan sultan yang telah mangkat, usia beliau masih terlalu muda yaitu berumur 16 tahun dan masih menempuh pendidikan di Batavia. Oleh karena itu diangkatlah dua pejabat sebagai wakil sultan, yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh. Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin sendiri akhirnya menduduki tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1915‎. Sehingga praktis mulai 1908-1915, pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Siak Sri Indrapura dipegang oleh dua pejabat pengganti sultan.

Ketika Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin resmi ditabalkan sebagai sultan, sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura telah diubah oleh Belanda. Wilayah kesultanan yang sebelumnya terdiri dari 10 provisi telah disempitkan menjadi 5 distrik. Sultan juga memerintah tanpa didampingi oleh Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) karena kedudukan lembaga ini telah dihapuskan oleh Belanda. Sistem pemerintahan ini tetap berlangsung sampai Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1946‎.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami pasang surut sejak didirikan oleh Raja Kecil pada 1723 sampai pewaris tahta terakhir, Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya mengalami pasang surut pada tiga fase (kejadian). Pertama ketika diperintah oleh Raja Kecil (1723-1746), wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup wilayah Buantan sebagai pusat pemerintahan hingga wilayah perbatinan yang merupakan daerah perluasan wilayah. Sehingga dilihat dari wilayah perbatinan inilah, pada masa pemerintahan Raja Kecil, wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup wilayah Buantan, Gassib, Senapelan, Sejaleh, Perawang, Sakai, Petalangan, Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang, Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah. Ditambahkan pula bahwa wilayah Kesultanan Siak mencakup pula daerah Panai, Bilah, Asahan, dan Batu Bara.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mencapai puncak perluasannya ketika diperintah oleh Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Ketika diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami perluasan wilayah sehingga mencakup 12 jajahan, yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, dan Temiang yang berbatasan dengan Aceh, selain daerah taklukan Sambas di Kalimantan, dan daerah kekuasaan Riau sendiri yang meliputi Kubu, Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan.

Perluasan wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura akhirnya mengalami penyempitan ketika Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858. Perjanjian ini sendiri diwakili oleh dua orang, yaitu Residen Riau J.F. Niewenhuyzen dan Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Isi dari Traktat Siak tersebut adalah:

Belanda mengakui hak otonomi Siak atas daerah Siak asli.
Siak menyerahkan daerah jajahannya, yaitu Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada Belanda.
Dengan ditandatanganinya Traktat Siak berarti masa kolonial di Siak telah dimulai karena Kesultanan Siak Sri Indrapura dinyatakan bernaung di bawah Kerajaan Belanda.
Kehidupan Sosial-Budaya

Kehidupan Sosial‎
Kehidupan sosial di lingkungan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya dapat dipetakan ke dalam beberapa hal, antara lain: perekonomian, pendidikan, perluasan wilayah, dan pembangunan. Di bidang perekonomian, Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah menjadi pusat perdagangan (bandar dagang) ketika pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Senapelan. Puncak kejayaan bandar dagang dicapai ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh  Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780) dan dilanjutkan oleh puteranya, Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah membuat sebuah pekan (pasar) untuk perdagangan. Tempat tersebut kini dikenal sebagai Pekanbaru. Selama memerintah beliau memperbesar pusat perdagangan dan membuka alur perdagangan dengan daerah pedalaman yang menghubungkan antara Senapelan dengan daerah-daerah penghasil bahan yang diperdagangkan (lada, gambir, rotan, damar, kayu, dan lain-lain). Jalur pedagangan tersebut menuju ke arah selatan dan barat. Jalur ke arah selatan sampai Teratak Bulu dan Buluh Cina. Sedangkan jalur ke arah barat sampai Bangkinang terus ke Rantau Berangin. Semakin besarnya pengaruh Pekanbaru sebagai pusat perdagangan di Sumatera Timur, menjadikan Belanda yang menguasai Guntung dan mendirikan loji di sana, terpaksa menutup loji karena pusat perdagangan kini tidak lagi melewati Guntung akan tetapi ke Pekanbaru.

Di bidang pendidikan, kemajuan yang sangat signifikan ditunjukkan ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura dipimpin oleh Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin pada 1864-1889. Beliau adalah Sultan Siak yang meletakkan pondasi kehidupan modern di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Beliau juga berusaha menandingi pengaruh Belanda yang mendirikan HIS (Hollandsche Inlandsche School atau Sekolah Dasar) dengan mendirikan sekolah Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama pendidikan 7 tahun. Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama mendirikan sekolah kepandaian puteri, Latifah School. Sepeninggal permaisuri pertama pada 1927, Tengku Maharatu yang merupakan permaisuri kedua mendirikan asrama puteri bernama Istana Limas yang menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School dan diberi tugas di lingkungan istana membantu semua kegiatan istana, seperti menerima tamu, memasak, dan membersihkan istana. Di samping itu didirikan pula Madrasyahtul Nisak untuk kaum perempuan dengan lama pendidikan 7 tahun, serta sebuah Taman Kanak-kanak.‎

Di bidang perluasan wilayah, Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah mencapai puncak kekuasaan penguasaan wilayah ketika diperintah oleh Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah jajahan, yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang di samping daerah taklukan di Sambas, Kalimantan dan daerah kekuasaan di Riau sendiri seperti Kubu, Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan. Perluasan daerah jajahan ini menimbulkan implikasi terhadap Kesultanan Siak Sri Indrapura. Khususnya di daerah jajahan di Sambas, Kalimantanhingga saat ini di Sambas masih terdapat perkampungan yang bernama Kampung Siak. Selain itu implikasi dari penaklukan Sambas ternyata berpengaruh pada corak tenunan Siak. Corak tenun Sambas mempunyai kesamaan dengan tenun Siak. Sisi positif lainnya adalah setiap daerah jajahan memberikan upeti kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura sebagai yang dipertuan (pengakuan kedaulatan).‎

Kehidupan sosial yang lain dapat ditunjukkan lewat sisi pembangunan, baik secara non fisik maupun secara fisik di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pembangunan secara non fisik dapat dilihat ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura mengubah sistem dari Monarki ke Monarki Konstitusional yang ditandai dengan penyusunan dan pemberlakukan Al Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Sistem ini berlaku ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura dipimpin oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), dijelaskan bahwa Babul Qawa‘id merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawa‘id merupakan bagian pembukaan yang terdiri dari dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, latar belakang, nama dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terlibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan melibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda.‎
Pembangunan secara fisik di Kesultanan Siak Sri Indrapura juga dilakukan dengan pembuatan Istana Istana Asserayah Hasyimiah pada 1889 dan Balai Kerapatan Tinggi pada 1886 ketika diperintah oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Istana Asserayah Hasyimiah dibangun dengan bantuan arsitek dari Jerman yang memadukan gaya Eropa, Spanyol, Arab, dan Melayu tradisional. Istana ini dikenal pula dengan nama Istana Matahari Timur.‎

Balai Kerapatan Tinggi atau Balai Rung Sari digunakan untuk sidang kerajaan dan Mahkamah Kerapatan Tinggi, sidang-sidang perkara kejahatan, hutang, sengketa tanah, warisan, pelanggaran adat istiadat, penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya.

“Di kedua sisi ruang sidang terdapat tangga besi berbentuk spiral dan tangga kayu. Jika suatu perkara sudah diputuskan, maka yang menang akan turun melalui tangga besi dan yang kalah akan turun ke lantai dasar dengan menggunakan tangga kayu dan langsung menuju Djil (penjara) yang terletak tidak jauh dari situ”‎.

Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya di Kesultanan Siak Sri Indrapura di antaranya dapat dilihat ketika Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) memerintah, tenun khas Siak mendapatkan tempat karena kerajinan tenun ini mulai dikenal luas. Selin itu pada masa pemerintahan Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946) kesenian mendapat tempat terhormat di istana pada. Beliau merupakan sultan yang menaruh perhatian pada kesenian di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim II menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kesenian di istana, terutama pada Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri Indrapura, pada saat menerima tamu kerajaan, dan pada saat upacara persembahan kepada sultan. Istana juga mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil. Grup tonil ini dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin mendapat tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah, dan Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater rakyat, Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat.

Kemajuan Perdagangan Kesultanan Siak
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yg menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka & Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan & permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dlm Tuhfat al-Nafis, di mana dlm deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yg rakus akan kekayaan dunia. Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura.

Sungai Siak merupaken kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah & emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yg utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yg berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras & garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yg mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yg tak berujung. Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera &Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, & Kuantan, yg sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman ‎Minangkabau yg dikenal dengan Perang Padri.

Bergabung dengan Indonesia
Sultan Syarif Kasim II, merupaken Sultan Siak terakhir yg tak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia,Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.‎

Pengaruh Pagaruyung 
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih & mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.

Dewan menteri ini terdiri dari:

1. Datuk Tanah Datar

2. Datuk Limapuluh

3. Datuk Pesisir

4. Datuk Kampar

Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yg berlaku di Eropa maupun yg diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yg diterbitkan tahun 1897.

Naskah ini terdiri dari 33 halaman yg panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tak khianat kepada sultan & nagari. Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan kepada masyarakat Melayu & masyarakat lain yg terlibat perkara dengan masyarakat Melayu.

Namun tak mengikat orang Melayu yg bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yg dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.

Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dlm pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dlm yg bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yg bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan. Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu & hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dlm bentuk distrik yg dipimpin oleh seseorang yg bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan & bertanggungjawab kepada Sultan Siak yg juga bergelar Yang Dipertuan Besar.

Pengaruh Islam & keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yg bergelar ‎Bendahara Patapahan. Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yg bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yg sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yg tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti & Antan-antan.

Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dlm Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian ‎Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir. Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, & Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yg dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin & Tari Olang-olang yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yg bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

 

Sejarah Kerajaan Pelalawan


Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M - 1946 M) yang sekarang terletak di Kabupaten Pelalawan, adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta berpengaruh dalam mewarisi budaya Melayu dan Islam di Riau. Sedangkan gelar atau sebutan bagi Raja Pelalawan adalah Tengku Besar (Tengkoe Besar).
Kerajaan Pekantua (1380-1505)

Pada awalnya, Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan, raja pertama Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.

Banyaknya barang dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua semakin terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh karenanya, Raja Malaka, Sultan Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai bagian rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.

Setelah mangkat, secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja Laka (1445-1460), Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505). Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra Islam. Setelah era ini, Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.

Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)

Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.

Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.

Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).

Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-1590).

Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.

Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).

Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).

Kerajaan Tanjung Negeri  (1675-1725)

Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691).

Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya, Maharaja Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan. Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.

Kerajaan Pelalawan (1725-1946)

Setelah mangkat, Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750). Pada masa ini diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang oleh Maharaja Lela Utama pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar,  jauh di hilir Sungai Nilo.

Sekitar tahun 1725, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”, yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan nama “Pelalawan”. Setelah mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya, Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).

Terjadinya pertikaian berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di Siak (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan memicu serangan Siak ke Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.

Serangan pertama yang dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan Begito (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. Maharaja Lela II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja Pelalawan terakhir.

Pertikaian Siak Sri Indrapura dan Pelalawan

Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor. Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapurayang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnyaSultan Alauddin Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.

Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat dia adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (Sultan Johor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.

Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan

Dalam catatan sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, sepertiSaid Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.

Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.

Diperkirakan pada awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.

Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :

Empak-empak diujung Galah
Anak Toman disambar Elang
Pelalawan dirompak, haram tak kalah
Baheram Osman berlayar pulang.

Perebutan Kekuasaan Pelalawan

Sekembalinya pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).

Sampai pada tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh KakaknyaSultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.

Pada beberapa sumber menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.

Akhir Kekuasaan

Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesiasengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikanromusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.

Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RepublikIndonesia. 

Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif  Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.

Silsilah Para Raja

Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:

Kerajaan Pekantua (1380-1505)

1- Maharaja Indera (1380-1420)
2- Maharaja Pura (1420-1445)
3- Maharaja Laka (1445-1460)
4- Maharaja Sysya (1460-1480)
5- Maharaja Jaya (1480-1505).

Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)

1- Munawar Syah (1505-1511)
2- Raja Abdullah (1511-1515)
3- Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
4- Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
5- Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
6- Tun Hitam (1551-1575)
7- Tun Megat (1575-1590)
8- Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
9- Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
10- Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).

Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)

1- Maharaja Lela Utama (1675-1686)
2- Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
3- Maharaja Muda Lela (1691-1720)
4- Maharaja Dinda II (1720-1725).

Kerajaan Pelalawan (1725-1946)

1- Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
2- Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
3- Maharaja Lela II (1775-1798)
4- Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
5- Syarif Hasyim (1822-1828)
6- Syarif Ismail (1828-1844)
7- Syarif Hamid (1844-1866)
8- Syarif Jafar (1866-1872)
9- Syarif Abubakar (1872-1886)
10- Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
11- Syarif Hasyim II (1892-1930)
12- Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
13- Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).

Periode Pemerintahan

Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.

Wilayah Kekuasaan.

Wilayah kerajaan ini mencakup daerah yang tidak terlalu luas, hanya Pelalawan dan sekitarnya.

Struktur Pemerintahan

Raja merupakan pimpinan tertinggi di kerajaan ini. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh Mangkubumi, dan beberapa Orang Besar yang mengepalai daerah tertentu dalam wilayah Kerajaan Pelalawan.

Peninggalan Kerajaan Pelalawan 

Istana Sayap

Istana Sayap merupakan sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya dibangun oleh Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). namun dia wafat disaat bangunan Istana belum selesai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diselesaikan oleh penerusnya Tengkoe Besaar Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).

Istana ini sebelumnya dinamakan “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana, ia membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.

Banyak sekali filosofi yang terkandung pada bangunan Istana ini, namun sangat disayangkan bangunan Istana bersejarah ini sudah tidak dapat dilihat lagi, yang terisa saat ini hanyalah bangunan Istana Kanan atau Istana Sayap Kanan. karena dua bangunan yang merupakan Istana Tengah dan Istana Kiri sudah habis terbakar pada 19 Februari 2012.

Mesjid Hibbah

Masjid Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai 'Naga Belingkar', mengingat tempat tersebut tak jauh dari bangunan Istana Pelalawan dan Rumah kediaman Sultan. Lokasi masjid ini berada di tengah-tengah dan mudah ditempuh dari segala pemukiman, baik dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan perahu.

Kata “ Hibbah “ untuk nama masjid tersebut diambil dari makna ‘pemberian (sumbangan). Karena Mesjid ini dibangun dari keikhlasan masyarakat pelalawan waktu itu yang bergotong royong tanpa terkecuali tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dan pekerjaan tersebut dilaksanakan siang malam tanpa paksaan. Bahkan pada kegiatan tersebut Sultan dan para pembesar kerajaanpun ikut bekerja bersama rakyatnya.

Sebahagian besar bahan bangunannya terbuat dari  ‘teras laut’, kayu pilihan yang sengaja dipesan, sebagian lagi diramu oleh pemuda-pemuda di kawasan hutan. Sedangkan semen untuk tiang, kaca pintu, atap dan timah campuran bahan qubahnya merupakan sumbangan Sultan.

Masjid Hibbah bagaikan mahkota yang amat terpelihara, bahkan menurut penduduk setempat bangunan ini berharga melebihi bangunan Istana Sayap. Karena Mesjid tersebut merupakan wujud dari persaudaraan yang pernah mereka bangun dengan susah payah secara bersama-sama.

Meriam Perang

Tidak jauh dari Istana Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat dimana sebagian Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini merupakan fasilitas pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat berperang melawan musuh.

Komplek Pemakaman Raja

Komplek pemakaman ini terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa puluh meter dan memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja, makam Dekat dan makam Jauh.

Pemakaman utama disebut makam raja, terletak sekitar 50 meter dari Istana Sayap, tepatnya dibelakang Mesjid yang bernama Mesjid Hibbah. di sini bersemayan 3 (tiga) Raja Pelalawan diantaranya Sultan Syarif Hasyim (1894—1930), Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931—1940), dan Sultan Syarif Haroen (1940—1946).

Selain Komplek pemakaman Raja, terdapat lagi dua pemakaman Raja yang bernama makam Jauh dan makam Dekat. Makam jauh dan makam dekat berisi Raja-raja para, para alim ulama, pembesar kerajaan, orang-orang yang berjasa serta kalangan keluarga dekat Kerajaan.

Peninggalan sejarah lainnya

Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di Komplek Kerajaan di desa Pelalawan, diantaranya seperti bangunan Pesenggerahan Panglima Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti stempel kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan Putri, alat musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan benda-benda pusaka lainnya.

Sejarah Pelalawan Sebagai Kabupaten

Sebelum pemekaran terjadi, Kabupaten Pelalawan termasuk ke dalam bagian Kabupaten Kampar yang saat itu memiliki kawasan yang sangat luas. Kabupaten Pelalawan resmi dimekarkan pada tanggal 12 Oktober 1999, yang kemudian disahkan melalui Undang-undang Nomor 53 tahun1999 dengan ibu kotanya adalah Pangkalan Kerinci. 

Saat ini Kabupaten Pelalawan telah berkembang menjadi 12 daerah Kecamatan, terdiri atas 4 daerah Kecamatan Definitif serta 8 daerah Kecamatan Pembantu, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kecamatan Definitif :
1. Kecamatan Langgam dengan luas 916,61 km2
2. Kecamatan Bunut dengan luas 1.339,96 km2
3. Kecamatan Pangkalan Kuras dengan luas 2.158,68 km2
4. Kecamatan Kuala Kampar dengan luas 4.656,34 km2
 Kecamatan Pembantu:
1. Kecamatan Pangkalan Kerinci dengan luas 616,40 km2
2. Kecamatan Ukui dengan luas 407,73 km2
3. Kecamatan Pelalawan dengan luas 930,63 km2
4. Kecamatan Pangkalan Lengsung dengan luas 472,73 km2
5. Kecamatan Kerumutan dengan luas 773,86 km2
6. Kecamatan Teluk Meranti dengan luas 217,49 km2
7. Kecamatan Bandar Petalangan dengan luas 365,26 km2
8. Kecamatab Bandang sekijang dengan luas, 98,90 km2
Saat ini Kabupaten Pelalawan telah berkembang pesat dengan pembangunan fisik yang cukup terlihat. Sebagai kabupaten yang masih baru, Pelalawan bisa dibilang sebagai kabupaten yang cukup maju.‎

 

Sejarah Kerajaan Indragiri


Kabupaten Indragiri merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Riau yang berbatasan dengan propinsi Jambi, SUmatra Barat dan Selat Berhala. keadaan tanahnya berawa-rawa, dan di bagian timur berbukit=bukit. daerah Indragiri dialiri sebuah sungai berhulu di Danau Singkarak. hulu sungainya dinamakan batang Ombilin, kemudian batang tengahnya dinamakan batang Kuantan. kedua sungai tersebut nyaris bermuara kesungai bernama sungai Indragiri. Adapun daerah yang dianggap daerah cikal bakal kerajaan Indragiri adalah daerah keritang.

Ada yang berpendapat bahwa keritang berasal dari kata "akar Itang", di ubah menjadi "akaritang". selanjutnya disebut "Keritang". Itang adalah jenis tumbuhan yang banyak terdapat disepanjang anak sungai Gangsal. sedangkan pendapat lain mengatakan, nama "Keritang" diambil dari nama siput Kitang yang banyak di hulu sungai. didaerah Keritang ini lah dianggap sebagai cikal bakal tempat berdiri kerajaan Indragiri.

Kerajaan Inderagiri merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, sekarang dengan wilayahnya berada padaKabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia.

Sebelumnya kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung dan sekaligus sebagai kawasan pelabuhan. Kemudian kerajaan ini diperebutkan oleh Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak, dan Kesultanan Aceh.

Cikal-bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal “keritang”. Sementara Itang adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama Keritang identik dengan istilah “Kitang”, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal.

Asal-muasal Kerajaan Kelintang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwjaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain dari Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari arah utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya kerajaan yang menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri. Sama seperti Sriwijaya, Keritang adalah kerajaan yang bercorak Buddha.

Dari Keritang ke Indragiri

Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri. Mengenai nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang pernah menyebutnya. Kamus A Malay-English Dictionary yang disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan sebagai Indra‘s Mountain: an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.

Dalam Nieuw Malaeisch-Nedelandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter, kamus susunan Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu.‎ Ada pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.

Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337) yang berturut-turut dilanjutkan oleh Naja Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2 kemudian Raja Merlang II (1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Nara Singa II (1473- 1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4, mendirikan Kesultanan Indragiri sejak tahun 1508 dan berkuasa hingga tahun 1532 sebagai sultan pertama Indragiri.

Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit. Seiring Islam masuk ke nusantara, wilayah Keritang dikendalikan oleh Kesultanan Malaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi, setelah Keritang dikuasai Kesultanan Malaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi tetap menetap di Keritang, melainkan dibawa ke Malaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Malaka karena dengan demikian Keritang lebih mudah diawasi.

Dominasi Malaka terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri Bakal, anak perempuan Sultan Mansyur Syah, pemimpin Kesultanan Malaka. Ikatan perkawinan itu, di samping mengokohkan kedudukan Sultan Malaka di daerah jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di Malaka. Dari perkawinan dengan Putri Malaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan Malaka. Ketika Kesultanan Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I (1488-1511), Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Nara Singa dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga kemudian Nara Singa II (1473- 1508).

Selama keluarga Kerajaan Keritang berada di Malaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan Kerajaan Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi di antara kedua menteri itu adalah soal agama yang merembet ke ranah politik. Datuk Temenggung Kuning telah memeluk agama Islam, sementara Datuk Patih masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah, apabila ada orang yang berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk Patih kian berkurang karena semakin banyak pula orang yang memeluk Islam.

Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang Malaka terhadap rakyat Keritang, membuat Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya, Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang. Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan para pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Malaka, terdengarlah kabar bahwa Nara Singa II diculik. Kabar penculikan ini sengaja dihembuskan sebagai bagian dari taktik agar Nara Singa II dapat melepaskan diri dari Malaka.

Selanjutnya, Nara Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari Keritang ke Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri. Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa suatu tempat yang telah ditinggalkan tidak baik untuk dijadikan pusat pemerintahan. Keritang merupakan kota yang diambil-alih Malaka sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan magic religious, kota atau kraton yang telah dikalahkan itu harus ditinggalkan‎. Nara Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah tanda bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan Indragiri, gelar untuk Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.

Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantua dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan ancaman gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Nara Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama. Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.

Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura ke Rengat juga dikarenakan tersedianya biaya untuk pembangunan istana baru yang lebih megah.

Sultan pertama Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni tahun 1532. Setelah itu, pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa datang dan lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.

Kesultanan Indragiri pada Era Kolonial Belanda

Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu, Kerajaan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan Portugis dan Aceh serta Patani. Kerajaan Johor-Riau kemudian mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.

Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan jejaring niaganya di Selat Malaka, kompeni Belanda mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri. Namun, harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina, Portugis, dan Inggris. Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi menangani perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada 1622 kantor dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.

Karena kerjasama dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri mengalihkan jalinan niaganya ke Minangkabau. Namun, hubungan itu menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya, hasil lada dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh Aceh, menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Aceh Darussalam menyerang Indragiri dan Johor pada 1623. Selain itu, Aceh juga menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam waktu yang berdekatan.

Tujuan utama penyerbuan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya Aceh Darussalam dapat mewujudkan tujuannya itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah kekuasaan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai dengan harga yang ditetapkan Aceh.

Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Aceh Darussalam, Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van Dieman, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, pada 1641. Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jamaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia, ke Indragiri.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669) sebagai Sultan Indragiri ke-5, disepakati perjanjian dengan Belanda tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama Renovatie van het Contract van 27 October 1664, sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil perundingan. 
Isi dari perjanjian itu antara lain:
(1) Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada; dan
(2) Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri. 

Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.

Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya ketika Indragiri di bawah pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai campur tangan dalam urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah dari Hilir hingga Japura.

Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir, Sultan Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hukum yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial.

Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut.

Selanjutnya, kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan dan merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang tuan-tuan perbuat saya sangat mendukung.” Bahkan, Sultan Mahmudsyah menyarankan agar bendera Merah Putih segera dikibarkan di Indragiri. Dengan demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Silsilah Raja-Raja

Berikut silsilah raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku Sejarah Kesultanan Indragiri (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni Ishaq:

1- Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1.
2- Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2.
3- Raja Merlang II (1400-1473).
4- Nara Singa II (1473-1508), Raja Keritang ke-4 yang kemudian mendirikan Kesultanan Indragiri atau Raja Indragiri ke-1 dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532).
5- Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan Indragiri ke-2.
6- Raja Ahmad atau Sultan Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3.
7- Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4.
8- Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5.
9- Sultan jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6.
10- Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7.
11- Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8.
12- Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9.
13- Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10.
14- Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11.
15- Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12.
16- Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), Sultan Indragiri ke-13.
17- Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan Indragiri ke-14.
18- Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15.
19- Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16.
20- Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan Indragiri ke-17.
21- Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18.
22- Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan Indragiri ke-19.
23- Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan Indragiri ke-20.
24- Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan Indragiri ke-21.
25- Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan Indragiri ke-22.

Sistem Pemerintahan

Kesultanan Indragiri memiliki sistem pemerintahan khas yang dibangun oleh orang-orang Melayu secara turun-temurun. Model pemerintahan yang berlaku di dalam Kesultanan Indragiri yang bercirikan Islam telah memperkuat pertumbuhan dan perkembangan budaya Melayu. Upacara-upacara keagamaan di Indragiri tidak bisa dilepaskan dari Islam dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Indragiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam menjalankan pemerintahannya, pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Indragiri, Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan, didampingi bendahara kerajaan bernama Tun Ali dan diberi gelar “Raja di Balai”. Posisi bendahara kerajaan pada masa itu adalah jabatan yang prestisius karena hanya orang terdekat dan yang paling dipercaya oleh Sultan sajalah yang bisa menduduki posisi ini.

Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan masih memiliki sejumlah hamba setia, antara lain Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning serta beberapa orang lainnya. Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan berada di Malaka karena tidak diperkenankan tinggal di Indragiri oleh Sultan Malaka, pemerintahan di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri dijalankan oleh hamba-hamba setia tersebut.

Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep sejak masa pemerintahan Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan ditingkatkan dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasanuddin (1735-1765). Undang-Undang Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat Kerajaan Indragiri, Peradilan Adat Kerajaan, Panji-Panji Raja, serta Menteri Kerajaan. 

Undang-Undang Kesultanan Indragiri diuraikan sebagai berikut:

Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga Undang-Undang Adat, yang terdiri dari Beraja nan Berdua, meliputi: 
(1) Yang Dipertuan Besar Sultan; 
(2) Yang Dipertuan Muda, dan
 Berdatuk nan Berdua yang meliputi: 
(1) Datuk Temenggung; 
(2) Datuk Bendahara.
Menteri nan Delapan, yaitu Menteri-menteri Kesultanan Indragiri atau sebagai Pembantu Datuk Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain: Sri Paduka, Bentara, Bentara Luar, Bentara Dalam, Majalela, Panglima Dalam, Sida-Sida, dan Panglima Muda.
Tiga Datuk di Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya sebagai berikut: Orang Kaya Setia Kumara di Lala, Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta Orang Kaya Setia Perdana di Kota Baru.

Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas 
(1) Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; 
(2) Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir; dan 
(3) Dana Lela, di Pematang.

Kepala Pucuk Rantau, mencakup 
(1) Tun Tahir di Lubuk Ramo; 
(2) Datuk Bendahara di sebelah kanan; serta 
(3) Datuk Temenggung di sebelah kiri

Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat Kesultanan Indragiri yang mengurusi hukum pidana maupun perdata. Peradilan Adat Kesultanan Indragiri meliputi dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar, dengan keanggotaan yang terdiri dari Yang Dipertuan Muda, Datuk Bendahara, dan beberapa anggota lain yang dipilih oleh Sultan Indragiri. Setiap keputusan Mahkamah Besar disampaikan oleh Datuk Bendahara kepada Sultan Indragiri.

Mahkamah kedua adalah Mahkamah Kecil yang mencakup wilayah di desa-desa di bawah kendali seorang Penghulu. Pada perkembangannya, Mahkamah Kecil ini kemudian dikepalai oleh Amir atau Camat pada masa sekarang. Di samping itu ada pula Hukum Pidana Adat yang dikuasai Raja dan Orang Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo (damai), pengaduan tentang kerugian, dan batas putusan Penghulu.

Wilayah Kekuasaan

Sultan Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raka di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.

Pada masa Sultan Hasanuddin (1735-1765), terdapat pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Indragiri, meliputi:
(1) Daerah Cenaku, terdiri atas 3 daerah perbatinan, meliputi Pungkil, Pulau Serojan, dan Sanglap;
(2)  Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye Belimbing, Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau Langsat;
(3) Daerah Tiga Balai, terdiri dari Dian Cacar, Parit, dan Perigi;
(4) Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi Igal, Mandah, Pelanduk, Bantaian, Pulau Palas, serta Batang Tuaka;
(5) Daerah Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan, Ujung Tanah Minangkabau, dan Kerajaan Tua Gadis.

Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat van Vrindchaap (perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara Kesultanan Indragiri dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur (semacam daerah otonomi) dan berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan seorang controlleur (pengawas dari pemerintah kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang membawahi 6 daerah yang berupa wilayah keamiran, yaitu antara lain: Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, serta Amir Reteh di Kotabaru.

Sejak 31 Maret 1942, tentara Jepang berhasil masuk Indragiri melalui Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April 1942 Jepang menerima penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda atas Indragiri. Pada masa pendudukan Jepang ini, Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu:  Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat di Indragiri, telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang dipelopori oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang di Indragiri bertahan sampai bulan Oktober 1945, yakni lebih kurang selama 3,5 tahun.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu dan Hilir) masih menjadi satu kabupaten. Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu Kawedanan Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan, Kawedanan Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan Kawedanan Indragiri Hilir beribu kota Tembilahan. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1965 tanggal 14 Juni 1965, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965.‎

 

Pangeran Puger (Sunan Paku Buwono 1) Sesepuh Surokarto dan Ngayogjokarto


Pangeran Puger (lahir: Mataram, ? - wafat: Kartasura, 1719) adalah raja ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 - 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana. 

Nama asli Pangeran Puger adalah Raden Mas Darajat. Ia merupakan putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang.

Mas Darajat pernah diangkat menjadi pangeran adipati anom (putra mahkota), ketika terjadi perselisihan antara Amangkurat I dengan Mas Rahmat. Mas Rahmat adalah kakak tiri Mas Darajat yang lahir dari Ratu Kulon atau permaisuri pertama. Amangkurat I mencopot jabatan adipati anom dari Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Mas Darajat. Namun, ketika Keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya tahun 1674, Amangkurat I terpaksa menarik kembali jabatan tersebut dari tangan Mas Darajat.

Perang Di Plered

Puncak pemberontakan Trunajaya terjadi pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Plered. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Adipati Anom (Mas Rahmat) untuk mempertahankan istana. Namun, Adipati Anom menolak dan memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya tersebut untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa tidak semua anggota Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunajaya.

Ketika pasukan Trunajaya tiba di istana Plered, pihak Amangkurat I telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya. Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Kerajaan Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga.

Trunajaya menjarah harta pusaka keraton Mataram. Ia kemudian pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ingalaga kembali ke Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja bertugas di sana. Sunan Ingalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru.

Perang Saudara 

Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di daerah Tegal. ia sempat menunjuk Adipati Anom sebagai raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC - Belanda. pemberontakan Trunajaya akhirnya berhasil ditumpas pada akhir tahun 1679.

Amangkurat II merupakan raja tanpa istana karena Plered telah diduduki Sunan Ingalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakerta, yang diberi nama Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung dengannya tapi panggilan tersebut ditolak.

Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II. Kekalahan Pangeran Puger menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang kemudian menjadi daerah bawahan Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian, naskah-naskah babad tetap memuji keberadaan Pangeran Puger sebagai orang istimewa di Kartasura. Yang menjadi raja memang Amangkurat II, namun pemerintahan kasunanan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah-naskah babad ditulis pada zaman kekuasaan raja-raja keturunan Pangeran Puger.

Kamatian Kapten Tack

Amangkurat II berhasil naik takhta berkat bantuan VOC, namun disertai dengan perjanjian yang memberatkan pihak Kartasura. Ketika keadaan sudah tenang, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian tersebut. Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkapnya. Amangkurat II pura-pura membantu VOC.

Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, sebanyak 75 orang tentara VOC, tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pasukan Untung Suropati berhasil membunuh Kapten Tack yang tidak berhasil turun dari kudanya.

Pengungsian Ke Semarang

Amangkurat II meninggal dunia pada tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menjadi raja Tanah Jawa. Pangeran Puger pun menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat. Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak. Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger.

Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Tumenggung Jangrana, bupati Surabaya. Namun Jangrana sendiri diam-diam memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka.

Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack. Bangsa Belanda tersebut menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.

Kartasura di rebut

Pada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau lazim disingkat Pakubuwana I. Setahun kemudian, yaitu tahun 1705, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedangkan ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.

Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.

Masa Pemerintahan

Pemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama tersebut berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.

Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilangka.

Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati Surabaya yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena pihak VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati tahun 1706. Jangrana digantikan adiknya yang bernama Jayapuspita sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan mempersiapkan pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC bergerak menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di Pasuruan dahulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Japan (sekarang Mojokerto) tahun 1718.

Akhir Hayat

Sunan Pakubuwana I meninggal dunia pada tahun 1719. Yang menggantikannya sebagai raja Kartasura selanjutnya adalah putranya Pangeran Suryo Putro yang bergelar Amangkurat IV atau lebih di kenal dengan Sunan Prabu Mangkurat Jawa. Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudara-saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun.
Sunan Amangkurat Jawi, putera Pangeran Puger menggantikan ayah beliau. Sunan Amangkurat juga terkenal dengan sebutan Sunan prabu. Beliau memerintah Mataram antara thun 1719 – 1727 dan bergelar Sunan Amangkurat IV.

‎Untuk mengetahui lebih lanjut perihal keluarga menyamping dan ke bawah, berikut ini kami mulai dengan ke empat puluh dua putera dari Pangeran Amangkurat Jawi atau Sunan Prabu dari Kartosura :
1.      Pengeran Mangunagoro, putera dari Raden Ayu Kilen. Putera sulung ini kemudian hari mempunyai salah seorang putera yang bernama Raden Mas Sahit atau disebut pula Pangeran Samber Nyawa.
2.      Raden Ajeng Dewi Sobrah ( Soburoh ) putera dari Garwa Ampil Surtikanthi dan setelah dewasa dikawini oleh Tumenggung Suralaya dari Brebes.
3.      Raden Ajeng Pembayun, putera dari Kanjeng Ratu Ageng tetapi wafat.
4.      Raden Ajeng Aminah putera dari Garwa Ampil Mas Ayu Tejawati dan setelah menjanda dua kali kawin dengan Tumenggung Wirodigdo.
5.      Raden Mas Sandiyo putera dari Garwa Ampil Raden Ayu Susilowati Putri Adipati Mangkunegoro Pasuruan dan setelah dewasa bernama Pangeran Hangabei – Kyai Ikhsan dan terakhir bernama Kyai Nur Iman.‎
6.      Puteri, meninggal, putera dari Raden Ayu Kilen.
7.      Raden Mas Suroyo, putera dari Mas Ayu Condrowati, setelah dewasa bernama Pangeran Haryo Pamot.
8.      Raden Mas Kala, dari putera Mas Ayu Bondhansari dan setelah dewasa bernama Pangeran Diponegoro.
9.      Raden Mas Sudiman, putera dari Raden Retnodi, setelah dewasa bernama Pangeran Danuwoyo.
10.  K.G.P.A.A.Mangkunagoro, putera mahkota, putera dari Kanjeng Ratu Ageng, yang kemudian sebagai raja dengan sebutan Sunan Pakubuana II.
11.  Raden Mas Samdoyo, putera dari Garwa Ampil Erowati, kemudian wafat.
12.  Raden Mas Suroso, putera dari Mas Ayu Condrowati, setelah dewasa bernama Pangeran Harya Mangkubumi.
13.  Raden Mas Utoro, putera dari Mas Ayu Dondoarum, dan setelah dewasa bernama Pangeran Haryo Martosono alias Pangeran Adinegoro.
14.  Raden Ajeng Siti Sundari, dari Kanjeng Ratu Ageng, setelah dewasa kawin dengan Pangeran Cakraningrat dari Madura dan beralih nama dengan Kanjeng Ratu Maduretno. Tetapi kemudian bercerai dan kawin dengan Raden Aryo Endronoto.
15.  Raden Ajeng Kati, putera dari Mas Ayu Tilam, wafat.
16.  Raden Ajeng Branti, putera dari Raden Ayu Pandhansari. Kawin pertama dengan Tumenggung Mangkuyudo dan setelah cerai kawin lagi dengan seorang haji dari Kedu.
17.  Raden Mas Subandi, putera dari Mas Ayu Erowati, wafat.
18.  Raden Mas Subekti, putera dari Raden Ayu Pandhansari, setelah dewasa bernama Pangeran Hadiwijaya.
19.  Raden Mas Subroto, putera dari Raden Ayu Bondansari, wafat.
20.  Raden Mas Sakti, putera dari Kanjeng Ratu Kadipaten dan setelah dewasa bernama Pangeran Haryo Buminoto.
21.  Raden Mas Sudjono, putera dari Mas Ayu Tejowati, dan setelah dewasa bernama Pangeran Mangkubumi dan beliaulah yang akhirnya mendirikan kasultanan di Yogyakarta dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono  I.
22.  Raden Mas Kedhaton, putera dari Kanjeng Ratu Kadipaten, setelah dewasa juga bernama / bergelar Pangeran Haryo Buminoto.
23.  Raden Mas Pemade, putera dari Kanjeng Ratu Kadipaten, setelah dewasa bernama / bergelar Pangeran Haryo Mataram.
24.  Raden Ajeng Tadjem, putera dari Raden Ayu  Bondansari, setelah kawin bernama Raden Ayu Megatsari.
25.  Raden Ayu Sutari alias Inten, putera dari Mas Ayu Tejowati, setelah dewasa kawin dengan Pangeran Purboyo, Demang Ngurawan.
26.  Raden Ajeng Semi, putera dari Mas Ayu Rondhonsari, kemudian setelah dewasa kawin deNgan Pangeran Pakuningrat dari Sampang Madura.
27.  Raden Mas Suroto, putera dari Mas Ayu Werdiningsih, setelah dewasa bernama Pangeran Cokronagoro.
28.  Raden Mas Yadi, putera dari Mas Ayu Mundri, setelah dewasa bernama Pangeran Delarong.
29.  Raden Mas Langkir, putera dari Mas Ayu Murdaningrum, setelah dewasa bernama Pangeran Prangwedono.
30.  Raden Ajeng Sugati, putera dari Raden Ayu Rarasati, kemudian kawin dengan Raden Surowinoto.
31.  ………?
32.  Raden Mas Pater, putera dari Mas Ayu Pandansari, setelah dewasa bernama Pangeran Mangkukusumo.
33.  Raden Mas Sunoko, putera dari Kanjeng Ratu Kadipaten, setelah dewasa bernama Pangeran Singosari.
34.  Raden Ajeng Manganter, putera dari Raden Ayu Rarasati, kemudian kawin dengan Kyai Megatsari.
35.  Puteri, meninggal sebelum diberi nama, putera dari Kanjeng Ratu Kadipaten.
36.  Raden Ajeng Yadah, putera dari Mas Ayu Mundri, setelah dewasa kawin dengan R. Sudjonopuro.
37.  R‎aden mas sardan, putra dari mas ayu rantansari, setelah dewasa bernama Pangeran Diposonto.
38.  Raden Ajeng Rembe, putera dari Mas Ayu Rondonsari, setelah dewasa manjanda dua kali lalu diperistri Tumenggung Yudonegoro (Adipati Banyumas), kelak kemudian hari lalu menjadi Patih Danuredjo dari Kasultanan Yogyakarta.‎
39.  Puteri, meninggal sewaktu masih kecil.
40.  Puteri, meninggal sewaktu masih kecil.
41.  Puteri, meninggal sewaktu masih kecil.
42.  Putera, meninggal sewaktu masih kecil.‎

Pangeran Puger Yang Lain 

Dalam sejarah keluarga Kesultanan Mataram terdapat tokoh lain yang juga bergelar [[Pangeran Puger]]. Salah satunya adalah putra Panembahan Senapati yang lahir dari selir Nyai Adisara, bernama asli Raden Mas Kentol Kejuron. Tokoh ini hidup pada zaman sebelum Pakubuwana I.

Pangeran Puger yang ini pernah memberontak pada tahun 1602 - 1604 terhadap pemerintahan adiknya, yaitu Prabu Hanyokrowati (kakek buyut Pangeran Puger Pakubuwana I).

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...