Selasa, 24 November 2020

Sejarah Perjuangan Kanjeng Sultan Hamengku Buwono ii


Kanjeng Sultan Hamengku Buwono (HB) II adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Ada dua fenomena menarik dari pribadi Sultan pada saat berkuasa. Pertama adalah masa pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum pernah terjadi di Jawa pada periode sebelumnya. Pada periode tersebut, Jawa menjadi bagian dari perubahan besar yang berlangsung sebagai konsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris, dan Belanda. Perubahan rezim yang juga menimbulkan pergantian kebijakan kolonial ini mengakibatkan terjadinya instabilitas politik dari penguasa kolonial khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap raja-raja pribumi. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa.

Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan oleh para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam data kolonial tersebut masih mendominasi historiografi baik yang ditulis oleh sejarawan asing maupun sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya tarik tersendiri sebagai bahan kajian dalam penelitian sejarah khususnya yang menempatkan para tokoh atau penguasa pribumi sebagai fokusnya. Kredibilitas informasi yang dimuat dalam data kolonial tentang Sultan HB II perlu dikritisi terutama lewat studi komparasi dengan sumber-sumber yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman (Jawa). 

Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi selama masa pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya apa yang diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya

Sebelum Menjadi Raja

Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro. RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.

Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua Pangeran Mangkubumi.

Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua (palihan nagari) . Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Setelah peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja.

Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun 1758. Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan. Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.

Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya yang akan memperoleh status sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM Sundoro hendaknya berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja. Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III. Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III. 

Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang. Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama. Akibatnya, RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III. Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang.

Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah. Sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antarkedua kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan atas elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh adanya ikatan kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa daerah dan masing-masing raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak ditentukan oleh batas yang jelas tetapi letaknya tumpang tindih. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah yang memicu konflik vertikal antarsesama penguasa daerah. 

Proses ini berlangsung hampir dua puluh tahun lamanya dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian ini batas wilayah masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan tujuan agar konflik tersebut tidak terjadi lagi.
RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung seiring dengan meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja Jawa. Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu. Tekanan ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja Jawa baik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780.

Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya. Sultan HB I menyadari hal ini dan mengetahui bahwa RM Sundoro adalah putra yang diharapkan mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro sebagai putra mahkota. Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785.

Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya. Setelah diangkat menjadi putra mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin besar dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun 1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan HB I. Ia berusaha mencegah agar benteng Rustenburg tidak terwujud. Dengan segala upaya ia berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu belum juga selesai.

Ketika Johannes Siberg datang ke kraton Yogyakarta dalam acara pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota, Siberg mengingatkan kepada Sultan HB I tentang kewajibannya membantu pembangunan benteng itu. Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan aktivitasnya. Meskipun setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat diselesaikan, RM Sundoro tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia meminta izin ayahnya untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai perimbangan kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II. 

Kebijakan Politik dan Konflik

Pada saat yang hampir bersamaan dengan memuncaknya ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun 1780- an, di Surakarta terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal 26 September 1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-oot-kust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton Jawa dari Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah terbongkarnya rencana konspirasi Sunan PB IV dengan para penasehat santrinya untuk membunuh orang -orang Belanda di Kesunanan Surakarta pada bulan September 1790. 
Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan pengawasan yang semakin ketat terhadap Kesunanan Surakarta, tetapi juga memulihkan hubungan baik antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Membaiknya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran ini disebabkan oleh permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk menghadapi Sunan PB IV. Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan untuk saling bekerja sama.

Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sunan PB IV bersedia menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang santri penasehatnya kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton Jawa kembali terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter Gerard van Overstraten  8 mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Sejak itu masa pemerintahan Sultan HB II dimulai.

Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang anti-kolonial semakin jelas. Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda merupakan ancaman utama terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa khususnya di Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan Sunan PB IV yang berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II tidak berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu pemerintahan. 

Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang -orang Eropa. Harapan Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan pendukung utama tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa. 

Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat dan rakyatnya. 

Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa. Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.

Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, Raja Mataram wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri. 

Parkeler bertindak hati-hati dan lebih banyak menggunakan jalur diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan. Melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September 1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan Parkeler yang memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II. Pada saat yang bersamaan Sunan PB IV juga menandatangani perjanjian yang intinya menghindari konflik terbuka ketika terjadi ketegangan dengan Kesultanan Yogyakarta dan meminta VOC untuk menengahinya.

Meskipun terdapat perjanjian baru, sikap Sultan HB II kepada orang-orang Belanda tidak berubah. Sultan HB II dengan tegas menolak intervensi para pejabat Belanda di dalam kehidupan kraton Yogyakarta. Para pejabat Republik Bataf yang berkunjung ke Yogyakarta, baik sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa maupun sebagai residen Yogyakarta, mengeluhkan sikap keras Sultan HB II yang tidak bisa diajak bekerjasama kepada pemerintah pusat di Batavia. Akan tetapi kondisi perang di Eropa yang semakin meluas ke perairan Asia telah mencegah para petinggi Belanda di Batavia untuk terseret dalam konflik baru di dalam wilayah mereka yang menguras tenaga dan biaya. Sementara itu kondisi keuangan Republik Bataf yang sangat rawan akibat defisit anggaran dan besarnya hutang warisan VOC juga mencegah para pejabat Belanda membuka konflik baru di Jawa. Akibatnya para residen Belanda di Yogyakarta dan Surakarta serta Gubernur Pantai Timur Laut Jawa berusaha keras dan bertindak hati-hati untuk tidak memancing kemarahan Sultan HB II. Sejauh ini mereka hanya bertugas mengawasi dan menjaga hubungan baiknya dengan Kesultanan Yogyakarta.

Kondisi baru berubah setelah serah terima Gubernur Jenderal dari Albertus henricus Wiese kepada Herman Willem Daendels pada tanggal 14 Januari 1808. Dalam upaya melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa, ia membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa dan menurunkan pejabatnya yang waktu itu dijabat oleh Nicolaas Engelhard. Langkah politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi ditunjukkan dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa tunduk kepada Raja Belanda, Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte. Oleh karena itu, raja-raja pribumi harus menyatakan untuk tunduk, setia dan meminta perlindungan kepada raja Belanda dan Kaisar Prancis.

Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja Belanda, karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda. Oleh karena itu, hubungan itu harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan status mereka. Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini adalah dengan mengeluarkan peraturan baru. Daendels mengeluarkan dua peraturan penting, pertama adalah menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister. Berbeda dengan residen yang merupakan pegawai pemerintah kolonial,minister adalah utusan dari Raja Belanda di Batavia yang mewakili kepentingan penguasa Belanda di kraton-kraton Jawa. Dengan demikian minister memiliki kekuasaan penuh sebagai pemegang mandat dan wakil dari Gubernur Jenderal di Batavia.

Yang kedua, berkaitan dengan perubahan pertama, adalah dikeluarkannya peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa,minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya. ‎Minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam kraton. Ministerjuga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa.‎

Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera menyanggupi untuk melaksanakannya. Sebaliknya di Kraton Yogya, peraturan baru yang hakekatnya mirip dengan tuntutan van Overstraten tahun 1792 itu ditolak oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta, tetap diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya. Ketika Pieter Engelhard menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak bersedia menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada kesempatan kunjungan Daendels ke Semarang. 

Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.

Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara Daendels dan Sultan HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa. Daendels menghendaki agar monopoli  penebangan kayu dikuasai oleh pemerintah mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan Jawa. Bagi Kesunanan Surakarta yang tidak memiliki banyak hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah. Sebaliknya, bagi Kesultanan Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat kayu menjadi salah satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.

Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.

Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri. Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia.  Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta. 

Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar berita kembalinya Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan dibentuk di bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati. Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan HB II agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro. Pasukan dari Yogyakarta mulai berangkat ke Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan dan Legiun Prangwedanan ini berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di Maospati pada tanggal 5 Desember 1810. Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa pasukannya melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh Letnan Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember 1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta. 20 Atas perintah Daendels, jenazah Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan bagi setiap orang yang menentang perintahnya.

Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi sultan.

Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan tanggal 26 Desember 1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal yang saat itu sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat HB II yang intinya sultan tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara yang digunakan untuk melindungi sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan untuk menuju ke Yogyakarta. 

Pada tanggal 28 Desember sultan membalas surat Daendels yang intinya sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan Daendels. Setelah sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan para pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra mahkota RM Surojo. 

Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta. Ia tetap diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru. Dalam kontrak itu disebutkan bahwa penguasa penyambutanMinister, membayar biaya pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran beberapa daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah. Selain itu, Daendels juga menuntut agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat diserahkan kepadanya. Kedua orang ini kemudian dibawa oleh Daendels sebagai tawanan perang dan dimaksudkan akan dihukum mati. Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di bawah pengawasan Residen Waterloo.

Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. Janssens memusatkan perhatian pada pertahanan Jawa dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari raja-raja Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah bertahan sekitar satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September 1811 di Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal.

Pergantian rezim kolonial yang berlangsung cepat ini diketahui oleh Sultan HB II yang juga disebut Sultan Sepuh, yang masih tinggal di kraton Yogyakarta. Dengan dukungan menantunya yang lain, Tumenggung Sumodiningrat, panglima pasukan kraton, Sultan Sepuh mengambil alih kembali tahtanya dan menurunkan status putra mahkota menjadi pangeran kembali yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Langkah berikutnya setelah ini adalah menyingkirkan orang-orang yang dianggap membahayakan kedudukannya. Patih Danurejo II, yang juga menantunya, diperintahkan untuk dibunuh karena dianggap menjadi kaki-tangan Daendels di dalam kraton. Begitu juga Minister P. Engelhard akan dibunuhnya melalui cara diracun, tetapi Engelhard yang menyadari situasi ini telah melarikan diri ke Kedu dan lolos dari usaha pembunuhan.

Pada awal Oktober 1811 utusan Raffles, Mayor Robison tiba di kraton Yogyakarta. Dalam pertemuan dengan Sultan HB II, Robison menyatakan bahwa kondisi lama tetap berlaku. Ini berarti semua perjanjian yang telah dibuat dengan Daendels tetap dipertahankan. Sultan HB II mengajukan tuntutan kepada Robison agar dirinya diakui sebagai raja Yogyakarta dan wilayah yang telah dirampas oleh Daendels dikembalikan kepadanya. Robison bisa menerima tuntutan pengakuan sebagai raja tetapi tidak berhak memutuskan pengembalian wilayah itu dan harus menunggu kedatangan Raffles. Ini merupakan awal kekecewaan Sultan HB II terhadap pemerintah Inggris.

Raffles yang tiba di Yogyakarta pada awal Januari 1812 bersama Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat yang telah dibebaskan oleh tentara Inggris, untuk bertemu dengan Sultan HB II di rumah Residen Yogyakarta, John Crawfurd. Dalam pertemuan pertama ini terjadi insiden kecil ketika tempat duduk Raffles di kraton Yogya dibuat lebih rendah daripada Sultan HB II. Setelah insiden berhasil diatasi, Raffles menjelaskan bahwa Sultan HB II tetap berkuasa di Yogyakarta tetapi wilayah dan hak-hak monopoli yang telah diserahkan kepada rezim kolonial sebelumnya seperti pemborongan pajak pantai, kayu dan hutan tidak bisa dikembalikan kepada Sultan HB II. Sebaliknya Raffles meminta agar Sultan HB II tetap menjaga keselamatan putra mahkota, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat.

HB II tidak puas dengan hasil pertemuannya dengan Raffles. Bahkan Sultan HB II semakin kecewa terhadap pemerintah Inggris. Hal ini diketahui oleh Sunan PB IV yang juga mengharapkan kembalinya wilayah Kesunanan akibat rampasan oleh Daendels. Secara diam-diam Sunan PB IV mengutus Tumenggung Ronowijoyo untuk menghadap Sultan HB II dengan membawa surat. Dalam surat itu Sunan PB IV mengusulkan kerjasama untuk melawan Inggris dan bila berhasil akan membagi dua wilayah yang telah dirampas oleh orang-orang Eropa. Sultan HB II menyetujui hal itu dengan mengirimkan Tumenggung Sumodiningrat. Kesepakatan kemudian tercapai di Klaten pada awal Mei 1812 antara Ronowijoyo dan Sumodiningrat.

Akan tetapi tanpa sepengetahuan Sultan HB II, Sunan PB IV mengutus Patih Cokronegoro untuk menemui putra mahkota Yogya. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat ini, Cokronegoro menyampaikan bahwa Sunan PB IV menghendaki putra mahkota Surojo naik tahta dan bersedia membantunya. Untuk itu, Sunan menawarkan kerjasamanya bangkit melawan Inggris dan ketika orang-orang Inggris berhasil diusir dari Jawa, wilayah Jawa akan dibagi dua antara Surakarta dan Yogyakarta. 

Rencana konspirasi ini tercium oleh John Crawfurd yang segera mengirimkan berita itu kepada Raffles. Setelah menerima berita dari Crawfurd, Raffles memerintahkan Mayor Jenderal Gillespie untuk berangkat ke Yogya dan menyerbu kraton Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Legiun Mangkunegaran berhasil menduduki kraton Yogyakarta. Setelah pendudukan dan penjarahan isi kraton, Raffles memerintahkan penangkapan Sultan HB II. Atas perintah Raffles, Sultan HB II dibawa ke Batavia dan selanjutnya menunggu pengadilan di sana. Menurut keputusan pengadilan Inggris, Sultan HB II dijatuhi hukuman pembuangan ke Pulau Penang. Pada tanggal 16 Juli 1812. Ia disertai oleh putranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono berangkat menuju Penang.

Di pulau Penang, Sultan HB II dan keluarganya ditempatkan di bawah pengawasan Residen Inggris Mayor Farquhar. Tempat penahanan mereka berada di benteng Fort Cornwallis dan untuk biaya hidupnya, pemerintah Inggris membebankannya pada Kesultanan Yogyakarta. Selama masa penahanannya, sejumlah pengikut Sultan HB II di kraton Yogyakarta menunjukkan reaksi yang bisa mengancam keamanan dan ketertiban. Tokoh yang memberikan reaksi atas pembuangan ini adalah Tumenggung Mangkuwijoyo. Mangkuwijoyo adalah putra Mangkudiningrat yang menjadi menantu Sultan HB III. Bersama-sama saudaranya, Mangkuwijoyo menyusun rencana untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Inggris. 

Rencana Mangkuwijoyo ini terdengar oleh Sultan HB III (Sultan Rojo) yang kemudian membujuknya agar Mangkuwijoyo mengurungkan niatnya. Menurut nasehat Sultan HB III kepadanya, Mangkuwijoyo akan disiapkan menggantikan kedudukan ayahnya, Pangeran Mangkudiningrat. Oleh karena itu, ia disarankan untuk membatalkan niatnya untuk pemberontakannya. Setelah mendengar nasehat Sultan HB III, Mangkuwijoyo bersedia menggagalkan rencana pemberontakan itu dan kembali hidup tenang di Yogyakarta.

Pada awal tahun 1815 di Eropa diadakan kongres Wina. Kongres ini dihadiri oleh semua wakil negara Eropa yang terlibat dalam peperangan Napoleon, termasuk Prancis. Salah satu keputusan kongres itu adalah pemulihan wilayah seperti kondisi sebelum tahun 1795. Dengan adanya kesepakatan ini, Inggris wajib mengembalikan Jawa kepada Belanda. Sebagai konsekuensi keputusan Kongres Wina, pada bulan April 1815, Raffles menerima berita ini dan ia mulai bersiap-siap meninggalkan Jawa. Agar tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah Inggris, Raffles memutuskan untuk mengembalikan semua tawanan termasuk Sultan HB II. Atas instruksinya, Mayor W.P. Kree komandan Fort Cornwallis mengirim kembali Sultan HB II ke Batavia pada tanggal 10 April 1815.

Berita kembalinya Sultan HB II ke Jawa ini terdengar sampai ke Yogyakarta. Beberapa bangsawan Yogyakarta termasuk Raden Brontokusumo akan berangkat ke Batavia untuk menyambutnya. Pada awal Mei 1815 kapal Naulitius yang membawa Sultan HB II tiba di pelabuhan Batavia. Brontokusumo bertemu dengan Sultan HB II dan mengadukan nasibnya sebagai wedono yang dipecat oleh Sultan HB III. Atas perintah Raffles yang marah kepada Brontokusumo, Brontokusumo ditangkap tetapi kemudian dibebaskan atas permohonan Sultan HB II. 

Sejak itu, setiap hari para bangsawan Yogyakarta datang untuk menemui Sultan HB II. Raffles tidak lagi mau berpikir tentang itu mengingat pada bulan tersebut ia harus meninggalkan Jawa dan kembali ke India. Penggantinya John Fendall juga lebih memikirkan penyerahan Jawa kepada Belanda. Oleh karena itu, agar tidak muncul masalah baru, Fendall memerintahkan penahanan Sultan HB II di Batavia sampai penyerahan wilayah Jawa kepada Belanda.
Pada tanggal 9 Agustus 1816, setelah pembicaraan awal selama dua minggu, serah terima kekuasaan dari Inggris kepada Belanda berlangsung. Komisaris Jenderal Belanda yang menjadi penguasa baru memutuskan untuk membuang kembali Sultan HB II dari Jawa agar tidak mengganggu keamanan dan ketertiban politik di Jawa. Pada 10 Januari 1817 Komisaris Jenderal memutuskan mengasingkan Sultan HB II ke Ambon. Sultan HB II berangkat bersama rombongannya pada awal Pebruari 1817 dengan kapal Naulitius ke Ambon. Rombongan itu tiba di Ambon pada akhir Maret 1817, HB II langsung dibawa ke Fort Victoria. Atas keputusan Residen van der Wijck, sultan dan keluarganya menempati perumahan yang sudah disiapkan di Batu Merah, dekat Fort Victoria.

Sebulan kemudian di Ambon terjadi pemberontakan Saparua. Meskipun pemberontakan berhasil ditumpas, ada tanda-tanda keterlibatan Pangeran Mangkudiningrat dalam pemberontakan tersebut. Ketika dilakukan pemeriksaan pada akhir Mei 1817, tidak terbukti bahwa Mangkudiningrat ikut terlibat. Namun peristiwa lain menimbulkan kecurigaan Belanda ketika Mangkudiningrat menyatakan dirinya sebagai ratu adil dan mulai mengumpulkan orang-orang setempat untuk diberitahu tentang ilmu kesaktian yang dimilikinya. Kendati tidak menimbulkan kerusuhan, Belanda tetap mengawasi Mangkudiningrat sampai kematiannya bulan Maret 1824.

Sementara itu di Kesultanan Yogyakarta, sejak tahun 1815 terjadi sejumlah pergantian kekuasaan. Sultan HB III mendadak wafat dan digantikan oleh putranya, Sultan HB IV yang memerintah sampai tahun 1821. Mangkatnya Sultan HB IV secara tiba-tiba mengakibatkan kekosongan tahta. Mengingat Sultan HB V (RM. Menol) masih berumur 2 tahun, pemerintahan sementara dipegang oleh para wali. 

Krisis politik yang diakibatkan oleh konflik kepentingan baik di antara para wali Sultan maupun antara mereka dan Belanda diperparah dengan eksploitasi ekonomi kolonial di Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengunduran diri para wali pada awal Maret 1824. Residen Smissaert kemudian mengusulkan pengangkatan wali baru kepada Gubernur Jenderal van der Capellen. Calon yang diusulkan adalah Tumenggung Mertosono yang ikut dalam pembuangan ke Ambon. Van der Capellen menyetujui dan pada tanggal 17 Maret 1824 Mertosono dibawa dari Ambon ke Yogyakarta.

Ketika Mertosono berangkat menuju Yogyakarta, Sultan HB II mendesak kepada Gubernur Maluku P. Merkus diperkenankan ikut pulang ke Jawa. Meskipun pada mulanya van der Capellen menolak, seminggu kemudian Sultan HB II diizinkan kembali ke Jawa tetapi tidak diperkenankan tinggal di Yogyakarta mengingat kondisi politik memanas saat itu. Atas izin van der Capellen, Sultan HB II diangkut dengan kapal Mastoza dan tiba di Surabaya pada bulan Juli 1824. Setibanya di pelabuhan Surabaya, Residen Surabaya menyambutnya dan segera membawa Sultan HB II ke sebuah rumah tahanan yang telah disiapkan di kampung Cina. Sultan HB II diizinkan tinggal di sana dengan wajib lapor selama dua kali seminggu ke kantor residen di Surabaya.

Kondisi Kesultanan Yogyakarta semakin tidak menentu, yang memuncak dengan meletusnya Perang Diponegoro tanggal 21 Juli 1825. Minggu-minggu pertama peperangan menunjukkan kelemahan kekuatan Belanda di Jawa di bawah Jenderal M. De Kock. 

Laskar-laskar yang tergabung dalam pasukan Diponegoro berhasil meraih sejumlah kemenangan di berbagai medan pertempuran. Korban yang jatuh tidak hanya terdiri atas orang-orang Eropa tetapi juga bangsawan pribumi yang bersekutu dengan Belanda. Salah satunya adalah Tumenggung Mertosono yang menjadi wali Sultan. Mertosono yang bergelar Pangeran Murdaningrat, terbunuh dalam pertempuran di Nglengkong bulan September 1826. Hal ini mengkhawatirkan de Kock dan ia memutuskan untuk menyelesaikan pemberontakan ini secara politis dan bukan secara militer. 

Atas saran Residen Yogyakarta, Nahuys van Burgst, de Kock harus memulihkan kepercayaan di kraton Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak bangsawan Yogyakarta yang ikut bergabung dengan Diponegoro dan wibawa kraton merosot setelah terbunuhnya para wali Sultan HB V. Mengingat tidak ada lagi yang layak diangkat menjadi wali, kekuasaan Sultan HB V tidak mungkin dipertahankan. Nahuys menyarankan agar Sultan HB II dikembalikan di atas tahta. Tujuannya adalah mengangkat penguasa yang sah agar memerintah Yogyakarta sekaligus menggunakan pengaruhnya untuk mengajak para bangsawan pemberontak kembali ke kraton Yogyakarta karena keseganan mereka terhadap Sultan Sepuh. 

Usul Nahuys disetujui De Kock, yang kemudian membicarakannya dengan Van der Capellen. Meskipun ada beberapa pejabat Belanda yang tidak setuju dan van der Capellen digantikan oleh Du Bus, pengembalian Sultan HB II dari Surabaya tetap berlangsung. Du Bus memutuskan agar Sultan HB II dilantik kembali sebelum dipulangkan ke Yogyakarta. Pelantikan akan diadakan di istana Gubernur Jenderal Belanda di Buitenzorg. Pada tanggal 11 Agustus 1826 Sultan HB II dan rombongan meninggalkan Surabaya dan berangkat ke Buitenzorg. Pada tanggal 18 Agustus 1826, Sultan HB II memasuki istana Buitenzorg dan oleh Du Bus dikukuhkan kembali sebagai penguasa Yogyakarta.

Setelah upacara berlangsung, Du Bus memerintahkan De Kock membentuk komisi yang akan membantu penataan kembali pemerintahan di Yogyakarta. Bersama komisi ini pada tanggal 10 September 1826 Sultan HB II meninggalkan Buitenzorg menuju ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 September 1826 rombongan Sultan HB II memasuki kraton Yogyakarta dan diumumkan bahwa sejak itu Sultan HB II memegang pemerintahan kembali. 

Berita kembalinya Sultan HB II kemudian disebarluaskan oleh Nahuys agar terdengar oleh para bangsawan yang memberontak. Harapan Nahuys dan para pejabat Belanda lainnya adalah agar pengaruh Sultan HB II masih bisa digunakan untuk menarik kembali para bangsawan ke kraton.

Hal ini ternyata terasa pengaruhnya. Pada bulan November 1826 Pangeran Mangkudiningrat (Mangkuwijoyo) mendengar kabar bahwa kakeknya telah kembali ke kraton. Mangkudiningrat yang bergerilya di daerah Kedu kemudian menyerahkan diri kepada Residen F.G. Valck dan komandan militer setempat Kolonel Cleerens bahwa ia akan kembali ke Yogyakarta. Alasannya bahwa Mangkudiningrat hanya mengakui kakeknya sebagai raja yang sah di kraton. Pada tanggal 11 Desember 1826 Mangkudiningrat secara resmi kembali ke kraton dan meninggalkan Diponegoro.

Kini Sultan Sepuh menuntut janji pemerintah Belanda yang akan memberikan tunjangan f 100.000 per tahun kepadanya. Residen Belanda van Sevenhoven menolak mengabulkan permintaan itu dan menyerahkannya kepada De Kock. 

Untuk menenangkan Sultan HB II, de Kock memindahkan van Sevenhoven dan menggantinya dengan van Lawicks van Pabst. Pada bulan Maret 1827 pengaruh Sultan HB II kembali terasa di antara para pemberontak. Meskipun Pangeran Mangkubumi tetap menolak menyerah, putra-putrinya menyatakan dirinya bersedia kembali ke kraton. Ini diikuti dengan penyerahan Pangeran Notoningrat tanggal 29 Maret 1827, Pangeran Notoprojo dan Pangeran Sumowijoyo pada bulan Juni 1827. Para pangeran ini menyatakan kesetiaannya kepada Sultan HB II dan bersedia menghentikan perlawanan. Atas desakan Sultan HB II, para pangeran yang menyerah ini tidak dihukum oleh de Kock tetapi sebaliknya menerima penghargaan berupa pemberian tanah apanage.

Sejak Oktober 1827 kondisi fisik Sultan HB II yang berusia 77 tahun semakin merosot. Beban batin yang ditimbulkan oleh posisinya sebagai seorang raja Yogyakarta dan harus berhadapan dengan anak dan cucunya sendiri semakin memperparah penyakitnya. Akhirnya setelah mengalami radang tenggorokan, pada tanggal 2 Januari 1828 Sultan HB II wafat. Dua hari kemudian jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja di Imogiri. 

Karya-Karya Sultan HB II

Di samping kebijakan politiknya yang kontroversial, Sultan HB II juga melakukan pembangunan Kesultanan Yogyakarta. Langkah pembangunan yang dilakukannya juga menimbulkan kecemasan di kalangan para penguasa kolonial. Mereka khawatir bahwa tindakan Sultan ini akan membahayakan keamanan dan ketertiban. Hal ini cukup beralasan karena pada masa pemerintahannya, Sultan HB II membangun infrastruktur pertahanan yang memperkuat Kesultanan Yogyakarta.

Bidang kemiliteran menjadi perhatian utama dari Sultan HB II. Motivasi yang mendasari adalah bahwa Kesultanan Yogyakarta harus kuat untuk bisa menolak intervensi dan ancaman dari luar. Sejumlah korps prajurit baru dibentuk atas perintah Sultan HB II. Begitu juga perlengkapan dan persenjataan modern seperti senapan dibagikan kepada setiap kesatuan dalam korps itu. Sejumlah jabatan penting yang langsung terkait dengan kemiliteran seperti panglima pasukan Kesultanan maupun pimpinan pasukan pengawal kraton diisi oleh kerabatnya yang terpercaya seperti Ronggo, Notodiningrat dan Sumodiningrat. Begitu juga pembangunan infrastruktur seperti memperkuat tembok-tembok benteng dan penambahan jumlah meriam yang dipasang di depan kraton. Kekuatan militer ini menjadi andalan dan pendukung kebijakan Sultan HB II yang ditujukan untuk menentang tekanan dan ancaman rezim kolonial.

Jiwa ksatria dan keberanian serta kekerasan hati juga tampak dalam sejumlah karya seni. Di bidang seni tari, Sultan  HB II memerintahkan penggubahan wayang orang dengan cerita Jayapusaka. Dalam kisah itu disampaikan bahwa Bima meninggalkan Amarta dan memerintah kerajaan lain dengan nama Jayapusaka setelah melihat kondisi Amarta kacau. Ini melambangkan bahwa Bima sebagai seorang ksatria tempur memerintah untuk kesejahteraan rakyat. Kisah ini dimaksudkan untuk mencerminkan identitas dirinya. Sifat serupa juga tampak dalam instruksinya untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan wanda (watak) perang. 

Karya sastra juga menjadi salah satu bidang yang diperhatikan oleh Sultan HB II. Beberapa karya yang disusun di bawah perintahnya memuat unsur-unsur heroik dan kepahlawanan seperti Babad Nitik Ngayogyakarta dan Babad Mangkubumi. Keduanya merupakan karya sastra sejarah yang mengisahkan riwayat perjuangan ayahnya Pangeran Mangkubumi hingga menjadi raja di Yogyakarta dan diteruskan sampai wafatnya. Beberapa karya sastra lain dengan cerita fiksi seperti Serat Suryorojo dan Serat Baron Sekondar menunjukkan kisah-kisah peperangan raja-raja Jawa melawan raja seberang yang dimenangkan oleh raja Jawa. Ini menunjukkan sindiran pada kondisi yang ada maupun penonjolan diri serta penegasan diri atas status dan posisinya. 

Penutup‎

Dari uraian tersebut bisa diketahui bahwa Sultan HB II adalah seorang raja yang tegas dan tidak mau menyerah kepada tekanan asing. Sebagai seorang raja Jawa, Sultan HB II merasa wajib menjunjung tinggi dan membela kewibawaan kekuasaan Jawa yang terwujud dalam tradisi. Ketika tradisi Jawa yang menjadi idealismenya terancam oleh tindakan penguasa asing, Sultan HB II tidak segan melawannya meskipun musuhnya jauh lebih kuat.

Hal ini jelas terlihat pada saat Sultan HB II menolak permintaan van Overstraten tentang kedudukan utusan Belanda yang akan disamakan dengan raja Jawa. Begitu juga dengan tuntutan Daendels untuk mengubah tata aturan penyambutan Minister yang merendahkan martabat seorang raja Jawa, Sultan HB II dengan tegas menolaknya. Bahkan, selama masa pemerintahannya, Sultan HB II tidak pernah mau menerapkan aturan baru Daendels ini. Ketentuan tersebut baru berhasil dilaksanakan setelah Sultan HB II turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya.

Pada masa pemerintahan Inggris, Sultan HB II tampil sebagai seorang raja Jawa yang berani menghadapi Raffles bersama pasukannya meskipun harus mengorbankan dirinya dan kratonnya. Ketika untuk kedua kalinya diturunkan tahta pada tahun 1812 dan dibuang ke luar Jawa, Sultan HB II tidak pernah menyatakan bersedia menyerah kepada penguasa kolonial. Begitu juga ketika dirinya dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial pada tahun 1817, Sultan HB II tidak bersedia menyerah. Keinginannya kembali adalah agar ia dapat dimakamkan berdekatan dengan ayahnya di Imogiri. Ketika Belanda memerlukannya untuk kembali naik tahta pada tahun 1826 dengan harapan menggunakan pengaruhnya untuk menyelesaikan perang Diponegoro, Sultan HB II tetap menolak membujuk Diponegoro agar menghentikan perlawanan atau menyerah kepada Belanda. Sebaliknya, pengaruh Sultan HB II di antara para pangeran pengikut Diponegoro tampak besar, yang terbukti dengan adanya penyerahan sejumlah bangsawan Yogya yang kembali ke kraton dan menghentikan perlawanannya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Sultan HB II adalah sosok raja Jawa yang pantang menyerah dan taat pada ajaran tradisi Jawa. Dirinya tetap menjadi raja yang disegani dan dihormati sebagai seorang raja yang mempertahankan tradisi dan kekuasaan Jawa.‎

 

Sejarah Kasunanan Surokarto Hadiningrat


Nagari Surokarto Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti ‎ 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

Latar belakang sejarah

Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan dampak dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam yang berdiri sejak abad ke-16 Masehi. Pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam berada di Mentaok, kemudian Kotagede (Yogyakarta). Pada masa Amangkurat I (1645-1677), tepatnya tahun 1647, pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered (sekarang di Kabupaten Bantul). Kemudian, Amangkurat II (1680-1702), mendirikan kerajaan baru di timur Yogyakarta, yaitu di hutan Wonokarto yang berganti nama menjadi Kartasura (kini di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah). Pembangunan keraton baru ini dilakukan karena istana Plered dikuasai pemberontak dan dianggap sudah tidak layak lagi digunakan sebagai pusat pemerintahan. Keraton baru di Kartasura yang mulai dibangun pada 1679 kemudian dikenal sebagai Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Berturut-turut, penerus tahta Amangkurat II di Kasunanan Kartasura Hadiningrat adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwono I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), sampai dengan Pakubuwono II (1726-1749).

Perpecahan Wangsa Mataram

Di era pemerintahan Pakubuwono II, yakni pada kurun 1741-1742, terjadi upaya perlawanan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” yang menyebabkan hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Oleh sebab itu, pada 1744, Pakubuwono II membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala (Solo), dekat Sungai Bengawan Solo. Daerah ini kemudian dikenal juga dengan nama Surakarta. Dibangunnya istana di Surakarta menandai berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pemerintahan Pakubuwono II sebagai penguasa pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diwarnai polemik internal antara sesama trah Mataram. Saudara tiri Pakubuwono II, yakni Pangeran Mangkubumi, menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi, Pakubuwono II justru menunjuk putranya, yakni Raden Mas Suryadi, sebagai putra mahkota. Pangeran Mangkubumi tidak menerima keputusan itu sehingga pada tahun 1746 ia meninggalkan istana dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta.

Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo, seorang Pangeran Mataram yang lahir di istana Kartasura dan telah melancarkan perlawanan terhadap Pakubuwono II sejak peristiwa “Geger Pecinan”. Dengan bergabungnya Raden Mas Said beserta pengikutnya, kubu Pangeran Mangkubumi semakin bertambah kuat. Pada 12 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi, dengan mendapat dukungan penuh dari Raden Mas Said, mengangkat dirinya sebagai raja/sultan di kerajaan tandingan di Yogyakarta itu. Raden Mas Said sendiri diangkat sebagai patih (perdana menteri) sekaligus panglima perang dan menyandang gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Pangeran Mangkubumi juga menikahkan Raden Mas Said dengan anak perempuannya yang bernama Raden Ayu Inten.

Pada penghujung tahun 1749 itu, Pakubuwono II sakit keras sehingga kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat diserahkan kepada Belanda, yakni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Sejak itulah penobatan raja-raja keturunan Mataram harus seizin Belanda. Pada 15 Desember 1749, VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff melantik putra mahkota, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II wafat karena penyakitnya yang semakin parah.

Sementara itu, Belanda mulai cemas karena wilayah Pangeran Mangkubumi semakin luas. Belanda kemudian menggagas Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Secara garis besar, isi perjanjian ini adalah membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Namun, akhirnya Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said justru berselisih paham sehingga Raden Mas Said melakukan perlawanan kepada mertuanya itu, selain tetap melawan Pakubuwono III di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lagi-lagi VOC ikut campur atas masalah ini karena cemas dengan sepak terjang Raden Mas Said. Nicholas Hartingh, penguasa VOC di Semarang, mendesak agar Pakubuwono III segera mengupayakan jalan perdamaian. Maka digagaslah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Wonogiri, Jawa Tengah. Perjanjian Salatiga semakin mengurangi wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan di sebagian wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Wilayah ini disebut Praja (Kadipaten) Mangkunegaran dan Raden Mas Said dinobatkan sebagai penguasanya dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau Adipati Mangkunegara I (1757-1795)

Perpecahan wangsa Mataram masih berlanjut, kali ini terjadi di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1813, Pangeran Natakusuma, putra Hamengkubuwono I atau paman dari Raja Yogyakarta yang sedang berkuasa saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812-1814), menuntut pembagian wilayah. Pemerintahan kolonial Inggris di bawah pimpinan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang berkuasa di Hindia Belanda menggantikan pendudukan Belanda mengabulkan keinginan tersebut. Pada 17 Maret 1813, Praja (Kadipaten) Pakualaman berdiri di bawah pimpinan Pangeran Natakusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (1813-1829). Istana atau Pura Pakualaman dibangun tidak jauh dari istana Kasultanan Ngayogyakarta  Hadiningrat. Adapun wilayah kekuasaan dari Kadipaten Pakualaman mencakup sebuah kemantren di Yogyakarta (sekarang Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta) dan Karang Kemuning atau Adikarto (terletak di bagian selatan Kabupaten Kulonprogo, DIY).

Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Masa Kolonial

Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham kejawenmenyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.

Pada era pemerintahan Pakubuwono IV terjadi perundingan yang digagas VOC. Pakubuwono IV, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I bersama-sama menandatangani perjanjian yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang. Akan tetapi, Pakubuwono IV rupanya masih berambisi untuk menyatukan wilayah Yogyakarta ke dalam naungan Surakarta Hadiningrat. Ketika Hindia Belanda diduduki Inggris, Pakubuwono IV saling berkirim surat dengan Raja Yogyakarta saat itu, yakni Hamengkubuwono II, dan menyarankan agar Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menentang Inggris. Pakubuwono IV sebenarnya berharap, Yogyakarta akan hancur jika melawan Inggris. Ternyata, Inggris terlebih dulu bertindak dengan menyerang Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan dibantu oleh Mangkunegara II. Akibatnya, pada Juni 1812, Hamengkubuwono II ditangkap dan dibuang ke Penang, Malaysia. Namun Inggris mengetahui adanya surat-menyurat antara Pakubuwono IV dengan Hamengkubuwono II. Inggris memang tidak sampai menurunkan Pakubuwono IV dari tahtanya, namun pihak penjajah berhasil merebut sejumlah wilayah yang dimiliki Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pakubuwono IV belum menyerah untuk menaklukkan Yogyakarta. Tahun 1814, Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy, para serdadu bayaran dari India yang dibawa Inggris, untuk melawan Inggris sekaligus berusaha menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang saat itu di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812 -1814). Namun, persekutuan ini gagal dan pada tahun 1815, sebanyak 70 tentara Sepoy yang terlibat ditangkap dan dihukum mati oleh Inggris, sedangkan sisanya dipulangkan ke India. Selain itu, seorang pangeran dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga ditangkap oleh Inggris karena didakwa telah menghasut Pakubuwono IV. Sang Raja Surakarta sendiri lolos dari hukuman karena pemerintahan di Hinda Belanda dikembalikan kepada Belanda sejak tahun 1816. Selain piawai dalam bidang politik dan pemerintahan, Pakubuwono IV juga dikenal sebagai sastrawan yang cukup cakap. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Serat Wulangrehyang berisi tentang ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral bangsawan Jawa. Pujangga besar Surakarta, Ranggawarsita, semasa mudanya pernah belajar ilmu sastra dan kesaktian dari Pakubuwono IV.

Pakubuwono IV mangkat pada 2 Oktober 1820 dan digantikan oleh putra mahkota, yakni Raden Mas Sugandi. Putra Pakubuwono IV dari permaisuri Raden Ayu Handoyo, anak perempuan Adipati Cakraningrat (Bupati Pamekasan), ini dinobatkan pada 10 Februari 1820 dan bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono V (1820-1823). Beliau dikenal sebagai sosok raja yang memiliki jiwa seni tinggi. Salah satu karya sastra ciptaan Pakubuwono V yang fenomenal adalah Serat Centhini atau Suluk Tambangraras yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Penulisan serat ini sudah dilakukan sebelum naik tahta menjadi Raja Surakarta, tepatnya sejak tahun 1814. Beberapa karya seni Pakubuwono V yang lain di antaranya adalah dhuwung atau keris pusaka Kyai Kaget, perahu Kyai Rajamala, tarianBeksan Serimpi dan Beksan Penthul, Gendhing Ludiramadu dan Gendhing Loro-loro, dan lain sebagainya. Namun, usia pemerintahan Pakubuwono V berlangsung hanya selama 3 tahun saja. Pakubuwono V wafat pada tanggal 5 September 1823.

Sepuluh hari setelah kematian Pakubuwono IV, sang putra mahkota, Raden Mas Sapardan, naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1823-1830). Beliau adalah putra Pakubuwono V dari istri Raden Ayu Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani atau Kyai Adipati Mandaraka yang pernah menjabat sebagai patih di masa Kesultanan Mataram Islam, dan masih ada darah dari Majapahit. Pakubuwono VI yang dinobatkan pada 15 September 1823, sangat mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang melawan penjajah Belanda dengan pecahnya Perang Jawa (1825-1830). Namun, Pakubuwono VI tidak bisa terang-terangan dalam menyatakan dukungannya itu karena Kasunanan Surakarta Hadiningrat terikat kontrak politik dengan Belanda. Beberapa kali terjadi pertemuan rahasia antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Terkadang Pakubuwono VI diam-diam berkunjung ke tempat persembunyian Pangeran Diponegoro, dan sebaliknya, Pangeran Diponegoro pun pernah menyusup ke dalam Keraton Surakarta. Dalam hal ini, Pakubuwono VI berperan sebagai agen ganda. Beliau berpura-pura membantu Belanda dengan mengirimkan pasukan kerajaan, namun di balik itu sebenarnya Pakubuwono VI memberikan bantuan kepada laskar Pangeran Diponegoro yang berperang secara gerilya.

Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Menjelang dan Setelah Kemerdekaan RI

Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, Belanda mulai curiga kepada Pakubuwono VI karena menolak menyerahkan beberapa wilayah di Surakarta. Sejumlah orang kepercayaan Pakubuwono VI lalu ditahan dan dipaksa membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro. 

Meskipun tidak pernah ditemukan bukti, Belanda tetap mendakwa Pakubuwono VI bersalah dan pada 8 Juni 1830, Pakubuwono VI beserta keluarganya dibuang ke Ambon, padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI sedang hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami kecelakaan dan mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri selamat dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas Duksino pada 22 Desember 1830. Ketika dipindahkan dari Ambon ke Imogiri pada 1957, di dahi tengkorak Pakubuwono VI ditemukan lubang yang ternyata cocok dengan ukuran peluru senjata api jenis Baker Riffle. Atas penemuan tersebut kemudian muncul dugaan bahwa wafatnya Pakubuwono VI bukan disebabkan kecelakaan, melainkan karena ditembak pada bagian dahi. Atas jasa dan pengorbanan beliau, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964, Sri Susuhunan Pakubuwono VI ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Pada tanggal 14 Juni 1830, Belanda mengangkat paman Pakubuwono VI untuk meneruskan tahta Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VII (1830-1858). Bernama asli Raden Mas Malikis Solikin, Pakubuwono VII adalah putra Pakubuwono IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Sukaptinah atau Ratu Kencanawungu. Pada masa ini, seni sastra mengalami zaman keemasan yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita. Pakubuwono VII yang wafat pada 28 Juli 1858. tidak menunjuk putra mahkota sebagai penggatinnya. 

Kemudian, yang dinobatkan sebagai raja Surakarta berikutnya adalah kakak Pakubuwono VII (seayah namun lain ibu), yaitu Raden Mas Kusen dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (1859-1861). Putra Pakubuwono IV dari istri selir Mas Ayu Rantansari ini dinobatkan menjadi raja pada usia 69 tahun, yaitu tanggal 17 Agustus 1858. Pemerintahan Pakubuwono VIII hanya berlangsung selama 3 tahun karena pada tanggal 28 Desember 1861, sang Raja mangkat.
Penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat selanjutnya adalah Raden Mas Duksino, putra Pakubuwono VI, yang masih berada di dalam kandungan saat ayahnya dibuang ke Ambon. Raden Mas Duksino dinobatkan pada tanggal 30 Desember 1861 dan menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IX (1861-1893). Era pemerintahan Pakubuwono IX inilah yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai zaman edan dalam karyanya yang bertajuk Serat Kalatida. 

Dalam serat itu, Ranggawarsita memuji Pakubuwono IX sebagai raja yang adil dan bijaksana, akan tetapi sang Raja dikelilingi oleh para penjilat yang mencari keuntungan sendiri. Selanjutnya, Pakubuwono IX digantikan oleh putra mahkota yang bernama Raden Mas Malikul Kusno yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah. Raden Mas Malikul Kusno menduduki singgasana istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejak tanggal 30 Maret 1893. Masa kepemimpinan raja bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) ini penuh dengan kebesaran tradisi dan sekaligus babak baru Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam memasuki era modern menjelang abad ke-20. Selain itu, stabilitas politik di era pemerintahan Pakubuwono X pun tetap terjaga. Kendati Belanda masih sering melakukan tekanan, namun sang Raja masih mampu menjaga wibawa kerajaan, bahkan turut dalam pergerakan nasional dengan mendukung Sarekat Islam (SI) cabang Surakarta.

Penerus Pakubuwono X adalah sang putra dari permaisuri Ratu Mandayaretna, bernama Raden Mas Antasena. Beliau dinobatkan dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI (1939-1945) pada 26 April 1939. Pada tahun 1942, tentara pendudukan Jepang menggantikan Belanda di Indonesia. Namun, Pakubuwono X wafat justru beberapa saat sebelum Indonesia merdeka, dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Suryaguritna, lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah. Raden Mas Suryaguritna naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1945-2004) pada 11 Juni 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka. Meskipun beberapa kalangan menganggap Pakubuwono XII tidak mengambil peran penting pada masa-masa awal berdirinya negara Republik Indonesia, namun Raja Surakarta ini tetap dinilai sebagai sosok pelindung kebudayaan Jawa dan dihormati oleh banyak tokoh nasional. Pakubuwono XII, yang merupakan Raja Surakarta dengan masa pemerintahan paling lama, wafat pada tanggal 11 Juni 2004.

Latar Belakang Berdirinya Kasunanan 

Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ‎ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat diKartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa keping emas ‎yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.

Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).

Perkembangan Kasunanan 

Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.

Perjanjian Giyanti dan Salatiga

Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.

Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.

Pakubuwana IV

Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC,Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, sertaPraja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.

Pakubuwana V dan VI

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

Pakubuwana VII

Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.

Pakubuwana VIII dan IX

Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Pakubuwana X

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur moderen kota Surakarta ‎banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

Pakubuwana XI

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

Sri SusuhunanPakubuwana XII

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.

Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi.

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanianyang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.

Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.

Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan‎. Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution ‎menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangku Negara yang baru. Namun rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zamanreformasi, para tokoh nasional, misalnyaGus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.

Nama kecil Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah Raden Mas Suryaguritna, putra Sri Susuhunan Pakubuwono Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Pada tanggal 20 Juli 1939, Raden Mas Suryaguritna memperoleh gelar kebangsawanan sebagai Raden Mas Gusti ketika ayahandanya naik tahta sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XI. Saat Sri Susuhunan Pakubuwono XI meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1945, Raden Mas Gusti Surya Guritna dinobatkan dinobatkan sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram.Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 1945, Raden Mas Gusti Surya Guritna naik tahta sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan berhak menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII memiliki 6 (enam) orang istri. Kesemua istri tersebut tidak ada yang dipilih sebagai permaisuri sehingga status keenam istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah setara antara satu dengan yang lainnya. Istri-istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII tersebut adalah Kanjeng Ratu Ayu Pradapaningrum dan telah dianugerahi 10 orang anak, Kanjeng Ratu Ayu Madyaningrum (dianugerahi 4 orang anak), Kanjeng Ratu Ayu Rogasworo (dianugerahi 3 orang anak), Kanjeng Ratu Ayu Kusumaningrum (dianugerahi 1 orang anak), Gusti Raden Ayu Pujaningrum (dianugerahi 11 orang anak), dan Gusti Raden Ayu Retnoningrum (dianugerahi 6 anak).
Dari keenam istri tersebut, Sri Susuhunan Pakubuwono XII dikaruniai 35 orang anak (15 orang putra dan 20 orang putri). 

Berikut nama 15 orang putra Sri Susuhunan Pakubuwono XII:

Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)Hadi Prabowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puspo Hadikusumo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Kusumoyudo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tejowulan
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Dipokusumo
Gusti Raden Mas (GRM) Soeryo Saroso
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Benowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Noto Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Madu Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Wijoyo Sudarsono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Wicaksono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Cahyoningrat
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Mataram

Adapun nama 20 orang putri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah sebagai berikut:

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Alit
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Galuh Kencono
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Rahmaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Handariyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Kristiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sapardiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Raspiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sutriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Isbandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Partinah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Niyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sabandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Triniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Indriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Suwiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Ismaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Samsiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparsiyah
Pasca Sunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.

Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta. 

Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.

KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.

Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.

Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...