Selasa, 24 November 2020

Sejarah Para Sultan Ngayogjokarto Hadiningrat


Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.

Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh (Sri Sultan Hamengkubuwono I ) pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.

Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :

Sri Sultan Hamengkubuwono I

Beliau (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus Raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792

Nama aslinya adalah Raden Mas Sudjono yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kertasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwono II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, PakubuwonoII pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 istana Kertasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwono II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwono II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron Van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwono II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron Van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

SEJARAH SINGKAT PERANG MANGKUBUMEN:

Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwono II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Perang ini dikenal dengan “Perang Tahta Jawa Ketiga”

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah diangkat oleh Rakyat  sebagai Raja bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwono II sebagai Pakubuwono III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut ‎Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi. Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan. Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata. Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said. Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Pakubuwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Ulama dari Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwono III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh (Hamengkubuwono I)‎. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwono III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwono I mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Pakubuwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwono III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwono I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarto Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwono I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwono III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwono I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwono IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwono I. Pakubuwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwono I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Pakubuwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.

Pakubuwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama “Mangkubumi” untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwono IV di Surakarta karena Pakubuwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwono IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwono IV yang merupakan waris dari Pakubuwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.

Hamengkubuwono I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwono II.

Hamengkubuwono I adalah peletak dasar-dasar kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwono I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta. Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di jawa (sejak 1619 – 1799).

Rasa benci Hamengkubuwono I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubowono II, Raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Repuplik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengkubuwono II

Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwono I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC di bumi Sukowati. Ketika kedaulatan Hamengkubuwono I mendapat pengakuan dalam Perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta  dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwono II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya.

Hamengkubuwono II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.

Sejak tahun 1808 yang menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda (pengganti Gubernur Jendral VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwono II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwono IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwono II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Notodiningrat putra Pangeran Noto Kusumo (saudara Hamengkubuwono II). Kemudian Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Ronggo  Prawirodirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengkubuwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati. Raden Ronggo  Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengkubuwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpoyudo.

Belanda berhasil menumpas Raden Ronggo Prawirodirjo dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwono II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwono III, menangkap  Pangeran Noto Kusumo dan Pangeran  Notodiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwono II untuk kembali menjadi Raja, dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putera Mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwono IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwono II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua Raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegara menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwono II dibuang ke Pulau Penang, sedangkan Pakubuwono IV dirampas sebagian wilayahnya.

Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Adipati Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwono III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu Raja yang bertakhta di Yogyakarta  adalah Hamengkubuwono V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwono II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwono II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwono V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai Raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwono V.

Sri Sultan Hamengkubuwono III

Beliau (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.

Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwono II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Herman Daendels.

Hamengkubuwono II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil Raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwono II di Cirebon.

Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwono II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putra Mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.

Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Thomas Raffless, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwono II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwono III sebagai raja.

Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:

Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwono III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwono IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.‎

Sri Sultan Hamengkubuwono IV

Beliau (lahir 3 April 1804 – meninggal 6 Desember 1822 pada umur 18 tahun) adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1814 – 1822.

Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwono III yang lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.

Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di Keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.

Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali Raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.

Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra Mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai Hamengkubuwono V.


Sri Sultan Hamengkubuwono V

Beliau lahir: 24 Januari 1820 – meninggal tahun 1855 adalah sultan kelima Kesultanan Yogyakarta, yang berkuasa tanggal 19 Desember 1823 – 17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 – 5 Juni 1855 yang diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwono II karena ketidakstabilan politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.

Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Raden Mas Gathot Menol, putra Hamengkubuwono IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengkubuwono V waktu permulaan bertahta berumur 3 (dua) tahun.

Hamengkubuwono V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, dimana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwono V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.

Kebijakan Hamengkubuwono V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa abdi dalem dan adik Sultan Hamengkubuwono V sendiri, yaitu Raden Mas Mustojo (nantinya Hamengkubuwono VI). Mereka menganggap tindakan Sultan Hamengkubuwono V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwono V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan Sultan dengan Raden Mas Mustojo Keadaan semakin menguntungkan Raden Mas Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. 

Kekuasaan Sultan Hamengkubuwono V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 Sultan sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwono V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.

Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan wereng saketi tresno (“wafat oleh yang dicinta”), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sri Sultan suaminya.

Tidak lama setelah Sultan Hamengkubuwono V meninggal, tiga bulan kemudian Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono V pun meninggal setelah jatuh sakit semenjak suaminya meninggal dan sultan digantikan oleh adiknya Raden Mas Mustojo.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI

Beliau lahir: 1821– wafat: 29 Juli 1877) adalah Sultan ke-enam Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1855 – 1877. Dia menggantikan kakaknya, Hamengkubuono V yang meninggal di tengah ketidakstabilan politik dalam tubuh Keraton Yogyakarta.

Nama asli Sultan Hamengkubuwono VI adalah Raden Mas Mustojo, putra Hamengkubuono IV yang lahir pada tahun 1821.‎

Hamengkubuwono VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuono V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwono V meninggal secara misterius.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Enem“. ‎

Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe (masjid keraton), Lodji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan Yogyakarta.

Pada masa Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Hamengkubuwono VI, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.

Semasa pemerintahan Hamengkubuwono VI kemudian mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI, namun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danuredjo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VI, apalagi setelah dia menikah dengan putri Kesultanan Brunai.

Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia-Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena Keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda.

Pemerintahan Hamengkubuwono VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai Sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwono VII.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII

Beliau lahir tahun 1839 – meninggal tahun 1931 adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877– 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Pitu“. ‎

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat Putra Mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena Putera Mahkota (GRM. Akhodiyat, putra Hamengkubuwno VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan Putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian takhta Raja kepada Putera mahkota ialah menunggu sampai sang Raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup. Bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti Putera Mahkota yang wafat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar Keraton Yogyakarta.

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan Kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua Raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan ke luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg Pandito (menjadi Guru Spiritual dan Ulama) di Pesanggrahan Ngambarrukmo (sekarang Ambarrukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarrukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi. ( Tapi sekarang sudah beroperasi lagi).
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII

Beliau lahir di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – meninggal di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun adalah salah seorang Raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939 ia bernama asli GRM Sujadi. 

Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Wolu“. 

Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.

Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun mendadak dipanggil pulang yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya. Di Batavia Sultan menyerahkan Keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun sebagai tanda suksesi Kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa GRM Dorojatun lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Beliau lahir di Yogyakarta, 12 April 1912 – meninggal di Wasington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Beliau  adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Beliau Lahir di Yogyakarta dengan nama Bendoro Raden Mas Darodjatun di Ngasem, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di “HIS” di Yogyakarta, “Mulo” di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda (“Sultan Henkie”).

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Songo“. 

Beliau merupakan Sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status “Khusus” bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”. Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.

Peranan Sultan Hamengku Buwono  IX dalam Serangan umum 1 Maret oleh TNI masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai Republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.

Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai Wakil Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa malari dan hanyut pada KKN.

Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938

Minggu malam 2 Oktober 1988, Beliau  wafat di George Wasington university Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para Sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Sultan Hamengkubuwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.

JABATAN

Kepala dan Gubernur Militer DI Yogyakarta (1945)
Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustvs 1949)
Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
Ketua Dewan Kurator universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
Ketua Sidang ke 4 EAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 Maret 1966)
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Sri Sultan Hamengku Buwono  IX diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.‎

Sri Sultan Hamengkubuwono X

Beliau lahir di Yogyakarta, 2 April 1946, umur 69 tahun) adalah Raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.

Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM (Bandoro Raden Mas) Herdjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamengku Negoro  Sudibyo Rojoputro Nalendro ing Mataram. Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM.

Penobatan Hamengkubuwono X sebagai Raja dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono  Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo  Khalifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Sadoso.

Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1966 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY. Pada 2010, bersama dengan Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X mencetuskan pendirian Nasional Demokrat.

Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur DI Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur DI Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.

Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.

Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam P‎isowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah Nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia.

Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.

Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya.

Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.

Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.

Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.

Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.

 

Sejarah Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat


Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940  ‎(‎Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Awal Berdirinya

Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi ‎diangkat sebagai Sultan ‎dengan gelar Sultan Hamengku Buwono  I ‎dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.

Wilayah Kesultanan 

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).

Nagari Ngayogyakarta meliputi:

(1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.

Nagara Agung meliputi:

(1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dariSungai Progo sampai Gunung Merbabu),
(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).

Manca Nagara meliputi:

(1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
(a) Madiun Kota,
(b) Magetan,
(c) Caruban, dan
(d) Setengah Pacitan;
(2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
(a) Kertosono,
(b) Kalangbret, dan
(c) Ngrowo (Tulung Agung);
(3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
(4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
(a) Jipang (Ngawen) dan
(b) Teras Karas (Ngawen);
(5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
(a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
(b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
(c) Sebagian Grobogan.

Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Penduduk Kesultanan 

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai Kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu Bangsawan (Bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem).Sultan yang merupakan anggota lapisan Bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan Bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya Bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan Politik Nagari Ngayogjokarto

Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan Negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. 

Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.

Kementerian urusan luar adalah;

(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.

Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan Agama, Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan Masjid-Masjid Kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan Istana, serta urusan peradilan Kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.

Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residendi Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris.Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninklijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditakhtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti,Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danureja VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan Negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Hageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.

Sultan memimpin  sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia.Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.

Hukum dan Peradilan Nagari Ngayogjokarto

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan, yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.

- Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
- Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
- Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
- Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.

Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradata sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradata dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan Kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.

Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboekdan Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan Agraria Nagari Ngayogjokarto 

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.

Kebudayaan dan Pendidikan Nagari Ngayogjokarto

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan Keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri Kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan Istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.

Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga Kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan Agama dan Sastra. Pendidikan Agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks Masjid Raya Kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan olehTepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran Agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).

Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, Kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi Kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan Keamanan Nagari Ngayogjokarto

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula para militer yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Monconegoro.

Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi, namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan adipati anomdan para pangeran, serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat peristiwa Geger Sepehi pada Juni 1812, dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoropada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang Pasifik, Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur di masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.

Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda di masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemuliaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Prajurit Mantrijero.

Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. 

Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.
1- Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
2- Abdi Dalem Prajurit Dhaeng
3- Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
4- Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
5- Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
6- Abdi Dalem Prajurit Nyutra
7- Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
8- Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
9- Abdi Dalem Prajurit Bugis
10- Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
11- Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
12- Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
13- Abdi Dalem Prajurit Jager
14- Abdi Dalem Prajurit Suranata
15- Abdi Dalem Prajurit Suragama


Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-18

  1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya & para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
1750, RM Said [MN I] yg telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran [daerah pantura Jawa] mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata & perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yg sama.
1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yg diberi nama Ngayogyakarta.
1773, Angger Aru-biru yg menjadi acuan dlm peradilan yg pertama disahkan.
1774, Putra mahkota [kelak HB II] menulis buku Serat Raja Surya yg kemudian menjadi pusaka.
1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak & diselesikan dlm 2 tahun.
1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
1799, Danurejo I wafat & diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.

Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-19

  1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister & perubahan kedudukannya yg sejajar dengan Sultan & Sunan.
1810, Awal prahara politik Yogyakarta yg akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat & digantikan oleh Notodiningrat [PA II]. Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer & mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yg menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dlm posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro [Danurejo III] menjadi Pepatih Dalem.
1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan & dibuang ke Penang [wilayah Malaysia sekarang]. 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan & demiliterisasi birokrasi kerajaan.
1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yg mengepalai sebuah principality yg terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yg bergelar Danurejo IV.
1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yg masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yg tak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum [KUH] ditetapkan bersama Yogyakarta & Surakarta.
1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yg masih berusia 3 diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yg terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro & Danurejo IV dibentuk.
1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tak membawa hasil.
1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yg tetap antara Surakarta & Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
1848, Peraturan yg mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak & gagal.

Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-20

  1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan & pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem. 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX & PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan & Paku Alaman.
1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta & Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, & mulai berlaku pada 15 Agustus.
1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1988, Sultan HB IX wafat.


 Sultan Pertama Nagari Ngayogjokarto 

Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh

Nama aslinya adalah Raden Mas Sudjono yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra ‎Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura y‎ang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dholok yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di Pajang pada Sultan Hadiwijaya dan ia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgoloyo  yang menghasut Raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Saidsebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro. (sejarah Perjuangan Pangeran Mangkubumi pernah saya tulis riwayat Perang Mangkubemen dan sejarah berdirinya kabupaten Sragen)

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 -1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...