Selasa, 24 November 2020

Manaqib Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari


‎Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa,Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town,Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.‎


Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.

Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniridan mendalami tarekat Qadiriyah.

Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.

Syaikh Yusuf adalah seorang ilmuwan, sufi, penulis, dan komandan pertempuran abad ke-17, Beliau adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah keBanten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), Caylon (Srilanka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. Bagi warga Cape Town, Dia tidak hanya diakui sebagai ulama, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika Selatan. Daerah tempat tinggal Syekh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Syekh Yusuf al-Makassari telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan November 1995. Penghargaan yang diberikan kepadanya karena perjuangan beliau semasa hidupnya, baik sebagai seorang pejuang atau mujahid dakwah maupun sebagai ulama atau tokoh cendekiawan Islam. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara.

Menurut Lontara warisan kerajaan Kembar Gowa dan Tallo masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang, Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun. banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong. (Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa, 12 Zulhidjah 1116 H.) Masih menjadi pertanyaan besar, di mana sesungguhnya jenazah Syekh Yusuf dimakamkan. Di masing-masing makam tersebut, masyarakat sekitar sangat meyakini jenazah Syekh Yusuf berada di makam setempat.

Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf :

Sejak agama Islam menjadi pengangan masyarakat di tanah Bugis, sistem pendidikan awal kepada anak-anak mereka adalah menyampaikan ayat-ayat al-Quran al-Karim melalui cara tradisional dalam pengajaran baca tulis al-Quran. Maka Syekh Yusuf al-Makassari pun tidak lepas dengan sistem itu. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam.

Beliau dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan dia berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.

Salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus pada waktu itu berada di Cikoang, yang saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW.  Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana yaitu Syeikh Jalaludin al-Aidit, selain itu beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.

Setelah fasih membaca al-Quran, beliau dibawa oleh orang tuanya ke pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahw, sarf, Balaghah, dan Mantiq. Pondok atau pusat pendidikan Bontoala yang didirikan pada tahun 1634, pada masa itu dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman yang bernama Syed Ba’Alawy bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Allamah Tahir.

Setelah beliau menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Bontoala, gurunya Syed Ba’ Alawy menyarankan kepadanya agar terus melanjutkan pengajian di pondok Cikoang. Ada beberapa tahun lamanya Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdesan otaknya dalam mengikuti  pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Jazirah Arabia. Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah.

Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.

Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat menumpang kapal melayu, dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten,Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, Disini dia bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir, Sultan kerajaan Banten pada masa itu.

Kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Yang lahir di Ranir Gujarat India, setelah dari Aceh lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.

Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl  al-Sunnah  wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya.

Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana. Beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani. dan Hassan al-Ajamiy.

Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, disini Syekh Yusuf mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah.

Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.  Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung  kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan).

Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri. 

Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam di Nusantara.

Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah: (1) Kaifiyat al-munghi Wal Istbat (2) Safinat an-Najat (3) Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid (4) al-Barakat as-Sailaniyah (5) an-Nafhati as-Sailaniyah (6) Mathalib as-Salikin (7) Risalat Ghayah al-Ikhtisar.

Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon. Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzaliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer. Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.  

Syekh Yusuf adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah  warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Konsep-Konsep Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari

Makna Tasawuf dan Hubungannya dengan Akidah.

Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba. Panda‎ngan ini sesuai dengan makna tasawuf yang dikemukakan oleh al-Sya’rani dalam al-Tabaqat al-Kubra yang berbunyi sebagai berikut:

والتصوف إ نما هو زبدة عمل العبد بأ حكام الشر يعة ‏

Tasawuf adalah hasil amalan hamba terhadap hukum-hukum syari’ah.

Definisi tasawuf yang digunakan oleh Syekh Yusuf, di antaranya sebagai berikut:

الجد فى السلوك إ لى ملك الملوك . ‏

“ Bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Malik al-Muluk”. Di samping itu, definisi lain yang sering juga diungkapkan oleh beliau dalam tulisannya, ialah:

التصوف هو تجر بد القصد إ لى الله تعالى و آ خره هو التخلق با خلا قه سبحا نه     وتعال

Tasawuf ialah pemurnian qadas (niat) semata-mata kapada Allah, dan natijahnya ialah mengamalkan akhlak dengan akhlak Allah SWT. Juga ditemukan definisi  lain lagi, seperti berikut:

أ ول التصوف علم و أوسطه عمل و آخره مو هب

“Awal tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amalan, dan akhirnya ialah pemberian”.

Dari definisi-definisi yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf bagi Syekh Yusuf al-Makassari adalah merupakan amalan yang sungguh-sungguh dalam menjalani al-suluk, yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah semata-mata mengharapkan rida-Nya. Dengan demikian, seorang hamba Allah dapat mencapai tarap yang mulia dengan memiliki sifat terpuji yang diridahi oleh Allah SWT melalui suluk atau tasawuf.

Dalam upaya menjalankan pengajaran dan dakwah Islam melalui tasawuf, Syekh Yusuf selalu mengaitkan tasawufnya dengan aqidah Islamiah. Pesan ajaran beliau dalam berbagai tulisannya, terutama dalam al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrar dan Habi al-Warid, selalu dikaitkan perlunya seorang hamba yang memulai suluknya dengan mengesahkan aqidahnya. Maksudnya yang paling utama diperlukan dalam menjalani amalan tasawuf (suluk) adalah asas aqidah yang sahih. Jika aqidah itu benar dan kuat, maka amalan tasawuf akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Akan tetapi jika aqidah  rapuh dan tidak benar, jelas akan merusak amalan selanjutnya, karena asas aqidah yang tidak benar menjadikan seorang salik bisa terperangkap dalam ajaran sesat dengan tidak disadari.

Akidah yang benar, menurut pandangan Syekh Yusuf adalah akidah yang berdasarkan kepada ittiba’ al-Rasûl. Artinya apa yang patut diyakini oleh hamba terhadap Allah adalah sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qada dan qadar-Nya, mestilah didasarkan kepada kedua rujukan dasar tersebut. Selain al-Quran dan al-Sunnah, tiada jalan untuk menjadikannya sebagai landasan aqidah yang benar.‏

Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu:

Pertama : tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm.

Kedua : Faham al-Sima’i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju  pada tuntutan Islam yang benar.

Ketiga : Husn al-‘Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah).

Keempat : Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.

Kelima : Tark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timad kepada ikhtiar sendiri.

Keenam : Sur’at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah).

Ketujuh : al-Kahf  ‘an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Kedelapan : Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa.

Kesembilan : Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha.

Kesepuluh : Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah.

Konsep Tauhid dan Wahdat al-Wujud

Adapun konsep Syekh Yusuf tentang Tauhid al-Ilah, telah dirumuskan dalam risalah al-Nafhah, yaitu:

إ نه تعالى هو المو صوف بأ ية : ليس كمثله شى ء وسورة الأ خلاص.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Quran surat al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada suatu apapun yang menyerupai-Nya.

Dari pernyataan beliau di atas, jelas bahwa konsep Tauhid beliau tidak lepas dari konsep tauhid Ahl  al- Sunnah Wa al- Jamaah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim. Malah beliau menegaskan bahwa ayat-ayat di atas adalah merupakan dasar Tauhid yang sebenarnya yang mesti dipegangi dan diyakini. Beliau menyebutnya sebagai Um al-I’tiqâdât (induk dari keimanan).

Menurut Syekh Yusuf unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini sebagai orang yang menjalani suluk (pendekatan diri) di antaranya adalah:

Pertama : Tauhid al-Ahad, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud qadim (wujud tidak berpermulaan), qadim binafsih ( berdiri dengan sendirinya ), muqawwim lighairih (mengadakan selainnya). Sesungguhnya Allah tiada bermula wujud-Nya  dan tiada ujung-Nya, tiada serupa dengan-Nya, Dia adalah Maha Tunggal, tumpuan pengharapan, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satupun yang menyerupai-Nya.

Kedua : Tauhid al-Af’al, ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah, Dialah pencipta segala sesuatunya, Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan semua urusan, apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kemauan Allah jua, semua yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan mungkin terjadi.

Ketiga : Tauhid al-ma’iyyah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama hamba-Nya di manapun ia berada.

Keempat : Tauhid al-Ihatah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu‎

Konsep Ma’rifah dan Haqiqah

Dalam konsep ma’rifah dan haqiqah, beliau selalu menghubungkannya dengan dua istilah lain, yaitu syariah dan tariqah yang selalu disinggung secara bersamaan.

Beliau menguraikan keempat istilah itu dan kedudukannya masing-masing. Syariah ditafsirkan sebagai teori (nazariyyah), yaitu ilmu tentang tata cara melakukan ibadah kepada Allah mengikuti syariat Islam yang telah dikaji secara mendalam oleh ulama fiqh (fuqaha). Sementara tariqah ialah pelaksanaan (tatbiq) amal ibadah (syariah Islamiyyah) dengan penuh keikhlasan mengikuti bimbingan seorang mursyid yang dianggap berpengalaman dan memiliki ilmu yang luas tentang syariat Islam. Adapun ‎haqiqah , Syekh Yusuf menafsrkan sebagai suatu sikap yang sangat dalam (mauqif batiniy) ketika beribadah dengan bermusyahadah kepada al-Ma’bud (Allah). Sementara ma’rifah adalah suatu anugerah Ilahi (‘ata Ilahi) yang langsung dirasakan oleh mereka yang telah menjalani suluk mengikuti petunjuk syariah Islam dengan penuh keikhlasan dan sikap ihsan.‎

Makna Zikrullah

Menurut Syekh Yusuf ibadah zikir itu adalah wujud kesempurnaan ittiba (mengikuti) Nabi Muhammad SAW. Dan amat dianjurkan bagi mereka yang menjalani suluk (pendekatan diri) kepada Allah.‎

Menurut Syekh Yusuf, zikir ada tiga macam, 

(1) “la Ilaha Illa Allah”, dinamakan zikir orang-orang awam atau disebut pula zikir lisan atau lidah; “

(2) Allah-Allah”, zikir orang-orang khawas atau disebut zikir qalb atau hati; dan 

(3) “Huwa-Huwa”, yang dinamakan zikir khas al-khawas atau zikir sirr atau rahasia.

Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang.

Menurut Syekh Yusuf, apa saja yang ada selain Allah sebenarnya tidak ada. Wujud selain Allah hanyalah sebagai bayangan wujud yang berdiri dan memberi wujud bagi yang lain. Yang demikian itu adalah wujud al-Haq. Ia menggambarkan bahwa bayang-bayang seseorang itu bukan terwujud dengan sendirinya melainkan wujud karena adanya orang itu sendiri. Yang ada itu adalah orangnya saja, sekalipun bayangan itu terlihat dengan mata.‎

Karamah, Mu’jizat dan Istidraj.

Tentang karamah dan mu’jizat atau hal-hal yang luar biasa yang terjadi atas diri hamba (orang awam) dinamakan istidraj bukan keramah; apabila terjadi atas diri seorang saleh yang melaksanakan syariat berlebih-lebih, maka dinamakanlah karamah sebagai karunia dari Allah dan bila terjadi atas diri seorang nabi, dinamakan mu’jizat, akan tetapi bila terjadi sebelum kenabian dinamakan irhas.

Al-Insan al-Kamil

Manusia sempurna menurut Syekh Yusuf adalah manusia yang mengenal Allah dan sampai ke maqam makrifat, bukanlah manusia biasa atau binatang yang berbentuk manusia. Manusia sempurna yang ingat pada Allah dalam segala urusannya kapanpun dan di manapun ia berada, segala kehendaknya untuk Allah dan selalu disisi-Nya. Manusia sempurna itulah yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diri-Nya, lalu diberikan-Nya berbagai macam sifat-Nya kepada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut setelah berakhlak dengan akhlakullah, menjadi Dia dan menjadi Khalifah-Nya di bumi dan menyerupai-Nya, karena Allah telah menciptakan Adam untuk menjadikannya  khalifatullah di bumi. Manusia macam inilah yang menjadi rahasia-Nya.‎‎

“Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1628-23 mei 1699)”

Syekh Yusuf yang lahir tanggal 3 juli 1628M di di Gowa Sulawesi Selatan dan wafat 23 mei 1699M di Sandvliet Cape Town, adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah  warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam.‎

 

Manaqib Syaikh Muhammad Nafis Al-Banjari


Dalam deretan ulama Banjar, nama Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari (lahir di Martapura, Kesultanan Banjar, 1735 dan ‎meninggal di Kelua, 1812) ‎beliau adalah keturunan sultan kerajaan banjar dan nasabnya bersambung sampai ke Pangeran Suriansyah atau Pangeran Samudera ,sultan pertama Kerajaan Banjar . Beliau adalah salah seorang Ulama Banjar yang cukup dikenal sebagai tokoh sufi yang tegas dalam melawan segala bentuk penindasan.

Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang fikih, juga ahli dalam bidang tasawuf. Ia telah menulis sebuah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf dengan judul Ad-Durrun Nafis. Kitab ini banyak didiskusikan dan diperdebatkan, karena materi-materinya yang dianggap kontroversi oleh para ulama fiqih.

Nasab Syaikh 

Syaikh  Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kusuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta'in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera).

Kisah Perjalanan Syaikh 

Sejak muda beliau sangat cinta akan ilmu ,sehari hari digunakan beliau untuk menuntut ilmu agama baik itu ilmu tauhid,fiqih ,tasawuf maupun ilmu ilmu lainnya, sehingga kegemaran beliau ini membawa beliau melanglang buana mencari ilmu. Nafis melanjutkan pelajarannya ke Makkah, setelah belajar dasar-dasar keislaman di daerah kelahirannya. 

Mungkin dia belajar bersama Al-Falimbani dan Muhammad Arsyad dan para pelajar lainnya di Nusantara. Mereka memang punya guru-guru yang sama seperti As-Samani, Muhammad Al-Jauhari, Muhammad Siddiq. Dia juga belajar pada Abdullah bin Hijazi Al-Syarqawi, yang dua tahun lebih muda, Syaikh Al-Azhar, dan juga guru Dawud Al-Fatani. Al-Syarqawi merupakan ulama hadis terkemuka, yang menjadi isnad (sandaran) Muhammad At-Tirmasi, ulama hadis terkemuka kita, yang asal Tremas, Jawa Timur, yang tinggal dan meninggal di Makkah.

Muhammad Nafis mengikuti mazhab Syafi’i dan menganut ajaran kalam Asy’ari. Dia juga bergabung dengan beberapa tarekat seperti Qadiriyah, Syathariyyah, Naqshabadiyah dan Khalwatiyah. Nafis, seperti terungkap dalam “Durr An-Nafis” menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan, dan menolak faham determinisme fatalistik Jabariyyah yang berlawanan dengan kehendak bebas (Qadariyyah). Dia berpendapat bahwa kaum muslimin musti berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan cara melakukan amal shalih (perbuatan baik) dan menghindari kejahatan (nahy ‘anil munkar). Penekanannya yang kuat akan aktivisme muslim ini menyebabkan bukunya kena pemberedelan Belanda. Pemerintah kolonial khawatir kitabnya itu akan mendorong kaum muslimin melancarkan jihad.

Tidak diketahui kapan persisnya Muhammad Nafis Al-Banjari balik ke Nusantara. Mungkin dia langsung pulang ke Kalimantan, tidak mampir-mampir dulu di tempat lain, sebagaimana, misalnya, Syekh Arsyad yang sempat ngendon dua bulan di Betawi seraya membetulkan arah qiblah sejumlah masjid di sini. Syekh memang diminta temannya, Abdurrahman Al-Batawi, agar tidak buru-buru pulang kampong. Tapi Syekh menggunakan waktunya yang relatif singkat itu untuk da’wah di kalangan muslim Betawi. Kembali ke tokoh kita. Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Setelah berada ditanah air dengan berbekal ilmu yang diperoleh beliau dari Tanah Suci Mekkah beliau berdakwah kebeberapa daerah di nusantara ini,untuk mangajak masyarakat mengESAkan ALLOH,karena keluasan  dan ketinggian ilmu beliau serta kegigihannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar 'MAULANA AL-ALLAMAH AL-FAHHAMAH AL-MURSYID ILAA THARIQ AL-SALAMAH AS-SYEKH  MUHAMMAD NAFIS  IBN IDRIS IBN HUSEIN AL-BANJARI 
 (Tuan Guru yang sangat alim yang menunjukkan kejalan keselamatan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari)

Sejarah Islamisasi di Kalimantan Selatan

Sebelum Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, boleh dibilang tidak ada upaya-upaya Islamisasi yang serius di Kalimantan. Tidak ada upaya yang serius yang dilakukan oleh para penguasa untuk memajukan kehidupan Islam. Usaha-usaha yang dilakukan para da’i keliling, juga tidak memperoleh kemajuan yang berarti.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatra Utara dan Aceh. diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran samudra beralih menggunakan  Islam sebagai dasar Negara pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Surian Syah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Berbeda dengan syekh Muhammad Arsyad yang sepulang dari Makkah terus mengembangkan ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat Desa Dalam Pagar dan banyak mempunyai kesempatan menulis sejumlah kitab,
Datu Nafis atau Syekh Muhammad Nafis ini berkelana dari suatu daerah kedaerah lainnya sehingga beliau hanya sempat mengarang satu buah kitab yaitu Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) kitab Ad durrun Nafis tersebut pada ,mulanya dikarang beliau karena permintaan dari teman temannya namun akhirnya banyak diminati dan tersebar keseluruh dunia dan membuat nama beliau menjadi harum,kitab Ad-Durun Nafis tersebut tidak saja dicetak atau diterbitkan didalam negeri,tetapi juga dicetak diluar negeri seperti ditemukan menurut urutan tahun adalah:

1.Terbitan thn 1313 H oleh Mathba'ah Al-Karimul Islamiah di Mekkah
2.Terbitan thn 1323 H oleh Mathba'ah Al-Miriah di Mekkah yang terbuat sebagai hamisy (tepi) Kitab Hidayatus Salikin Karya Syekh Abdus Shamad Al-Palembani
3.Terbitan thn1343 H oleh percetakan Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladihi
4.Terbitan thn 1347 H oleh Darut Thaba'ah Al-Mishriyah Mesir
5.Terbitan Kedai Sulaiman Mar'i,Bashrah Sreet Singapore tanpa tahun
6 Terbitan Maktabah Sulaiman Mar'i wa Syirkahu Surabaya indonesia tanpa tahun
7.Terbitan Maktabah As-Saqafah tanpa tahun
8.Terbitan Maktabah Haramain Singapore tanpa tahun
9.Terbitan Ahmad Sa'ad bin Nabhan Surabaya tanpa tahun
10.Terbitan Maktabah salim Nabhan Surabaya tanpa tahun

Kitab yang berbahasa melayu ini merupakan kitab kecil dan tipis tetapi isinya sangat padat yaitu berisi ajaran Tauhid yang tinggi yang menjelaskan tentang ke ESA an ALLAH dari segi ZAT,SIFAT ASMA dan AF'AL tujuannya untuk melepaskan segala macam penyakit hati,tetapi kitab ini tidak bisa dipelajari oleh sembarangan orang, kecuali orang yang sudah mantap fiqih,tauhid dan ma'rifatnya,

Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. ‎ Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua,Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius yang dikeramatkan  di Kabupaten Tabalong,Kalimantan Selatan.

Ajaran Tasawuf Syaikh Muhammad Nafis

Ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (selanjutnya disebut Muhammad Nafis), dalam karya tulisanya Ad-Durun nafis, menimbulkan pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Sehingga ajaran tasawuf itu sangat menarik kita ketengahkan dalam tulisan ini.

Berdasarkan pengakuan Muhammad Nafis sendiri, sebagaimana tersurat dalam karya tulisnya Ad-Durrum Nafis, dia menyatakan bahwa dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid al-Baghdadi. Diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf Sunni, maka dengan demikian bisa diketahu bahwa Muhammad Nafis mengaku sebagai penganut aliran Tasawuf Sunni. Namun, jika diamati dari literatur (kitab) yang ia gunakan menulis karya tulisnya tersebut, dapat diketahu bahwa ajaran tasawufnya adalah memadukan antara lairan tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf filosofis, karena dari literatur )kitab) yang ia gunakan tersebut ada yang beraliran tasawuf Sunni, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi, dan ada pula yang beraliran tasawuf filosofis, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Ibn’Arabi dan al-Jili.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit (tidak terbatas). Muhammad Nafis sama pendapatnya dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa kunhi (hakikat) wujud Allah itu tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya, tanpa pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin dikenal oleh siapapun.

Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya didalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya Muhammad Nafis, sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili.

Konsep Muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya, karenanya, hubungan masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’), dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan. Adanya dzat sekaligus menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al). Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid (pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al), dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Mengenai sifat Tuhan, Muhammad nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada dzat. Dengan demikian, menurut dia, bahwa ALlah Mahakuasa denga dzatNya, maha mendengar dengan dzatnya, Maha melihat dengan dzatnya, dan maha berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya.

Muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr, dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia, yang dmikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. Allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya, maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah. Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran Mu’tazilah yang menafik sifat Allah. Tetapi, justru dia melontakan kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut dia walaupun pandangan aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah sendiri, dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya, pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.

Ajaran Muhammad Nafis tetang sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah asensinya dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ; ia adalah suatu “bentuk” terbatas dan pasti asensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.

Sebagaimana Muhammad Nafis yang hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan, tidak mengakui keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksestensi dan wujud entitas didalam esensi Tuhan, sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor (semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.

Tentang penciptaan, aliran Ahlus Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan cara emansi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada melalui proses tajalliyat. Teori Ibn arabi ini mempengaruhi Al-Jili. kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari gujarat, Muhammad Ibn Fadullah ia kembangkan tori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang dikenal dengan istilah martabat tujuh. Berikutnya teori ini mempengaruhi dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai. Ajaran ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud.

Muhammad Nafis tentang penciptaan ini nampak sekali dia terpengaruh oleh teori martabat tujuh tersebut. Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu hadrat dzat semata-mata. Menurut dia, penampilan dzat ialah dzat-Nya menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan tanzil. Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud hanya satu, yaitu Allah semata.

Menurut Muhammad nafis, Nur Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian. Kalau dibandingkan dengan teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif. Namun, dari sisi fungsinya jauh berbeda.

Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli. Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan dan penciptaan.

Manusia menurut dia adalah mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut Al-Insanul Kamil, karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat, sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal (keindahan).

Menurut Muhammad Nafis, bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus berpandangan bahwa alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata. Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada tandingannya. Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini, tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.

Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, seseorang harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut :

Pada peringkat pertama dia harus berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah, sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaimana sirnanya cahaya lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.

Pada peringkat ini, seseorang sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.‎

 

Kisah Sunan Muria



Asal Usul Sunan Muria

Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama Muria diambil dari nama tempat tinggal terakhir beliau di lereng Gunung Muria, kira-kira delapan belas kilometer ke utara Kota Kudus. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya.  Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.

Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam.  Salah satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti.

Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati. Peranan serta jasa Sunan Muria semasa hidupnya membuat makam beliau yang terletak di Gunung Muria sampai hari ini tidak pernah sepi peziarah.

Colo dan Bukit Muria

Di sebelah Utara kota Kudus dengan jarak 18 km. terdapat desa bernama Colo. Desa Colo ini terletak di lereng bukit Muria, yakni salah sebuah bukit dari beberapa puncak di Gunung Muria yang tingginya 1600 meter lebih. Di atas bukit Muria itulah letaknya makam Sunan Muria, di belakang Masjid yang konon dibuat sendiri oleh beliau. (Masjid itu sekarang telah dipugar sehingga hilang keasliannya kecuali hanya beberapa bagian saja yang masih asli, namun itupun adalah bekas pugaran juga).

Mengapa bukit atau gunung itu dinamakan Muria?

Menurut hypotesa Solihin Salam dalam bukunya "Kudus Purbakala Dalam Perjoangan Islam" terbitan Menara Kudus halaman 47 — 50, yang mana setelah Solihin Salam mengutip dari buku "A Short Cultural History of Indonesia" karya Soetjipto Wirjosoeparto, berpendapat bahwa nama Muria itu diidentifikasikan dengan nama sebuah bukit di dekat Yerussalam Palestina. Di dekat Yerussalam atau Darussalam sana yang terdapat juga disebut Baitul Maqdis, ada sebuah bukit yang bernama Gunung Moriah, di mana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dahulu membangun sebuah kanisah.
Perlu diketahui bahwa nama kota Kudus mungkin diambil dari sebuah inskripsi tentang berdirinya Masjid Menara Kudus, yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun  956 H.   (1549 M) yang mengatakan bahwa kota ini bernama Al Quds.

Maka nama Muria mengingatkan kita pada nama sebuah bukit di dekat kota Baitul Maqdis atau Yerussalam atau Darussalam itu.

Desa Colo dijadikan obyek pariwisata oleh Pemerintah Daerah Kudus. Di sana telah berdiri banyak villa, dengan hawanya yang sejuk, terdapat sebuah grojogan atau air terjun (curug) bernama MONTHEL. Bila hari Minggu banyak orang berekreasi, terutama pada hari-hari ramainya ziarah ke makam Sunan Muria, yakni pada hari-hari Kaniis Legi dan Jum 'at Pahing.

Kisah Kesaktian Sunan Muria

Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hak itu tidak dapat dilakukannya tenpa fisik yang kuat.
Bukti bahwa sunan muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan sunan murida dengan dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, yang bertempat tinggal di juana, pati jawa tengah. Demikian sakti sunan ngerang sehingga sunan muria dan sunan kudus sampai berguru kepadanya.

Dalam cerita sunan muria, pada suatu hari, sunan ngerang mengadakan syukuran atas usia dewi roroyono yang telah genang dua puluh tahun. Semua muridnya diundang, seperti sunan muria, sunan kudus, adipati pathak warak, kapa dan adiknya gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak saudara yang dari jauh. Setelah tamu berkumpul, dewi Roroyono dan adiknya, dewi roro pujiwati, keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah para dara yang cantik rupawan, terutama dewi roroyono yang bersuaia dua puluh tahun. Ia bagaikan bunga yang sedang mekar.

Bagi sunan kudus dan sunan muria yang sudah berbekal ilmu agama, dapat menahan pandangan mata, sehingga mereka tidak terseret oleh godaan setan. Tapi, seorang murid sunan ngerang yang lain, yaitu Adipati Pathak warak memandang dewi royoyono dengan mata tidak berkedip karena melihat kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid sunan ngerang ketika pathak warak belum menjadi adipati, dewi roroyono masih kecil dan kecantikannya yang mempesonan belum tampak. Tetapi, sekarang, gadis itu sangat membuat adipati pathak warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus. Akibat dibakar api asmara yang menggelora, ia tidak tahan lagi. Ia pun menggoda dewi roroyono dengan berbagai ucapan yang tidak pantas, bahkan bertindak kurang ajar.

Tentu saja, dewi merasa malu sekali, terutama ketika adipati pathak warak berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian tubuhnya yang tidak pantas disentuh. Si gadis pun naik pitam, sehingga nampan berisi minuman yang dibawahnya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati. Maka adipati pathak warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi ia pun semakin malu karena melihat para tamu menetawakan kekonyolan.

Dewi Roroyono hampir saja ditampar oleh adipati pathak warak kalau ia tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Lalu, Dewi Rorooyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh pathak warak. Pada malam hari, para tamu yang rumahnya dekat sudah pulang ke tempat masing-masing. Adapun tamu yang datang dari jauh terpaksa menginap di rumah sunan ngerang, termasuk pathak warak san sunan murid. Namun, pathak warak belum dapat memejamkan matanya hingga lewat tengah malam. Kemudian, ia bangkit dari tidurnya dan mengendap-ngedap ke kamar dewi roroyono.

Dewi roroyono dibius sehingga tak sadarkan diri, kemudian pathak warak turun melewati genteng dan mebawanya lari menuruni jendela. Dewo Roroyono dibawa lari ke mandalika, wilayah keling atau kediri. Setelah sunan ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh pathak warak, maka ia berikrar bahwa orang yang berhasil membawa putrinya bila perempuan akan dijadikan saudara dewi roroyono. Dan jika laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya.

Tak ada seorang pun yang menyatakan kesanggupannya. Sebab, semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman pathak warak. Hanya sunan muria yang bersedia memenuhi harapan sunan ngerang.
“saya akan berusaha mengambil diajeng Roroyono dari tangan pathak warak,” kata sunan muria
Di tengah perjalanan, sunan muria bertemu dengan kapa dan gentiri, adik seperguruan, yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Keduanya merasa heram melihat sunan muria berlari cepat menuju ke arah daerah keling.
“Mengapa kakang tampak tergesa-gesa?” tanya kapa
Sunan muria pun menceritakan penculikan dewi roroyono yang dilakukan oleh pathak warak. Kapa dan gentiri sangat menghormati sunan muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Lantas, keduanya menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali dewi Roroyono.
“Sebaiknya, kakang pulang ke padepokan gunung Muria. Para murid sangat membutuhkan bimbingan kakang. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng roroyono kembali. Kalau berhasil, kakang tetap berhak menikahnya, kami hanya membantu,” kata kapa.
“Aku masih sanggung merebutnya sendiri,” ujar sunan muria
“Itu benar, tapi, membimbing orang memperdalam agama islam juga lebih penting, percalah, kami pasti sanggup merebutnya kembali” kata kapa bersikeras.
Akhirnya, sunan muria mengambulkan permintaan adik seperguruannya. Ia merasa tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula, ia harus menengok para santrinya di padepokan gunung muria. Untuk merebut dewi roroyono dari tangan pathak warak, ternyata kapa dan gentiri meminta bantuan seorang wiku lodhang di pulau sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti dan tidak ada tandingannya. Usaha mereka berhasil sehingga dewi roroyono dikembalikan kepada Sunan Ngerang. Hari berikutnya, sunan muria hendak pergi menghadap sunan ngerang untuk mengetahui perkembangan usaha kapa dan gentri. Di tengah perjalanan, ia bertemua dengan adipati Pathak warak.
“hai pahtak warak, berhenti kamu” bentak sunan muria
Patahak warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena sunan muris menghadang di depannya.
“Minggi, jangan menghalangi jalanku! Hardik pathak warak
“Boleh asal kamu kebalikan Dewo Roroyono”
“Goblok! Roroyono sudah di bawa kapa dan gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka”! umpat pathak warak.
“untuk apa kamu mengejar merek?”
“merebutnya kembali” jawab pathak warak dengan sengit
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar sunan muria sambil pasang kuda-kuda.‎
tanpa basa basi maka pathak warak melompat dari punggung kuda. Ia menyerang sunan muria dengan jus cakar harimau. Tapi, ia bukan tandingan putra sunan kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, pathak warak telah jatuh atau roboh di tanah. Seluruh kesaktiannya lenyap, bahkan ia menjadi lumpuh dan tidak mampu untuk berdiri apalagi berjalan.
Sunan muria pun meneruskan perjalanan ke juana. Kedatangannya disambut gembira oleh sunan ngerang. Sebab, kapa dan gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendiri yang memaksa mengambil alih tugas sunan muria mencari roroyono. Pada akhirnya, sunan ngerang menjodohkan dewi roroyono dengan sunan muria.
Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri berjasa besar diberi hadiah tanah di desa buntar. Dengan hadiah itu keduanya menjadi orang kaya yang kehidupan mereka serba kecukupan. Sementara itu, sunan muria segera memboyong istrinya ke padepokan gunung muria. Mereka hidup bahagia karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan kapa dan gentiri. Sewaktu membawa dewi roroyono dari keling ke ngarang, agarknya mereka terlanjut terpesonan oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang dan malam, mereka tidak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun, wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya sehingga mereka tidak dapat berbuat apapun.

Hanya penyesalan yang menghujam di dada mereka. Mengapa dulu mereka terburu-buru menawarkan jasa baik mereka? Betapa enak sunan muria sekarang tanpa bersusah payah, ia telah menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan mata dan menjaga kehormatan mereka. Adai kata kapa dan gentiri tidak menatap terus ke arah wajah dant ubuh dewi roroyono yang indah, mereka pasti tidak akan terpesonan dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkat pada pandangan mata.

Kini, kapa dan gentiri telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut dewi roroyono dari tangan sunan muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikanya sebagai sitri kedua secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri beerangkat terlebih dulu ke gunung muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya, justru kepergok oleh para murid sunan muria sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Suasana menjadi panas ketika sunan muria keluar menghdapati gentiri. Akhirnya, gentiri tewas menemui ajalnya di puncak gunung muria.

Kematian gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi, berita itu tidak membuat surut niat kapa. Sebab, kapa cukup cerdik sehingga ia datang ke gunung muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Pada saat itu, kebetulan sunan muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke demak bintoro. Kapa membius para murid sunan muria yang berilmu rendah yang ditugaskan menjaga dewi roroyono, kemudian kapa menculik dan membawa wanita impiannya ke pulai sprapat dengan mudah.

Pada saat yang sama, sunan muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau sprapat sepulang dari demak bintoro. Ini biasa dilakukannya, yakni bersahabat dengan pemeluk agama lain. Dan, itu bukanlah suatu dosa, terlebih lagi sang wiku pernah menolongnya merebut dewi roroyono dari pihak pathak warak.

Seperti ajaran sunan kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Sunan muria pun menunjukkan akhlak islam yang mulia dan agung. Sunan muria bukan berdebat tentang perbedaan agama itu. Dengan menerapkan akhlak yang mulia itu, banyak pemeluk agama lain yang akhirnya tertarik dan masuk islam secara suka rela. Sementara itu, kedatangan kapa ke pulau sprapat ternyata tidak disambut baik oleh wiku lodhang datuk.

Memalukan, benar benar nista perbuatanmu itu, cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu! Hardik wiku lodhang datuk dengan marah.
“bagaimana bapa guru ini? Bukankah aku ini adalah muridmu? Mengapa kamu tidak membelaku? Protes kapa.
“Apa? Membela perbuatan durjana?” bentak wiku lodhank datuk
“sampai mati pun, aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti, walaupun pelakunya itu muridku sendiri!” katanya

Perdebatan antara guru dan murid tersebut berlangsung lama. Tanpa mereka sadari, ternyata sunan muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejut ketika sunan muria melihat istrinya sedang tergolek di tangah dengan kaki dan tangan terikat. Sementara itu, ia juga melihat kapa sedang bertengkar dengan gurunya yaitu Wiku lodhang datuk. Lalu, wiku loadhang melangkah menuju dewi roroyono untuk membebaskannya dari belenggu yang dilakukan oleh kapa.

Ketika sang wiku selesai membuka tali yang mengikat tubuh dewi roroyono, tiba tiba terdengar jeritan keras dari mulut kapa secara bersamaan. Ternyata serangan yang dilakukan kapa dengan mengerahkan aji kesaktian berbalik menghantam dirinya sendiri. Itula ilmu yang dimiliki sunan muria. Ia mampu mengembalikan serangan lawan. Sebab, kapa mempergunakan aji pamungkas, yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya, maka ilmu itu akhirnya merengut nyawanya sendiri.

“Maafkan saya Tuan wiki,” sunan muria agak menyesal
“tidak mengapa, ia sudah sepantasnya menerima hukuman ini. Aku sangat menyesal karena telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata, lmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” gumam sang wiku.

Dengan langkah gontai, sang wiku mengangkat jenazah muridnya. Kapa adalah muridnya apaun yang terjadi. Pantaslah, kalau ia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya, dewi roroyono dan sunan muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.

Makam Sunan Muria dan Masjidnya.

Sunan Muria dimakamkan di atas puncak bukit bernama bukit Muria. Dari pintu gerbang masih naik lewat beratus tangga (undhagan) menuju ke komplek makamnya, yang terletak persis di belakang Masjid Sunan Muria. Mulai naik dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga sampai pelataran Masjid jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.

Setelah kita memasuki pintu gerbang makam, tampak di hadapan kita pelataran makam yang dipenuhi oleh 17 batu nisan. Menurut Juru Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit dan pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan semacam Patih dalam Keraton).

Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan cungkup makam beratapkan sirap dua tingkat. Di dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon makamnya puterinya perempuan bernama Raden Ayu Nasiki.

Dan tepat di sebelah barat dinding belakang masjid Muria, sebelah selatan mihrab terdapat makamnya Panembahan Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangannya Juru Kunci adalah putera Sulungnya Sunan Muria.‎

Manaqib Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari


Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. 
  
Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai  keturunan atau muridnya.

Muhammad Arsyad lahir di Desa Lok Gabang Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M. Beliau seorang ulama besar bermazhab syafi'i dan menjadi Mufti (penasehat agama) Kerajaan Banjar. 

Nasab Beliau 

Jalur nasabnya ialah;

Syaikh  Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin 
Sayyid Abdullah bin 
Tuan Penghulu Sayyid Abu Bakar bin 
Sultan Abdurrasyid Mindanao bin 
Sayyid Abdullah bin 
Sayyid Abu Bakar Al Hindi bin
Sayyid  Ahmad Ash Shalaibiyyah bin
Sayyid  Husein bin 
Sayyid Abdullah bin 
Sayyid Syaikh bin 
Sayyid Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin 
Sayyid Ali Abu Bakar As Sakran bin 
Sayyid Abdurrahman As Saqaf bin 
Sayyid Muhammad Maula Dawilah bin
Sayyid  Ali Maula Ad Dark bin
Sayyid  Alwi Al Ghoyyur bin
Sayyid Muhammad Al Faqih Muqaddam bin 
Sayyid Ali Faqih Nuruddin bin
Sayyid  Muhammad Shahib Mirbath bin 
Sayyid Ali Khola' Ghosam  bin 
Sayyid Alwi bin 
Sayyid Muhammad Maula Shama’ah bin 
Sayyid Alawi Abi Sadah bin 
Sayyid Ubaidillah bin
Sayyid  Imam Ahmad Al Muhajir bin 
Sayyid Imam Isa Ar Rumi bin
Sayyid  Al Imam Muhammad An Naqib bin
Sayyid  Al Imam Ali Uraidhy bin 
Sayyid  Al Imam Ja’far As Shadiq bi‎n
Sayyid  Al Imam Muhammad Al Baqir bin
Sayyid  Al Imam Ali Zainal Abidin bin
Al Imam Sayyidina Husein As syahid bin 
Al Imam Amirul Mu’minin Sayidina  Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti
Sayidina  Rosululloh Muhammad SAW.

Masa kecil Syaikh 

Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Diantara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah se‎dang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. 

Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah

Ia mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari Sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah

Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry,
al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan
al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai Khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti 

Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri,
Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi,
Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani,
Syekh Salm bin Abdullah al Basri,
Syekh Shiddiq bin Umar Khan,
Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy,
Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi,
Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal,
Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani,
Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal,
Syekh Abis as Sandi,
Syekh Abdul Wahab at Thantawy,
Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan
Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di Tanah Suci, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.

Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi. 

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung dia yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Membetulkan arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Setelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh SultanTahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam diKalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.

Karya Sang Syaikh 

Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. 

Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa buah karangan. 

Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.

Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini: 

1- Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
2- Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
3- Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
4- Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M.
5- Kitab Bab an-Nikah.
6- Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7- Kanzu al-Ma’rifah
8- Ushul ad-Din
9- Kitab al-Faraid
10- Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
11- Mushhaf al-Quran al-Karim
12- Fat-h ar-Rahman
13- Arkanu Ta’lim as-Shibyan
14- Bulugh al-Maram
15- Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
16- Tuhfah al-Ahbab
17- Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa dinyatakan tarikh cetak.

Ada pun karyanya yang pertama,yaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990). Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut: 
Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah Syeikh Muhammad Arsyad.”

Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen  al-’Alim al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari.”

Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.

Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.

Dari bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan dibicarakan pada kesempatan yang lain. 

  Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Keturunan

Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang menjadi ulama besar, pemimpin-pemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafi’i sebagai yang di wariskan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.

Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :
l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab “perukunan Jamaluddin”.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab “Hidayatul Mutafakkiriin”.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab “Perukunan Besar”, tetapi namanya tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Sa’ud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. As’ad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab “Risalah amal Ma’rifat”, “Asranus Salah”, “Syair Qiyamat”, “Sejarah Arsyadiyah” dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Mas’ud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab “Miftahul jannah”.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah “Sulamul ‘ulum’, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
17. H.M. Nawawi, Mufti.
18. Dan lain-lain banyak lagi.
Semuanya yang tersebut di atas adalah zurriyat-zurriyat Syeikh Arsyad yang menjadi ulama dan sudah berpulang ke rahmatullah.
Sebagai kami katakan di atas, Syeikh Mubammad Arsyad bin Al Banjari dan sesudah beliau, zurriyat-zuriyat beliau adalah penegak-penegak Madzhab Syafi’i dan faham Ahlussunna,h wal Jama’ah, khususnya di Kalimantan.
Syaikh Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat islam di Nusantara.
Makamnya dianggap keramat dan hingga kini masih diziarahi orang. 
Mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat kepada keluarga mereka dan kita semuanya, amiin ya robbal'alamin‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...