Selasa, 24 November 2020

Makna Filosofi Simbolis Pada Bilah Keris


Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud fisiknya. 

Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris. “Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya perkerisan. 

Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ? Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1 dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti dapur, pamor maupun tangguhnya.

Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa.

Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.

Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.

* Pegangan keris

Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. 

Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

* Wrangka atau Rangka

Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). 

Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. 

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) . 

Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. 

Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu 

(1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , 

(2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta 

(3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . 

Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

* Wilah

Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak lazim.

Makna dan Filosofi Keris Dalam Budaya Jawa

Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan jaman,  keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.

Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut ‎empu, ini mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui  laku / berpuasa, tapa / bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.

Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Menilik Pada masa kerajaan Majapahit,  keris terbagi menjadi 2 kerangka yang saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.

Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk atau model keris, atau yang disebut dengan istilah dapur. Selain dari dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan kembali bersatu kepada Tuhan.

Keris Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup

Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi – sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.

Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat berburu (mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang (‎mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan (‎tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.

Ilmu keris adalah ilmu lambang. 

Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkanperadaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman“Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin.

Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.

Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.

 Mengenal Ricikan KERIS.

Nama-nama keris yang benar sesuai yang tercantum dalam arsip keraton dalam Buku yang bernama SERAT CENTINI BAB II yang ditulis oleh salah seorang pujangga yang bernama R. Ngabehi Ronggowarsito pada tahun 1675. Keris yang ada di nusantara ini sangat banyak dan beragam, masing-masing memiliki nama yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya, bahkan satu daerah dengan daerah lain memiliki nama yang berlainan untuk satu keris yang sama.

Nama - nama keris tersebut memiliki beberapa tingkatan antara lain keris yang dibuat pada sebelum abad ke 10 diberi gelar Sang, keris yang dipakai sebagai pusaka keraton diberi gelar Kanjeng Kyai, keris yang dipakai oleh masyarakat umum diberi gelar Kyai dan keris yang dibuat oleh seorang Empu dan bukan dari idenya sendiri tapi dari ide Empu sebelumnya diberi gelar DHAPUR. 

Jenis keris pun ada bermacam-macam ada yang Lurus dan ada yang berlekuk. Untuk yang Luk (Istilah keris berlekuk) mulai dari luk 3 sampai luk 29, bisa dibayangkan nama-nama keris yang ada pasti ada ribuan.

Untuk bisa mengetahui berbagai nama keris kita harus mengetahui dahulu ricikan-ricikan atau ornamen yang terdapat pada sebuah keris. Sebuah keris pastilah memiliki ricikan sebagai dasar untuk menentukan nama dhapur keris tersebut.

Berikut ini adalah contoh beberapa nama dhapur keris dengan ricikannya :
1. Dhapur Tilam Upih dengan ricikan keris Lurus, terdapat pijetan dan tikel alis.
2. Dhapur Pudak Jangkung dengan ricikan keris Luk tiga, terdapat pijetan dan tikel alis, pudak sategal dan sraweyan.
3. Dhapur Pendawa Cinarita dengan riicikan Luk 5, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan dan greneng.
4. Dhapur Sempana dengan ricikan Luk 7, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dan greneng.
5. Dhapur Carang Soka dengan ricikan Luk 9, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan dan greneng.
6. Dhapur Sabukinten dengan ricikan Luk 11, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah , sogokan dua, sraweyan dan greneng.
7. Dhapur Sengkelat dengan ricikan Luk 13, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan, ripandan, dan greneng.

Contoh dhapur diatas memberikan tanda bahwa detail sebuah dhapur keris itu berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dhapur untuk keris lurus ada 440 buah, luk 3, luk 5, luk 7, luk 9, luk 11, luk 13, luk 15, luk 17, luk 19, luk 21, luk 23, luk 25, luk 27, dan luk 29, jika semua dijumlahkan mungkin ribuan keris.

Jadi jika kita memiliki sebuah keris haruslah sangat berhati-hati dalam menentukan nama dhapurnya, tidak perlu bingung dan tergesa-gesa karena nama-nama dhapur banyak terdapat pada buku-buku keris. Dengan mengetahui nama dhapur sebuah keris kita dapat memprediksi apa sebenarnya maksud dan tujuan keris itu dipesan dan dibuat

DHAPUR Keris dan Kekuatan Simboliknya

Orang Jawa menafsirkan bentuk dari bilah keris itu bukan sekedar untuk memberikan sajian tentang kekuatan (fisik) dan keindahan (artistik) belaka. Pada kehadiran simboliknya juga mengandung makna-makna yang mendalam, dengan pesan-pesan moral dan etika tertentu. Sebagian masyarakat memiliki keyakinan, justru dengan kandungan yang maknawiyah tersebut maka keris memiliki nilai-nilai pedagogis, dan secara terus menerus dianggap akan memiliki relevansi untuk diwariskan kepada generasi yang, lebih muda, meski keris tidak lagi menjadi senjata utama yang diperlukan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Makna yang mendalam dan pesan-pesan moral serta etika. tersebut, dianggap sebagai suatu bagian dari pemikiran orang Jawa terhadap kebudayaannya, yang dahulunya merupakan bagian dari wacana kebudayaan yang dikembangkan oleh para waliyullah di tanah Jawa, terutama Sunan Kalijaga di Kadilangu. Mengenai bentuk keris beserta tafsir kultural terhadap makna simboliknya, pada masa-masa yang lebih kemudian menjadi bagian dari pengajaran tentang dunia keris, yang sejak jaman Mataram selalu diajarkan kepada masyarakat oleh para pujangga atau lurahing empu.

Termasuk di antaranya tokoh semacam Ki Nom Mataram, Pangeran Wijil (II) di Kartasura, dan oleh tim keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Hamengkunagara (III) (Susuhunan Pakoe Boewana V) sebagaimana dituliskan sebagai salah satu bahan pembahasan di dalam Suluk Tambangraras atau Serat Centhini.

Di dalam pada itu, unsur-unsur yang melekat dan bagan-bahan yang digunakan untuk pembuatan keris, dicandra dan ditafsirkan melalui kandungan pesan-pesannya yang bernuansa Moral dan Etik yang kuat, terutama di dalam kaitan dengan kesinambungan wilayah kehidupan mikrokosmos (jagad kecil) dan makrokosmos (jagad besar).

BEBERAPA PHILOSOFI DHAPUR

a. Philosofi Dhapur BROJOL

Dhapur Brojol, sebagaimana dhapur keris lainnya merupakan suatu karya yang mempunyai muatan spiritual berupa ajaran-ajaran hidup. Secara terminology, brojol memang identik dan terkait dengan masalah kelahiran. Brojol merupakan ungkapan peristiwa kelahiran jabang bayi ke dunia.. Keris berdhapur brojol, sebagai simbol kelahiran bayi sebenarnya bukan pada proses kelahiran itu sendiri (mbrojol-lahir) yang akan disampaikan, akan tetapi ditujukan pada kesucian jabang bayi yang baru dilahirkan, yaitu fitrah manusia. Bayi yang dilahirkan tentunya sangatlah polos dan bersih.

Pesan yang ingin disampaikan oleh empu melalui keris dhapur brojol adalah agar manusia dapat dilahirkan kembali secara spiritual, disucikan, atau kembali ke fitrah atau “Born Again”.

Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan agama.

Pijetan menunjukkan kelapangan hati, Gandik polos menunjukkan ketabahan
Dhapur Brojol mempunyai ricikan Pijetan yang merupakan symbol dari kelapangan hati. Gandik polos merupakan simbol ketabahan dalam menjalani hidup. Kelapangan hati terhadap sesuatu yang diperoleh, khususnya terhadap keadaan yang tidak menyenangkan hati. Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan percaya pada kekuasaan dan takdir Tuhan.

Namun demikian, orang harus wajib berikhtiar, harus berusaha semampunya (wiradat). Namun usaha tersebut perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya, melanggar ajaran agama dan merugikan orang lain. Orang yang hidup ngoyo dan neko-neko (bertingkah), cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

b. Philosofi Dhapur TILAM UPIH

TILAM UPIH, dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur. Diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dhapur tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memperoleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

c. Philosofi Dhapur SABUK INTEN

SABUK INTEN, merupakan salah satu dhapur keris yang melambangkan kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek philosofi, dhapur Sabuk Inten melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik modal, pengusaha atau pedagang pada jaman dahulu. 
Keris Sabuk Inten ini menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja pada tahun 1970-an.

d. Philosofi Dhapur SENGKELAT

SENGKELAT, adalah salah satu dhapur keris yang sangat popular di masyarakat. Hal ini tidak lepas dari cerita di balik pembuatan keris Sengkelat, dimana bahan besinya terbuat dari cis (besi penggiring onta) milik Rasululloh SAW, pemberian Sunan AMPEL (versi lain mengatakan Sunan Kalijogo) kepada Empu Supo Mandrangi yang pada akhirnya dibuat menjadi Pusaka Keraton Majapahit dan diberi nama Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat.

Keris dhapur Sengkelat merupakan keris Luk 13 yang banyak dipakai dan dimiliki oleh para pimpinan, petinggi dan pegawai pemerintahan guna menjaga stabilitas. Lambang dari keris Luk 13 adalah kestabilan dalam berbagai bidang. Kestabilan dapat diraih jika ketulusan dan kebijaksanaan ada pada hati pemiliknya.

e. Philosofi Dhapur NAGASASRA

NAGA SASRA, adalah salah satu nama Dhapur Keris Luk 13 dengan Gandik berbentuk kepala Naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke hampir pucuk bilah. Umumnya keris dhapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris Dhapur Naga Sasra berarti Ular yang jumlah sisiknya seribu (beribu-ribu) dan juga dikenal sebagai keris dhapur Sisik Sewu.

Dalam budaya Jawa, Naga diibaratkan sebagai Penjaga. Oleh karena itu banyak kita temui pada pintu sebuah Candi ataupun hiasan lainnya yang dibuat pada jaman dahulu. Selain Penjaga, Naga juga diibaratkan memiliki wibawa yang tinggi.

f. Philosofi Dhapur PULANG GENI

PULANG GENI , merupakan salah satu dhapur keris yang populer dan banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang Geni bermakna Ratus atau Dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktifitas yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan berkelakuan yang baik dan selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu namanya akan selalu dikenang walaupun orang tersebut sudah meninggal. Oleh karena itu, Keris dhapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh para pahlawan atau pejuang.

g. Philosofi Dhapur PANDAWA

PANDAWA adalah Dhapur keris yang banyak terdapat dan dimiliki masyarakat. philosofi dari Dhapur Pandawa ini adalah tentang kehidupan bermasyarakat, maksudnya agar kita dapat mencontoh para tokoh Pandawa dalam pewayangan, antara lain :
1. Yudhistira : Tekun beribadah dan Jujur
2. Bima : Setia dan Perkasa
3. Arjuna : Lemah Lembut dan Sakti
4. Nakula : Pandai berdagang / berwirausaha
5. Sadewa : Pandai beternak / berolah pertanian.
Selanjutnya tinggal kita ingin di posisi mana, yang sesuai dengan bidang kita.

h. Philosofi Dhapur PUTHUT KEMBAR

PUTHUT KEMBAR, oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris Umpyang. Padahal sesungguhnya Umpyang adalah nama seorang mPu, bukan nama dhapur keris. PUTHUT, dalam terminologi Jawa bermakna Cantrik, atau orang yang membantu atau menjadi murid dari seorang Pandhita / mPu pada jaman dahulu.

Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandhita. Juga diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk orang menggunakan Gelungan di atas kepala, menunjukkan adat menyanggul rambut pada jaman dahulu. Bentuk wajah, walau samar tetapi masih terlihat jelas guratannya.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dhapur Puthut mulanya dibuat oleh mPu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi inipun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.

i. Philosofi Dhapur SUMELANG

Keris Lurus SUMELANG, dalam bahasa Jawa bermakna kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu. Sedangkan Gandring memiliki arti setia atau kesetiaan yang juga bermakna pengabdian. Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan.

Ricikan keris ini antara lain : gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dhapur Sumelang Gandring termasuk keris dhapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan.
Konon salah satu pusaka kerajaan Majapahit ada yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.

j. Philosofi Dhapur JALAK NGORE

Jalak adalah burung yang pandai dan rajin mencari makan, berkelakuan baik, mudah diberi pelajaran dan setia. Sedangkan Ngore berarti bersolek. Dhapur ini membawa pesan bahwa seseorang harus pandai memperindah kata-kata saat menguraikan kalimat untuk mencapai cita-cita. Tentunya agar dapat menguraikan kata-kata perlu belajar dan pengalaman yang memadai serta tidak menyakiti orang lain..

k. Philosofi Dhapur JALAK SANGUTUMPENG

Jalak adalah burung yang pandai dan rajin mencari makan, berkelakuan baik, mudah diberi pelajaran dan setia. Sedangkan Sangutumpeng adalah suatu istilah tentang suatu pesan “bekal Selamat”. Tumpeng dalam tradisi masyarakat Jawa sebagai sarana mengucap syukur kepada Tuhan YME dalam acara selamatan. Dhapur ini membawa pesan bahwa seseorang harus pandai bersyukur dan menyikapi apa yang terjadi dengan penuh kearifan sehingga nantinya “bekal selamat” akan diperoleh di masa kini dan masa yang akan datang.

l. Philosofi Dhapur KIDANG SOKA

KIDANG SOKA, memiliki makna Kijang yang berduka. Bahwa hidup manusia akan selalu ada Duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi.

m. Philosofi Dhapur RAGA PASUNG

RAGA PASUNG, atau Rangga Pasung memiliki makna sesuatu yang dijadikan sebagai Upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah, menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan kesemuanya adalah milik Tuhan YME.

n. Philosofi Dhapur BETHOK BROJOL

BETHOK BROJOL, adalah keris dari tangguh Tua juga. Keris semacam ini umumnya ditemui pada tangguh Tua seperti Kediri/Singosari atau Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan seperti keris dhapur Brojol.

o. Philosofi Dhapur MEGANTORO

Megantoro merupakan salah satu nama dhapur yang cukup terkenal dari sekian banyak dhapur dalam dunia perkerisan. Bentuk keris ini cukup unik karena keris ini dikategorikan sebagai keris berluk yaitu luk 7. Keunikan keris ini adalah luk hanya ada di bagian bawah dan luk yang ke 7 terlihat lurus sehingga terkesan keris ini terdiri dari dua bagian yaitu berluk dan lurus.

Dalam khasanah bahasa Jawa Megantoro berasal dari dua kata yaitu Mego (Mega) yang berarti awan / angkasa raya dan Antoro bermakna luas tidak terbatas. Nilai falsafah dari Megantoro adalah agar si pemilik keris Megantoro dapat memiliki hati yang lapang selapang / seluas angkasa raya.

Disisi lain masyarakat Jawa juga mengenal falsafah numerologi yaitu angka 7 dalam bahasa Jawa disebut PITU, yang kemudian dalam khasanah otak-atik gatok, sarwo dosok, dikenal pitu sebagai kependekan daripada kata Pitulungan yang berarti pertolongan bermaksud empu mengharapkan agar si pemilik keris selalu mendapatkan pertolongan daripada Yang Maha Kuasa dari sesama dan selalu selamat sentosa.

VERSI LAIN MAKNA DHAPUR KERIS


Berikut ini adalah pendapat lain mengenai beberapa pesan-pesan penilaian terhadap 30 macam bentuk dhapur keris yang dianggap memiliki pasemon-pasemon tertentu yakni :


1. Dhapur Tilamupih mengandung makna pasemon dunia pakerisan, jika seseorang telah mencintai keris sikapnya bagaikan orang yang mencintai seorang perempuan yang menjadi isterinya, dimana ingatan pikirnya selalu tertuju kepadanya.

2. Dhapur Brojol mengandung nasehat agar orang hanya menyampaikan suatu persoalan yang dapat dilaksanakan, tidak ngambra-ambra, dipertimbangan dengan bijak, serta tidak gampang obral janji;

3. Dhapur Jalak Tilamsari dimaksudkan sebagai penutup, maknanya agar orang selalu berada dalam sadar meski sedang tidur sekalipun, sehingga selalu dalam keadaan waspada;

4. Dhapur Jalak Dhindhing mengandung makna tentang hijab/kijab atau sekat, maksud tiga perkara itu, rahasianya dianggitlah, manusia itu yang pasti harus menyebut, Allah dengan Muhammad, ketiganya para rasul Allah;

5. Dhapur Jalak Sangu Tumpeng mengandung makna tempat keyakinan bahwa rejeki memang dari Allah, sehingga manusia itu jangan wancak kalbu, menjadi khawatir tidak memperolehnya karena Allah itu Maha Pemurah dan Pengasih;

6. Dhapur Jalak Ngore maknanya pikiran yang berjalan, sedang manusia tidak boleh terburu-nafsu dan sesuatu yang akan dilakukan harus terlebih dahulu dipikirkan secara sungguh-¬sungguh;

7. Dhapur Sangkelat mengandung maknanya nyala (kehidupan) hati, maksudnya adalah perilaku yang luhur, dimana pada setiap siang dan malam dalam keadaan apapun hendaknya kewaspadaan jangan sampai ditinggalkan;

8. Dhapur Carita mengandung pesan tentang pengetahuan yang benar, dimana kemampuan keilmuan membutuhan dukungan jaringan dari mereka yang lebih senior dan berpengalaman;
9. Dhapur Sabuktampar mengandung makna kuat tetapi tidak kentara, yakni bahwa rahasia kekuatan ditentukan oleh hati dan diri pribadi;
10. Dhapur Sabukinten mengandung makna suatu yang lebih berharga adalah hati dimana kemuliaan manusia akan ditentukan oleh dasar syariat dan etika yang baik;
11. Dhapur Sempana mengandung makna tentang cita-cita bahwa kejelasan dari suatu pengetahuan harus mampu melakukan prediksi dan perkiraan-perkiraan keadaan secara cerdas;
12. Dhapur Carangsoka mengandung makna tentang kecenderungan kerja, bahwa orang hendaknya dalam hidupnya diniatkan untuk menebar benih kebajikan;
13. Dhapur Pandhawa mengandung makna tentang jalan lima yang benar, bahwa rahasia kematian dari manusia terletak, dari hari pasarannya (Pon-Wage-Kliwon-Legi-Pahing);
14. Dhapur Pandhawa Cinarita mengandung makna tentang lima bentuk ajaran untuk dituakan, yakni menguasai pengetahuan, inderanya wening, bersikap sabar, narima, tidak bersikap murka;
15. Dhapur Kyai Semar Bethok mengandung makna sesuatu yang masih gelap harus dijelaskan, yang menuntut kewajiban manusia mencari kehidupan yang menghasilkan, namun tidak rucah dan melakukan pekerjaan yang tidak terhormat;
16. Dhapur Semar Tinandhu mengandung menghilangkan kegelapan dengan amalan, bahwa perasaan manusia dalam hidup jangan kosong, dan harus memiliki simpanan ilmu agar selamat;
17. Dhapur Semar Angujiwat mengandung maknanya tentang sikap optimis dengan selalu mengingat kebenaran, sehingga dalam segala kehendaknya, manusia tidak tergesa-gesa dengan hati yang terang dan sikap yang sareh sehingga langkahnya tepat;
18. Dhapur Pandhawa Rarya mengandung makna lima persoalan hati (merah, hitam, putih, kuning, hijau), dimana hidup manusia jangan hanyut ke dalam sikap yang melanggar kelima persoalan itu;
19. Dhapur Sempana Blandhong mengandung makna pandangan yang jernih sehingga maneges manekung, manusia dalam berkehendak harus didasarkan pandangan yang tajam (bersikap) meneb tanpa hati yang tergesa, sehingga cita--citanya tercapai;
20. Dhapur Sempana Kinjeng mengandung makna hidup itu bagaikan mimpi, yang pada akhirnya manusia itu akan mengalami kematian;
21. Dhapur Condhong Campur mengandung makna ketajaman hati, dimana manusia harus mampu menyatu dengan segala masalah, tidak kaku dan mengedepankan sikap terlihat baik;
22. Dhapur Campur Bawur mengandung makna kehendak yang pasti, bahwa manusia harus jumblah, kecederungan mengawinkan pikirannya dengan Gusti, bagaikan bercampurnya tembaga emas menjadi suwasa yang murni;
23. Dhapur Pudhak Sategal mengandung makna adalah bentuk yang jadi bahwa, pikiran manusia akan muncul secara spontan karena tidak banyak artinya kalau terlambat;
24. Dhapur Carubuk mengandung makna momot bakuh pengkuh, dimana manusia hendaknya jangan menghindari tantangan dengan memilih yang baik-baik dan menolak yang jelek;
25. Dhapur Sadak mengandung makna kenceng kumandel, agar manusia tidak selalu mengubah-ubah sikapnya hanya karena dorongan nafsu karena akan mengikis kepercayaan dari sesamanya;
26. Dhapur Rara Siduwa mengandung makna tentang manusia yang sering khilaf, agar dirinya selalu menjaga agar tidak selingkuh;
27. Dhapur Kebo Dhengdheng mengandung makna tentang sesuatu yang enak karena meresap, agar manusia mampu komunikasi dengan enak, mudah dan diterima oleh sesamanya;
28. Dhapur Putri Sinaroja mengandung makna untuk saling melengkapi, dimana manusia itu bermacam-macam, tidak ada yang persis sama dan selalu ada saja bedanya;
29. Dhapur Karno Tinandhing mengandung makna sebanding, dimana manusia dituntut untuk selalu mencari pengetahuan tanpa akhir;
30. Dhapur Tebu Sauyun mengandung makna tentang tindakan terpuji, dimana manusia hendaknya bersikap jujur dengan cita-rasa yang sama dan tidak selalu ingin menang sendiri.‎

 

Senin, 23 November 2020

Islam Nusantara??? Istilah Lama Yang Di Munculkan Lagi


BELAKANGAN  ini muncul wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Istilah ini bahkan sedang menjadi tren di kalangan intelektual, birokrat Kementerian Agama, politisi, dan sebagian organisasi Islam.

Dalam berbagai kesempatan sejumlah akademisi, pejabat Kementerian Agama, dan beberapa tokoh organisasi Islam kerap mengulang-ulang frasa ini dalam pidatonya.

Wacana “Islam Indonesia” (di)muncul(kan) di tengah konstelasi politik global yang sedang sumpek akibat berbagai konflik yang ikut menyeret Islam dan umat Islam di dalamnya, sebut saja misalnya perang di Iraq, Suriah, Yaman, Somalia, Nigeria, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri konflik-konflik tersebut melahirkan -atau melibatkan- kelompok-kelompok militan yang tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuannya yang kemudian menimbulkan citra Islam sebagai agama kekerasan, teror, haus darah, dan sebagainya.

Di tengah situasi inilah wacana “Islam Indonesia” hendak dihadirkan sebagai tawaran alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang “moderat”, “toleran”, cinta damai, dan menghargai keberagaman.

Namun di luar “niat baik” itu sesungguhnya masih banyak hal yang menjadi tanda tanya dari wacana “Islam Indonesia” ini, baik landasan konseptualnya maupun substansinya. Akan tetapi sayangnya tidak banyak orang yang memberi perhatian akan hal ini padahal ia mencakup permasalahan yang mendasar. Berangkat dari situ penulis akan mencoba mengkritisi wacana “Islam Indonesia” ini.

“Islam Indonesia”, Makhluk Apakah?

“Islam Indonesia” sejatinya adalah sebuah konsep. Sebagai konsep, sampai hari ini belum ada definisi baku tentang apa yang dimaksud “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”.

Aneh, sebuah sebuah konsep belum jelas,  sudah diwacanakan secara resmi di lembaga-lembaga kementerian bahkan wacana akademik.

Bagaimana mungkin sebuah konsep diperbincangkan sedemikian rupa tanpa dijelaskan maknanya, ini sama saja  membicarakan sesuatu yang tidak ada isinya.

Penulis masih menebak-nebak, apa sesungguhnya “Islam Indonesia” yang dimaksud para akademisi, pejabat, dan tokoh ormas itu?

Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala Indonesia”? Jika ya lantas seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada zaman Mustafa Kemal Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki dan Al Quran hanya diterbitkan terjemahannya saja yang ditulis dengan huruf Latin? Atau seperti apa? Masih belum jelas.

Selama pengertiannya belum jelas, sebaiknya  para akademisi, pejabat, birokrat dan tokoh tidak latah bicara soal “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Membicarakan konsep yang masih kabur hanya akan membingungkan dan menyesatkan masyarakat.

Mengingkari Realitas

Terlepas dari belum jelasnya pengertian “Islam Indonesia” itu sendiri, tampak bahwa wacana ini erat hubungannya dengan gagasan almarhum Gus Dur tentang “pribumisasi Islam”. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa “pribumisasi Islam” adalah upaya mengartikulasikan ajaran dan nilai-nilai Islam sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat penganut Islam itu sendiri.

Bagi masyarakat Muslim Indonesia tentu saja Islam harus diterjemahkan sesuai dengan konteks-sosial budaya lokal Indonesia atau Nusantara.

Dalam banyak perbincangan seputar wacana “Islam Indonesia” kerap disinggung  memiliki “ciri khas” dan membedakannya dengan Islam di negeri-negeri lain.

Secara umum ada yang mengelompokkan dalam dua macam karakteristik. Pertama  “Islam Indonesia” lebih mengedepankan aspek esoteris (hakikat) ketimbang eksoteris (syariat); kedua  sebagai Islam yang “moderat”, “toleran” dan “cinta damai”. Pendeknya Islam yang lemah lembut, kebalikan Islam yang “radikal”, “intoleran” atau “gemar kekerasan”.

Kalimah Islam Nusantara akan Dijadikan Tema Pada Muktamar NU

Dunia internasional dikabarkan menerima Islam Nusantara, sebuah gagasan yang kini dijadikan tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada 1 sampai 5 Agustus 2015 mendatang. Kabar gembira ini disyukuri Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

"Saya dengar PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sampai menggelar diskusi khusus tentang Islam Nusantara. Alhamdulillah,Islam Nusantara bisa diterima dunia internasional," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam keterangannya di Jakarta.

Situs VOA Indonesia melaporkan, PBB membahas diskusi wajah Islam moderat di Indonesia di markas besar mereka di New York, Amerika Serikat, Diskusi yang digagas perwakilan tetap Indonesia di PBB ini diikuti pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat.
“Ini membanggakan,” lanjut Kiai Said.

Kiai Said meminta pihak-pihak yang terus mempertanyakan gagasan Islam Nusantaratak memperdebatkannya lagi. Ia memastikanIslam Nusantara bukan agama baru, bukan juga aliran baru. "Paling penting, Islam Nusantara tak akan mengajarkan seseorang menjadi radikal, tak mengajarkan permusuhan dan kebencian," tegas dia.

Dalam diskusi tentang Islam Nusantara di PBB, Dr James B Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, menganggapIslam Nusantara sebagai gagasan yang layak dicontoh oleh dunia internasional.

“Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh,” kata Dr James.

Sementara Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Islam di Indonesia. “Gagasan Islam Nusantara sa‎ngat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam,” katanya.

Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan digelar di Jombang, Jawa Timur nanti akan dibuka Presiden Joko Widodo. Muktamar yang merupakan forum permusyawaratan tertinggi di Nahdlatul Ulama tersebut mengangkat tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.'

Menteri Agama pun Mengklarifikasi Kalimah Islam Nusantara 

SULTAN Palembang (Sultan Iskandar Badaruddin) mengkritik dengan keras gagasan Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara ditinjau dari maknanya terlihat simpang siur karena secara penamaan saja salah terlebih pengistilahan.

“Mentradisikan agama atau meng-agama-kan tradisi?” ujarnya mengajak berpikir.

Diindikasi tema Islam Nusantara adalah konsep yang cenderung mengedepankan nilai-nilai modern daripada kemurnian syariat Islam itu sendiri.

“Jadi, mereka jangan sok modern, zaman dulu itu lebih baik daripada sekarang, mengikuti mereka yang dulu lebih baik, daripada mengikuti yang sekarang,” kata sultan Iskandar Badaruddin

Menurutnya, tanpa embel-embel apapun Islam tetaplah benar dan baik, malah jika ditambah akan timbul penyempitan syariat dan terlihat tidak sempurna.

Sebelumnya, Islam Nusantara atau Islam Indonesia adalah konsep yang salah satu poros pengusungnya adalah Menteri Agama sebagaimana dipromosikan oleh Menteri Menag, Lukman Hakim saat acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta.

“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan” ujar Lukman Hakim.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meluruskan stigma tentang Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara merupakan nilai atau ajaran-ajaran Islam yang diimplementasikan di bumi Nusantara. Sehingga, ketika nilai-nilai Islam tersebut diimplementasikan di ranah lokal, maka menunjukan kekhasannya. 
 
"Bagaimana nilai-nilai Islam ini terkait dengan penyikapan terhadap perempuan, misalnya. Yang tidak sama jika diterapkan di wilayah lain. Bagaimana nilai-nilai islam menyikapi perbedaan yang ada. Bahkan terhadap perbedaan yang bisa masuk kategori akidah lalu kemudian mengusik atau merampas hak-hak mereka," ujar Lukman
 
Sebetulnya, ujar Menag, istilah Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam moderat yang penuh toleransi, Islam yang bisa hidup dalam keberagaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak azasi manusia, dan lain sebagainya.
 
Sehingga, ia berharap Islam menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing.
 
Adapun terkait banyaknya kontroversi yang timbul karena istilah Islam Nusantara, ia mencermatinya akibat belum adanya kesamaan pemahaman tentang substansi.

"Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali," katanya.
 
Menurutnya, istilah Islam Nusantara bukan untuk mendegasikan atau menafikkan kelompok tertentu. Penetapan istilah Islam Nusantara ini pun tidak ada hubungannya sama sekali dengan politis.

Menjadi Sarana Memahami 4 Pilar Kebangsaan 

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) menggandeng Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) menggelar Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan.

Ketua Umum PP IPNU, Khairul Anam Haritsah, mengatakan, kegiatan yang bertema "Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" dimaksudkan untuk memperkuat wawasan kabangsaan bagi pelajar NU.

Anam mengatakan Islam Nusantara merupakan cara pandang ber-Islam dalam Bhineka Tunggal Ika. Dimana, lanjutnya memandang yang berbeda sebagai sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan.

"Islam nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu menasehati bukan menyakiti dan Islam Nusantara itu mengajak bukan mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan agama," kata Anam usai acara buka bersama di Komplek DPR RI, Jakarta
.
Anam menambahkan dengan kekayaannya membuat iri bangsa lain. Sehingga, tidak sedikit yang ingin membuat perpecahan seperti beberapa negara Timur Tengah. Saat ini, lanjutnya banyak ulama Timur Tengah dari Irak, Afghanistan dan Yaman menaruh perhatian terhadap relasi agama negara ala Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan sikap nasionalisme dan agama Islam.
"Kita harus sadari ada ancaman perpecahan, terutama kalangan ideologi radikal takfiri. Di Timur Tengah ada ribuan ulama, tiap bulan ratusan kitab diterbitkan, tapi karena tidak punya sikap kecintaan tanah air (nasionalisme) kuat, perbedaan dalam berpaham agama, sekte dan mazhab membuatnya terjebak dalam perang saudara yang sudah bertahun-tahun, ratusan ribu nyawa hilang, Kejadian seperti itu jangan sampai terjadi," beber Anam.

Menurut Anam, Islam Nusantara yang belakangan ramai dibicarakan umat Islam sebenarnya juga pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan Gus Dur menyampaikan lebih tegas melalui konsep Pribumisasi Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konsep yang ditekankan adalah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.

"Tapi juga tidak menolak nilai-nilai baru yang terus muncul sepanjang untuk kebaikan masyarakat," demikian Anam.

Tanggapan penulis terhadap istilah Islam Nusantara 

Menurut saya  "Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara," ‎ 
berikut sejarah singkat Islam Di Bumi Nusantara 

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara

Awal masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu polemik intelektual terbesar di kalangan sejarawan muslim. Namun secara sederhana pandangan khalayak umum dapatlah dipetakan masih bertumpu pada teori Gujarat, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang pedagang yang berasal dari sebuah daerah di India bernama Gujarat pada awal abad 13, teori inilah yang hingga kini masih menjadi alam pikiran manusia muslim Indonesia, hal ini akibat berjalannya „koloni‟ sistem
 pengetahuan kita yang dijalankan oleh aparatus aparatus pendidikan kita. Teori ini sesungguhnya sangat biasa pada masa kolonial , promotor terbesar teori ini adalah Dr.Snouck Hurgonje,orientalis-Islamolog terbesar di Hindia Belanda, Hurgounje berkepentingan memainkan politik "devide et impera’  dan "peluruhan sejarah‟ Islam di nusantara demi kepentingan kolonialisme Belanda

Teori ini berhasil dipatahkan dengan teori Makkahnya Hamka,Hamka menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad 13, melainkan sejak abad 7,dan dibawa langsung dari Makkah sebagai sentrum kaum muslimin sedunia, bukan Gujarat.Argumentasi Hamka salah satunya didasarkan pada penemuan nisan seorang ulama bernamaSyaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni670 Masehi.

Selain itu menurut Hamka, Gujarat pada abad ke 13 menganut mazhab Maliki,sedangkan Islam di Nusantara sejak dahulu mayoritas bermazhab Syafii, bagaimana ini bisa dijelaskan..?Dengan menggunakan pendapat Hamka, Islam di Nusantara berkembang perlahan lahan sejak awal abad ke 7, tepatnya pada zaman kekhalifahan Ali RA. Bahkan cendekiawan Muslim Malasyia, Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam di nusantara dibawa langsung oleh utusan gubernur Syarif (Makkah) yakni seorang ulama yang bernama Syaikh Ismail, yang kemudian mengajak pemuda bernama Muhammad mendirikan kesultanan Islam pertama di nusantara, kerajaan Pasai

Perlu diketahui juga bahwa para penyebar Islam yangmula mula di bumi nusantara bukanlah pedagang yang hanya bermotif ekonomi saja,melainkan diantaranya terdapat para alim ulama, syaikh, dan kaum sufi pengikut tareqat. Para pedagang, ulama dan pengikut tarekat yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7kemudian mulai mengembangkan jaringan dakwahnya, dengan status sosial ekonomi yanglebih tinggi dari mayoritas pribumi para saudagar ini mendapat tempat yang istimewadikalangan pribumi. Dakwah yang mereka tebar juga berwajah ramah cermin karakter Islam yang rahmatan lil alamin  pendekatan kebudayaan yang dilakukan dipermudah dengan kuatnya basis sosial ekonomi para saudagar ini. Secara sederhana, kita dapat memetakan strategi pembasisan kekuatan Islam di Nusantara. Strategi dakwah ini dapat dipetakan dengantiga komponen utama, pertama pasar sebagai basis ekonomi, pesantren sebagai basiskebudayaan dan perkaderan, dan masjid sebagai sentrum dan ruang publik komunitas muslim.

Formula Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara

Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan strategi dakwahkaum muslimin di Nusantara. 

Pasar seperti diketahui pada abad abad itu adalah pusatekonomi rakyat, semua elemen masyarakat mengadu hidupnya melalui insitusi bernama pasar, dan komoditas utama nya adalah rempah rempah. Dalam hal ini, para juru dakwah Islam memiliki bargaining position yang kuat, saudagar saudagar muslim yang berasal dariArab terkenal pandai berniaga dan tergolong kaya. Hal ini tentu berhasil merebut hati dansimpati pribumi. Lambat laun pasar menjadi basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. 

Sementara itu lembaga pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi pesatnya penyabaran Islam. Aktivitas aktivitas perkaderan ulama, keilmuan dan kebudayaan terjadi dilingkungan pesantren, kiai dan santri perlahan menumbuhkan kebudayaan Islam di Nusantara melalui serangkaian aktivitasnya, selain itu dari sinilah benih benih rasa kebangsaan diamdiam disemai dan dialiri semangat transedental ilahiyah. 

Terakhir, Masjid memiliki peranyang sangat sentral sebagai ruang sosial tempat bertemunya kaum muslimin dari berbagai strata sosial, Masjid juga menjadi semacam “corong” bagi para ulama untuk menyampaikan pandangan dan seruannya seruannya kepada khalayak kaum muslimin.Kolaborasi tiga elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan dakwah Islamiyahyang luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat Islam telah menggeser Hindhu Budha sebagai agama mayoritas di nusantara, dan jauh lebih penting kesuksesan misionarisIslam ini dilakukan tanpa pedang dan darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh paraorientalis, melainkan dengan wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan pendekatan kebudayaan, penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang ruang sosial terlebihdahulu terbukti jitu diterapkan pada masyarakat pribumi nusantara. 

Setelah basis kebudayaan,ekonomi dan sosial telah kokoh, komunitas muslim barulah berpikir tentang imajinasikesatuan politik ummat Islam. Eksperimentasi politik (ijtihadi) ummat Islam kala itu adalahmembentuk Kesultanan, sebagai langgam kesatuan politik komunitas muslim menggantikansistem kerajaan yang berwatak Hindu Budha. Kepemimpinan dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah Panatagama, para Sultan muslim ini di sokong lingkaran ulamasebagai penasihat kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang merumuskan kebijakan kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan antikolonialis berupa perlawanan- perlawanan rakyat. 

Tercatat hingga awal abad 20 an di berbagai daerah nusantara ada sekitar40an kasultanan Islam yang pernah berdiri sebelum ditaklukkan oleh kolonialisme Belanda mewujudkan kesatuan politik betapapun urgennya diletakkan paling akhir dari desain besar perjuangan ummat Islam, bukan sebaliknya.Pada masa masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di atas memainkan perananyang sangat signifikan dalam perjuangan membela republik, terutama sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh ditaklukkan tentara kolonial pada akhir tahun 1900an, praktis kekuasaan politik ummat Islam di Nusantara telah berakhir. Namun meskipunkekuasaan politik berakhir, namun kekuatan ummat Islam tidaklah ikut sirna pula, sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang oleh para ulama. Pesantren pesantren yangterus tumbuh di awal abad 19 berkat politik etis menjadi semakin independen dan bahkanmengembangkan suatu jenis semangat radikalisme baru, sutau semangat yang disebut olehMitsuo Nakamura sebagai tradisionalisme radikal.

 Akibat semakin dipinggirkan dalamsistem pendidikan kolonial, pesantren justru berhasil mengambil peran oposan terbesarkolonial kala itu, pesantren menjadi basis penyemaian semangat kebangsaan kaum muda dan pusat perlawanan paling radikal di nusantara, kiai memainkan peranan yang begitu besardalam membakar semangat juang kaum santri dan mengobarkan panggilan jihad fii sabilillah membela republik. 

Kisah paling heroik adalah ketika Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, mengeluarkan fatwa kewajiban jihad fii sabilillah dalam peperangan 10 november diSuarabaya, fatwa ini berhasil memobilisasi dukungan ratusan ribu santri di seantero JawaTimur. Ada begitu banyak kisah kisah yang menunjukan bahwa di awal abad 20, pesantrenmenjadi basis perlawanan kaum santri terhadap kolonialisme belanda. Saat itu Islamdijadikan api perjuangan melawan jahatnya kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang lebihluas, Islam di Nusantara sesungguhnya juga telah berhasil melakukan “purifikasi”
 terhadap konsep nasionalisme, nasionalisme di barat yang sejatinya berwatak sekularistik, di Indonesia ditransformasikan menjadi rasa kebangsaan yang dijiwai semangat transedental teramat tinggi, para ulama ketika itu menggunakan mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman"‎ sebagai landasan teologis bahwa Islam dan Nasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan nasionalisme sangat dianjurkan oleh Islam dan sebagian dari kepercayaan seorang muslim(iman), inilah saat saat dimana keislaman dan keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
 
Dari uraian di atas sesungguhnya terbukti sudah bahwa Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis, mampu selalu hadir untuk menjawab tantangan zaman melalui pergerakan historis yang digerakkan oleh umatnya. Dalam hal ini penting dikemukakan pandangan Prof. Kuntowijoyo, beliau menyebutkan karakteristik kebudayaan Islam ada dua, pertama universal dan yang kedua kosmopolit

Universal berarti nilai nilai prinsipil dalamIslam selalu relevan dengan segala tempat dan zaman, melintasi batas batas ruang dan waktu.Sedangkan kosmopolit berarti Islam selalu mampu hadir dalam berbagai ragam dan mampumenyerap bentuk bentuk kebudayaan yang lain tanpa kehilangan identitasnya. Universalismedan Kosmpolitanisme Islam terlihat dalam corak perkembangan Islam di Nusantara. 

Islam‎ di Nusantara sebagaimana dijelaskan di atas, mampu hadir beriringan dengan kebudayaan lokal pada saat yang bersamaan, Islam melintas batas geografi dengan mampu hadir dan eksis di bumi nusantara, hal ini menunjukan Islam bukanlah agama hanya untuk suku Quraisy atau bangsa Arab saja, melainkan agama untuk semua bangsa bangsa di dunia, universalis memenemukan bentuknya. 

Sedangkan kosmopolitanisme mewujud dengan akulturasi kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam yang membentuk kebudayaan Islam Nusantara,tradisi pesantren sebagai basis perkaderan ulama adalah salah satu buktinya, pesantren adalahlembaga pendidikan yang inovatif karena mampu menggabungkan unsur lokalitas dan universalitas Islam, pesantren juga menjadi basis tumbuhnya kebudayaan santri yang telah mencerap nilai nilai Islam.Kini Islam di  Nusantara telah menjadi suatu alternasi cara keberagamaan masyarakat Indonesia. Islam nusantara tidak berarti menativekan Islam, atau melokalisasi ajaran Islam, bukan Islam sebagai sistem nilai (value system) tetaplah bersifat universal, namun dalam praktik praktik sosial kemasyarakatannya boleh jadi sangat bergantung pada konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, Islam di Nusantara telah melewati „ujian‟ yang serius dalam beberapa periode zaman, dari zaman hindu budha, kolonialisme hingga sekarang ketika gelombang demokratisasi menerpa Islam di nusantara ditantang kembali relevansinya oleh zaman.

Tantangan zaman ke depan memerlukan formulasi cara keberagamaan yang tepat.Globalisasi cenderung membawa kepada kehidupan yang serba materialistik-sekular, nilaidan moralitas baik yang bersumber dari agama maupun masyarakat lokal tidak dianggaprelevan lagi bagi arus modernisasi, institusi institusi moral seperti keluarga dan lembagakeagamaan kian kehilangan signifikansi peranannya dalam masyarakat. Individu individu dalam masyarakat merasa berhak menentukan sikap dan perbuatannya atas rasionya masingmasing, dan mengabaikan tuntunan moralitas yang ada, atomisasi sebagaimana dijelaskan Emile Durkheim kini benar benar terjadi, khususnya di masyarakat perkotaan. Belum lagi terjangan paham neoliberalisme dalam segala bentuk, neoliberalisme dalam bidang ekonomi menyebabkan liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, ketergantungan import dan dihapuskannya subsidi untuk rakyat. Liberalisasi politik menyebabkan politik biaya tinggi (high cost politic) dan perselingkuhan penguasa penguasaha kian amarak terjadi. Bahkan paham neoliberalisme juga telah merasuki insitusi agama, maraknya acara acara berkonsep religitainment  saat ini misalnya menjadi bukti shahih bahwa telah terjadi komodifikasi Agama, para kapitalis tega „menjual‟ agama demi pundi pundi rupiah mereka.

Di tengah kondisi yang serba limbung di atas, Islam di Nusantara dengan segala khazanah kebudayaan, tradisi, warisan intelektual, basis ekonomi dan kekuatan politk etiknya mampu menjadi salah satu alternasi jalan untuk keluar dari jeratan masalah. Konkretnya,lembaga pesantren misalnya sesungguhnya memiliki potensi pemberdayaan ummat yangsangat besar, dengan jumlah ribuan santri dan luasnya jaringan yang dibangun pesantren sesungguhnya mampu melakukan fungsi pemberdayaan (empowering)  masyarakat,memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. 

Konsep pemberdayaan berbasis pesantren ini telah terbukti di Pesantren Maslakhul Huda di Pati, Pesantren Tebu Ireng, Pesantren SiwalanPanji, Pesantren Lirboyo serta Pesantren lainnya. Pesantren Pesantren ini mampu merintis program program yang sesuai dengan kemajuan Zaman dan tetep mengedepankan pelajaran Agama.
Islam Rohmatan lil 'Alamin

Kalau seperti apa Islam Nusantara, saya tidak tahu persis. Saya bukan yang melontarkan ide itu ya. Tapi begini, Islam itu adalah agama, lalu Nusantara adalah budaya. Budaya atau geografi, jadi kalau yang dimaksud Islam Nusantara itu adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara, seperti saya ini pakai peci, kan nusantara. Kalau seperti itu saya mendukung sekali. Tapi kalau itu bersumber dari ajaran-ajaran yang berkembang di nusantara, itu saya tolak.

Ajaran yang berkembang di nusantara sebelum Islam apa? Kan klenik dan sebagainya, tahayul itu mau dijadikan, saya menentang keras. Tapi kalau yang dimaksud adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara itu engak ada masalah.

Cuma saya melihat kenapa ada ide seperti itu, orang seperti itu sebab belakangan berkembang dari segala apa yang dari Arab, bahkan yang dari nabi itu bakal dijadikan agama. Artinya apa yang berasal dari nabi mesti diikuti. Padahal yang dari nabi ada dua macam. Yang agama dan budaya. Nabi sendiri mengatakan begini," kalau aku memerintahkan kepada kamu dan itu merupakan agama, maka kamu wajib mengikuti. Tapi kalau yang saya perintahkan itu adalah pendapat saya, maka saya adalah manusia biasa."

Nah apa yang datang dari nabi itu ada tiga hal. Pertama aqidah, ibadah, ada yang bidangnya muamalah. Nah ini masuknya budaya. Kalau bidang agama, aqidah dan ibadah harus kita ambil. Gamis yang dikalungkan. Itu adalah budaya orang Arab pada masa nabi seperti itu. Apa yang pakai sorban itu bukan cuma Rasullullah, abu jahal juga pakai sorban. Nabi sendiri mengatakan perbedaan sorban kami dengan sorban orang-orang musryikin adalah memakai peci kemudian memakai sorban.

Cuma kalau orang Islam kalau pakai peci dulu kemudian pakai sorban, sorbannya akan lebih srot. Karena dipakai untuk ruku dan sujud. Pada musyrikin itu kan enggak ada srot-srotan, yang penting ada ubel-ubel begitu. Jadi itu kata para ulama bukan agama, itu budaya. Nah artinya apa, budaya orang arab tidak harus kita ambil. Kalau itu baik ya tidak apa-apa. Kalau sorban saja. Tapi jangan mengatakan kalau tidak memakai sorban tidak mengikuti nabi. Itu akan saya lawan duluan dan itu bertentangan dengan ajaran nabi sendiri. 

Memang Al-quran mengatakan apa yang berasal dari nabi ambil, apa yang dilarang tinggalkan. Itukan sifatnya umum. Nah sekarang banyak orang menginginkan apa yang dilakukan nabi itu harus kita lakukan. Seperti pakai sorban, itu silakan. Tapi jangan ambil sorbannya saja, nabi tidak pernah makan nasi. Kamu jangan makan nasi. Itukan budaya. Pakaian misalnya, Islam itu tidak pernah membatasi tentang bentuk pakaian. Pakaian itu secara kriteria P4, pertama tutup aurat, tidak transfaran, tidak menyerupai lawan jenis. 

Kemudian ditambah lagi adabnya misalnya, bukan pakaian zuhroh, pakaian popularitas. Berarti pakaian berbeda dari apa yang digunakan orang-orang di sekitar kita. Kemudian bahannya yang tidak diharamkan, sutra bagi laki-laki misalnya. Kalau itu terpenuhi semuanya, mau model apa silakan. Orang Amerika pakai dasi silakan, siapa mau larang. Orang China mau pakai baju China silakan.

Sekarang kalau orang Indonesia pakai sarung, pakai peci, itukan nusantara. Nah kalau itu yang dimaksud saya dukung betul.
Budaya Indonesia tidak perlu kita lawan sepanjang itu tidak bertentangan dengan Islam.

Anda pakai baju ini budaya enggak? Yang pakai peci ini budaya enggak, berlawan dengan Islam? Orang-orang pakai baju batik budaya mana itu, sarung budaya mana itu, kan bisa menjadi budaya nusantara, ya kan? Dan itu tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau budayanya itu harus pakai koteka, itu tidak boleh. Jadi jangan terlalu kaku lah. Tapi ada sekarang ini yang ingin mengamankan budaya, nah itu yang saya tidak sependapat. Budaya Arab itu wajib kita kerjakan sama seperti agama, itu tidak benar seperti itu.

Bagaimana Islam melihat tahlilan dalam tradisi nusantara, misalnya peringatan tujuh hari atau empat puluh hari kematian?

Tahlilan itu, jangankan tahlilan, sembahyang aja budaya dengan agama. Ritualnya kan agama, ibadah. Tapi pakai bajunya gimana, kan budaya, itukan menyatu, makanya tidak bisa mau memisahkan ibadah tidak bersinggungan dengan budaya tidak mungkin. Apa kita mau sembahyang telanjang, coba bagaimana. Kalau kita pakai jas itukan budaya barat. Berartikan ada agama bersinggungan dengan budaya.

Tapi banyak yang mengatakan jika tahlilan seperti itu tidak dilakukan oleh nabi?

Tidak semua yang tidak dilakukan oleh nabi itu tidak boleh dilakukan. Rasulullah tidak pernah haji dua kali, Rasulullah tidak pernah umroh pada bulan Ramadhan. Kenapa orang lakukan itu. Tahlilan itu budayanya apa? Kumpul-kumpulnya itu budaya, tapi bacaan Al-quran itu bukan budaya, tapi ibadah. Baca salawat itu ibadah. Baca tahlil, tasbih itu semuanya ibadah. Kumpul-kumpulnya itu budaya. Sulit beribadah tanpa mencampuri budaya.

Lalu bagaimana dengan Maulid Nabi?

Maulid Nabi itu budaya. Tapi membaca Alqurannya ibadah, baca shalawatnya ibadah. Menyantuni anak yatimnya ibadah, berdoanya ibadah, ceramahnya ibadah. Tapi itu dikemas dalam bentuk budaya. Coba sekarang anda sembahyang tanpa budaya sama sekali. Coba bayangkan sembahyangnya bagaimana? Apa telanjang?

Kita pakai sarung, pakai peci itu budaya kita. Islam kan tidak menentukan sarung. Kan tutup aurat, lalu kalau pakai daun pisang boleh?

Bagaimana menurut anda cara Islam masuk ke Indonesia dan perkambangannya sekarang?

Islam melalui perdagangan hanya penyebarannya saja, tidak ada masalah itu. Mau perdagangan, yang jelas begini, yang saya ketahui kalau dibanding penyebaran Islam di seputaran Arab ini, Islam masuk di Indonesia tanpa ada peperangan sama sekali. Jadi masuknya itu dengan jalan damai. Tapi harus diketahui pada saat itu ada dua imperium, Romawi dan Spartly, yang dalam situasi perang terus. Ketika menyebarkan Islam pun dalam faktor perang juga dan di Indonesia itu tidak ada. Itu yang saya ketahui begitu. Jadi dalam penyebaran Islam di Indonesia tidak ada perang.

Dan itu yang menjadikan Islam Indonesia lebih dikenal dengan budayanya?

Yah betul. Jadi begini juga. Yang kedua, ada upaya gerakan untuk menjadikan budaya Arab itu sebuah agama. Itu sebuah kewajiban, apa yang datang dari nabi tanpa dipilah-pilah harus diikuti termasuk pakainnya harus diikuti, makannya harus begini. Dan makan pun itu antara Agama dan budaya. Kalau kita makan dengan tangan kanan, diawali Bismillah dan diakhiri dengan hamdalah, itukan agama. Bahkan saya tidak tahu budaya itu masuk wilayah hewan misalnya? Ada memang hewan berbudaya?

Untuk membedakan agama dengan budaya, perbedaannya begini. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh umat Islam saja, tandanya itu apa. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh orang Islam dan non Islam, itu budaya. Contohnya begini, pakai baju itu budaya, non muslim juga memakai baju. Tapi memakai baju dengan kriteria yang saya sebutkan tadi, itu hanya diperuntukan untuk orang Islam. Makan pun budaya, yang dilakukan oleh orang non muslim dan muslim. Tapi ketika makan dengan tangan kanan diawali dengan bismilah dan diakhiri dengan hamdalah itu adalah agama.

Jadi harus bedakan mana budaya, mana agama. Yang datang dari nabi itu merupakan agama, kata Rasulullah wajib menaati. Tapi yang bukan merupakan agama, pendapat Rasulullah sendiri tidak harus dianjurkan. Sekarang kan anda tahu, sampai pengobatan Arab saja mau dijadikan agama. Kemudian bekam begitu, saya itu pernah mencoba untuk bekam. Apa ilmu yang saya dapat, saya tanya tukangnya itu "ini alat-alat bekamnya beli dimana? Ini buatan china,". Pengobatan nabi, ini buatan China. Berarti orang China punya budaya berbekam itu. Mungkin bekam itu bukan agama, tapi budaya.

Sekarang sedang ramai orang pakai batu cincin. Nabi pakai cincin, orang yang non muslim juga pakai cincin. Apakah orang yang pakai cincin itu merupakan pengikut Rasulullah? Itu budaya, karena orang non muslim juga pakai. Makanya yang budaya itu, anda mau pakai silakan tidak pakai juga silakan. Tapi dengan catatan, kalau anda mengambil budaya Arab atau budaya Nabi, apakah bercincin atau sorbanan, jangan mengatakan orang yang tidak memakai cincin, bukan pengikut nabi. Itu nanti yang akan saya lawan.

Banyak yang tidak dilakukan oleh nabi lalu dilakukan dan berujung pada pengkafiran?

Nah itu yang saya tidak setuju. Saya dulu pernah, 20 tahun yang lalu di kawasan Tomang ada pengajian, penghuninya anak dan bapak pakai sorban, pakai jubah. Anak kecilnya itu umurnya mungkin 8 tahun. Sorbannya itu sampai tengkleng. Namanya anak lucu kalau dipakaikan itu. Lalu bapaknya ngomong apa? "Iya mulai menjalankan sunnah nabi itu harus sejak kecil". Jadi dia mengatakan pakai sorban itu sunnahnya nabi. Kata para ulama, sorban itu bukan ibadah tapi tradisi. Nah kita kadang tidak membedakan mana yang agama dan budaya. Sehingga kita akan mengagamakan budaya. Nah yang perlu dipertimbangkan bagus mungkin membudayakan agama.

Yang dimaksud membudayakan agama ini adalah membiasakan mengamalkan sebuah rutinitas ajaran agama. Itu yang menjadikan membudayakan agama, itu bagus. Tapi kalau mengagamakan budaya, budaya itu setiap bangsa itu berbeda, setiap daerah berbeda. Islam itukan universal. Silakan saja.

Artinya Islam itu bukan Islam Arab atau Islam Nusantara?

Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara. Makanya saya katakan sebenarnya tidak usah bikin-bikin istilah Islam Nusantara. Islam ini cukup sumbernya Al-quran. Tapi tadi Islam yang diwarnai budaya nusantara, tidak apa-apa. Sekarang begini, misalnya lebaran. Lebaran itu agama atau budaya? Sembahyangnya agama, ketupatnya budaya. Ketupatnya saja hanya sebagian daerah kok. Ada yang pakai lepet. Itu simbol-simbol budaya. 

Ketupat itu rapet, lepet itu erat, itu simbol-simbol hari raya. Yang menurut saya tidak benar adalah yang itu tadi, semua yang bersumber dari nabi itu agama. Pakai sorban, nanti pakai cincin, dan sebagainya dan itu yang akan merusak Islam itu sendiri.

Karena jika kita perhatikan, pemikiran ini jelas hendak merusak islam besar-besaran. Dan tidak jauh jika kita katakan, memecah belah kaum muslimin.

Budaya di nusantara bagi Indonesia, sangat beragam. Aceh jauh berbeda dengan jawa. Kalimantan, jauh beda dengan Papua. Ketika islam nusantara dipahami sebagai islam hasil akulturasi budaya lokal, apa yang bisa anda bayangkan ketika islam ini disinkronkan dengan budaya papua. Sehingga tercipta sebuah desain pakaian muslim, hasil interaksi antara islam dan budaya koteka. Tentu saja, ini akan sangat ditolak oleh masyarakat jawa atau lainnya.

Ingatan kita masih sangat segar terkait kasus shalat dengan bahasa jawa, yang diajarkan di Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, Malang. Spontan memancing emosi banyak masyarakat. Jika sampai hal ini diwujudkan, yang terjadi bukan renaisans peradaban Islam, tapi malah mengacaukan masyarakat.

Termasuk ajaran sebagian etnis Sasak, shalat 3 waktu. Apakah bisa disebut islam nusantara? Jika sampai ini dilegalkan, berarti menolak keberadaan 2 shalat sisanya.

Hingga kini, banyak orang liberal menuduh, bahwa tujuan terbesar dakwah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah untuk arabisasi dunia. Menerapkan hegemoni quraisy di alam raya. Sehingga, ketika ada gerakan dakwah di tengah masyarakat, mereka sebut, arabisasi.

Inti masalahnya, orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya dan ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, menurut orang liberal, itu sedang memasarkan budaya arab.

Kita bisa telusuri, sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu meng-arab-kan islam ataukah meng-islam-kan arab??.

Jika kita menggunakan teori orang liberal, berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-arabkan islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarnai dengan budaya arab.

Anda layak untuk geleng kepala..

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika beliau datang, beliau mengislamkan budaya-budaya itu. Dalam arti, mengarahkan pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.

Kita bisa simak, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah, beliau mengatakan,

أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ

“Katahuilah, segala urusan jahiliyah, terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)

Ini salah satu bukti, bagaimana upaya beliau menolak setiap tradisi jahiliyah yang bertentanagn dengan wahyu.


Islam Agama Menyeluruh

Islam agama yang unversal. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebarkan islam kepada seluruh umat manusia. Sehingga ajaran islam sedunia adalah sama. Karena sumbernya sama. Ketika ada orang yang memiliki kerangka ajaran yang berbeda, berarti itu bukan islam ajaran beliau.

Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Aku tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Dalam tafsirnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menfsirkan ayat ini, bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh makhluk. Semua yang mukallaf. Baik orang arab maupun luar arab. Yang paling mulia diantara mereka, adalah yang paling taat kepada Allah. (Tafsir Ibn Katsir, 6/518).

Saya kira, tidak ada orang muslim yang ingin tidak dianggap sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam arti khusus, gara-gara dia punya islam yang berbeda dengan islam beliau.

Adat Bisa Menjadi Acuan Hukum

Ada satu kaidah dalam ilmu fiqh,

العادة محكَّمة

“Adat bisa dijadikan acuan hukum.”

Kaidah ini termasuk kaidah besar dalam fiqh (qawaid fiqhiyah kubro). Kaidah ini menjelaskan bahwa adat dan tradisi masyarakat dalam pandangan syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan dengan adat tersebut. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 276).

Hanya saja di sana para ulama fiqh memberikan batasan, ketika adat bertentangan dengan dalil syariat,

Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata adat. ‎Contoh: memuliakan tamu.

Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut,

Adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil. Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
Adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang.
Dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol.
Contoh Penerapan Kaidah‎

Allah mewajibkan suami untuk menafkahi istri. Tentang ukuran nafkah, dikembalikan kepada keadaan masyarakat, berapa nilai uang nafkah wajar untuk istri.

Islam mewajibkan kita untuk bersikap baik terhadap tetangga. Bagaimana batasan sikap baik itu, dikembalikan kepada batasan di masyarakat dst.‎

 

Contoh Khutbah 'Idul Fithri


اَللهُ اَكْبَرْ (×9)
 اَللهُ اَكْبَرْ مَا هَبَّتْ نَسَائِمُ اْلاَفْرَاحِ بِالتَّهَانِى وَالسُّرُوْرِ, وَاَقْبَلَتْ بَشَائِرُ اْلا َعْيَادِ بِالتَّدَانِى وَاْلحُبُّوْرِ, وَتَعَطَّرَتِ اْلاَفْوَاهُ كَمَا يَنْبَغِى اَنْ يُحْمَدَ رَبُّنَا وَيُشْكَرَ. اَللهُ اَكْبَرْ, مَاسَجَعَتْ وُرْقُ اْلمُؤَذِّنِيْنَ فَوْقَ اْلمَنَائِرِ. وَغَرَّدَتْ بَلاَبِلُ اْلخُطَبَاءِ فَوْقَ اَعْوَادِ اْلمَنَابِرِ. وَنُشِرَتْ فِى هَذَا اْليَوْمِ اَعْلاَمُ التَّكْبِيْرِ وَالذِّكْرِ, وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ.
اَللهُ اَكْبَرْ, مَا تَزَيَّنَ الْمُسْلِمُوْنَ بِجَمِيْلِ الثِّيَابِ وَخَرَجُوا يَمْشُوْنَ اِلَى اْلمَسَاجِدِ وَالصَّحَارَى ذَاكِرِيْنَ اللهَ فِى الذَّهَابِ وَاْلاِيَابِ. فَهَنِيْئًا لِمَنْ بِاْلاِخْلاَصِ قَدْ تَعَطَّرَ.
 اَللهُ اَكْبَرْ, مَا جَهَرَ مُسْلِمٌ بِالتَّكْبِيْرِ مِنْ مَنْزِلِهِ اِلَى مُصَلاَّهُ, وَاسْتَمَرَّ يُكَبِّرُ حَتَّى قَدُمَ اْلاِمَامُ وَقَامَ اِلَى الصَّلاَةِ, فَنَوَى بِتَكْبِيْرَةِ اْلاِحْرَامِ وَقَالَ : اَللهُ اَكْبَرْ.
 اَللهُ اَكْبَرُ فِى مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ تَتَضَاعَفُ اْلاُجُوْرُ وَاْلحَسَنَاتُ, وَتَنْمُوْ بِهِ اْلخَيْرَاتُ وَاْلبَرَكَاتُ, وَيُسْتَزَادُ مِنْ اَلاَءِ اللهِ وَيُسْتَكْثَرُ.
 اَللهُ اَكْبَرْ (×٣)
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى مَدَّ لَنَا مَوَائِدَ اِحْسَانِهِ وَاِنْعَامِهِ, وَاَعَادَ عَلَيْنَا فِى هَذَا اْليَوْمِ عَوَائِدَ بَرِّهِ وَاِكْرَامِهِ, وَاَلْبَسْنَا مَلاَبِسَ اْلعِزِّ وَاْلاَفْخَرِ. اَحْمَدُهُ حَمْدَ مَنْ نَطَقَتِ اْلاَلْسُنُ بِشُكْرِهِ فِى اْلمَسَاءِ وَالصَّبَاحِ, وَتَرَنَّمَ بِهِ اْلعَبْدُ فِى كُلِّ غُدُوٍّ وَرَوَاحٍ, وَسَبَّحَ بِحَمْدِ رَبِّهِ وَاسْتَغْفَرَ.وَاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ, اَلْمُشَفَّعِ فِى الْمَحْشَرِ, وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ بِمِلَّتِهِ اشْتَهَرَ.
 اَللهُ اَكْبَرْ (×٣) عِبَادَ اللهِ…  اِتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْا اَنَّ هَذَا يَوْمُ عِيْدٍ وَسُرُوْرٍ ... وَاِعْتَاقٍ مِنَ النَّارِ وَاُجُوْرٍ…….. 

Kaum Muslimin Muslimat Rahimakumullah…

Langkung rumiyin kulo wasiyat dumateng pribadi kulo piyambak lan dateng kaum sedulur kulo muslim sedoyo. Monggo sami ajrih dateng ngarsanipun Allah kelawan netepi sikap lan sifat takwa ingkang saestu-estu. Sejatosipun takwa inggih kelawan ngamalaken sedoyo menopo ingkang dados dawuhipun Allah lan nebihi sedoyo  larangan-laranganipoun Allah swt.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Kaum Muslimin Muslimat Ingkang kulo mulyaaken… Dinten niki dinten riyoyo Fitri utawi Idul Fitri. Fithri niku artosipun secara bahasa buko, minongko tandane wus rampung anggene nglampahi puasa ramadhan. Kanthi rahmat lan kanugrahaning Gusti Allah, kito sedoyo saget ngrampungaken kewajiban puasa kang kelebu rukun Islam kang werno limo. Saksuwene poso niku kito pun saget nyingkirake hawa nafsu saking mangan ,ngombe lan liya liyane ,mulo kelawan tumibane ‘Idul Fitri iki kito kraos pikantuk kemenangan koyo dene prajurit kang nembe kondur saking medan perang kelawan mbekto kemenangan kang kilang gumilang, sak temene nggih pancen kados mekaten, nglawan hawa nafsu niku dumunung sewijine jihad, sewijine perjuangan kang gede, Rosululloh saw naliko kondur saking peperangan nglawan musuh kaum kafir lan musyrikin ing medan perang, Panjenenganipun  banjur ngendika:

“رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلاَصْغَرِ اِلَى اْلجِهَادِ اْلاَكْبَرِ, جِهَادِ النَّفْسِ”

Artine: Kito kabeh pada bali songko jihad kang cilik (ngelawan mungsuh) nuju ngadepi jihad kang luwih gedhe, ya niku Jihad (nglawan) Nefsu”..

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

Kaum muslimin yang berbahagia!

Akeh banget poro menungso kang ngakeni beragama islam, nanging sholat mboten nate ngelakoni, poso ugi mboten. Anehe yen ‘Idul Fitri pun dumugi, yo melu bungah-bungah, lan melu seneng-seneng, klambi anyar,  lan liya-liyane. Polah tingkahipun menungso-menungso wau koyo-koyo poro pahlawan ingkang nembe wangsul sangking medan perang, nanging sak temene rupane mungsuh mawon mboten sami weruh, nopo manlih mateni lan natoni mengsah.
Banget olehe mboten gadhahi raos isin piyantun-piyantun kados mekaten nniku, ngaku nipun pahlawan perang, nyatane mung pahlawan jajan lan jenang.  Nyambut riyadin kanthi bingah lan suko cito pareng ke mawon,, bungah-bungah oleh, nanging sak madya mawon. 
Ono sawijine ulama islam, arane Abu Yazid, ngucap mangkene :

لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدَ, وَلاَ لِمَنْ اَكَلَ اْلقَدِيْدَ, وَلَكِنَّ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ, وَخَافَ اْلوَعِيْدَ.

Artine: “riyoyo niku dudu kanggo piyantun kang nyandang anyar tur mangan dendeng enak, nanging riyoyo niku kanggone piyantun kang ketaatane marang Alloh biso tambah lan wedi marang ancaman siksane.”

Dadi jelas menawai piyantun kang naliko nyambut dino riyoyo mung kelawan seneng-seneng lan lampah mubadzir, niku namung nuruti kekarepane howo nafsune lan yen dituruti terus, hawa nafsu nniku mboten wonten mareme, ora ono akhire. Tambah suwe tambah ndadi, koyo dene piyantun ngunjuk banyu segoro kang asin, tambah akeh olehe ngombe, tambah nemen ngelake. 
Imam Al Bushiri ing dalem kitab Al Burdah, ngaturaken syi’irane :

“وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى * حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ”

“Howo nafsu niku koyo bocah cilik, lamun siro tok ake, mesti terus olehe seneng nyusu, nanging lamun siro sapih (dipedot) hiyo bakal kasapih (biso medhot banyu susu).”

Rosululloh SAW ngendikaake yen piyantun kang seneng nuruti nafsune niku durung biso sempurno imane.
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّي يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

Artine : “Ora sampurno imane salah sawijine siro kabeh, sahinggo howo nafsune gelem di anutake marang agomo kang ingsun (Nabi Muhammad) gawa (yakni Agami Islam).”  Diriwayatake deneng Imam Bukhori.

Dados sanes agamine kang dianutake miturut kekarepane howo nafsune, Nanging howo nafsune kang kedah di rem, dipekak lan sarto dikendalikno sarto disetir dening agami Islam. Yen lampah niki pun saget ditindak aken nembe saget kawastanan sampurno imanipun.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Kaum Muslimin Muslimat Ingkang Berbahagia.

Saben-saben piyantun kang anduweni cito-cito utowo niat kepingin gayuh sewijine perkoro kang nyebabake kepenak, mesti lan wajib wani ngadepi kesengsaran, kerupekan lan wajib tahan tur sabar.  Kito kepingin ngraosaken legine nangka, kedah wani keno pulut, kito kepingin ngraosaken legine madu tawon, kedah wani dientup tawon, lan sak lajengipun.

Ringkesipun kabeh kelapangan lan kesenengan kedah digoleki kelawan wani nandang sengsoro lan prihatin. Semanten ugi dino riyaya niki, dino kang dirameake kelawan kabungahan lan kasenengan, saget kalampah mung kelawan wontenipun wulan poso romadhon ingkang ing sak lebeting sewulan muput terus-terus ngraosaken ngelak lang ngelih utawa weteng luwe. Mulo piyantun kang tumut Riyoyo, emoh nindakaken poso niku keno diarani gawe sakepenake dewe, ibarat gelem mangan nangkane emoh gupak pulute. Rekoso disik banjur bungah-bungah, niku ora mung menungso thok, cobi kito pirsani kahanane kupu, asale uler. Naliko deweke kepengin biso mabur dadi kupu, bebas mrono mrene, banjur deweke ngenthung, poso ora mangan lan ora ngombe, awake dilebokake guwo, yoniku enthunge/ungkrunge, nganthi pirang-pirang dino. Akhire dadi kupu, biso ngambah gegono, mebur kelawan sentosa. Kang mengkene wajib dadi pepeling utowo tadzkiroh tumrap poro menungso kang biso migunaake akale. Mulo niku cocok banget nopo ingkang dipun dhawuhake dening Allah Ta’ala :

فَإِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا ، إِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا (سورة الإنشراح: 5-6)

 Artine : “Amarga Sa’temene sawuse angel iku ana gampang. Satemene sawuse angel ana gampang”

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

Poro kaum muslimin !

Naliko Shiyam kito ngraosaken ngelih lan ngelak, kiro-kiro mung ing wektu poso thok kito ngraosaken mekaten, menawi mboten poso mesti saget dhahar-ngunjuk-udud nganti kuwaregen lan marem. Nanging yen kitho neliti kahanane poro kaum faqir miskin, sangsara banget pagesanganipun, sedina mangan sedina mboten, sandangane suwek-suwek owal-awilan mboten wonten gantine lan saben dinane mlaku turut dalan jaluk kawelasane tiyang sanes. Piyantun kang mengkene iki saben dino ngraosaken ngelak lan ngelih, saben dina atine tansah susah kerono durung karuan kang dipangan. Kadang-kadang ketambahan nggadahi anak yatim, sebab bapake wus ora ono, minggat utowo sampun swargi. Mulo niku sakwuse kitho ngraosaken sangsarane ora mangan lan ora ngombe sewulan muput, banjur mestine yo kedah thukul roso welas lan asih marang poro faqir miskin.

Kerono niku agama islam banjur majibaken tumrap ummatipun supados ngedalaken zakat fithrah lan yen ono sandangan kang wus ora dienggo, becike dishodaqohake marang piyantun-piyantun kang kekurangan niku. Kelawan nindaake iki, kitho jenenge wus ngamalake perintahe Rosululloh saw hiyo niku :

أَغْنُوْهُمْ عَنِ السُّؤَالِ فِى هَذَا اْليَوْمِ .

Artine : “Poro faqir miskin niku cukupono (sandang pangane) supoyo ojo nganthi jejaluk ing dino riyoyo iki.”

Tegese ojo nganthi yen dino riyoyo niku katon ono piyantun ngemis, sebab mesaake banget, wayahe piyantun akeh podo seneng-seneng, sambang-sinambang, ziaroh-ziarohan kelawan mangan jajan lan ngombe wedang, dumadaan isih ono sepirangan menungso kang kapekso jaluk-jaluk kanggo ngisi wetenge, mongko yen ditakoni agamane, piyantun ngemis mahu ngandaake, “agami kulo Islam”. Dadi yen mengkono piyantun niku isih sedulur kitho dewe tunggal agama. Opo ora terenyuh manah kitho. Mugo-mugo kitho diparingi sifat welas lan asih marang sepdo-podo makhluq ing bumi, supoyo kitho diasihi dening sinten kemawaon kang mapan ono ing langit. Rosululloh saw dawuh :

اِرْحَمْ مَنْ فِى اْلأَرْضِ ، يَرْحَمْكَ مَنْ فِى السَّمَاء

ِArtine : “Welaso siro marang kang ono ing bumi, siro mesti diwelasi kang ono ing langit.” Diriwayatake dening Imam At Thobroni saking shohabat Jarir ra.

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

 أَعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  :“وَاَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ فَيَقُوْلُ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِى اِلَى أَجَلٍ قَرِيْبٍ , فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ. وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا , وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ”  (سورة المنافقون : ۱۰-۱۱)

Artine :
“Lan siro kabeh podo infaqna songko rizqi kang wus ingsun paringake marang siro kabeh, sak durunge salah suwijine siro kabeh niku katekan pati, banjur matur : “Duh pengeran kulo, mugi panjenengan paring wekdal sakedap kemawon kulo bade shodaqoh lan bade dados golonganipun tiyang sahe-sahe. Alloh ora bakal paring kelonggaran wektu marang piyantun lamun wus teka titi mangsane pati. Alloh niku Moho Waspodo marang opo wahe kang siro kabeh tindaake.”

بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْاَنِ اْلعَظِيْمِ . عِبَادَ اللهِ, أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ, وَاَحُثُّكُمْ وَنَفْسِى عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ. أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ, إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


الخطبة الثانية
الله أكبر  X7
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله . اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين وسلم تسليما كثيرا .
أما بعد  :فيا أيها الناس اتقوا الله ولازموا الصلاة على خير خلقه عليه الصلاة والسلام.  فقد أمركم الله بذلك إرشادا وتعليما. فقال: إن الله وملائكته يصلون على النبى . يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين . وعلى التابعين ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين. وارحمنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.

اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك على كل شيئ قدير . اللهم أعز الإسلام والمسلمين. وأهلك الكفرة والمبتدعة والرافضة والمشركين . ودمر أعداء الدين . واجعل اللهم ولايتنا فيمن خافك واتقاك. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار . ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بلإيمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف الرحيم والحمد لله رب العالمين.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...