Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan
didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi
masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya
dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah
aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai
Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga
kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap
disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena
memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar
bentuk atau wujud fisiknya.
Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi
saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan
pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris. “Pamor keris boleh
rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris
bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan
filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan
akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat
jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang
budaya perkerisan.
Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa
pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ?
Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama
memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging
yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1
dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini
sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu
ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih
dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh
serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan.
Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti
dapur, pamor maupun tangguhnya.
Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi
mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan
sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris
tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut
sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik.
Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah
pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah
satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu
harapan dan doa.
Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang
bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus
seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki
kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.
Bagian-bagian keris
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam,
sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau
bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai
kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris
atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut
keris.
* Pegangan keris
Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang
bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung
penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan
batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu
sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang
merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas
keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris
Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan
tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai,
Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan
perlambang yang berbeda.
Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan
seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk
pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (
kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian
depan) ,weteng dan bungkul.
* Wrangka atau Rangka
Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang
mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat
Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh
umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu
(jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan
perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai
pencerminan status sosial bagi penggunanya ).
Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan
gading. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis
wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut,
gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring.
Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang
bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak
terdapat angkup, godong dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak
mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap
raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat
kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara
penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk
(stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan
untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk
keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat
pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman ,
pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka
gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya
lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan
bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk
panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka
fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya
terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang
berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya
tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti
selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan
selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari
logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk
daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau,
Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan
seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan
berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu
(1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya ,
(2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta
(3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah .
Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
* Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga
terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap
wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada
wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan
dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo
tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang
merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah
yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm
sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya
bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di
Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia
disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut
ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya
terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga
bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji
mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni,
dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan
lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut
sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut
wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada
bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat
dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang
lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara
sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah
ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi
seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah
banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan
tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak
adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih
dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak
lazim.
Makna dan Filosofi Keris Dalam Budaya Jawa
Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap busana
Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam
kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang
terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses
pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring
berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan
pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan
perkembangan jaman, keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji,
merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti
dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini
bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti
harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan
warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut empu, ini mempunyai
sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan suatu karya
yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris bukan
untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau
pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini
dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu. Membuat keris
adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan,
ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta
petunjuk dari Tuhan melalui laku / berpuasa, tapa / bersemadi dan
sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses
menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah
merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat
Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris diyakini
dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Menilik
Pada masa kerajaan Majapahit, keris terbagi menjadi 2 kerangka yang
saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni
rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman
banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka
Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.
Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk
atau model keris, atau yang disebut dengan istilah dapur. Selain dari
dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif
dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun
masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau
hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai
spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan
kembali bersatu kepada Tuhan.
Keris Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup
Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang termanifestasikan
dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal,
penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan dimengerti
dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi tentang
sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang
berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi
hidup) manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi –
sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling
ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau
tombak.
Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman
dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman
hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung
kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam berfikir dan
bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman
rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di
dalam sebilah keris.
Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris
adalah alat berburu (mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai
menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk
berperang (mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi
diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata
kehidupan (tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi
orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan
diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam
lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.
Ilmu keris adalah ilmu lambang.
Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkanperadaban rasa (sense) –
bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami
keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena
makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan
pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang
jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari
dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai
aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan
(tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan
(joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda
sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan
piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup
hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.
Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman“Bapa (wong tuwa) tapa,
anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng,
uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka
hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya
melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh
karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling
lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku,
tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan
oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan
dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan
pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah
sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin.
Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel –
sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan
tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh
para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran
Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming
wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku menyebarkan keharuman
nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara
dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan
laku keutamaan.
Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak
terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para
leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging
agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan
Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge
leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin
terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur
karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan
jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan
dan memuji keagungan Ilahi.
Mengenal Ricikan KERIS.
Nama-nama keris yang benar sesuai yang tercantum dalam arsip keraton
dalam Buku yang bernama SERAT CENTINI BAB II yang ditulis oleh salah
seorang pujangga yang bernama R. Ngabehi Ronggowarsito pada tahun 1675.
Keris yang ada di nusantara ini sangat banyak dan beragam, masing-masing
memiliki nama yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya, bahkan satu
daerah dengan daerah lain memiliki nama yang berlainan untuk satu keris
yang sama.
Nama - nama keris tersebut memiliki beberapa tingkatan antara lain keris
yang dibuat pada sebelum abad ke 10 diberi gelar Sang, keris yang
dipakai sebagai pusaka keraton diberi gelar Kanjeng Kyai, keris yang
dipakai oleh masyarakat umum diberi gelar Kyai dan keris yang dibuat
oleh seorang Empu dan bukan dari idenya sendiri tapi dari ide Empu
sebelumnya diberi gelar DHAPUR.
Jenis keris pun ada bermacam-macam ada yang Lurus dan ada yang berlekuk.
Untuk yang Luk (Istilah keris berlekuk) mulai dari luk 3 sampai luk 29,
bisa dibayangkan nama-nama keris yang ada pasti ada ribuan.
Untuk bisa mengetahui berbagai nama keris kita harus mengetahui dahulu
ricikan-ricikan atau ornamen yang terdapat pada sebuah keris. Sebuah
keris pastilah memiliki ricikan sebagai dasar untuk menentukan nama
dhapur keris tersebut.
Berikut ini adalah contoh beberapa nama dhapur keris dengan ricikannya :
1. Dhapur Tilam Upih dengan ricikan keris Lurus, terdapat pijetan dan tikel alis.
2. Dhapur Pudak Jangkung dengan ricikan keris Luk tiga, terdapat pijetan dan tikel alis, pudak sategal dan sraweyan.
3. Dhapur Pendawa Cinarita dengan riicikan Luk 5, terdapat kembang
kacang, jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan dan greneng.
4. Dhapur Sempana dengan ricikan Luk 7, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dan greneng.
5. Dhapur Carang Soka dengan ricikan Luk 9, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan dan greneng.
6. Dhapur Sabukinten dengan ricikan Luk 11, terdapat kembang kacang, jalen, lambe gajah , sogokan dua, sraweyan dan greneng.
7. Dhapur Sengkelat dengan ricikan Luk 13, terdapat kembang kacang,
jalen, lambe gajah dua, sogokan dua, sraweyan, ripandan, dan greneng.
Contoh dhapur diatas memberikan tanda bahwa detail sebuah dhapur keris
itu berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dhapur untuk keris lurus
ada 440 buah, luk 3, luk 5, luk 7, luk 9, luk 11, luk 13, luk 15, luk
17, luk 19, luk 21, luk 23, luk 25, luk 27, dan luk 29, jika semua
dijumlahkan mungkin ribuan keris.
Jadi jika kita memiliki sebuah keris haruslah sangat berhati-hati dalam
menentukan nama dhapurnya, tidak perlu bingung dan tergesa-gesa karena
nama-nama dhapur banyak terdapat pada buku-buku keris. Dengan mengetahui
nama dhapur sebuah keris kita dapat memprediksi apa sebenarnya maksud
dan tujuan keris itu dipesan dan dibuat
DHAPUR Keris dan Kekuatan Simboliknya
Orang Jawa menafsirkan bentuk dari bilah keris itu bukan sekedar untuk
memberikan sajian tentang kekuatan (fisik) dan keindahan (artistik)
belaka. Pada kehadiran simboliknya juga mengandung makna-makna yang
mendalam, dengan pesan-pesan moral dan etika tertentu. Sebagian
masyarakat memiliki keyakinan, justru dengan kandungan yang maknawiyah
tersebut maka keris memiliki nilai-nilai pedagogis, dan secara terus
menerus dianggap akan memiliki relevansi untuk diwariskan kepada
generasi yang, lebih muda, meski keris tidak lagi menjadi senjata utama
yang diperlukan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Makna yang mendalam dan pesan-pesan moral serta etika. tersebut,
dianggap sebagai suatu bagian dari pemikiran orang Jawa terhadap
kebudayaannya, yang dahulunya merupakan bagian dari wacana kebudayaan
yang dikembangkan oleh para waliyullah di tanah Jawa, terutama Sunan
Kalijaga di Kadilangu. Mengenai bentuk keris beserta tafsir kultural
terhadap makna simboliknya, pada masa-masa yang lebih kemudian menjadi
bagian dari pengajaran tentang dunia keris, yang sejak jaman Mataram
selalu diajarkan kepada masyarakat oleh para pujangga atau lurahing
empu.
Termasuk di antaranya tokoh semacam Ki Nom Mataram, Pangeran Wijil (II)
di Kartasura, dan oleh tim keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang
dipimpin Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Hamengkunagara (III)
(Susuhunan Pakoe Boewana V) sebagaimana dituliskan sebagai salah satu
bahan pembahasan di dalam Suluk Tambangraras atau Serat Centhini.
Di dalam pada itu, unsur-unsur yang melekat dan bagan-bahan yang
digunakan untuk pembuatan keris, dicandra dan ditafsirkan melalui
kandungan pesan-pesannya yang bernuansa Moral dan Etik yang kuat,
terutama di dalam kaitan dengan kesinambungan wilayah kehidupan
mikrokosmos (jagad kecil) dan makrokosmos (jagad besar).
BEBERAPA PHILOSOFI DHAPUR
a. Philosofi Dhapur BROJOL
Dhapur Brojol, sebagaimana dhapur keris lainnya merupakan suatu karya
yang mempunyai muatan spiritual berupa ajaran-ajaran hidup. Secara
terminology, brojol memang identik dan terkait dengan masalah kelahiran.
Brojol merupakan ungkapan peristiwa kelahiran jabang bayi ke dunia..
Keris berdhapur brojol, sebagai simbol kelahiran bayi sebenarnya bukan
pada proses kelahiran itu sendiri (mbrojol-lahir) yang akan disampaikan,
akan tetapi ditujukan pada kesucian jabang bayi yang baru dilahirkan,
yaitu fitrah manusia. Bayi yang dilahirkan tentunya sangatlah polos dan
bersih.
Pesan yang ingin disampaikan oleh empu melalui keris dhapur brojol
adalah agar manusia dapat dilahirkan kembali secara spiritual,
disucikan, atau kembali ke fitrah atau “Born Again”.
Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat
baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu
merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia,
pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan
agama yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang
diajarkan agama.
Pijetan menunjukkan kelapangan hati, Gandik polos menunjukkan ketabahan
Dhapur Brojol mempunyai ricikan Pijetan yang merupakan symbol dari
kelapangan hati. Gandik polos merupakan simbol ketabahan dalam menjalani
hidup. Kelapangan hati terhadap sesuatu yang diperoleh, khususnya
terhadap keadaan yang tidak menyenangkan hati. Fitrah manusia itu pada
dasarnya memiliki kecondongan percaya pada kekuasaan dan takdir Tuhan.
Namun demikian, orang harus wajib berikhtiar, harus berusaha semampunya
(wiradat). Namun usaha tersebut perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo
atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya, melanggar ajaran agama
dan merugikan orang lain. Orang yang hidup ngoyo dan neko-neko
(bertingkah), cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang
justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.
b. Philosofi Dhapur TILAM UPIH
TILAM UPIH, dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari
anyaman daun untuk tidur. Diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman
keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu banyak sekali pusaka
keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dhapur tilam Upih.
Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar
anak-cucunya nanti bisa memperoleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam
hidup berumah tangga.
c. Philosofi Dhapur SABUK INTEN
SABUK INTEN, merupakan salah satu dhapur keris yang melambangkan
kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek philosofi, dhapur Sabuk Inten
melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik
modal, pengusaha atau pedagang pada jaman dahulu.
Keris Sabuk Inten ini menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga
karena adanya cerita silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk
Inten karangan S.H. Mintardja pada tahun 1970-an.
d. Philosofi Dhapur SENGKELAT
SENGKELAT, adalah salah satu dhapur keris yang sangat popular di
masyarakat. Hal ini tidak lepas dari cerita di balik pembuatan keris
Sengkelat, dimana bahan besinya terbuat dari cis (besi penggiring onta)
milik Rasululloh SAW, pemberian Sunan AMPEL (versi lain mengatakan Sunan
Kalijogo) kepada Empu Supo Mandrangi yang pada akhirnya dibuat menjadi
Pusaka Keraton Majapahit dan diberi nama Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat.
Keris dhapur Sengkelat merupakan keris Luk 13 yang banyak dipakai dan
dimiliki oleh para pimpinan, petinggi dan pegawai pemerintahan guna
menjaga stabilitas. Lambang dari keris Luk 13 adalah kestabilan dalam
berbagai bidang. Kestabilan dapat diraih jika ketulusan dan
kebijaksanaan ada pada hati pemiliknya.
e. Philosofi Dhapur NAGASASRA
NAGA SASRA, adalah salah satu nama Dhapur Keris Luk 13 dengan Gandik
berbentuk kepala Naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke hampir
pucuk bilah. Umumnya keris dhapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas
sehingga penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris Dhapur
Naga Sasra berarti Ular yang jumlah sisiknya seribu (beribu-ribu) dan
juga dikenal sebagai keris dhapur Sisik Sewu.
Dalam budaya Jawa, Naga diibaratkan sebagai Penjaga. Oleh karena itu
banyak kita temui pada pintu sebuah Candi ataupun hiasan lainnya yang
dibuat pada jaman dahulu. Selain Penjaga, Naga juga diibaratkan memiliki
wibawa yang tinggi.
f. Philosofi Dhapur PULANG GENI
PULANG GENI , merupakan salah satu dhapur keris yang populer dan banyak
dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang Geni
bermakna Ratus atau Dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup harus
berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka tolong
menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktifitas yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan berkelakuan yang baik dan
selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu
namanya akan selalu dikenang walaupun orang tersebut sudah meninggal.
Oleh karena itu, Keris dhapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh
para pahlawan atau pejuang.
g. Philosofi Dhapur PANDAWA
PANDAWA adalah Dhapur keris yang banyak terdapat dan dimiliki
masyarakat. philosofi dari Dhapur Pandawa ini adalah tentang kehidupan
bermasyarakat, maksudnya agar kita dapat mencontoh para tokoh Pandawa
dalam pewayangan, antara lain :
1. Yudhistira : Tekun beribadah dan Jujur
2. Bima : Setia dan Perkasa
3. Arjuna : Lemah Lembut dan Sakti
4. Nakula : Pandai berdagang / berwirausaha
5. Sadewa : Pandai beternak / berolah pertanian.
Selanjutnya tinggal kita ingin di posisi mana, yang sesuai dengan bidang kita.
h. Philosofi Dhapur PUTHUT KEMBAR
PUTHUT KEMBAR, oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris Umpyang.
Padahal sesungguhnya Umpyang adalah nama seorang mPu, bukan nama dhapur
keris. PUTHUT, dalam terminologi Jawa bermakna Cantrik, atau orang yang
membantu atau menjadi murid dari seorang Pandhita / mPu pada jaman
dahulu.
Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri
yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandhita. Juga
diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Bentuk orang menggunakan Gelungan di atas kepala, menunjukkan adat
menyanggul rambut pada jaman dahulu. Bentuk wajah, walau samar tetapi
masih terlihat jelas guratannya.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dhapur Puthut mulanya dibuat oleh
mPu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi inipun masih belum
bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah.
i. Philosofi Dhapur SUMELANG
Keris Lurus SUMELANG, dalam bahasa Jawa bermakna kekhawatiran atau
kecemasan terhadap sesuatu. Sedangkan Gandring memiliki arti setia atau
kesetiaan yang juga bermakna pengabdian. Dengan demikian, Sumelang
Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas
ketidaksetiaan akibat adanya perubahan.
Ricikan keris ini antara lain : gandik polos, sogokan satu di bagian
depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dhapur Sumelang Gandring
termasuk keris dhapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak
dikenal di masyarakat perkerisan.
Konon salah satu pusaka kerajaan Majapahit ada yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
j. Philosofi Dhapur JALAK NGORE
Jalak adalah burung yang pandai dan rajin mencari makan, berkelakuan
baik, mudah diberi pelajaran dan setia. Sedangkan Ngore berarti
bersolek. Dhapur ini membawa pesan bahwa seseorang harus pandai
memperindah kata-kata saat menguraikan kalimat untuk mencapai cita-cita.
Tentunya agar dapat menguraikan kata-kata perlu belajar dan pengalaman
yang memadai serta tidak menyakiti orang lain..
k. Philosofi Dhapur JALAK SANGUTUMPENG
Jalak adalah burung yang pandai dan rajin mencari makan, berkelakuan
baik, mudah diberi pelajaran dan setia. Sedangkan Sangutumpeng adalah
suatu istilah tentang suatu pesan “bekal Selamat”. Tumpeng dalam tradisi
masyarakat Jawa sebagai sarana mengucap syukur kepada Tuhan YME dalam
acara selamatan. Dhapur ini membawa pesan bahwa seseorang harus pandai
bersyukur dan menyikapi apa yang terjadi dengan penuh kearifan sehingga
nantinya “bekal selamat” akan diperoleh di masa kini dan masa yang akan
datang.
l. Philosofi Dhapur KIDANG SOKA
KIDANG SOKA, memiliki makna Kijang yang berduka. Bahwa hidup manusia
akan selalu ada Duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut
dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus
terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi.
m. Philosofi Dhapur RAGA PASUNG
RAGA PASUNG, atau Rangga Pasung memiliki makna sesuatu yang dijadikan
sebagai Upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan diri manusia
ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa hidup manusia
ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah, menyembah kepada
Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat bahwa segala sesuatu
yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan kesemuanya adalah
milik Tuhan YME.
n. Philosofi Dhapur BETHOK BROJOL
BETHOK BROJOL, adalah keris dari tangguh Tua juga. Keris semacam ini
umumnya ditemui pada tangguh Tua seperti Kediri/Singosari atau
Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan
sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan seperti keris dhapur Brojol.
o. Philosofi Dhapur MEGANTORO
Megantoro merupakan salah satu nama dhapur yang cukup terkenal dari
sekian banyak dhapur dalam dunia perkerisan. Bentuk keris ini cukup unik
karena keris ini dikategorikan sebagai keris berluk yaitu luk 7.
Keunikan keris ini adalah luk hanya ada di bagian bawah dan luk yang ke 7
terlihat lurus sehingga terkesan keris ini terdiri dari dua bagian
yaitu berluk dan lurus.
Dalam khasanah bahasa Jawa Megantoro berasal dari dua kata yaitu Mego
(Mega) yang berarti awan / angkasa raya dan Antoro bermakna luas tidak
terbatas. Nilai falsafah dari Megantoro adalah agar si pemilik keris
Megantoro dapat memiliki hati yang lapang selapang / seluas angkasa
raya.
Disisi lain masyarakat Jawa juga mengenal falsafah numerologi yaitu
angka 7 dalam bahasa Jawa disebut PITU, yang kemudian dalam khasanah
otak-atik gatok, sarwo dosok, dikenal pitu sebagai kependekan daripada
kata Pitulungan yang berarti pertolongan bermaksud empu mengharapkan
agar si pemilik keris selalu mendapatkan pertolongan daripada Yang Maha
Kuasa dari sesama dan selalu selamat sentosa.
VERSI LAIN MAKNA DHAPUR KERIS
Berikut ini adalah pendapat lain mengenai beberapa pesan-pesan penilaian
terhadap 30 macam bentuk dhapur keris yang dianggap memiliki
pasemon-pasemon tertentu yakni :
1. Dhapur Tilamupih mengandung makna pasemon dunia pakerisan, jika
seseorang telah mencintai keris sikapnya bagaikan orang yang mencintai
seorang perempuan yang menjadi isterinya, dimana ingatan pikirnya selalu
tertuju kepadanya.
2. Dhapur Brojol mengandung nasehat agar orang hanya menyampaikan suatu
persoalan yang dapat dilaksanakan, tidak ngambra-ambra, dipertimbangan
dengan bijak, serta tidak gampang obral janji;
3. Dhapur Jalak Tilamsari dimaksudkan sebagai penutup, maknanya agar
orang selalu berada dalam sadar meski sedang tidur sekalipun, sehingga
selalu dalam keadaan waspada;
4. Dhapur Jalak Dhindhing mengandung makna tentang hijab/kijab atau
sekat, maksud tiga perkara itu, rahasianya dianggitlah, manusia itu yang
pasti harus menyebut, Allah dengan Muhammad, ketiganya para rasul
Allah;
5. Dhapur Jalak Sangu Tumpeng mengandung makna tempat keyakinan bahwa
rejeki memang dari Allah, sehingga manusia itu jangan wancak kalbu,
menjadi khawatir tidak memperolehnya karena Allah itu Maha Pemurah dan
Pengasih;
6. Dhapur Jalak Ngore maknanya pikiran yang berjalan, sedang manusia
tidak boleh terburu-nafsu dan sesuatu yang akan dilakukan harus terlebih
dahulu dipikirkan secara sungguh-¬sungguh;
7. Dhapur Sangkelat mengandung maknanya nyala (kehidupan) hati,
maksudnya adalah perilaku yang luhur, dimana pada setiap siang dan malam
dalam keadaan apapun hendaknya kewaspadaan jangan sampai ditinggalkan;
8. Dhapur Carita mengandung pesan tentang pengetahuan yang benar, dimana
kemampuan keilmuan membutuhan dukungan jaringan dari mereka yang lebih
senior dan berpengalaman;
9. Dhapur Sabuktampar mengandung makna kuat tetapi tidak kentara, yakni
bahwa rahasia kekuatan ditentukan oleh hati dan diri pribadi;
10. Dhapur Sabukinten mengandung makna suatu yang lebih berharga adalah
hati dimana kemuliaan manusia akan ditentukan oleh dasar syariat dan
etika yang baik;
11. Dhapur Sempana mengandung makna tentang cita-cita bahwa kejelasan
dari suatu pengetahuan harus mampu melakukan prediksi dan
perkiraan-perkiraan keadaan secara cerdas;
12. Dhapur Carangsoka mengandung makna tentang kecenderungan kerja,
bahwa orang hendaknya dalam hidupnya diniatkan untuk menebar benih
kebajikan;
13. Dhapur Pandhawa mengandung makna tentang jalan lima yang benar,
bahwa rahasia kematian dari manusia terletak, dari hari pasarannya
(Pon-Wage-Kliwon-Legi-Pahing);
14. Dhapur Pandhawa Cinarita mengandung makna tentang lima bentuk ajaran
untuk dituakan, yakni menguasai pengetahuan, inderanya wening, bersikap
sabar, narima, tidak bersikap murka;
15. Dhapur Kyai Semar Bethok mengandung makna sesuatu yang masih gelap
harus dijelaskan, yang menuntut kewajiban manusia mencari kehidupan yang
menghasilkan, namun tidak rucah dan melakukan pekerjaan yang tidak
terhormat;
16. Dhapur Semar Tinandhu mengandung menghilangkan kegelapan dengan
amalan, bahwa perasaan manusia dalam hidup jangan kosong, dan harus
memiliki simpanan ilmu agar selamat;
17. Dhapur Semar Angujiwat mengandung maknanya tentang sikap optimis
dengan selalu mengingat kebenaran, sehingga dalam segala kehendaknya,
manusia tidak tergesa-gesa dengan hati yang terang dan sikap yang sareh
sehingga langkahnya tepat;
18. Dhapur Pandhawa Rarya mengandung makna lima persoalan hati (merah,
hitam, putih, kuning, hijau), dimana hidup manusia jangan hanyut ke
dalam sikap yang melanggar kelima persoalan itu;
19. Dhapur Sempana Blandhong mengandung makna pandangan yang jernih
sehingga maneges manekung, manusia dalam berkehendak harus didasarkan
pandangan yang tajam (bersikap) meneb tanpa hati yang tergesa, sehingga
cita--citanya tercapai;
20. Dhapur Sempana Kinjeng mengandung makna hidup itu bagaikan mimpi, yang pada akhirnya manusia itu akan mengalami kematian;
21. Dhapur Condhong Campur mengandung makna ketajaman hati, dimana
manusia harus mampu menyatu dengan segala masalah, tidak kaku dan
mengedepankan sikap terlihat baik;
22. Dhapur Campur Bawur mengandung makna kehendak yang pasti, bahwa
manusia harus jumblah, kecederungan mengawinkan pikirannya dengan Gusti,
bagaikan bercampurnya tembaga emas menjadi suwasa yang murni;
23. Dhapur Pudhak Sategal mengandung makna adalah bentuk yang jadi
bahwa, pikiran manusia akan muncul secara spontan karena tidak banyak
artinya kalau terlambat;
24. Dhapur Carubuk mengandung makna momot bakuh pengkuh, dimana manusia
hendaknya jangan menghindari tantangan dengan memilih yang baik-baik dan
menolak yang jelek;
25. Dhapur Sadak mengandung makna kenceng kumandel, agar manusia tidak
selalu mengubah-ubah sikapnya hanya karena dorongan nafsu karena akan
mengikis kepercayaan dari sesamanya;
26. Dhapur Rara Siduwa mengandung makna tentang manusia yang sering khilaf, agar dirinya selalu menjaga agar tidak selingkuh;
27. Dhapur Kebo Dhengdheng mengandung makna tentang sesuatu yang enak
karena meresap, agar manusia mampu komunikasi dengan enak, mudah dan
diterima oleh sesamanya;
28. Dhapur Putri Sinaroja mengandung makna untuk saling melengkapi,
dimana manusia itu bermacam-macam, tidak ada yang persis sama dan selalu
ada saja bedanya;
29. Dhapur Karno Tinandhing mengandung makna sebanding, dimana manusia dituntut untuk selalu mencari pengetahuan tanpa akhir;
30. Dhapur Tebu Sauyun mengandung makna tentang tindakan terpuji, dimana
manusia hendaknya bersikap jujur dengan cita-rasa yang sama dan tidak
selalu ingin menang sendiri.