Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Tulang Bawang


Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini. MusafirTiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. S‎ampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.

Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.

Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini. 

Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan maritim tersebut.

Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada suatu masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya hingga sekarang.

Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang 'hilang' tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak peninggalannya perlu terus dilakukan. 

Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia...
di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera ini. 

Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji. 

Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak. 

Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon. 

Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai. 

Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang dimulyakan. 

Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta raja. 

Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.

Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula yang dapat membuat gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.

Sewaktu pujangga Tionghoa I Tsing datang melawat dan singgah melihat daerah Selapon, dari I Tsing inilah kemudian di sebut lahirnya nama Tola P’o-Hwang. Sebutan Tola P’o-Hwang dari ejaan Sela-pon. Sedangkan untuk mengejanya, kata Selapon ini di lidah I Tsing berbunyi So-la-po-un.

Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat menyebutkan sebutan so, maka I Tsing mengejanya dengan sebutan to. Sehingga kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang.

Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah melawat ke Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut menjelaskan akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak menyebut di mana persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.

Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang Bawang yang hingga kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya. Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan tulangnya.

Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak musuh. Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat ini di bawang atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai tinggal tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini, maka di sebut Sungai Tulang Bawang.

Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di kenal dengan sebutan Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang.

Bila menggunakan pendapat Yamin, maka penamaan Tolang P’o-Hwang akan berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari Lampung” yang datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi. Yamin mengatakan, perbandingan bahasa-bahasa Austronesia dapat memisahkan urat kata untuk menamai kesaktian itu dengan nama asli, yaitu tu (to, tuh), yang hidup misalnya dalam kata-kata tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-mbuhan dan lain-lain.

Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia, maka baiklah pula diperhatikan bahwa urat itu terdapat dalam kata-kata seperti to (orang dalam bahasa Toraja), tu (Makasar dan Bugis). Dengan demikian, To-Lang P’o-Hwang berarti To= orang dan Lang P’o-Hwang= Lampung. Sejak itu, orang-orang menyebut daerah ini dengan sebutan Lampung.

Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.

Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum beragama Islam.

Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.

Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota, masing-masing bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan hulubalang Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah mempertahankan wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).

Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan, seperti Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji, Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga oleh para panglimanya guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri sendiri.

Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh panglima-panglimanya. Seperti di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan tugas pos pertahanan pertama dari laut.

Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang, dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.

Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke 16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih beragama Hindu.

Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami ajaran agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia memperistri putri Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak cucu dari keturunan mereka selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan Berirung.

Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam para panglima yang berada di sejumlah tempat.

Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 masehi.

Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala.

Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.

Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960 terjadi peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung Pagardewa bernama Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’ akan keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum juga ditemukan secara pasti.

Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia ‘tersesat’ ke sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat tersebut, Murod melihat rumah yang atapnya terbuat dari ijuk dan dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu, dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya.

Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.

Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.

Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.

Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.‎

 

Sejarah Kerajaan Pagaruyung


Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yg pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang & daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yg bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dlm lingkaran bagian dlm yg berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yg mempunyai tahta kerajaan dlm negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil ‘Alam.

Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dlm pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan ini tergabung dlm Malayapura, sebuah kerajaan yg pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yg mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dlm Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Berdirinya Pagaruyung

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat Minangkabau tak ada yg memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yg diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yg ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar. 

Dari manuskrip yg dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari Adwayawarman seperti yg terpahat pada Prasasti Kuburajo & anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dlm Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali & Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yg beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yg senantiasa kaya akan padi yg sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yg menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak [paman] kepada kamanakan [kemenakan] telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yg beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dlm jumlah yg signifikan pada kawasan tersebut. 

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, & bertahta sebagai raja bawahan [uparaja] dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yg ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yg menyebut sesuatu hal yg berkaitan dengan bhumi jawa & kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.

Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yg bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yg merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari & Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupaken semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat [Suku Minang].

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, & kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman & putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah & sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yg disandang oleh Adityawarman seperti yg terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yg ditemukan di hulu sungai Batang Hari [sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya].

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yg disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts’i kepada Kaisar Cina yg meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts’i.

Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas & kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman. Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya ialah Kubilai Khan dari Mongol & raja Kertanegara dari Singhasari.

Pengaruh Islam di Pagaruyung

Perkembangan agama Islam sesudah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yg berkaitan dengan sistem patrialineal, & memberikan fenomena yg relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yg ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yg telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir & guru agama yg singgah atau datang dari Aceh & Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yg terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil [Tengku Syiah Kuala], yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah ulama yg dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yg pertama dlm tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan & hal-hal yg pokok dlm adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yg terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yg artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dlm beberapa hal masih ada beberapa sistem & cara-cara adat masih dipertahankan & inilah yg mendorong pecahnya perang saudara yg dikenal dengan nama Perang Padri yg pada awalnya antara Kaum Padri [ulama] dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dlm peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi & beberapa istilah lain yg berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yg mengandung kata kudus yg berasal dari kata Quduus [suci] sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat & Limo Kaum yg mengandung kata qaum jelas merupaken pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dlm perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik [Khatib], Bila [Bilal], Malin [Mu’alim] yg merupaken pengganti dari istilah-istilah yg berbau Hindu & Buddha yg dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito [pendeta].

Hubungan dengan Belanda & Inggris

“Terdapat keselarasan yg mengagumkan dlm corak penulisan, bukan saja dlm buku prosa & puisi, tetapi juga dlm perutusan surat, & pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tak ada masalah dlm menterjemahkan surat dari pada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat dari pada raja Kedah & Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera”.

Pendapat dari William Marsden

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, & mengakui para gubernur Aceh yg ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit & memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yg menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, & VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas & lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yg daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yg kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 & digantikan oleh anaknya yg bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau & pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupaken salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda & Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tak menyukai keberadaan VOC di Padang & pernah berusaha membujuk Inggris yg berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, & waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, & waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso & raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yg sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak & pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian sesudah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yg signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris & Perancis dlm Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda & kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yg sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri & kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yg terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris & Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera & Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

“Dari reruntuhan kota [Pagaruyung] ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yg luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tak ada lagi, hancur karena perang yg masih berlangsung”.


Pendapat dari Thomas Stamford Raffles

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dlm pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri & kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dlm kerajaan Pagaruyung bergejolak, & puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk jambi.

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, & sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dlm melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian sesudah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya & hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat & kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka & bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia [Jakarta sekarang] sampai akhir hayatnya, & dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Setelah kejatuhannya, pengaruh & prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yg berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yg berada di Negeri Sembilan, & Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yg dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara sesudah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yg lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yg dipegangnya sesudah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuur stelsel.


Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung

Menurut Tomé Pires dlm Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat [antara Aru & Rokan] ke Jambi & kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur [Barus], Tiku & Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak & Arcat merupaken bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar & Indragiri kemudian lepas & ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka & Kesultanan Aceh.

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung ialah wilayah tempat hidup, tumbuh, & berkembangnya kebudayaan Minangkabau.

Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo [legenda adat] berbahasa Minang ini:

Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih ialah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam ialah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo ialah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi ialah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.

Secara lengkapnya, di dlm tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau [wilayah Kerajaan Pagaruyung] ialah sebagai berikut:

Hinggo lauik nan sadidieh
Daerah yg berbatasan dengan Jambi
Daerah sekitar Indragiri Hulu sampai Gunung Sailan [Gunung Sahilan, Kampar]
Daerah sekitar Gunung Sailan & Singingi
Daerah sampai ke rantau pesisir sebelah timur
Daerah sekitar Danau Singkarak & Batang Ombilin
Daerah sampai Samudra Indonesia
Nan salilik Gunuang Marapi
Saedaran Gunuang Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang
Hinggo Buayo Putiah Daguak
Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik
Sialang Balantak Basi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh
Sampai ka ombak nan badabua
Sailiran Batang Sikilang
Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang [Pasaman Barat]
Daerah yg berbatasan dengan Samudra Indonesia
Daerah sebelah timur Air Bangis [Sungai Beremas, Pasaman Barat]
Daerah di kawasan Rao & Mapat Tunggua
Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
Daerah sekitar Silauik & Lunang
Daerah sampai Tanjung Simalidu
Daerah sehiliran Batang Hari
Ka timua Ranah Aia Bangih
Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang
Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam
Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
Daerah Luhak nan Tigo
Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Daerah sekitar Gunung Sago & Gunung Singgalang
Daerah sekitar Gunung Talang & Gunung Kerinci
Daerah Pariangan Padang Panjang & sekitarnya
Daerah di Pesisir Selatan sampai Muko-Muko
Daerah Jambi sebelah barat

Nama-nama Raja Malayapura

Masa Dharmasraya

Trailokyaraja 1183
Tribhuwanaraja 1286–1316

Masa Peralihan

Akarendrawarman 1316–1347

Maharajadiraja

Adityawarman 1347–1375
Ananggawarman 1375–[?]

Yang Dipertuan Pagaruyung

Sultan Ahmadsyah [?]–1674
Sultan Indermasyah 1674–1730
Sultan Arifin Muningsyah 1780–1821

Dibawah Belanda

Regent Tanah Datar
Sultan Tangkal Alam Bagagar 1821–1833
Tuan Gadang di Batipuh 1833–1841

Kerabat diraja Pagaruyung

Kerajaan Inderapura
Kerajaan Negeri Sembilan
Kesultanan Siak Sri Inderapura


Nama Para Raja Pagaruyung

Adityawarman
Ananggawarman, anak Adityawarman
Dewang Pandan Putowano (Tuanku Marajo Sati I), menantu Ananggawarman
Puti Panjang Rambut I (Bundo Kandung)
Dewang Ramowano (Cindurmato)
Dewang Ranggowano (Sultan Lembang Alam)
Dewang Sari Deowano (Tuanku Marajo Sati II), Yamtuan Bakilap Alam
Dewang Sari Magowano (Sri Raja Maharaja), Yamtuan Pasambahan
Sultan Alif I Khalifatullah
Yamtuan Rajo Gamuyang I
Sultan Ahmadsyah Yamtuan Barandangan
Sultan Alif II, anak Sultan Ahmadsyah
Yamtuan Rajo Bagagar Alamsyah, anak Sulthan Alif II
Yamtuan Rajo Bagewang, anak dari Yamtuan Rajo Pangat I—cicit Sultan Alif I
Yamtuan Rajo Gamuyang II, anak dari Yamtuan Rajo Bagewang
Sultan Zainal Arifin Muningsyah
Yang Dipertuan Patah, anak dari Muningsyah
Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagarsyah, anak dari YDP Patah.

Menurut buku Tambo Alam Minangkabau (1976), silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai berikut:
Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Bakilapalam
Sultan Persembahan
Sultan Alif (sekitar tahun 1560-1583)
Sultan Banandangan
Sultan Bawang (Sultan Muning I)
Sultan Patah (Sultan Muning II)
Sultan Muning III
Sultan Sembahyang III
Tuan Gadih Reno Sumpur
Sultan Ibrahim
Sultan Usman

Akan tetapi di dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), terdapat beberapa perbedaan dalam penulisan silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung. Menurut buku tersebut, silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai berikut:

Raja Adityawarman (1347-1376)
Ananggawarman (1376-…)
Sultan Alif (naik tahta sekitar tahun 1560-1583)
Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I
Sultan Abdul Jalil
Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar Sultan Alam Muningsyah II (naik tahta sekitar 1615 M)
Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M)
Sultan Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah (Sultan Muning III)

Aparat pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yg ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter & struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya [Dharmasraya & Sriwijaya] yg pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat. Setelah masuknya Islam, Raja Alam yg berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya [wakil raja], yaitu Raja Adat yg berkedudukan di Buo, & Raja Ibadat yg berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yg “bersila” atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yg tak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yg digunakan untuk mereka dlm bahasa Minang ialah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris & kekerabatan suku yg masih tetap pada sistem matrilineal.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yg disebut Basa Ampek Balai, artinya “empat menteri utama”.

Mereka adalah:

Bandaro yg berkedudukan di Sungai Tarab.
Makhudum yg berkedudukan di Sumanik.
Indomo yg berkedudukan di Suruaso.
Tuan Gadang yg berkedudukan di Batipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yg berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, & bertugas menjaga syariah agama. Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekedarnya, yg disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi ialah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dlm menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yg menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yg sebut Langgam nan Tujuah.

Mereka terdiri dari:

Pamuncak Koto Piliang
Perdamaian Koto Piliang
Pasak Kungkuang Koto Piliang
Harimau Campo Koto Piliang
Camin Taruih Koto Piliang
Cumati Koto Piliang
Gajah Tongga Koto Piliang
Darek & Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dlm darek [land] & rantau [sea/coast], walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi & Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yg ditunjuk dari Jawa. Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yg merupaken satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupaken dasar kerajaan, & mempunyai kewenangan yg luas dlm memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri & memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X ialah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, & sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dlm istilah pepatah yg ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dlm sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto & kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yg dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yg mendomisili kawasan tersebut.

Pemerintahan Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan & memungut pajak di sana. Rantau merupaken suatu kawasan yg menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia [kawasan pesisir timur] & Rantau di Mudiak [kawasan pesisir barat].

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat & tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara & barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan & Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak & rantau yg disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yg memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.

Pembagian daerah rantau ialah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah
Basra
Sitinjua
Kopa
Taluak Ingin
Inuman
Surantiah
Taluak Rayo
Simpang Kulayang
Aia Molek
Pasia Ringgit
Kuantan
Talang Mamak
Kualo Thok
Lubuak Ambacang
Lubuak Jambi
Gunuang Koto
Benai
Pangian

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Toboh Pakandangan
Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak
Anduriang Kayu Tanam
Guguak Kapalo Hilalang
Sicincin
Rantau Luhak Agam

Nagari-nagari pantai barat Sumatera

Pasaman Barat
Pasaman Timur
Panti
Rao
Lubuak Sikapiang

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Palembayan
Silareh Aia
Lubuak Basuang
Kampuang Pinang
Simpang Ampek
Sungai Garinggiang
Lubuak Bawan
Tigo Koto
Garagahan
Manggopoh

Rantau Luhak Limopuluah

Mangilang
Tanjuang Balik
Pangkalan
Koto Alam
Gunuang Malintang
Muaro Paiti
Rantau Barangin
Rokan Pandalian
Kuatan Singingi
Gunuang Sailan
Kuntu
Lipek Kain
Ludai
Ujuang Bukik
Sanggan

Tigo Baleh Koto Kampar

Sibiruang
Gunuang Malelo
Tabiang
Tanjuang
Gunuang Bungsu
Muaro Takuih
Pangkai
Binamang
Tanjuang Abai
Pulau Gadang
Baluang Koto Sitangkai
Tigo Baleh
Lubuak Aguang

Limo Koto Kampar Kuok

Salo
Bangkinang
Rumbio
Aia Tirih
Taratak Buluah
Pangkalan Indawang
Pangkalan Kapeh
Pangkalan Sarai
Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah [Bandar Sepuluh] dipimpin oleh Rajo nan Ampek [4 orang yg bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai]. Kawasan ini merupaken semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari [negeri], yg masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah;

Tapan
Tarusan
Batang Kapeh
Ampek Baleh Koto
Limo Koto
Airhaji
Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
Kambang
Palangai‎
Lakitan
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yg mencakup lembah Manjuto & Airdikit [disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto], & Muko-muko [Limo Koto].

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yg terletak di wilayah Semenanjung Malaya [Malaysia sekarang]. Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi [semacam Luhak], & pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah;‎

Naning
Pasir Besar
Rembau
Segamat
Sungai Ujong
Jelai
Jelebu
Johol
Klang
Pemerintahan Darek
Pariangan Padangpanjang
Sungai Tarab Salapan Batua
Talawi Tigo Tumpuak
Tanjuang nan Tigo
Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh
Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak
Langgam nan Tujuah Ranah
Limokaum Duobaleh Koto Sandi
Lintau Sambilan Koto
Lubuak nan Tigo
Nilam Payuang Sakaki
Sapuluah Koto di Ateh
Luhak nan Tigo
Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak [Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam & Luhak Limopuluah]. Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yg mengepalai masing-masing suku yg berdiam dlm nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, & warga nagari untuk memimpin & mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, sesudah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah & penentu batas wilayah.‎

 

Sejarah Kerajaan Dharmasraya


Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu ‎Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwan, dan Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.

Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu. Menurut tambo Minangkabau, Kerajaan Malayu didirikan oleh Sri Jayanaga yang turun dari gunung Marapi ke Minanga Tamwan sekitar tahun 603. Sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya. Dharmasraya didirikan oleh Sri Tribuana Raja Mauliwarmadewa yang masih seketurunan dengan Sri Jayanaga.

Sumber Berita Cina

Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar keCina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun671–685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).

Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddhaaliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.

Lokasi Malayu Tua

Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi. Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.

Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayuberasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak diMinanga Tamwan sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwan adalah nama kuno dari Muara Tebo (atauKabupaten Tebo di Provinsi Jambi).

Menurut tambo Minangkabau, Minanga Tamwan berada di bukit barisan tepatnya di hulu sungai Kampar, atau di sebelah timur Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Minanga Tamwan atau Minanga Kabwa merupakan asal usul dari nama Minangkabau.

Dikalahkan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwan dengan perasaan suka cita penuh kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.

Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.

Prof. Slamet Muljana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwan sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Melayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwan, dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintasSelat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwan, secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran Kerajaan Malayu.

Tentang Raja Chan-pi

Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat seranganRajendra Chola dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa Sailendra di Sumatra danSemenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu Sriwijaya menjadi negeri taklukan Rajendra.

Dalam berita Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.

Pada zaman Dinasti Sung, istilah San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang saat itu telah menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi kemungkinan besar adalah ejaan Cina untuk istilah Jambi.

Munculnya Wangsa Mauli

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.‎

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman Arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri Bhumi Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts’i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.‎

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.‎

Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan(Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta(Batak ?, Patani ?), Tan-ma-ling, Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?). Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dariSrilangka (Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai Sunda(Sin-to).

Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan denganprasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Sebaliknya, daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudulNagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.

Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.

Persahabatan dengan Singhasari

Untuk membendung kekuasaan Khubilai Khan atas kerajaan-kerajaan Nusantara, Kertanagara rajaSinghasari di Jawa memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Kerajaan Malayu di Sumatera. Pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusannya ke Malayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang. Perjalanan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera ini dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.

Prasasti Padangroco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya.

Sepasang Putri Melayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakramamenyebutkan bahwa utusan Kebo Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan denganRaden Wijaya menantu Kertanagara. Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Pernikahan antara Raden Wijaya dan Dara Petak kemudian melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyungbergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Melayu bernama Putri Reno Mandi.

Dharmasraya Zaman Majapahit

Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Namun menurut tambo Minangkabau, dua kali penyerangan Majapahit atas Dharmasraya pada tahun 1348 dan 1409 mengalami kegagalan.

Dalam catatan Dinasti Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.

Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan1377 ketiganya mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.

Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman Raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja Dharmasraya.

Rupanya setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, Maharaja Hayam Wuruk yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.

Catatan Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.‎

Dari Dharmasraya ke Malayapura

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 Masehi atau 1267 tahun Saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura dan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya (sekarang Jambi) ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Bangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnabhumi.

Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, di Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman.

Daftar Raja Dharmasraya

Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:
1) 1183 – Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand).‎

2) 1286 – Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntu).

3) 1300 – Akarendrawarman (Prasasti Suruaso di (Kab. Tanah Datar sekarang)).

4) 1347 - Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa (Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di Kab. Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di Kab. Tanah Datar sekarang).

Situs peninggalan

Komplek candi Muaro Jambi

Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Melayu Dharmasraya. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Koordinat Selatan 01* 28’32″ Timur 103* 40’04″. Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11 M. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di pulau Sumatera.‎

Penemuan dan pemugaran

Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1823 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa Kuno pada beberapa lempeng yang ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad ke-9-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar. dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.

Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari Persia, Republik Rakyat Cina, dan India. Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan “wajra” pada beberapa candi yang membentuk mandala.

Struktur kompleks percandian

Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul alam kuno Sungai Batanghari. Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7 kilometer serta luas sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan jalur sungai. Situs ini berisi 61 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama Hindu.‎

Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Untuk sampai ke sana, bisa menempuh jalur darat atau pakai kapal cepat lewat sungai. Luas situs Candi Muaro Jambi sebesar 12 kilometer persegi. Candi Muaro Jambi memiliki 80-an candi, sembilan candi besar. Ada sembilan candi yang besar: Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, candi Gedong satu dan Gedong dua, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano. Candi Gedong Satu terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Luas halamannya sekitar 500an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.‎

Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam tempat penammpungan air serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang saat ini masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan arca prajnyaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu, lumpang/lesung batu. Gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata uang Cina, manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi dan perunggu. Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan gundukan tanah (gunung kecil) yang juga buatan manusia. Oleh masyarakat setempat gunung kecil tersebut disebut sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...