Senin, 23 November 2020

Sejarah Kesultanan Asahan


Kesultanan Asahan berdiri tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan,Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kerajaan ini melebur ke dalam negaraIndonesia pada tahun 1946.

Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Aceh sampai awal abad ke-19.

Sejarah

Sejarah Kerajaan Asahan bermula, ketika Sultan Aceh, Iskandar Muda melakukan perjalanan ke Johor dan Malaka pada tahun 1612 M. Dalam perjalanan menuju tujuan tersebut, rombongan raja ini beristirahat di sebuah kawasan, di hulu sebuah sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Selesai beristirahat di hulu sungai ini, kemudian perjalanan dilanjutkan ke sebuah daerah yang berbentuk tanjung, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Di tanjung tersebut, Sultan Iskandar bertemu dengan Raja Simargolang. Sebagai tempat menghadap kepada raja, di daerah tersebut kemudian dibangun sebuah pelataran atau balai. Dalam perkembangannya, daerah ini kemudian menjadi perkampungan denga nama Tanjung Balai. Karena letaknya yang strategis di lintasan jalur perdagangan antara Aceh dan Malaka, maka Tanjung Balai kemudian berkembang pesat.

Dari pertemuan Sultan Iskandar Muda dengan Raja Simargolang di atas, hubungan mereka kemudian bertambah erat dengan perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan salah seorang putri Raja Simargolang. Dari perkawinan tersebut, kemudian lahir seorang putra bernama Abdul Jalil. Kelak, Abdul Jalil inilah yang menjadi Sultan Asahan pertama pada tahun 1630 M. Dalam perjalanannya, karena adanya ikatan kekerabatan dengan Aceh, maka kerajaan ini menjadi daerah bawahan Aceh hingga awal abad ke-19 M. Pada 12 September 1865 M, Asahan ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Ketika Indonesia merdeka, Asahan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 M.

Selain dengan Aceh, hubungan Kesultanan Asahan dengan Kerajaan Batak juga terjalin dengan mesra. Bahkan, Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.

Sejarah Asahan Dari Masa ke Masa

Awal mula Kesultanan Asahan dimulai dari turunnya Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat ( Sultan Alaiddin Riyatsyah I Al Qahhar ) yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537 - 1568 yang melakukan penyerangan ke negeri-negeri pantai timur Sumatera. Saat melakukan penyerangan ke Labuhan Batu, datanglah permaisuri Batara Sinomba, Raja Pinang Awan (Sutan Mangkuta Alam, Raja Air Merah) glr Marhum Mangkat di Jambu meminta tolong kepada Sultan Aceh, karena dia sering difitnah dan dianiaya oleh suaminya.

Mendengar pengaduan istri kedua Batara Sinomba yang berasal dari Angkola ini, Sultan Alaiddin mengutus Raja Muda Pidie untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Akhirnya Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan terbunuhnya Batara Sinomba.‎

Sebagai rasa terima kasihnya maka Permaisuri tersebut menyerahkan Puterinya yang bernama Siti Ungu Selendang Bulan (Siti Unai) untuk dinikahi oleh Sultan Aceh dan dibawa ke Kerajaan Aceh.

Setelah beberapa tahun maka kedua orang Abang Siti Ungu dengan ditemani oleh Raja Batak "Karo- Karo" datang menemui Sultan Aceh meminta adiknya untuk dibawa pulang. Sultan Aceh pun mengabulkan permintaan kedua orang abang dari Siti Ungu tersebut dengan syarat Apabila kelak anak yang dilahirkan oleh Siti Ungu adalah seorang Laki - laki maka ia harus dirajakan didaerah Asahan. 

Dan untuk mengawal rombongan Siti Ungu kembali ke negerinya maka Sultan Aceh mengutus salah seorang pembesarnya di Pasai yaitu Anak Sukmadirajayang berasal dari Kampung Sungai Tarap Minangkabau. 

Setibanya di Asahan, Siti Ungu melahirkan seorang anak laki - laki yang diberi nama RAJA ABDUL JALIL. Siti Ungu kemudian menikah lagi dengan Raja Karo karo yang setelah masuk islam dan diberi gelar Raja Bolon dan memperolah seorang putera yang bernama Raja Abdul Karim yang digelar denganBangsawan "Bahu Kanan". 

Tak berapa lama kemudian Raja Bolon menikah lagi dengan Puteri Raja Simargolang dan memperoleh dua orang putera yaitu Abdul Samad dan Abdul Kahar yang bergelar Bangsawan "Bahu Kiri". 

Setelah Raja Bolon meninggal terjadi perselisihan antara Sultan Abdul Jalildengan Raja Simargolang karena mengangkat kedua cucunya tersebut menjadi raja di Kota Bayu dan Tanjung Pati. 

Sultan Abdul Jalil terpaksa mengundurkan diri ke Hulu Batubara dan meminta bantuan ayahnya Sultan Aceh. Akhirnya dengan bantuan Sultan Aceh, Raja Simargolang dapat dikalahkan dan dipaksa untuk membuat perjanjian damai dan pada saat itu pula Anak Sakmadiraja dinobatkan menjadi Bendahara di Kerajaan Asahan.

1630 -  Sri Paduka Tuanku Abdul Jalil Rahmad Shah diangkat sebagai Raja Asahan I. Beliau menikah dengan Enzik Amina putri dari Bendahara Pemangku Raja Bahu bin Sukma Diraja dan istrinya Ompa Liang. Dari Pernikahan ini Abdul Jalil mendapat 2 orang putra bernama Tengku Saidi dan Sri Paduka Raja

Tak lama berselang Tuanku Abdul Jalil menikah lagi dengan Tengku Ampuan, Putri dari Tengku Sulung glr Marhom mangkat di Simpang, Raja Panai dan Bilah. Dari pernikahan kedua ini lahirlah 3 orang putri, Raja Huma, Raja Marsahdan Raja Busu. Masing-masing mereka tinggal di Bilah.

16xx - Tuanku Abdul Jalil mangkat di Tangkahan Sitarak dan dimakamkan di Pulo Raja, Asahan. Setelah Sultan Abdul Jalil mangkat, maka bermufakatlah Bendahara beserta kerapatannya dan mengangkat Sri Paduka Tuanku Saidi Shah sebagai Raja Asahan II.

Kemudian Raja Saidisyah pindah ke Simpang Toba. Beliau menikah dengan Puteri Bendahara yang bernama Halijah (Jaliah). Dari pernikahannya tersebut beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Tuanku Muhammad Mahrum.

17xx - Raja Saidisyah wafat di Simpang Toba dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Simpang Toba. Untuk melanjutkan Kerajaan Asahan, maka dinobatkanlah putra tunggal Raja Saidi yaitu: Sri Paduka Tuanku Muhammad Mahrum Shah menjadi Raja Asahan III. Beliau menikah dengan Enzik Samidah, putri dari Bendahara.
Dari pernikahannya ini Tuanku Mahrum ini memiliki 3 orang putra dan seorang putri, yakni: Tuanku Abdul Jalil, Tuanku Muhammad Shah. Tuanku Kecik Besar dan Raja Amaran.

1760 - Tuanku Muhammad Mahrum mangkat di Sungai Banitan, putera beliauSri Paduka Tuanku Abdul Jalil II Rahmad Shah pun dinobatkan sebagai Raja Asahan IV. Tuanku Abdul Jalil II menikah dengan Enzik Salama putri dari Bendahara. Dari pernikahan ini Tuanku Abdul Jalil II memiliki 3 orang putra, yaitu:Tuanku Deva, Tuanku Abdul Zalim dan Tuanku Sutan Muda.

Tuanku Abdul Jalil II memindahkan pusat pemerintahan ke Kampung Baru ( Sungai Raja ). Beliau adalah tipe orang yang pintar dan nekat tanpa mengenal takut. Menurut sejarah pada tahun 1760 - 1765 Raja Alam ( Sultan Siak ) anak raja kecik minta bantuan kepada beliau untuk melawan Belanda di Malaka. Ketika beliau menemani Sultan Siak ke Malaka dan menjadi tamu kehormatan Gubernur Malaka beliau menyaksikan kota Malaka telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Melihat hal ini beliau langsung mengambil tindakan membakar semangat rakyat Malaka untuk melawan Belanda dan memberitahukan kepada Raja Alam ( Sultan SIak ) untuk melawan VOC dari daerahnya ( Siak ) dan Tuanku Abdul Jalil II siap untuk memimpin pasukan dan berada digaris depan. 

Dalam penyerangan ke Pulau Gantung yang menjadi lambang kekuatan Belanda pada masa itu, Belanda dapat dikalahkan dan dipukul mundur. Pulau Gantung pun kembali ke dalam kekuasaan Kerajaan Siak. Atas kegigihan dan kegemilangannya membantu Kerajaan Siak menghalau Belanda beliau dianugerahi gelar " Yang dipertuan " oleh Sultan Siak. 

1765 - Tidak berapa lama setelah beliau pulang ke Asahan, tepatnya pada tahun 1765 beliau meninggal di Sungai Raja Kampung Baru ( Kisaran ) dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Sungai Raja. 
Untuk meneruskan perjalanan dinasti Asahan, maka dinobatkanlah Y.T.M. Sri Paduka Tuanku Deva Shah sebagai Sultan Asahan V dan Adiknya Raja Abdul Zalim diangkat sebagai Raja Muda.

Sultan Devashah memerintah di Pasir Putih masih masuk dalam wilayah Kisaran saat ini. Masa hidupnya beliau mempunyai 5 orang istri, Yaitu: Istri pertama beliau adalah putri Bendahara, Istri kedua putri dari Raja Rondahim, Raja of Simalungun, Tanah Jawa. Istri ketiga Gadis Tiong Hoa dari Malaka, Dari pernikahan ketiga inilah lahir: Tuanku Said Musa dan Tuanku Muhammad Ali.

Istri keempatnya Encik Jahu (Gadis Cina dari Malaka), dari pernikahan keempat ini dia memperoleh 1 putra dan 3 putri, yaitu: Raja Laut, Raja Sayang, Tengkudan Raja Biong Lentung. Dan istri yang kelima Sultan Deva Shah adalah Enzik Sayyida.

1805 - Sultan Deva Shah mangkat di Pasir Putih, Beliau digelar Marhom Pasir Putih. Kemudian dinobatkanlah putranya Y.T.M. Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Musa menjadi Sultan Asahan VI. Masa pemerintahannya Sultan Ahmad Musa memindahkan kekuasaannya ke Rantau Panjang.

1807 - Sultan Ahmad Musa menikah dengan Encik Fatima, putri dari Megat Gunung bin Bendahara. Belum lagi anaknya lahir Sri Paduka Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Shah, yang nantinya diangkat sebagai Raja Muda Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong, Sultan Ahmad Musa pun mangkat. Dia diberi gelar marhum mangkat di Rantau Panjang. Maka untuk meneruskan kepemimpinan Asahan, dinobatkanlah adik Sultan Musa,yaitu: Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad ‘Ali Shah sebagaiSultan Asahan VII.

Masa hidupnya Sultan Muhammad Ali Shah menikah 2 kali, pernikahan pertamanya dengan Tengku Ampuan, adik dari Tengku Tua - putri dari Tengku Sutan. Dari pernikahan ini lahirlah Raja Husain Shah dan Tengku Siti Asmah glr.Tengku Maha Suri Raja Deli (1852 - menikah dengan Sri Paduka Tuanku Sultan Panglima Usman al-Sani Perkasa Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Amaluddin Panglima Mangedar Alam Shah [al-Marhum Masjid], Sultan Deli).
Dari pernikahan kedua dengan Puan Beberapa, lahirlah 2 putra yaitu: Tengku Sulung dan Tengku Alang Ja'afar, dan 2 putri: Raja Biyong dan Raja Tua Saiciwai.

1813 - Sultan Muhammad Ali Shah mangkat di Si Rantau. Untuk meneruskan dinasti Kesultanan Asahan selanjutnya terjadi perselisihan antara Tuanku Muhammad Ishaq anak dari Tuanku Ahmad Musa, Sultan Asahan VII dan  Tuanku Husain Shah anak dari Sultan Muhammad Ali, Sultan Asahan VIII.

Tengku Tua yang pada masa itu merupakan wali dari Raja Muhammad Ishaq menetapkan Raja Muhammad Ishaq sebagai Sultan Asahan. Akan tetapi hal ini ditentang oleh Bendahara yang menjadi wali Sultan Husain Shah. 

Berbagai jalan musyawarah telah ditempuh untuk menyelesaikan masalah ini, akan tetapi karena kedua belah pihak masing-masing mempertahankan pendapatnya maka penyelesaian tidak juga didapat hingga akhirnya perang saudara pun tidak dapat terelakkan lagi. Penduduk Asahan khususnya kaum Batak tidak menerima jika Raja Muhammad Ishak yang menjadi Sultan Asahan. 

Pada masa perang tersebut berkecamuk daerah sepanjang Sungai Silau dikuasai oleh Sultan Muhammad Husain Shah, sedangkan daerah sungai Asahan sampai ke Bandar Pulau dikuasai oleh Raja Muhammad Ishaq. Berkali-kali pihak keluarga besar Kesultanan Asahan telah mengadakan musyawarah, akan tetapi tidak ada kesepakatan yang didapat untuk menghentikan pertikaian antara dua orang saudara tersebut. 

Sampai akhirnya pihak Keluarga Besar Kesultanan Asahan mengambil suatu keputusan yang sangat mengejutkan pada masa itu yaitu melakukan penyerangan ke Negeri Kualuh. Keputusan ini diambil dengan berdasarkan beberapa alasan, dan salah satu alasan yang paling mendasar adalah apabila Negeri Kualuh dapat ditaklukkan maka Raja Muhammad Ishak akan dinobatkan menjadi raja di sana. 

Keputusan keluarga besar tersebut disetujui oleh Sultan Muhammad Husain Shah dan Raja Muhammad Ishaq. Dengan cepat dibentuk dua kelompok pasukan yang masing-masing dipimpin oleh Sultan Muhammad Husain Shah dan Raja Muhammad Ishaq. Sultan Muhammad Husain Shah menyerang dari daerah kuala sungai Kualuh sedangkan Raja Muhammad Ishaq memimpin pasukannya menyerang dari daerah hulu hingga akhirnya negeri Kualuh dapat ditaklukkan. 

1829 - Raja Muhammad Ishak dinobatkan menjadi Sri Paduka Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Shah menjadi Yang Dipertuan Besar Muda Asahan yang berkuasa mulai dari Sungai Asahan sampai ke Bandar Pulau dan Dia juga diangkat sebagai Raja Kualuh dan Leidong. Dan pamannya Tengku Tua dan Tengku Biyung Khecil mengangkat Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I menjadi Sultan Asahan VIII yang berkuasa di Sei.Silau.

Untuk membantu menjalankan roda pemerintahan di Negeri Kualuh Sultan Muhammad Husain Shah mengangkat beberapa orang Datuk yang diambil dari Asahan.

Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I lahir tahun 1806. Semasa hidupnya ia menikah 2 kali. Istri pertamanya adalah Tengku Sulung, putri dari pamannya Tengku Tua dan istrinya Putri Raja Pinai. Dari pernikahan pertama ini lahirlah 3 putra dan 4 orang putri yaitu: Tengku Ahmad Shah, Tengku Amir glr.Tengku Pangeran Besar Muda, Tengku Muhammad Adil (Tengku Babul), dan Tengku Tengah glr. Tengku Ampuan, Tengku Putri,  Tengku Kechil Ajis, Tengku Sunit. Sedangkan dari istri keduanya Tuan Telaha (Tuan Trus) putri seorang keponakan dari Raja Batak Buntu Panai melahirkan Raja Muhammad Sharif glr.Tengku Setia Maharaja, Raja Muhammad Bakir dan seorang putri yaitu:Tengku Sulung Toba.

10 Februari 1859 - Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I mangkat di Si Rantau, dan dikebumikan di Kampung Mesjid. Meneruskan kepemimpinan Asahan diangkatlah putra mahkota Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan Asahan IX.

18 September 1865 - Karena Sultan Ahmad menolak mentah-mentah Belanda untuk tunduk dan patuh pada Kesultanan Siak, malah Sultan Ahmad memasang bendera-bendera Inggris ditepi pantai asahan, Maka Belanda menyerang Asahan. Dan Asahan takluk pada waktu itu.

27 September 1865 - Setelah Asahan takluk. Belanda mengasingkan Sultan Ahmad Shah dan adiknya Tengku Muahammad Adil ke Riau, Sedangkan adiknya Tengku Amir glr.Tengku Pangeran Besar Muda diasingkan ke Ambon.
Elisa Netscher sebagai Asisten Residen Riau pada waktu itu mengangkat Sri Paduka Tuanku al-Wathiq Billah al-Sultan Muda Ni'matu'llah Shah Ibni al-Marhum al-Sultan Muda Muhammad Abdul Haq, Yang Dipertuan Muda di-Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong memimpin Asahan.

Kekuasaan pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
Onder Afdeling Batu Bara
Onder Afdeling Asahan
Onder Afdeling Labuhan Batu.

Kerajaan Sultan Asahan dan pemerintahan Datuk-Datuk di wilayah Batu Bara tetap diakui oleh Belanda, namun tidak berkuasa penuh sebagaimana sebelumnya. Wilayah pemerintahan Kesultanan dibagi atas Distrik dan Onder Distrik yaitu:
Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang.
Distrik Kisaran.
Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge.

Sedangkan wilayah pemerintahan Datuk-datuk di Batu Bara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur yaitu:
Self Bestuur Indrapura
Self Bestuur Lima Puluh
Self Bestuur Pesisir
Self Bestuur Suku Dua ( Bogak dan Lima Laras ).

30 November 1867 - Sultan Muda Ni'matullah diturunkan oleh Belanda. Kemudian Asahan dipimpin oleh 4 pembesar Melayu, dan pada masa ini sangat sering terjadi perlawanan terhadap Belanda di Asahan.

24 Maret 1886 - Sultan Ahmad Shah dipaksa menandatangani surat perjanjian takluk (akte van bevestiging) di Bengkalis.

AKTE VAN BEVESTIGING

Karena telah diputuskan oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1865 atas kekosongan kekuasaan Tengku Achmad Shah selaku Sultan Asahan, dengan ini tanggal 25 Maret 1886, Saya ABRAHAM ADRIANUS HOOS, selaku Residen Sumatra Pantai Timur, yang dibuat dan yang ditulis bersumpah untuk melakukan perbuatan ini;

Dengan demikian dikatakan bahwa Tongkoe Achmad SHAH dengan saya, di bawah persetujuan lebih lanjut dari Yang Mulia Gubernur Jenderal, dalam nama dan karena atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dalam martabat nya selaku Raja Assahan diakui dan dikonfirmasi atas nama: SULTAN ACHMAD SHAH , dan dia akan berkomitmen kepada Pemerintah dan mematuhinya, maka dengan ini ditetapkan sebagai berikut:

Raja dari Assahan dalam semua masalah administrasi dan keadilan, dibantu oleh sebuah dewan yang  terdiri empat anggota, sebagai perwakilan yang ditunjuk oleh pemerintah Sumatra Timur.

Raja Assahan oleh Pemerintah diberikan pendapatan sebesar f 18.000 (delapan belas ribu gulden)/ tahun, selain jumlah f 10 000 (sepuluh ribu gulden) sekaligus, untuk biaya sebagai berikut;

Setiap anggota dewan pemerintah diberikan pendapatan f 1200 (seribu dua ratus gulden)/tahun.

Penghulu bandar, Pasir Mandagei dan Bandar Poeloe masing mendapatkan f 480 (empat ratus delapan puluh gulden)/tahun;

Penghulu Pakan Tanjung Balaei mendapatkan modal f 300 (Tiga Ratus gulden)/ tahun;
Datoek bandar SJAKAR sepanjang hidupnya mendapat hibah sebesar f 600 (enam ratus gulden)/tahun; 

Dalam mencari dana tersebut sebagai awal kompensasi pada tahun 1876 oleh Pemerintah ditarik dari penghasilan yang didapat dari ekspor dan sumber daya yang disewakan  Assahan termasuk monopoli terhadap garam.

Raja dari Assahan tetap dalam kenikmatan tidak diambil alih oleh pendapatan Pemerintah, yang ia seperti sesuai dengan lembaga-lembaga negara tua dapat mengklaim, dilengkapi dengan pengetahuan dan persetujuan dari wakil Pemerintah.

Sejauh rakyatnya dapat diadili atas pengadilan pemerintah, hak Raja Assahan secara langsung atau melalui proxy untuk duduk di pengadilan tersebut, untuk dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang akan datang.
Mengenai Tanah konsesi akan dikeluarkan perjanjian khusus dengan Raja.
Sebagai bukti, akta ini disajikan.

Dengan demikian dilakukan di BengKalis pada tanggal 25 Maret 1886.
Residen dari Pantai Timur Sumatera,

25 Maret 1886 -  Sultan Ahmad dan Adiknya dikembalikan ke Asahan. Sultan Ahmad kembali memerintah Asahan.

Dalam hidupnya tercatat, Sultan Ahmad Shah pernah menikah 2 kali, pertama dengan Tengku Sulung, putri sulung dari Tuanku Muhammad Ishaq al-Marhum Ibni Tuanku Kata Musa Shah, Raja Kualuh Leidong dan dan Yang Dipertuan Muda di-Asahan. Dan istri kedua Encik Daeng, seorang wanita Bugis dari Riau. Tapi dari kedua pernikahan ini Sultan Ahmad tidak mendapat keturunan.

27 Juni 1888 - Sebelum Sultan Ahmad Shah mangkat, beliau sempat membuat surat wasiat. Karena dia tidak mempunyai keturunan maka untuk melanjutkan pemerintahan Kesultanan Asahan, dia meminta supaya anak tertua dari adiknyaTengku Muhammad Adil dan istrinya Encik Sri Bulan yaitu: Tengku Ngah Tanjung menjadi Sultan. Akhirnya Sultan Ahmad Shah pun wafat di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai dan dimakamkan di Mesjid Agung Sultan Ahmad Shah.

8 Oktober 1888 -  Atas persetujuan Belanda, akhirnya Tengku Ngah Tanjung dinobatkan sebagai Sultan Asahan X dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II.

1908 - Pada masa pemerintahannya negeri Asahan sangat maju dan sangat dikenal oleh para pedagang dari luar negeri terutama pedagang-pedagang dari negeri Belanda. Banyak maskapai Eropa membuka Ondernemingen di Asahan. Dimasa ini pula Belanda banyak membangun beberapa gedung pemerintahan dan membangun akses dari daerah lain menuju kota Tanjung Balai dengan membangun jalan, rel kereta api serta memperluas pelabuhan.

Sultan Muhammad Husein Syah II pernah melawat ke negeri Belanda bersama T. Haji Alang Yahya dan Tengku Musa. Pada tahun 1908 Beliau menerima Anugerah Knight Order of The Netherlands Lion dari Ratu Wilhelmina. Semasa pemerintahannya Rakyat Asahan bertambah makmur dan beberapa syarikat Eropa menjalankan perniagaan di Negeri asahan pada masa itu.

11 Februari 1908 - Sultan Muhammad Husein Syah II menandatangani Politik Kontrak dengan Pemerintah Hinda Belanda yang pada waktu itu diwakili oleh Jacob Ballot selaku Resident Sumatra Timur. Pemerintah Belanda juga mengangkat  Laurentius Knappert sebagai Asisten Residen Afdeling Asahan.

Semasa hidupnya Sultan Muhammad Husain II menikah 6 kali, yang pertama dengan Raja Tengah Uteh  putri sulung Raja Tengah Muhammad Abu Bakar dan istrinya, seorang wanita asal Arab. Pernikahan kedua dengan Siti Zainab, seorang wanita keturunan Arab.  Pernikahan ketiga Encik Hitam, seorang wanita dari Penang. Pernikahan keempat dengan Encik Unga [Ongah], seorang wanita dari Sungei kepayang (mungkin sumbu yang sama Hajjah Ainon Binti Awang, atau Singapura, yang mungkin ibu dari Tengku Jawahir, m kedua, Jailani bin Ali, orang Jawa, oleh siapa dia punya masalah lebih lanjut. Pernikahan kelima denganTengku Zahara putri dari Putri YM Tengku Muhammad Yusuf bin Tengku Abdul Jalil, atau Johor-Singapura. Pernikahan keenam Tengku Madariah dan pernikahan ketujuh dengan Encik Itam. Dari pernikahan ini Sultan Muhammad Husain II memiliki 8 putra dan 14 putri, yaitu:

Tengku Amir lahir tahun 1885 di Tanjung balai, Tanggal 5 Mei 1899 dinobatkan sebagai Tengku Besar anak dari pasangan dengan Raja Uteh.
Tengku Ibrahim (Siti Zainab)
Tengku Usman lahir 1900 (Encik Hitam)
Tengku Muhammad Ishaq (Encik Hitam) meninggal saat Revolusi Sosial 4 Maret 1946
Tengku Haidar Mahazir (Encik Unga)
Tengku Sha’ibun Yunus (Tengku Zahara)
Tengku Muhammad Ali (Tengku Zahara)
Tengku Abdul Aziz (Tengku Zahara)
Tengku Darjat
Tengku Aisha (Encik Ongah)
Tengku Khair ul-Bariah (Encik Itam)
Tengku Fatimah Badriyah
Tengku Mariam
Tengku Jamilah
Tengku Munah
Tengku Salmah
Tengku Haminah
Tengku Chantik
Tengku Kalsum
Tengku Hasnah
Tengku Arfah [Ariah] (Tengku Zahara)
Tengku Jawahir (Tengku Zahara)

1910 - Harga Karet dunia melambung tinggi. Belanda dan Amerika pun sepakat untuk membuka perkebunan karetnya di Asahan. Atas persetujuan Sultan Muhammad Husain II memberikan konsesi tanah daerah Kisaran, maka kedua negara ini membuka perusahaan yang bernama Hollandsch-Amerikaansche Plantage Maatschappij. 


8 Februari 1913 - Tengku Besar Amir wafat, untuk menggantikan posisinya Sultan Muhammad Husain II pun melnobatkan Tengku Sha’ibun Yunus sebagai Tengku Besar. 
Selama hayatnya Tengku Besar Amir pernah membantu Westenak di Sumatra Barat yang waktu itu masih berpangkat Asisten Residen. Tengku Amir dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad di Tanjung Balai.

7 Juli 1915 - Sultan Muhammad Husain II mangkat di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai. Beliaupun dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah. Dinobatkanlah putra keenam dari istri kelimanya, yaitu Tengku Sha’ibun Yunus dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmad Shah III. Tetapi karena beliau masih muda, sehingga untuk sementara pemerintahan dipegang oleh  saudara ayahnya Tengku Alang Yahya (Regent of Negeri Asahan).

1917 - Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjung Balai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjung Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.

Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjung Balai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau di ekspor melalui pelabuhan Tanjung Balai.
Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjung Balai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kota Tanjung Balai. Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu Gementee Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha.

17 Juni 1933 - Sri Paduka Tuanku Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmad Shah III menikah dengan  Tengku Nurul Asikhin binti al-Marhum Tengku Rahmad. Putri dari Tengku Rahmad bin Tengku Ismail al-Haj, Pangeran Bendahara Putra, dari Bedagai, dan istrinya, YM Tengku Tisah Adil [Mulki] binti Tengku Muhammad ', putri kelima YAM Tengku Muhammad 'Adil [Babul] Ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah. Permaisuri lahir di Bedagai, 1896, dan pada hari itu dinobatkan sebagai Tengku Permaisuri di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai, 17 Juni 1933.

15 Juli 1933 ( 9 Safar 1353 H ) - Beliau ditabalkan menjadi Sultan Asahan XI di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai pada hari Kamis 15 Juli 1933 pukul 11.00 WIB.

Sultan Syaibun belajar di H.I.S di Tanjung Balai dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke MULO di Batavia bersama dengan dua orang saudaranya yaitu T. Khaidir dan T. Ishaq.

1933 - Beliau juga merenovasi Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah di Tanjung Balai.

1933 - Beberapa bulan setelah menikah dengan Permaisuri Tengku Nurul, Sultan Sha'ibun pun menikah lagi dengan Encik Mariam, dan bulan September 1933, Beliau menikah lagi dengan Encik Sa'adiah binti Muhammad Ariffin. Dari ketiga isteri tersebut beliau dikaruniai 4 Orang putera dan 5 orang puteri yaitu :
Almarhum T. Sulung Baihak Syah 
Almarhumah T. Nurhayati 
Almarhum T. Dahnian 
T. Alma 
Almarhum T. Mirna 
T. Nur Zehan 
T. Yasmin 
T. Alexander 
T. Dr. Kamal Abraham

13 Maret 1942 - Pemerintahan Belanda berhasil ditundukkan Jepang, sejak saat itu Pemerintahan Fasisme Jepang disusun menggantikan Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Fasisme Jepang dipimpin oleh Letnan T. Jamada dengan struktur pemerintahan Belanda yaitu Asahan Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu Batu bara. Selain itu, wilayah yang lebih kecil di bagi menjadi Distrik yaitu Distrik Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang. 

14 Agustus 1945 - Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir dan 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan Republik Indonesia, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia Wilayah Asahan di bentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang di pegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batu Bara masih tetap ada. 

3 Maret 1946 - Sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan.

4 Maret 1946 - Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sultan Sha'ibun tidak dibunuh, beliau dipenjarakan oleh Revolusioner Komunis.

15 Maret 1946 - Berlaku struktur pemerintahan Republik Indonesia di Asahan dan wilayah Asahan di pimpin oleh Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah dan Sori Harahap sebagai wakil kepala wilayah, sedangkan wilayah Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanan, yaitu:
Kewedanan Tanjung Balai
Kewedanan Kisaran
Kewedanan Batubara Utara
Kewedanan Batubara Selatan
Kewedanan Bandar Pulau.

Kemudian setiap tahun tanggal 15 Maret diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Asahan.

Juni 1946 - Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:
Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan sebutan Bupati
Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan sebutan Patih

Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas ) Wilayah Kecamatan terdiri dari ;

Kewedanan Tanjung Balai dibagi atas 4 (empat) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Air Joman
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang

Kewedanan Kisaran dibagi atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Kisaran
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Buntu Pane

Kewedanan Batubara Utara terdiri atas 2 (dua) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih

Kewedanan Batu Bara Selatan terdiri atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Kecamatan Lima Puluh

Kewedanan Bandar Pulau terdiri atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Bandar Pulau
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge.

1947 - Sultan Sha'ibun dibebaskan oleh tentara Inggris pada Juli 1947.

1 November 1947 - Sultan Sha'ibun diberi pangkat Kapten Pertama untuk Pasukan Pengawal Negara Sumatera Timur dan Distrik Tanjung Balai.

6 September 1948 - Sultan Sha'ibun menghadiri Investiture Khidmat Ratu Juliana dari Belanda di Gereja Baru, Amsterdam. Beliau mendapatkan mendali Knight Order of The Netherlands Lion dan Officer of the Order of Orange-Nassau.

1948 - 1950 - Sultan Sha'ibun diberi jabatan bagian keamanan dalan Kabinet Pemerintahan Negara Sumatera Timur.

1954 - Terpilihlah Rakutta Sembiring menjadi Bupati Asahan. Rakutta sendiri  adalah mantan Bupati Karo.

1956 - Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15 /2/3.

Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.

Atas persetujuan Bupati Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut  Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi seluas 200 Ha.

1963 - Berdasarkan keputusan DPRD-GR Tk. II Asahan No. 3/DPR-GR/1963 Tanggal 16 Pebruari 1963 diusulkan ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kotamadya Tanjung Balai ke kota Kisaran dengan alasan supaya Kotamadya Tanjung Balai lebih dapat mengembangkan diri dan juga letak Kota Kisaran lebih strategis untuk wilayah Asahan. Hal ini baru teralisasi pada tanggal 20 Mei 1968 yang diperkuat dengan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 1980, Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 28, Tambahan Negara Nomor 3166.

1982 - Kota Kisaran ditetapkan menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982, Lembaran Negara Nomor 26 Tahun 1982. Dengan adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26-432 tanggal 27 Januari 1986 dibentuk Wilayah Kerja Pembantu Bupati Asahan dengan 3 (tiga) wilayah Pembantu Asahan, yaitu :

Pembantu Bupati Wilayah-I berkedudukan di Lima Puluh meliputi :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
Kecamatan Lima Puluh
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram

Pembantu Bupati Wilayah-II berkedudukan di Air Joman meliputi :
Kecamatan Air Joman
Kecamatqan Meranti
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang

Pembantu Bupati Wilayah-III berkedudukan di Buntu Pane meliputi:
Kecamatan Buntu Pane
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pulau

6 April 1980 - Sultan Sha'ibun mangkat dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Raya Tanjung Balai. Dan sebagai ahli waris Kesultanan Asahan timbul intrik tentang siapa pengganti dinasti Kesultanan Asahan yang mampu mengemban tugas sebagai kepala adat. Dalam suatu kebimbangan dan keraguan apakah akan diangkat kembali Kesultanan Asahan akibat dari ekses Revolusi Sosial tahun 1946 yang masih menyimpan duka dan nestapa dalam ingatan para keluarga besar kerajaan. Ditengah kebimbangan tersebut T. Tatah dan Encik Saidahmengatakan bahwa Sultan Sha'ibun pernah bercerita tentang salah seorang anaknya yang dapat diandalkan untuk meneruskan Dinasti Kesultanan Asahan yaitu T. Kamal Abraham.

Mendengar kabar tersebut para pembesar kerajaan mengadakan musyawarah. Dari hasil musyawarah tersebut pada tanggal 17 Mei 1980 diangkatlah Dr. T. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah sebagai Sultan Asahan ke XII.

Setelah upacara pengangkatan selesai, malam harinya dilaksanakan pemberian gelar kepada keturunan kesultanan sebagai pelengkap struktur organisasi kerajaan. Gelar terebut diberikan kepada :

Almarhum T. Alauddin Nazar mendapatkan gelar Tengku Bendahara.
T. Rumsyah mendapatkan gelar Duta Amerta.
T. Bustamam, T. Yose Rizal, Almarhum T. Azis dan T. Yusuf Idris mendapatkan gelar Pangeran Asahan.
T. Amirsyah dan T. Thamrin mendapatkan gelar Datuk Bintara.
Pemberian gelar tersebut dilakukan di Tanjung Balai dan langsung ditabalkan oleh Sultan Asahan XII Dr. T. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah.

Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah menikah dengan seorang gadis berdarah Aceh yaitu Dr. Hj. Eva Mutia. Sampai saat ini beliau telah dikaruniai 3 ( Tiga ) orang anak yaitu : 
T. Muhammad Iqbal Alvinanda ( Lahir 17 Maret 1994 )
T. Muhammad Arief Fadillah ( Lahir 29 Mei 1995 ) 
T. Shafira ( Lahir 14 Desember 2002 )

Silsilah Raja

Sri Paduka Raja Abdul Jalil I bin Almarhum Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat (1630-16.. M)
Sri Paduka Raja Said Shah bin Almarhum Raja Abdul Jalil (16..-17..M)
Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah ibni al-Marhum Raja Said Shah (17..-1760 M)
Sri Paduka Raja ‘Abdu‘l Jalil Shah II ibni al-Marhum Raja Muhammad Mahrum Shah (1760-1765 M)
Sri Paduka Raja Deva Shah ibni al-Marhum ‘Abdu‘l Jalil [al-Marhum Mangkat di Pasir Putih) 1765-1805 M)
Sri Paduka Raja Said Musa Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah [al-Marhum Mangkat di-Rantau Panjang] (1805-1808 M)
Sri Paduka Raja Muhammad ‘Ali Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah 1808-1813 M
Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I ibni al-Marhum Sultan Muhammad ‘Ali Shah [al-Marhum Kampung Masjid] 1813-1859 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah 1859-1888 M)
Sri Paduka Tuanku Al-Haji Abdullah Nikmatullah Shah ibni al-Marhum Raja Muhammad Ishak, Raja Kualuh dan Leidong, juga Yang di-Pertuan Muda di Asahan. Ia ditujuk oleh Belanda setelah saudaranya, Sultan Ahmad Shah diturunkan secara paksa (1865-1867 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni al-Marhum Tengku Muhammad ‘Adil (1888-1915 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Sha‘ibun ‘Abdu‘l Jalil Rahmad Shah III ibnu al-Marhum Sultan Muhammad Husain (1915-1980 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Kamal Abdurrahman (1980-sekarang)

Periode Pemerintahan

Sepanjang masa berdirinya, di Kerajaan Asahan telah berkuasa sebelas orang raja.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kerajaan Asahan mencakup daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Indonesia.

Struktur Pemerintahan

Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.

Ketika Asahan ditaklukkan oleh Belanda pada 12 September 1865, terjadi perubahan struktur kekuasaan, dengan Belanda sebagai penguasa tertinggi. Wakil tertinggi Belanda yang berada di Asahan adalah Kontroler yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867 nomor 2, tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai. 

Berdasarkan keputusan itu juga, Asahan dibagi mejadi tiga wilayah pemerintahan, yaitu:

Onder Afdeling Batubara
Onder Afdeling Asahan
Onder Afdeling Labuhan Batu

Walaupun Belanda memegang kekuaasan tertinggi dan membagi Asahan menjadi tiga pemerintahan, namun, pemerintahan para Datuk di wilayah Batubara tetap diakui Belanda. Hanya saja, kekuasaannya telah jauh berkurang, tidak seperti sebelumnya.

Secara khusus Belanda juga membagi wilayah kekuasaan sultan dan para datuk. Untuk wilayah pemerintahan kesultanan, Belanda membaginya menjad distrik danonder distrik, yaitu:

Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang
Distrik Kisaran
Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge

Sedangkan wilayah pemerintahan para datuk di Batubara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur, yaitu:

Self Bestuur Indrapura
Self Bestuur Lima Puluh
Self Bestuur Pesisir
Self Bestuur Suku Dua (Bogak dan Lima Laras)

Ketika Belanda menyerah pada Jepang, maka Asahan otomatis berada di bawah kekuasaan Jepang. Saat itu, Jepang yang dipimpin oleh T. Jamada mengganti struktur pemerintahan di Asahan menjadi Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu. Daerah Fuku Bunsyu adalah Batubara, sementara yang lebih kecil diubah menjadi distrik. Distrik-dsitrik tersebut adalah: Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang.

Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan RI, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia wilayah Asahan dibentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang dipegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batubara masih tetap ada.

Pada tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur pemerintahan RI di Asahan dan wilayah Asahan dipimpin oleh Abdullah Eteng sebagai Kepala Wilayah dan Sori Harahap sebagai Wakil Kepala Wilayah, sedangkan Asahan dibagi atas 5 (lima) kewedanaan, yaitu:

Kewedanaan Tanjung Balai
Kewedanaan Kisaran
Kewedanaan Batubara Utara
Kewedanaan Batubara Selatan
Kewedanaan Bandar Pulau

Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur pada bulan Juni 1946 diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:

Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan Bupati
Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan Patih

Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas) wilayah kecamatan, terdiri dari:
a) Kewedanaan Tanjung Balai dibagi atas:
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Air Joman
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
b) Kewedanaan Kisaran dibagi atas:
Kecamatan Kisaran
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Buntu Pane
c) Kewedanaan Batubara Utara dibagi atas:
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
d) Kewedanaan Batubara Selatan dibagi atas:
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Kecamatan Lima Puluh
e) Kewedanaan Bandar Pulau dibagi atas:
Kecamatan Bandar Pulau
Kecamatan Pulau Rakyat‎
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Dengan mempertimbangkan posisi yang lebih strategis, maka pada tanggal 20 Mei 1968, melalui PP Nomor 19 Tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kota Tanjung Balai ke Kota Kisaran.

Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 M (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau.  Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu. Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mashab Syafii. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini.
Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara  ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M).
Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:
Ad-Durusul Khulasiyah
Al-Mathalibul Jamaliyah
Al-Mamlakul ‘Arabiyah.
Nujumul Ittiba.
Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba.
Al-Ittiba.
Al-Mufradat.
Mi‘rajun Nabi‎

 

Sejarah Kesultanan Serdang


Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia t‎ahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari ‎Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan ‎tembakau, karet, dan kelapa sawit.

Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.

Sejarah

Riwayat Kesultanan Serdang memiliki perjalanan yang rumit dan penuh gejolak. Latar belakang berdirinya kesultanan yang terletak di Sumatra Timur ini tidak bisa dilepaskan dari kejayaan Kesultanan Aceh. Sejarah Kesultanan Serdang sebenarnya diawali dengan munculnya Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Dia merupakan sosok pemberani yang terkenal sebagai Panglima Besar Tentara dan Panglima Armada Aceh. Mengusung panji-panji kebesaran Kesultanan Aceh di bawah naungan Sultan Iskandar Muda, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan memimpin operasi penaklukkan dan berhasil menundukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra, hingga Johor serta Pahang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan itu tidak lain adalah Laksamana Malem Dagang yang memimpin armada Aceh melawan Portugis (1629) dan yang menaklukkan Pahang (1617), Kedah (1620), Nias (1624), dan lain-lainnya.

Berkat jasa dan pengabdian terhadap Kesultanan Aceh, pada 1632 Sultan Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan melantik Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai wakil Sultan Aceh atau Wali Negeri untuk memimpin wilayah Haru atau yang kemudian dikenal sebagai wilayah Sumatra Timur. Haru sebenarnya merupakan sebuah kerajaan mandiri yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Aceh di bawah komando Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Sosok inilah yang menjadi kakek moyang raja-raja di Haru atau yang kelak bersulih nama menjadi wilayah Deli dan Serdang. Nama Haru sendiri muncul pertama kali dalam catatan pengelana dari Tiongkok yang singgah di Sumatra pada sekitar abad ke-13. Dalam catatan itu disebutkan, Haru mengirimkan misi ke Tiongkok dalam tahun 1282 Masehi ketika tanah Tiongkok dikuasai imperium Mongol di bawah pimpinan Kubilai Khan. Selain itu, nama Haru juga tercantum dalam kronik Pararaton ketika membahas fragmen tentang Ekspedisi Pamalayu, yakni upaya Majapahit untuk menaklukkan negeri Melayu yang dimulai pada abad ke-13. Haru tercatat sebagai salah satu dari negeri-negeri utama di Sumatra di samping Lamuri, Samudera, Barlak (Perlak), dan Dalmyan (Temiang). Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang legendaris itu juga menyinggung soal keberadaan Haru dengan menyebutkan, di samping Pane, Majapahit berhasil pula menguasai Kompai dan Haru.

Data tentang keberadaan Kerajaan Haru masih berlanjut ketika seorang pejalan yang juga berasal dari Tiongkok, Fei Sin, menulis bahwa dalam tahun 1436 M, Haru terletak di depan Pulau Sembilan. Manakala angin baik, tulis Fei Sin, kapal layar bisa sampai ke Haru dari Malaka dalam waktu 3 hari 3 malam. Keterangan Fei Sin ini didukung oleh catatan dari Dinasti Ming yang mengisahkan bahwa pada masa pemerintahan Kaisar Yung Lo, penguasa ke-3 Dinasti Ming yang memerintah sejak 1402, Sultan Husin dari Haru mengirimkan misinya ke Tiongkok. Sebaliknya, dalam tahun 1412, Kaisar Yung Lo mengutus Laksamana Cheng Ho untuk mengunjungi negeri-negeri di Nusantara, termasuk Haru. Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Haru dan Kekaisaran Tiongkok semakin harmonis karena Tuanku Alamsyah, pengganti Sultan Husin, juga mengirimkan misinya ke Tiongkok, berturut-turut dalam tahun-tahun 1419, 1421, dan 1423 Masehi.

Pada masa-masa berikutnya, Kerajaan Haru bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Aceh yang muncul sebagai kekuatan baru di sekitar Selat Malaka. Berkali-kali Haru melancarkan gerakan penentangan terhadap dominasi Aceh hingga kerajaan ini berhasil ditaklukkan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memunculkan nama Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai panglima perang yang paling berhasil pada masa itu. Oleh penguasa Kesultanan Aceh, pada 1632 wilayah Haru diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan selaku wakil Sultan Aceh. Dari sinilah riwayat Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang dimulai. 

Pendudukan atas bekas wilayah Kerajaan Haru ini diberikan oleh Kesultanan Aceh dengan misi:

Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Haru (yang dibantu oleh Portugis).
Mengembangkan misi Islam ke wilayah pedalaman.
Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Imperium Aceh.

Pada 1632 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan menikah dengan Puteri Nan Baluan Beru Surbakti, adik dari penguasa Kerajaan Sunggal, Datuk Imam Surbakti. Kerajaan Sunggal merupakan salah satu pemerintahan kecil yang terdapat di wilayah Urung asal Karo di Deli. Pengakuan dari kerajaan-kerajaan kecil di regional itu yang diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan membuat pemerintahan Deli di bawah naungan Aceh semakin mantap. Setelah Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia pada 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) yang kemudian bergelar sebagai Panglima Deli.

Ketika kebesaran Kesultanan Aceh mulai melemah, di mana Sultan Iskandar Muda mangkat dan pemerintahan Aceh dipegang oleh raja-raja perempuan, pada 1669 M Panglima Perunggit memproklamirkan kemerdekaan Deli atas penguasaan Aceh. Sebagai legitimasi, Deli di bawah komando Panglima Perunggit menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka. Tuanku Panglima Perunggit atau Panglima Deli meninggal dunia pada 1700 M. Pengganti Tuanku Panglima Perunggit sebagai penguasa Deli adalah sang putra mahkota, Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga tahun 1720 M. Sepeninggal Tuanku Panglima Paderap, Deli mulai dilanda perpecahan. Selain karena mulai berpengaruhnya Kerajaan Siak di wilayah Sumatra Timur, ancaman yang mengguncang Deli juga disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. Meski terdapat beberapa versi, ada sejumlah kalangan yang meyakini bahwa anak Tuanku Panglima Paderap berjumlah empat orang, yaitu:

Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tg. Mulia.
Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari turunan bangsawan Deli dan Bedagai.
Kejeruan Santun, berasal dari turunan bangsawan Denao dan Serbajadi.
Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari turunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.

Perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan Deli itu terjadi pada sekitar tahun 1723. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan yang merasa paling berhak atas tahta Deli, karena merupakan anak yang berasal dari permaisuri, tidak berhasil memperoleh haknya. Dalam pertempuran melawan kakak keduanya, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan menelan kekalahan dan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali yang tidak lain adalah permaisuri Tuanku Panglima Paderap, terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang). Atas kemenangan yang diperoleh dari adiknya itu maka Kesultanan Deli dikuasai oleh Tuanku Panglima Pasutan.

Dalam catatan Tengku Luckman Sinar Basarshah II, yang kini mengemban mandat sebagai Sultan Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang atau Sultan Serdang ke VIII, disebutkan bahwa menurut adat Melayu yang benar, yang berhak menggantikan Tuanku Panglima Paderap sebagai pemimpin Kerajaan Deli adalah Tuanku Umar Johan selaku putra dari permaisuri. Namun, Tuanku Umar Johan disingkirkan oleh kakaknya karena masih di bawah umur. Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan selaku Raja Serdang yang pertama diangkat yaitu pada 1723 M.

Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan Panglima Paderap (Raja Deli terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, sudah menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama.

Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M. Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang.

Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan. Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.

Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menurut buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang (2003) yang ditulis oleh Pemangku Adat Kesultanan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.

Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.

Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka keesokan harinya, yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.

Pada 13 Oktober 1946, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan dikebumikan dengan upacara militer di makam raja-raja di sebelah masjid raya di Perbaungan yang masih termasuk di dalam wilayah administratif Serdang. Sebagai pemegang tahta Serdang ke VI sepeninggal Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah adalah Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi politik dan keamanan di Serdang dan umumnya di Sumatra Timur yang belum stabil, maka penabalan mahkota kesultanan kepada Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar hanya sebagai kepala adat. Di samping itu, Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan Serdang karena merasa masih trauma dengan serentetan kejadian tragis atau “Revolusi Sosial” yang terjadi di tahun 1946 itu. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar wafat di Medan pada 28 Desember 1960 dan dimakamkan di Perbaungan.

Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar, masyarakat adat Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat selama masa-masa selanjutnya dan posisi ini mengalami kevakuman selama lebih kurang 35 tahun. Hingga akhirnya, pada 30 November 1996, Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang serta memutuskan bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih dan ditetapkan dari putra-putra almarhum Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang masih hidup. Dari sidang-sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dan pemegang mahkota Kesultanan Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan Ketua Kerapatan Adat Negeri Serdang. Penabalannya dilakukan dalam upacara adat di Gedong Juang 45 di Perbaungan pada 5 Januari 1997.

Namun, kebangkitan Kesultanan Serdang ini tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata dilihat dari perspektif politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Oleh karena itu, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan istiadat pun “diarahkan” tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan  tradisi kesultanan, khususnya tradisi kesultanan yang terdapat di Sumatra Timur. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj mangkat pada 28 Januari 2001 karena sakit dan dikebumikan di Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Perbaungan.

Sebagai penerus keberadaan Kesultanan Serdang setelah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj wafat adalah Tuanku Luckman Sinar Baharshah II. Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj diberangkatkan pada tengah malam tanggal 28 Januari 2001, sesuai dengan Adat Melayu “Raja Mangkat Raja Menanam”, dimusyawarahkanlah mengenai pengganti Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj dan anggota sidang dengan suara bulat menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) sebagai Pemangku Adat Serdang berikutnya. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar pada 12 Juni 2002 di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.

Silsilah Raja-Raja

Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:

Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002.

Wilayah Kekuasaan

Sejak awal berdirinya hingga sekarang, wilayah Kesultanan Serdang beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial-politik yang terjadi. Kesultanan Serdang sendiri, pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dimasukkan ke dalam Residensi Sumatra Timur, bersama sejumlah kerajaan lainnya antara lain Kerajaan Asahan, Kerajaan Deli, Kerajaan Kualuh dan Leidong, Kerajaan Langkat, Kerajaan Pelalawan, serta Kerajaan Siak Sri Inderapura. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan tahun 1949, secara administratif, Kesultanan Serdang yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur menjadi Provinsi Sumatra Utara hingga kini.

Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, perubahan luas wilayah Kesultanan Serdang dari zaman ke zaman diperoleh melalui beberapa cara, di antaranya dengan jalan penaklukan, kekerabatan (ikatan perkawinan), atau penggabungan wilayah oleh kerajaan-kerajaan kecil ke wilayah Kesultanan Serdang. Berdasarkan data yang ditemukan dari beberapa catatan karya Tuanku Luckman Sinar Baharshah II, daerah-daerah yang pernah dan masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Serdang (dikumpulkan dari beberapa sumber), antara lain: Percut, Perbaungan, Sungai Ular, Sungai Serdang, Padang, Bedagai, Sinembah, Batak Timur, Negeri Dolok, Batubara (Lima Laras), Serbajadi, Denai, Patumbak, Rantau Panjang, Bandar Labuhan, Lengo Seperang/Kwala Namu, Pantai Cermin, Pertumbukan/Galang, Medan Senembah, Tambak Cikur, Rantau Panjang, hingga Lubuk Pakam.

Sistem Pemerintahan

Pada masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama, yaitu Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, pemerintahan Kesultanan Serdang masih dalam kondisi yang tidak menentu karena banyaknya konflik yang harus dihadapi. Baru pada era Sultan Serdang kedua, Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767-1817), Kesultanan Serdang mulai menyusun konsep untuk mengatur tata pemerintahannya. Salah satu yang terpenting adalah dengan dibentuknya Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:

Pangeran Muda, berwilayah di Sungai Tuan.
Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu.
Datok Paduka Raja, berwilayah di Batangkuis.
Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia.

Sultan Ainan Johan Alamsyah memperkokoh legitimasi Lembaga Orang Besar Berempat itu berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan empat penjuru alam (barat, timur, utara, selatan) dan kokohnya kaki binatang serta asas Tungku Sejarangan (empat batu penyangga untuk memasak) yang merupakan asas sendi kekeluargaan tradisi masyarakat Melayu di Sumatra Timur. Terdapat empat sosok penentu di dalam upacara perkawinan maupun perhelatan-perhelatan besar lainnya. 

Selain itu, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sultan Serdang dibantu oleh Syahbandar dan Temenggong sebagai kepala keamanan dan panglima besar. Pemerintahan Sultan Ainan Johan Alamsyah mencoba mengharmonisasikan antara Hukum Syariat Islam dengan Hukum Adat. Hal ini mengacu pada filosofi pepatah “Adat Melayu bersendikan Hukum Syara’ dan Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”. Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:

1. Adat Sebenar Adat

Adat ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api itu panas, air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan, dan lainnya.

2. Adat yang Diadatkan

Adat ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang Besar Kerajaan.

3. Adat yang Teradat

Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang kemudian diikuti secara terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat, sehingga menjadi resam hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat sanksi-sanksi adat jika hukum itu dilanggar.

4. Adat-Istiadat

Adat ini berupa seremonial yang dirujuk dari ketentuan yang belaku di istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa berubah ketika terjadi pergantian raja.

Sementara pada era pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850), Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan dengan memperoleh kemajuan pesat, terutama di bidang perdagangan. Pada masa ini, penerapan Adat Melayu yang bersendikan Islam sangat dijunjung tinggi. Yang menjadi hal utama adalah Budi yang Mulia (budi daya, budi bahasa, budi pekerti, dan lain-lain), sebab dengan ketinggian budi akan menunjukkan ketinggian peradaban suatu bangsa. Dampak positif dari penerapan konsepsi budi ini salah satunya adalah rakyat Batak Hulu banyak yang masuk Islam. Dalam memegang pemerintahan umum, Sultan Thaf Sinar Baharshah dibantu beberapa Orang Besar, seperti Pangeran Muda Sri Diraja Mattakir sebagai Raja Muda, Tuanku Ali Usman (gelar Panglima Besar Negeri Serdang) di Sungai Tuan (Kampung Klambir), Tuanku Tunggal (gelar Sri Maharaja) di Kampung Durian, dan Datuk Akhirullah gelar Pekerma Raja Tg. Morawa.

Pemimpin Serdang yang selanjutnya, Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880), mengalami masa-masa di mana eksistensi Kesultanan Serdang mulai terusik dengan kedatangan penjajah Belanda. Di dalam menghadapi pengaruh Belanda yang semakin kuat di Pantai Timur Sumatra, Serdang di bawah komando Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah tanpa tedeng aling-aling berdiri di belakang Aceh yang memang gencar melakukan perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Atas dukungan tersebut, pada 1854 Sultan Aceh berkenan menganugerahi gelar kepada Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah sebagai “Wazir Sultan Aceh” dengan simbol kekuasaan yang disebut Mahor Cap Sembilan. Seperti sultan-sultan sebelumnya, Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah juga selalu didampingi Orang-orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan Serdang. Akan tetapi, karena konflik yang berkepanjangan berakibat dengan sering terjadinya pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir serta raja-raja dari wilayah jajahan Serdang tersebut. Selain itu, di luar Dewan Kerajaan yang terdiri dari orang-orang Besar pilihan Sultan, terdapat lagi lembaga pemerintahan yang mengurus daerah-daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang. Institusi ini dikenal dengan nama “Lembaga Orang Besar Berlapan” yang terdiri dari delapan orang pejabat yang ditunjuk Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di luar pusat kerajaan

Berikutnya adalah rezim pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) di mana Kesultanan Serdang melakukan beberapa tindakan strategis karena semakin kuatnya tekanan dari penjajah Belanda. Kebijakan penting yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah salah satunya adalah melakukan perlawanan menentang Belanda ketika pada 1891 Kontrolir Serdang sebagai wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda memindahkan ibukota Serdang dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam. Sebagai bentuk perlawanan, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ikut pindah ke ibukota baru pilihan penjajah, dan sebaliknya justru membangun istana baru, yakni Istana Perbaungan (Kraton Kota Galuh), pada 1886 serta mendidikan Masjid Raya Sulaimaniyah. Selain itu, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah juga membangun kedai, pasar ikan, dan kompleks pertokoan sehingga berdirilah sebuah kota kecil yang diberi nama Simpang Tiga Perbaungan. Kota inilah yang dijadikan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai tandingan ibukota Serdang versi pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Perlawanan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap penetrasi Belanda masih berlanjut ketika pada 1898 menolak dengan dingin permintaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia agar menghadap Ratu Kerajaan Belanda. Tidak hanya itu, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah beserta rombongan bahkan memilih melawat ke Jepang dan Tiongkok pada tahun itu juga sebagai tindakan nyata bahwa Kesultanan Serdang memberikan perlawanan terhadap Belanda karena pada masa itu Jepang dan Tiongkok merupakan negeri di Asia yang maju dan berani menentang kekuatan militer dan penguasaan ekonomi oleh Barat. Dalam kunjungannya di Jepang, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dijamu secara pribadi oleh Tenno Heika Kaisar Meijimutshuhito. Namun, lawatan ke Jepang itu dimanfaatkan Belanda untuk berbuat licik sebagai balasan atas “pembangkangan” yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dengan mempersempit batas wilayah Serdang. Kebijakan mempersempit wilayah Kesultanan Serdang oleh Belanda ini tak pelak menyebabkan perubahan dalam susunan para Orang Besar. Belanda menghapuskan beberapa posisi pemerintahan, termasuk Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berkuasa di Serdang hingga akhir hayatnya, yaitu di penghujung tahun 1946, di mana sebelumnya di tahun itu telah terjadi “Revolusi Sosial” sehingga Kesultanan Serdang memilih menggabungkan diri dengan Tentara Rakyat Indonesia sebagai wakil dari pemerintahan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan sebelumnya. Keputusan itu diambil atas dasar kemantapan hati untuk bergabung dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada era pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, Kesultanan Serdang pada bulan Desember 1945 telah menyatakan dukungannya terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh.

Di masa-masa selanjutnya, pemerintahan adat Kesultanan Serdang nyaris tidak terlihat karena situasi politik yang sedang carut-marut, bahkan geliat Serdang sempat mati suri selama sekitar 35 tahun karena calon pengganti Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ditabalkan sebagai Sultan Serdang dengan alasan masih trauma atas berbagai kejadian berdarah di tahun-tahun revolusi fisik itu. Setelah dihidupkan lagi pada 1997, Kesultanan Serdang tidak bisa mencapai kejayaan seperti dulu dikarenakan keterikatan dan situasi politik Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Aktivitas kesultanan tidak lagi berpengaruh banyak terhadap keberlangsungan dan kehidupan rakyat di Serdang, melainkan hanya sebatas institusi istiadat semata.‎

 

Sejarah Kesultanan Deli


Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Di Sumatera Utara terdapat dua kerajaan islam atau kesultanan Melayu yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang.

Sejarah Pendirian

Sejarah berdirinya kesultanan deli dapat dilihat dari Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.

Sri Paduka Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan, Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh, dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Dalam perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

Gocah Pahlawan menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti. Sunggal merupakan sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Di daerah tersebut, ada empat Raja Urung Batak Karo yang sudah masuk Islam. Kemudian, empat Raja Urung Raja Batak tersebut mengangkat Laksamana Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.

Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.

Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.

Pada tahun 1780, Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri-negri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun, independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh, dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia pada tahun 1858, ia digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ini, ekspedisi Belanda I yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

Perpecahan Keluarga Kesultanan Deli

Sultan Deli penerus Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Tuanku Panglima Perunggit alias Panglima Deli, wafat pada tahun 1700 Masehi. Penerus tahta Kesultanan Deli berikutnya adalah Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga wafatnya pada tahun 1720 M. Kesultanan Deli diguncang perpecahan internal tidak lama setelah Tuanku Panglima Paderap meninggal dunia. Anak-anak Tuanku Panglima Paderap meributkan soal siapa yang berhak menduduki posisi sebagai Sultan Deli berikutnya.

Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang disusun Tuanku Luckman Sinar Basarshah II disebutkan bahwa Tuanku Panglima Paderap mempunyai empat orang anak, yaitu 

(1) Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari keturunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia;
(2) Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai;
(3) Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi; dan
(4) Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.

Meski berstatus sebagai anak tertua, namun Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar dikesampingkan dari kandidat calon pemangku tahta Kesultanan Deli karena yang bersangkutan mempunyai cacat mata. Keadaan ini membuat Tuanku Panglima Pasutan, putra kedua almarhum Tuanku Panglima Paderap, berkehendak mengambil-alih tahta meski sebenarnya yang paling berhak memangku jabatan sebagai penerus kepemimpinan Kesultanan Deli adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (putra keempat) karena dilahirkan dari permaisuri. Terjadilah perang saudara di antara kedua putra almarhum Tuanku Panglima Paderap untuk memperebutkan tahta Deli. Sedangkan Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun memilih menghindar dari peperangan di antara kedua saudaranya itu dengan menyingkir dan membuka negeri di Denai yang meluas hingga ke Serbajadi.

Dalam perang saudara yang memuncak pada tahun 1732 itu, Tuanku Panglima Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan ke luar istana Kesultanan Deli. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali (permaisuri almarhum Tuanku Panglima Paderap), terpaksa berlindung ke daerah lain hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Kampung Besar (Serdang). Dengan keluarnya Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dari istana, maka Tuanku Panglima Pasutan leluasa untuk mendeklarasikan diri sebagai Sultan Deli yang baru.

Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan tidak tinggal diam dan bersiap-siap mendirikan Kesultanan Serdang. Pendirian Kesultanan Serdang dapat terwujud karena dukungan yang kuat kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah, terutama dari dua orang Raja Batak Karo, yakni Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah. Selain itu, Raja Urung Batak Timur yang menguasai wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan seorang pembesar dari Aceh bernama Kejeruan Lumu, turut menyokong berdirinya Kesultanan Serdang. Akhirnya, pada tahun 1723 Masehi, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dinobatkan sebagai Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Serdang. Putra ketiga almarhum Tuanku Panglima Paderap, Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, yang mendirikan negeri di Denai, kemudian menggabungkan wilayahnya dengan wilayah Kesultanan Serdang.

Kondisi internal pemerintahan Deli yang belum stabil membuat kesultanan menjadi incaran sejumlah kerajaan besar yang sedang berebut pengaruh. Kerajaan-kerajaan yang berupaya menguasai Deli tersebut antara lain Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh Darussalam yang rupa-rupanya masih menginginkan Deli menjadi wilayah jajahannya kembali.

Wilayah Deli dirasa sangat menguntungkan terutama karena faktor kandungan sumber daya alamnya. Deli mashyur dengan hasil minyak wangi, kayu cendana, dan kapur barus. Selain itu, orang Belanda mendatangkan beras, lilin, dan kuda dari Deli. Oleh sebab itulah, Belanda merasa perlu memelihara hubungan baik dengan pihak penguasa Deli karena Belanda juga mendatangkan tekstil dari Deli.

Tuanku Panglima Pasutan atau Sultan Deli yang ke-4 wafat pada tahun 1761. Pemerintahan Kesultanan Deli diteruskan oleh Kanduhid yang bergelar Panglima Gandar Wahid. Pada tahun 1805, Panglima Gandar Wahid meninggal dunia dan digantikan oleh Tuanku Amaluddin. Karena saat itu Kesultanan Deli masih berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura, maka penobatan Tuanku Amaluddin sebagai Sultan Deli pun berdasarkan akte Sultan Siak tanggal 8 Agustus 1814. Setelah resmi menjadi Sultan Deli, Tuanku Amaludin memperoleh nama kehormatan yakni dengan gelar Sultan Panglima Mangedar Alam.

Meuraxa dalam buku Sekitar Suku Melaju, Batak, Atjeh, dan Keradjaan Deli (1956) menulis bahwa tahun 1669 wilayah Kesultanan Deli direbut Kesultanan Siak Sri Inderapura dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, ketika Kesultanan Siak Sri Inderapura takluk kepada Kesultanan Johor, wilayah Kesultanan Deli pun berada di bawah kekuasaan Johor.

Tahun 1854, Kesultanan Deli kembali dikuasai Kesultanan Aceh Darussalam, dipimpin oleh panglima yang bernama Teuku Husin. Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858), Sultan Deli waktu itu, dibawa ke Istana Aceh Darussalam. Namun kemudian Kesultanan Deli diakui kembali berdiri sendiri di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam yang waktu itu diperintah oleh Sultan Sulaiman Syah (1838-1857). Oleh Aceh Darussalam, wilayah Kesultanan Deli ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang.

Eksistensi Kesultanan Deli

Perang saudara yang terjadi antara Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang baru berakhir pada awal abad ke-20 setelah adanya tekanan dari Belanda. Hubungan antara Kesultanan Deli dengan Belanda sendiri berjalan cukup selaras karena antara Belanda dan Deli ternyata saling membutuhkan: Belanda mendatangkan berbagai jenis sumber daya alam dari Deli, sedangkan Deli membutuhkan jaminan keamanan.

“Keharmonisan” antara Kesultanan Deli dan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kental pada masa ketika Deli berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sepanjang Agustus 1862, Elisa Netscher yang menjabat sebagai Residen Riau, diiringi oleh Asisten Residen Siak dan para pembesar dari Kesultanan Siak, melakukan perjalanan ke negeri-negeri di Sumatra Timur. Perjalanan ini dilakukan atas permintaan dari pihak Kesultanan Siak karena beberapa kerajaan di Sumatra Timur enggan mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri itu, termasuk Deli. Negeri-negeri di Sumatra Timur itu cenderung mendekat kepada Kesultanan Aceh karena Siak dianggap telalu lemah.

Tanggal 21 Agustus 1862, rombongan Elisa Netscher memasuki Kuala Sungai Deli dan disambut Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Kepada rombongan tamu tersebut, Sultan Deli mengatakan bahwa Kesultanan Deli tidak bersangkut-paut lagi dengan Kesultanan Siak dan tidak meminta pengakuan dari siapapun. Namun, Netscher tetap membujuk agar pengaruh Siak Sri Inderapura atas Deli tidak hilang dengan menyatakan bahwa “Deli mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Hindia Belanda”. Sejak saat itu, pemerintahan Kesultanan Deli terikat kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Rezim pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah berakhir pada tahun 1873 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Pada masa kepemimpinan Sultan Deli yang ke-9 ini, Kesultanan Deli mengalami masa-masa kemakmuran, yang terutama diperoleh dari sektor perkebunan tembakau. Kala itu, banyak pengusaha-pengusaha asing yang membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Pada tahun 1872, di Deli sudah beroperasi 13 perkebunan milik asing yang tentu saja menguntungkan Kesultanan Deli dari segi pemasukan finansial. Tanah Deli cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan tembakau dengan mutu kelas dunia. Pasaran tembakau saat itu sangat laku di pasar Eropa sebagai bahan pembuat cerutu.

Ketika Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah mulai menduduki singgasana Kesultanan Deli pada tahun 1873, jumlah perkebunan tembakau di Deli sudah bertambah menjadi 44 perkebunan. Hasil panen tembakau yang dituai setahun berikutnya mencapai 125.000 pak sehingga menjadikan Deli sebagai salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan nama Amsterdam juga ikut terangkat sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Pembayaran pembukaan perkebunan dan uang sewa tanah dari para pengusaha asing membuat Sultan Deli jadi kaya-raya.

Di masa inilah Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah membangun sejumlah simbol kejayaan Kesultanan Deli, antara lain Kampong Bahari (Labuhan) pada 1886, Istana Agung Maimoon pada 1888. Pengganti Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah yang bertahta sejak tahun 1873, melanjutkan pembangunan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Deli dengan mendirikan gedung Mahkamah Kerapatan Besar pada 1903 dan Masjid Raya Al Mansun pada 1906. Istana Maimoon sendiri dibangun di tempat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kota Medan dan mulai dihuni Sultan beserta keluarga Kesultanan Deli sejak 18 Mei 1891. Sebelumnya, Sultan dan keluarga Kesultanan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Adapun arsitek pembangunan Istana Maimoon adalah seorang tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger, Tentara Kolonial Hindia Belanda) bernama Kapten Th. van Erp.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan berlanjut dengan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1949, Kesultanan Deli yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara hingga kini. Di sisi lain, di masa itu situasi Deli khususnya dan Sumatra Utara pada umumnya belum juga berada dalam kondisi yang benar-benar damai. Keluarga-keluarga kerajaan di Sumatra Utara, termasuk keluarga Kesultanan Deli, terancam keselamatannya karena mendapat tentangan dari pihak-pihak yang menyatakan antikaum bangsawan. Keluarga kerajaan waktu itu dianggap sebagai antek Belanda dan termasuk ke dalam golongan feodal.

Masih dalam buku yang sama, Tengku Luckman Sinar juga menulis bahwa hasutan-hasutan pemberontakan itu sudah dihembuskan sejak bulan Juni 1942 pada era pendudukan Jepang di Indonesia. Saat dimulainya pemberontakan ialah tatkala kaum tani memulai panen padi yang dilakukan secara gotong royong dan diakhiri dengan pesta panen.

Aksi kekerasan terhadap kaum bangsawan mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Revolusi Sosial 1946. Banyak raja dan keluarga istana di Sumatra Utara yang dibunuh dan harta-bendanya dirampas, termasuklah penyair Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang selamat berkat penjagaan dari tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Setelah tragedi Revolusi Sosial 1946 berakhir, keluarga dan ahli waris Kesultanan Deli menempati Istana Maimoon sebagai tempat tinggal karena hampir semua istana yang ada di sana sudah hancur dibakar massa. Istana Maimoon merupakan satu-satunya istana yang tersisa karena pada saat terjadinya Revolusi Sosial dijaga ketat oleh tentara Sekutu.

Pada masa kemerdekaan, masa Revolusi Fisik, dan masa-masa selanjutnya, Kesultanan Deli masih tetap eksis kendati tidak lagi memiliki kewenangan politik karena telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memasuki era Orde Baru, Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj yang bertahta dari tahun 1967 sampai dengan 1998. Sejak 5 Mei 1998, yang menjabat sebagai pemangku Kesultanan Deli adalah Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam. Namun, Sultan Deli ke-13 yang berpangkat letnan kolonel ini meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Angkatan Darat CN 235 yang terjadi di Lapangan Udara Malikus Saleh, Lhokseumawe, Aceh, pada tanggal 21 Juli 2005. Sebagai penggantinya, pada tanggal 22 Juli 2005 putra mahkota Deli dengan gelar Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam dinobatkan sebagai Sultan Deli yang ke-14.

Silsilah Raja-Raja

Berikut nama para pemimpin Kesultanan Deli sejak awal berdirinya hingga sekarang:

Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669).
Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698).
Tuanku Panglima Paderap (1698-1728).
Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761).
Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805).
Sultan Amaluddin Mangendar (1805-1850).
Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858).
Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1858-1873).
Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1873-1924).
Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Shah (1924-1945).
Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah (1945-1967).
Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj (1967-1998).
Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam (5 Mei 1998–21 Juli 2005).
Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam (sejak 22 Juli 2005).

Sistem Pemerintahan

Sejak awal didirikan oleh Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Deli sudah memiliki Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan. Saat itu, Lembaga Datuk Berempat terdiri dari empat orang Raja Batak Karo yang sejak awal mendukung pendeklarasian Deli sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Lembaga Datuk Berempat juga mempunyai peran sentral ketika diadakan upacara penobatan Sultan Deli.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Sultan Deli tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala urusan agama dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Dalam menjalankan tugasnya, Sultan Deli dibantu oleh bendahara, syahbandar, serta para abdi kesultanan yang mempunyai peran dan tugas masing-masing.

Pada era kolonial Hindia Belanda, sistem pemerintahan Kesultanan Deli diikat melalui perjanjian politik. Dalam buku Sejarah Medan Tempo Dolou yang ditulis Tengku Luckman Sinar disebutkan bahwa perjanjian politik Belanda dan Kesultanan Deli terbagi atas:

Acte van Verband (Akte Pengikat). Dalam akte ini disebutkan bahwa: 
(1) Sultan Deli bersedia melaksanakan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Deli, begitu juga penggantinya, 
(2) Sultan Deli akan taat dan setia kepada Ratu Belanda/Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai adat dan peraturan, 
(3) Sultan Deli bersedia memajukan negeri dan rakyat, serta 
(4) Sultan Deli bersedia mematuhi syarat-syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum. 
Akte ini ditandatangani oleh pegawai pemerintahan Belanda dan Orang-Orang Besar Deli sebagai saksi.

Acte van Bevestiging (Akte Penguatan). Dalam akte ini disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) mengakui Sultan tersebut selaku Raja Deli dan pengakuan ini juga disebutkan dalam Ordonansi Hindia Belanda.

Pemerintahan Kesultanan Deli dilaksanakan oleh Sultan Deli bersama-sama dengan Dewan Orang-Orang Besar (sebagai pengganti Lembaga Datuk Berempat) yang terdiri dari empat Urung dan Kejeruan Percut setelah bermusyawarah dan dengan petunjuk dari Residen selaku wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Orang-Orang Besar itu diangkat dan diberhentikan Sultan Deli setelah bermusyawarah dengan Residen dengan memperhatikan aturan adat-istiadat. Selain itu, Residen berhak menghadiri rapat Orang-Orang Besar  Kesultanan Deli juga sudah mempunyai beberapa lembaga penting pendukung pemerintahan. Beberapa di antaranya adalah lembaga peradilan atau Kerapatan Besar, Kepolisian Swapraja Deli, dan Peradilan Agama.

System pemerintahan Kesultanan Deli bersifat federasi yang longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang, Orang Besar Menanti". Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatera Timur atau Tanah Deli.

Masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II), Deli memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan dagang dengan VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima Paderap (Raja Deli III) terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai hingga Serdang dan Denai.

Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823, bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli VI) adalah penguasa Deli pertama yang bergelar "Sultan" setelah Deli ditaklukan Kesultanan Siak pada tahun 1814. Menurut laporan Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam memerintah dibantu oleh 8 orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal perang, mengatur pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana, dan lain-lain.

8 Menteri tersebut adalah :
Nahkoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu
Wak-Wak
Salim
Tok Manis
Dolah
Wakil
Penghulu Kampong

Masih ada lagi Syah Bandar (Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan dan biasanya dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai bernama Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi para pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang melaksanakan tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang mengantar surat ke berbagai kerajaan. Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih belia, maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan. 

Di bidang agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti kerajaan, kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan masyarakat.

Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga generasi ke lima juga bergelar tengku.

Dalam kehidupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja/sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan) dan para pembantunya yang lain.

Periode Pemerintahan

Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika kerajaan Siak menguat di Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak, kemudian menjadi daerah taklukan penjajah Belanda. Dan yang terakhir, Deli bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi Labuhan, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, Denai, Serbajadi, dan sejumlah negeri lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatra. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam kembali menguasai Deli pada tahun 1854, Kesultanan Deli dinyatakan berdiri sendiri di bawah kendali Aceh Darussalam dan wilayahnya ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).

Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, menurut kontrak politik antara Deli dengan pihak pemerintah kolonial, dirumuskan bahwa wilayah Kesultanan Deli meliputi:

Wilayah langsung Sultan (kotapraja).
Urung (Negeri) XII Kota Hamparan Perak yang dikepalai Datuk Hamparan Perak Setia Diraja.
Urung Serbanyaman-Sunggal, dikepalai oleh Datuk Sunggal Sri Indera Pahlawan.
Urung Sukapiring-Kampung Baru, dikepalai oleh Datuk Sukapiring Sri Indera Asmara.
Urung Senembah-Petumbak, dikepalai oleh Kejeruan Senembah Deli.
Negeri Percut, dikepalai oleh Kejeruan Percut Paduka Raja.
Jajahan Negeri Bedagai, dikepalai oleh Pangeran Nara Kelana Raja Bedagai.
Jajahan Negeri Padang, dikepalai oleh Maharaja Negeri Padang.
Secara garis besar, wilayah kekuasaan Kesultanan Deli terbagi dua, yakni wilayah Hilir yang didiami suku bangsa Melayu dan sudah memeluk agama Islam, serta wilayah Hulu yang dihuni suku bangsa Karo yang kebanyakan belum memeluk agama Islam atau masih mempercayai keyakinan leluhur.

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini.

Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.

Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli.

Masa Kolonial

Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.

Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys. Setiba di Deli, mereka menemukan lokasi yang masih perawan, Deli saat itu adalah dataran rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan primer.

Usaha awal ini gagal, JF van Leuween memutuskan mundur setelah membaca laporan tim perusahaan, tetapi Jacobus Neinhuys tidak putus asa. Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi. Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.

Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram. Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890. Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij tampil sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor tembakau cerutu Amerika Serikatberasal dari Kesultanan Deli.

Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan, dan lainnya.

Masa Pendudukan Jepang

Tanggal 12 Maret 1942 mendarat pasukan "Imperial Guard" (pasukan penjaga kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNILdan Stadwacht Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas), tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-masing. Karena sisa pasukanBelanda yang 3.000 orang itu tidak akan sanggup melawan pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang, maka pada tanggal 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.

Sejak direbutnya Malaya, Singapura, dan Sumatera oleh Bala Tentara ke 25 Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Singapura. Sampai sekitar April 1943, kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya/Singapura terpisah. Di Sumatera, Jepang hampir-hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu sekitar Binjai (Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir,Kisaran, dan perkebunan Wingfoot.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis terhadap penguasa kesultanan-kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem monarkidengan alasan antifeodalisme.

Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera serta Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.

Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanyaProklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik, karena setelahJepang masuk, Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro-republik, seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.

Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur agar sistem pemerintahan swaprajadihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan secara kooperatif untuk membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal (yang didukung kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.

Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis pecah pada Maret 1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi menjalar ke seluruh monarki Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Deli. Istana Sultan Deli (Istana Maimun) beserta Sultan dan para bangsawan berhasil terlindungi karena penjagaan TRI dan adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...