Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Sanggau


Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Babai Cinga.

Masa Awal Kerajaan Sanggau

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.

Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau.

Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.

Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.

Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini.

Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.

Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Serang dari Banten . Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.

Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.

Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan Matan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita.

Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.

Eksistensi Kesultanan Sanggau

Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.

Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau.

Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehat kesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut.

Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.

Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.

Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.

Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.

Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekada. Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak.

Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.

Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.

Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.

Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda.

Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.

Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915. Pemangku tahta Kesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.

Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau. Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.

Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya. Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.

Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir. Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.

Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin

Silsilah

Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat” dan tulisan bertajuk “Kesultanan Sanggau” karya A. Roffi Faturrahman, et.al. (tt) yang terhimpun dalam buku ‎Istana-istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:

Dara Nante (1310 M).
Dakkudak.
Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).
Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009).
Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan hukum-hukum adat setempat. Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya. Ketidakmampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.

Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah. Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna. Pengelolaan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami yang bernama  Abang Awal.

Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan Sanggau dibantu oleh penasehat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahkan, sejumlah orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau, beberapa di antaranya adalah Panembahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para pemegang jabatan Ade pada umumnya adalah saudara kandung dari pemimpin Kesultanan Sanggau yang tengah berkuasa.

Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dari Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M). Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama. ‎Pembentukan Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.

Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang berlaku di Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin) masjid.

Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915), sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau 

Wilayah Kekuasaan   

Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya. Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam. Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau.

Menurut laporan Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 yang terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub Paku Negara (1823-1828) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk. ‎Sementara Lontaan (1975) menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi.

Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya.

Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.

 

Sejarah Kerajaan Ismahayana Landak


Kerajaan Ismahayana Landak adalah sebuah kerajaan yang saat ini berlokasi di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang, meskipun sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini bisa dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari cerita-cerita rakyat yang muncul di Ngabang, Kalimantan Barat, tempat di mana kerajaan ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti arkeologis berupa bangunan istana kerajaan (keraton) hingga atribut-atribut kerajaan yang masih dapat kita saksikan hingga kini dan juga buku Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Gusti Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun 1942, sesungguhnya cukup memadai untuk membuktikan perjalanan panjang kerajaan ini yang secara garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni fase Hindu dan fase Islam, ini telah dimulai sejak tahun 1275 M

Sejarah

Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang, meskipun sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini bisa dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari cerita-cerita rakyat yang muncul di Kabupaten Ngabang, Kalimantan Barat, tempat di mana kerajaan ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti arkeologis berupa bangunan istana kerajaan (keraton) hingga atribut-atribut kerajaan yang masih dapat kita saksikan hingga kini dan juga buku Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Gusti Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun 1942, sesungguhnya cukup memadai untuk membuktikan perjalanan panjang kerajaan ini yang secara garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni fase Hindu dan fase Islam, ini telah dimulai sejak tahun 1275 M.

Fase Hindu

Kisah itu berawal pada tahun 1275 M, ketika Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, Pulau Jawa (Jawadwipa), mengirim bala tentara untuk memperluas kekuasaannya hingga ke kawasan Sumatra Tengah. ‘Invasi‘ ini dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang berlangsung hingga tahun 1292 M. Ketika para punggawa dan prajurit ekspedisi ini harus kembali ke tanah Jawa lantaran Raja Kertanegara wafat, Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, justru membelokkan armada pasukannya menuju Nusa Tanjungpura, yang kini dikenal sebagai Borneo atau Pulau Kalimantan.

Di pulau yang terkenal sebagai salah satu paru-paru dunia itu, perjalanan rombongan Ratu Sang Nata Pulang Pali I diawali ketika mereka singgah di daerah Padang Tikar, kemudian diteruskan menyusuri Sungai Tenganap yang kala itu dikisahkan sedang meluap, hingga akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang kini disebut Sepatah. Sementara, terdapat sumber lain yang menyebutkan bahwa beliau bersama rombongan berjalan melewati Ketapang dan menyusuri Sungai Kapuas hingga berbelok melalui Sungai Landak Kecil dan berhenti di Kuala Mandor (kini merupakan sebuah daerah di Kabupanten Landak, Kalimantan Barat) Di tempat inilah Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama daerah Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.

Konon, untuk membangun sebuah kerajaan, Ratu Sang Nata Pulang Pali I ‘menaklukkan‘ masyarakat setempat dengan cara membagi-bagikan garam. Pembagian garam inilah yang membuat masyarakat setempat respek pada kedatangan Ratu Sang Nata Pulang Pali I beserta rombongannya. Masyarakat lantas bersedia membantu beliau mendirikan sebuah bangunan yang dalam perkembangannya kemudian menjadi istana Kerajaan Landak. Sayangnya, tidak terdapat satupun sumber yang menjelaskan mengapa pendekatan membagikan garam secara cuma-cuma tersebut dipilih.

Dalam buku Lontar Kerajaan Landak disebutkan bahwa setelah Kerajaan Landak berdiri di Ningrat Batur (yang kini dikenal dengan nama Tembawang Ambator), periode pertama pemerintahan kerajaan ini bergulir cukup lama, yakni selama 180 tahun (1292—1472 M). Pada periode pertama pemerintahan Landak, negeri ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Raden Kusuma Sumantri Indera Ningrat dengan gelar kebangsawan Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya Ratu Sang Nata Pulang Pali VII. Selama masa kepemimpinan Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga VI, kerajaan ini tidak memiliki istana selayaknya sebuah kerajaan. Sampai pada akhinya tiba masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII di mana Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu untuk kali pertama.

Sebagaimana disebutkan dalam Indoek Lontar Keradjaan Landak (1942, dalam Usman, 2007: 5) Ratu Sang Nata Pulang Pali VII menikahi Putri Dara Hitam, putri dari Patih Tegak Temula, yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putera mahkota. Setelah raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putera mahkota kemudian naik tahta dengan gelar Pangeran Ismahayana. Berikut kutipan dari tulisan Gusti Sulung Lelanang di dalam Indoek Lontar Keradjaan Landak mengenai proses ini:

 “ ... adapun sebagai pangkal sejarah Kerajaan Landak, yaitu dari Raden Kusuma Sumantri Indra Ningrat (Ratu Bra Wijaya Angka Wijaya) yang mendirikan kerajaan Hindu di Angrat Batur (Ningrat Batur atau Batu Ningrat [Tembawang Ambator]) dan bergelar (Ratu) Sang Nata Pulang Pali (I). Beliau memiliki tujuh keturunan (hingga Pulang Pali terakhir atau Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Ratu Sang Nata Pulang Pali VII beristrikan “Dara Hitam” (putri dari Patih Tegak Temula dari Kurnia Sepangok tanjung Selimpat) dan berputrakan Raden Ismahayana (Iswarahayana). Apapun Raden Ismahayana, adalah raja (pertama) Kerajaan Landak yang memeluk agama Islam pada akhir abad XIV dan mendirikan ibunegeri (pusat pemerintahan) Kerajaan Landak di Munggu (Ayu)”.
Fase Islam

Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana (1472—1542), pusat kerajaan dipindahkan ke kawasan hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Pada masa inilah pengaruh Islam mulai masuk. Islam dibawa oleh orang-orang Bugis dan Banjar yang kala itu memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Landak. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar. Sultan Abdul Kahar memiliki dua orang putra dari perkawinannya dengan Nyi Limbai Sari yang bergelar Ratu Ayu (putri Patih Wira Denta), yaitu Raden Tjili Tedung dan Raden Tjili Pahang.

Setelah Pangeran Ismahayana wafat, ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran (Raden) Kusuma Agung Muda (Raden Tjili Tedung), yang menjadi Sultan Landak ke IX. Pada masa pemerintahannya, pusat kekuasaan dipindahkan dari daerah Mungguk Ayu menuju Bandong (sebagian menyebutnya Bandung) pada tahun 1703, sebuah wilayah yang letaknya tidak jauh dari Mungguk Ayu. Alasan pemindahan pusat pemerintahan ke Bandong ini belum diketahui hingga saat ini. Namun, Kerajaan Landak di Bandong hanya bertahan hingga dua periode pemerintahan (1703—1768) di mana tampuk kekuasaan hanya sempat dipegang oleh Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709) dan putranya, Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764). Sepeninggalan Raden Nata Tua, jalannya pemerintahan untuk sementara dikendalikan oleh wakil raja, yakni Raden Anom Jaya Kusuma (1764—1768), sembari menunggu sang putera mahkota tumbuh dewasa.

Tatkala usia pemerintahan peralihan ini baru berlangsung kurang dari 4 tahun, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Bandong ke Kota Ngabang pada tahun 1768 oleh wakil raja tersebut (Raden Anom Jaya Kusuma). Kerajaan Landak kemudian menetapkan Kota Ngabang—kini menjadi ibukota Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat (hingga April 2009)—sebagai ibukota yang baru. Peristiwa hijrah ke Ngabang ini sekaligus mentahbiskan putera mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma, sebagai Sultan Landak XII (1768—1798).

Lembaran baru Kerajaan Landak di Ngabang ternyata tidak membawa kemajuan berarti hingga hampir dua abad lamanya. Terlebih pascakedatangan VOC Belanda di Borneo. Kehadiran Belanda di Kalimantan Barat lambat laun menggoyahkan posisi para sultan sebagai pemimpin masyarakat di beberapa wilayah di Kalimantan Barat. Tak hanya ranah politik yang diambil, Belanda juga menyerap segenap sumber daya ekonomi dan manusia. Masyarakat Ngabang dimanfaatkan untuk bekerja di lokasi-lokasi penambangan intan milik VOC. Menyadari situasi ini sangat merugikan kerajaan dan rakyat Landak, sultan beserta rakyat Landak kemudian melakukan pemberontakan. Tertera dalam catatan administratur kolonial, beberapa perlawanan ketika itu, antara lain pemberontakan Ratu Adil (1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), serta pemberontakan Gusti Abdurrani (1899).

Segala perlawanan yang dilakukan tidak pernah membuahkan hasil, dan justru kerajaan ini mengalami kevakuman kekuasaan ketika terjadi peristiwa Mandor yang tragis pada masa kependudukan Jepang. Peristiwa ini merupakan pembantaian terhadap ratusan ribu warga Kalimantan Barat, termasuk di dalamnya raja dan para kerabat kerajaan-kerajaan se-Kalimantan Barat. Dari peristiwa ini, banyak kerajaan di Kalimantan Barat yang kehilangan pewaris sah-nya.  

Setelah mengalami kevakuman tampuk kepemimpinan yang cukup lama, baru pada tahun 2000, atas persetujuan rakyat Landak, Kerajaan Landak dibangunkan dari tidurnya yang panjang dengan Gusti Suryansyah Amiruddin sebagai sultannya. Jika dirunut dari awal, Gusti Suryansyah merupakan sultan ke-39 semenjak Kerajaan Landak berdiri.

Beliau mewarisi bangunan istana Kerajaan Landak di Ngabang yang terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) kompleks istana mencakup: Istana Landak (Istana Ilir), Kediaman Permaisuri (Istana Ulu), serta Kediaman Neang Raja (rumah sultan); (2)Masjid Djami Keraton Landak; dan (3) makam raja-raja. Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Selain itu, perbaikan bangunan telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti renovasi yang dikerjakan selama 4 tahun (1978—1982) dan diresmikan oleh Haryati Subadio, Dirjen Kebudayaan kala itu, pada tanggal 4 Oktober 1983. Sementara, kondisi kompleks Keraton Landak saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.

Silsilah

Silsilah Raja-raja Kerajaan Landak dibagi menjadi empat periode pemerintahan serta dua fase keagamaan: Hindu dan Islam. Keempat periode yang dimaksud berkiblat pada keberadaan Istana Kerajaan Landak yang tercatat pernah menempati empat lokasi berbeda.

Fase Hindu

I. Kerajaan Landak di Ningrat Batur (1292—1472)

Ratu Sang Nata Pulang Pali I
Ratu Sang Nata Pulang Pali II
Ratu Sang Nata Pulang Pali III
Ratu Sang Nata Pulang Pali IV
Ratu Sang Nata Pulang Pali V
Ratu Sang Nata Pulang Pali VI
Ratu Sang Nata Pulang Pali VII

Fase Islam

II. Kerajaan Landak di Mungguk Ayu (1472—1703)

Raden Iswaramahayan Raja Adipati Karang Tanjung Tua atau Raden Abdul Kahar (1472—1542) (Islam masuk pada periode ini di Kerajaan Landak).
Raden Pati Karang Raja Adipati Karang Tanjung Muda (1542—1584)
Raden Cili (Tjili) Pahang Tua Raja Adipati Karang Sari Tua (1584—1614)
Raden Karang Tedung Tua (wakil raja) Raja Adipati Karang Tedung Tua (1614—1644)
Raden Cili (Tjili) Pahang Muda Raja Adipati Karang Sari Muda (1644—1653)
Raden Karang Tedung Muda (wakil raja) Raja Adipati Karang Tedung Muda (1679—1689)
Raden Mangku Tua (wakil raja) Raja Mangku Bumi Tua (1679—1689)
Raden Kusuma Agung Tua (1689—1693)
Raden Mangku Muda (wakil Raja) Pangeran Mangku Bumi Muda (1693—1703)

III. Kerajaan Landak di Bandong (1703—1768)

Raden Kusuma Agung Muda (1703—1709)
Raden Purba Kusuma (wakil raja) Pangeran Purba Kusuma (1709—1714)
Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764)
Raden Anom Jaya Kusuma (wakil raja) Pangeran Anom Jaya Kusuma (1764—1768)

IV. Kerajaan Landak di Ngabang (1768—sekarang)

Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma (1768—1798)
Raden Bagus Nata Kusuma (wakil raja) Ratu Bagus Nata Kusuma (1798—1802)
Gusti Husin (wakil raja) Gusti Husin Suta Wijaya (1802—1807)
Panembahan Gusti Muhammad Aliuddin (1807—1833)
Haji Gusti Ismail (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Haji Gusti Ismail (1833—1835)
Panembahan Gusti Mahmud Akamuddin (1835—1838)
Ya Mochtar Unus (wakil panembahan) Pangeran Temenggung Kusuma (1838—1843)
Panembahan Gusti Muhammad Amaruddin Ratu Bagus Adi Muhammad Kusuma (1843—1868)
Gusti Doha (wakil panembahan) (1868—1872)
Panembahan Gusti Abdulmajid Kusuma Adiningrat (1872—1875)
Haji Gusti Andut Muhammad Tabri (wakil panembahan) Pangeran Wira Nata Kusuma (1875—1890)
Gusti Ahmad (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Gusti Ahmad (1890—1895)
Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895—1899)
Gusti Bujang Isman Tajuddin (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang (1899—1922)
Panembahan Gusti Abdul Hamid (1922—1943)
Gusti Sotol (wakil panembahan) (1943—1945)
Haji Gusti Mohammad Appandi Ranie (wakil panembahan) Pangeran Mangkubumi Gusti Mohammad Appandi Ranie Setia Negara (1946, hanya sekitar 4 bulan berkuasa)
Pangeran Ratu Haji Gusti Amiruddin Hamid ( — )
Drs. Gusti Suryansyah Amiruddin, M.Si. Pangeran Ratu Keraton Landak (2000—sekarang)

Periode Pemerintahan

Periode pemerintahan kerajaan ini di bagi ke dalam empat periode dari dua fase, yaitu:

Fase Hindu

a. Kerajaan Landak di Ningrat Batur (1292—1472)

Fase Islam

b. Kerajaan Landak di Mungguk Ayu (1472—1703)

c. Kerajaan Landak di Bandong (1703—1768)

d. Kerajaan Landak di Ngabang (1768—sekarang)
Ningrat batur merupakan lokasi pertama di mana Kerajaan Landak berkedudukan 180 tahun lamanya. Pada fase berikutnya, keberadaan Kerajaan Landak di Mungguk Ayu cenderung lebih mampu bertahan lebih lama daripada di Ningrat Batur, yakni hampir dua seperempat abad dengan delapan kali pergantian tampuk kekuasaan (9 raja berkuasa).

Kisah Kerajaan Landak di Mungguk Ayu ini merupakan masa-masa awal tatkala Islam mulai masuk dan menjadi agama pilihan sang raja. Raja Landak pemeluk Islam pertama kali ialah Raden Iswaramahayana Raja Adipati Karang Tanjung Tua Raden Abdul Kahar atau yang kita kenal dengan Raden Ismahayana. Oleh karena beliau merupakan raja pertama yang memeluk Islam, nama Kerajaan Landak pun berganti nama menjadi Kerajaan Ismahayana Landak. Menurut Gusti Suryansyah, sisipan nama ‘Ismahayana‘ yang dipertahankan hingga kini berlaku sebagai penanda bahwa kerajaan ini pernah berhalauan Hindu.

Pada perkembangan selanjutnya, pusat kerajaan dipindah ke daerah Bandong di tahun 1703. Namun, Kerajaan Landak hanya mendiami tempat ini selama 65 tahun sebelum hijrah untuk yang terakhir kalinya ke daerah Ngabang pada tahun 1768.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kerajaan Ismahayana Landak kira-kira mencakup seluruh Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Pada tiga periode awal, secara geografis wilayah yang dikuasai kerajaan ini meliputi daerah sepanjang Sungai Landak berikut sungai-sungai kecil yang merupakan cabang darinya. Sungai yang merupakan anakan Sungai Kapuas ini memiliki panjang sekitar 390 km.

Dalam perkembangannya kemudian, cakupan wilayah kekuasaan Landak semakin luas hingga daerah-daerah pedalaman. Jika dibayangkan dengan kondisi saat ini, kira-kira batas wilayah Kerajaan Landak menyerupai wilayah Kabupaten Landak yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sanggau di sebelah timur; Kabupaten Pontianak di sisi barat; Kabupaten Bengkayang di bagian utara; dan bagian selatan oleh Kabupaten Ketapang.

Ditengarai bahwa alasan pokok para pendahulu Kerajaan Landak memilih bantaran Sungai Landak sebagai tempat bermukim adalah karena di sepanjang sungai ini memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, yakni intan dan emas. Sejarah mengatakan bahwa intan terbesar yang pernah ditemukan dan dimiliki oleh Kerajaan Landak bernama Palladium Intan Kubi (intan ubi) dengan berat 367 karat. Setelah penemuan itu, intan tersebut diberi nama sebagai Intan Danau Raja. Intan ini ditemukan tatkala Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata Kusuma Tua (1714—1764) bertahta sebagai raja Landak ke XIX di Bandong.
Lebih lanjut, sebagai sebuah kerajaan, Landak tidak menutup diri dengan dunia luar. Kerajaan ini justru aktif menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Kalimantan Barat. Relasi yang dibangun adalah hubungan kekerabatan, seperti dengan Kesultanan Sambas Alwazikhubillah, Kerajaan Mempawah Amantubillah, Kerajaan Sanggau, Kerajaan Matan, dan Kerajaan Tayan.

Kerajaan Landak dan Kesultanan Sambas

Dengan Kesultanan Sambas, Kerajaan Landak memiliki hubungan historis secara kekerabatan semenjak masa pemerintahan sultan pertama Kesultanan Sambas, yakni Raden Sulaiman Sultan Muhammad Tsafiuddin I. Kala itu, anak ketiga dari Sultan Sambas, Raden Ratna Kumala Dewi, dipersunting Raden Demang Pangeran Dipanegara Putera—putera dari pasangan Pangeran Adipati Nata Kusuma dan Puteri Ratu Mas Adi bin Pangeran Anom Jaya Kusuma.

Dari perjodohan tersebut, lahirlah beberapa orang anak, salah satunya adalah Utin Kumala yang bergelar Ratu Agung. Beliau pada perjalanannya menjadi permaisuri dari Raden Mulia Sultan Umar Aqamuddin. Anak-anak dari Ratu Agung dan Raden Mulia inilah yang kemudian menurunkan sultan-sultan yang memimpin Kesultanan Sambas.

Kerajaan Landak dan Kerajaan Mempawah

Hubungan kekerabatan antarkerajaan Islam ini sudah dimulai sejak masa Pemerintahan Opu Daeng Manambon Panembahan Mas Surya Negara peletak dasar kehadiran Kerajaan Mempawah. Beberapa perkawinan dilakukan dan salah satunya melahirkan keturunan yang memerintah Kerajaan Landak periode 1802—1807, yakni Gusti Husin yang bergelar Pangeran Suta Wijaya.

Selain itu, Kerajaan Mempawah memberi pengaruh dalam hal pemberian nama gelar bangsawan bagi keturunan di Kerajaan Landak. Sejak perjodohan pertama kalinya, yakni antara Ratu Bagus Nata Kusuma dan Utin Dawaman, maka sejak itu pulalah juriat bangsawan kerajaan Landak bergelar Gusti (untuk laki-laki) dan Utin (untuk perempuan). Dan, perlu diketahui bahwa raja Landak saat ini, yakni Gusti Suryansyah Amiruddin masih mempunyai keturunan langsung dari Kerajaan Mempawah Amantubillah.

Kerajaan Landak dan Kerajaan Sanggau

Kerajaan Sanggau dengan Landak telah bergandengan tangan sejak masa Pemerintahan Pangeran Kusuma Agung Muda, raja Landak ke-16. Hal ini ditandai dengan pernikahan Raden Ijang dengan kerabat dari Kerajaan Sanggau. Kemudian, berlanjut dengan putri dari Raden Ijang, yakni Ratu Ayu dipersunting oleh Abang Ahmad yang bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin (Raja Sanggau). Pasangan inilah yang kemudian menurunkan juriat pemerintahan Kerajaan Sanggau.

Kerajaan Landak dan Kerajaan Matan

Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Landak dengan Kerajaan Matan bermula sejak masa pemerintahan pangeran Sanca nata Kusuma Tua atau Raden Nata Tua, raja Landak XIX. Ketika itu, perjodohan terjadi antara Ratu Mas Jaintan atau Ratu Mas Zaitun dengan Panembahan Giri kusuma (Kerajaan Matan). Ratu Mas Zaitun ini kemudian bergelar Ratu Sukadana dan memerintah di Kerajaan Matan.

Kerajaan Landak dan Kerajaan Tayan

Perjodohan juga menjadi jalan bagi Kerajaan Landak dan Tayan untuk menjalin kekerabatan. Hal ini terbangun sejak perkawinan antara Utin Busu (putri Pangeran Mangkubumi gusti Ismail Isya Raja Haji [wakil raja Landak ke-25]) dengan Panembahan Kerajaan Tayan, Gusti Inding Pangeran Mangkunegara Surya Kusuma. Selain itu, juga terjadi perkawinan antara Pangeran Mangkubumi Gusti Bujang Isman Tajuddin (wakil raja Landak ke-34) dengan Utin Sakdiyah (puteri dari Panembahan Kerajaan Tayan, Gusti Mohammad Ali Paku Negara Surya Kusuma)

Struktur Pemerintahan

Sejak berdiri pada tahun 1292, pemerintah Kerajaan Landak menggunakan sistem pemerintahan kerajaan atau swapraja. Sistem ini berlangsung hingga tahun 1959 ketika dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 37 tahun 1953 yang disusul oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa semua daerah swapraja menjadi daerah otonom tingkat II, kecuali bekas daerah kawedanan yang kemudian menjadi kecamatan. Oleh karena itu, daerah Swapraja Landak yang berpusat di Kota Ngabang, menempatkan Ngabang sebagai salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah administrasi Swatantara Tingkat II, Pontianak.

Selama hampir tujuh setengah abad sejak kerajaan ini berdiri, Landak secara silih berganti telah dipimpin oleh 37 orang, baik raja maupun wakil raja. Kemudian, setelah 41 tahun berselang sejak dihapuskannya sistem swapraja (pemerintahan kerajaan), masyarakat Kabupaten Landak berupaya menghidupkan kembali Kerajaan Landak pada awal tahun 2000. Mereka secara aklamasi bersepakat untuk mengukuhkan seorang pangeran ratu sebagai raja Landak. Adalah Gusti Suryansyah Amiruddin yang naik tahta Kerajaan Landak yang sempat vakum itu. Hingga kini raja yang bergelar Pangeran Ratu Keraton Landak tersebut menjadi raja yang sah menurut masyarakat Landak dan seluruh kesultanan di Kalimantan Barat (hingga Mei 2009).

Koleksi

Istana Kerajaan Landak di Kota Ngabang menyimpan pelbagai warisan budaya dansejarah dalam koleksi bendawi, di antaranya: Mahkota Sultan Landak, Keris Sikanyut, sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan isterinya, duplikat payung kebesaran sultan, dua kipas raja, seperangkat gamelan, dan Al Quran kuna. Selain itu, ada juga artefak-artefak lain seperti: Meriam Sipenyuk dan empat buah meriam lainnya, lontar silsilah raja dan sejarah singkat Kerajaan Landak, foto-foto keluarga sultan, bendera kerajaan, serta perlengkapan upacara perkawinan adat berupa timbangan dari kayu.

Kehidupan Sosial-Budaya

Barangkali, hingga kini, satu-satunya sumber otentik (dalam wujud tulisan) yang berbicara mengenai kehidupan masyarakat pimpinan Kerajaan Landak adalah naskah kuna Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Goesti Soelong Lelanang bin Goesti Mahmoed Pangeran Laksemana Keradjaan Landak pada tahun 1942. Usman mengatakan bahwa meski hanya sekilas di dalam karyanya tersebut, Goesti Soelong Lelanang tidak hanya mengilustrasikan seperti apa kehidupan masyarakat Landak kala itu, melainkan juga bagaimana interaksi Kerajaan Landak baik dalam negeri maupun ke luar.

Di dalam, masyarakat yang berada di dalam kekuasaan Kerajaan Landak sebagian besar berprofesi sebagai penambang emas dan intan. Masyarakat ini juga telah menjalankan aktivitas sebagai pedagang. Sementara dengan pihak luar, Kerajaan Landak menjalin hubungan bilateral dengan puak Melayu. Sebagai misal, Kerajaan Landak menjalin hubungan dengan Serawak (Malaysia), Brunei, serta suku Bugis dan Banjar. Motifnya tak hanya ekonomi di mana mereka memungkinkan untuk saling bertukar barang-barang keperluan di masing-masing negeri, melainkan juga penyempurnaan Agama Islam yang di anutnya.‎

 

Sejarah Kerajaan Mempawah


Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia. Nama Mempawah diambil dari istilah "Mempauh", yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah. Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam (‎kesultanan).

Sejarah

Mempawah berasal dari kata ‘Buah Asam Paoh’, sementara sumber lain dari Mempawah Hilir menyebutkan bahwa Mempawah berasal dari kata ‘Mempelam Paoh’. Baik pohon maupun buah mempelam paoh ini dulunya banyak di temukan di sekitar kota Mempawah, tepatnya disela-sela pohon nipah, di daratan yang tidak jauh dari laut Pendapat berbeda juga di kemukakan oleh sejumlah sumber lain, dimana mereka menyebutkan mempawah berasal dari bahasa Cina, yakni ‘Nam Pa Wa’,yang berarti ‘Arah Selatan’. Pendapat ini terbilang cukup mendasar karena berdasarkan catatan sejarah yang ada orang-orang Cina dulu pernah datang ke daerah pesisir pantai Kalimantan Barat, sekitar pertengahan abad ke 16 (ketika itu Kerajaan Bangkule masih berdiri) sampai abad ke 18 (saat Belanda menduduki tanah air). Karena dialeg orang-orang Cina, kata Nam Pa Wa di lafaskan menjadi kata Mempawah.Catatan sejarah yang lain menyebutkan bahwa Pendiri kerajaan Mempawah, Panembahan Adijaya, menamakan kerajaannya dengan nama Mempawah. 

Nama ini terinspirasi dari imbasan kata Asam Paoh, Mempelam Paoh, dan Nam Pa Wah. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, mereka kemudian mengubah nama Mempawah menjadi Mempawa. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh almarhum Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin (sumber Buku Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah oleh M. Yusuf Sahar) nama Mempawa dikembalikan lagi ke nama asalnya, yakni Mempawah.Lantas, mengapa setiap tanggal 15 Februari diperingati sebagai hari jadi kota Mempawah? Menurut catatan yang di buat oleh M. Yusuf Sahar dalam bukunya yang berjudul Hari Jadi/Lahir Kota Mempawah, disana dituliskan hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M sebagai hari lahirnya kota Mempawah. Pendapat Yusuf Sahar ini terbilang cukup beralasan karena dirinya mencatat ada 3 peristiwa penting yang satu sama lain saling bertalian. 

Ke 3 peristiwa itu adalah berpindahnya ibukota Kerajaan yang di sebut Mempawah sekarang dari Sebukit Kerajaan oleh Panembahan Adijaya yang menamakannya; hapusnya sebuah kerajaan bernama Bungkale Rajakng secara otomatis; dan berdirinya sebuah kerajaan Mempawah dengan raja pertamanya Panembahan Adijaya pada hari Rabu, tanggal 8 Jumaidil Akhir 1175 H atau 1761 M.Dalam sarasehan kedua, 15 Februari 1980, pendapat M. Yusuf Sahar ini sempat di bahas secara mendalam oleh para peserta. Di akhir pertemuan tersebut, para peserta sepakat menerima pendapat tersebut dan menetapkan penggunaan hitungan tahun Masehi sebagai metode penghitungan hari jadi kota Mempawah. Sedangkan ritual acara Robok-Robok di sepakati untuk digelar pada hari Rabu, minggu terakhir di bulan Syafar.Sebagai upaya pelestarian sejarah, sekaligus mensukseskan program pemerintah dalam penanaman seribu pohon, Marsupandi, salah seorang staf di Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak, memberikan secara simbolis bibit pohon Mempelam Paoh kepada bupati Pontianak, Ria Norsan. Penyerahan pohon bersejarah ini disampaikan diacara peringatan HUT ke-49 Pemindahan Ibukota Kabupaten Pontianak di Mempawah. Upacara bendera ini digelar di Halaman Kantor Bupati Pontianak. Baik pemimpin, pembina maupun panitia upacara semuanya mengenakan busana Telok Belaga’ bermotifkan Awan Berarak. Tak ketinggalan peserta upacaranya pun mengenakan busana bermotif Awan Berarak.


Mempawah pada Masa Kerajaan (Dayak)

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang. Kerajaan Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang didirikan oleh Ne‘Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.

Karlina Maryadi dalam tulisan berjudul “Menguak Misteri Sebukit Rama” menyebutkan, pemerintahan Ne‘Rumaga dilanjutkan oleh Patih Gumantar. Namun, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi. Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah Sangking, Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.

Dikisahkan, Patih Gumantar pernah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawah naungan Majapahit. Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pernah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol. Menurut Lontaan bukti hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar. Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini disebut sebagai Keris Susuhunan.

Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju. Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar . Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng. Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas. Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayat Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.

Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang. Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar. Dari sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung. Raja Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana.

Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana. Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M. Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah. Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati. Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan Tanjungpura. ‎Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba.‎ Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.

Mempawah pada Masa Kesultanan (Islam)

Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji (2002) disebutkan tentang ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu. Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk Islam. Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu. Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang-orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17. Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.

Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenarnya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin. Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura. Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan. Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin. Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.

Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan. Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat. Sultan Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor. Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.

Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan cara damai. Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Surya Negara. Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama Puteri Candramidi, Gusti Jamiril, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad.

Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin. Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M. Karena Panembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin. Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.

Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama. Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun. Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Opu Daeng Menambun memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.

Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat peran Sayid Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan. Sayid Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin. Husein Alqadrie dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Di Kesultanan Matan, Husein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M. Namun, pada tahun 1755 M, Sayid Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman mati.

Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Sayid Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah. Tawaran itu disambut baik oleh Sayid  Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun. Sayid Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai Patih sekaligus imam besar Mempawah. Selain itu, Sayid Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam. Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Sayid Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi . Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.

Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambun wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama. Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya. ‎Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.

Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial

Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya Kusumajaya. Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah. Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan. Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.

Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah. Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang Tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang. Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.

Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah. Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenarnya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat. Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon. Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.

Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat. Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie. Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein. Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas. Ketika akhirnya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah. Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.

Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah. Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman. Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat. Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik. Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.

Taktik Belanda berhasil. Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman. Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah. Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan. Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan. Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.

Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin. Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda. Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda. Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.

Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma. Selanjutnya, pada tahun 1858, Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin. J.U. Lontaan dalam buku berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat-Istiadat Kalimantan Barat (1975) menyebutkan bahwa pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah. Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara. Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.

Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya. Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin. Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902. Sultan ini membangun Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922. Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.

Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah. Pada tahun 1944, Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan. Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955. Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah. Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat. Dengan terbentuknya Republik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-Bugis, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah. Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.

Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini. Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.

Silsilah

Berikut silsilah para Raja/Sultan/Pemangku Adat Mempawah yang dihimpun dari beberapa sumber, antara lain: Sejarah Hukum Adat dan Adat-istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan (1975), Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat karya Musni Umberan, et.al. (1996-1997), dan tulisan Erwin Rizal berjudul “Kesultanan Mempawah dan Kubu” yang terhimpun dalam buku Inventarisasi Istana-Istana di Kalimantan Barat:

Masa Suku Dayak Hindu (Kerajaan):

Patih Gumantar (± 1380 M).
Raja Kudung (± 1610 M).
Panembahan Senggaok (± 1680 M).

Masa Islam (Kesultanan):

Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740 – 1761 M).
Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761 – 1787).
Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787 – 1808).
Syarif Hussein (1808 – 1820).
Gusti Jati bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin (1820 – 1831).
Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831 – 1839).
Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839 – 1858).
Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858).
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858 – 1872).
Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872 – 1892).
Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892 – 1902 ).
Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902 – 1944).
Gusti Mustaan (1944 – 1955); diangkat oleh Jepang.
Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (s/d 2002).
Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002- sekarang).

Sistem Pemerintahan

Sistem dan pola pemerintahan cikal-bakal Kesultanan Mempawah, yakni Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang, masih bersumber berdasarkan adat-istiadat setempat, yakni hukum adat yang berlaku pada masyarakat Suku Dayak. Sistem pemerintahan tradisional yang lekat dengan ritual-ritual adat dan kepercayaan kepada hal-hal gaib masih berlaku dalam kehidupan kerajaan yang masih menganut ajaran agama Hindu itu.

Pada masa pemerintahan Panembahan Senggaok, sistem pemerintahan tradisional masih dipertahankan meski pengaruh ajaran Islam mulai masuk ke dalam kehidupan kerajaan. Pengaruh Islam di Mempawah semakin kuat pada era kepemimpinan Opu Daeng Menambun yang bertahta sejak tahun 1740 M. Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis yang telah cukup lama menjadi kerajaan bercorak Islam.

Pemerintahan Opu Daeng Menambun di Kesultanan Mempawah memadukan antara hukum-hukum adat lama dengan hukum syara yang bersumber pada ajaran agama Islam. Pengaruh hukum-hukum Islam dalam kehidupan pemerintahan Kesultanan Mempawah semakin kuat berkat peran sentral Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyebar ajaran Islam dari Timur Tengah, tepatnya Hadramaut atau Yaman Selatan.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Opu Daeng Menambon berhasil membentuk suatu pemerintahan kesultanan yang demokratis. Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh lintas etnis yang dengan sukarela menyatakan tunduk untuk mendukung Kesultanan Mempawah, terutama tokoh-tokoh dari kalangan Tionghoa dan Suku Dayak. Bergabungnya tokoh-tokoh tersebut justru semakin mempermudah Opu Daeng Manambon dalam mengatur pemerintahan Kesultanan Mempawah.

Sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah mulai mengalami reduksi kedaulatan sejak kedatangan bangsa Belanda pada sekitar tahun 1787 M. Meski penguasa Kesultanan Mempawah pada saat itu, Panembahan Adiwijaya Kusumajaya dan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, memberikan perlawanan dan bahkan sempat mengalahkan Belanda yang disokong oleh Syarif Kasim dari Kesultanan Kadriah di Pontianak, namun pada akhirnya kekuasaan Kesultanan Mempawah sepenuhnya dalam cengkeraman penjajah Belanda. Sejak saat itu hingga sebelum kedatangan Jepang pada tahun 1942, sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah dikendalikan oleh Belanda dalam banyak bidang, dari ekonomi, pertahanan, politik, bahkan hingga urusan internal kesultanan sekalipun. Salah satu contohnya adalah bagaimana Belanda sangat berwenang dalam hal suksesi kekuasaan Kesultanan Mempawah.

Ketika Belanda mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya dan kemudian Jepang mengambil-alih kekuasaan Belanda di nusantara, tara cara dan sistem pemerintahan Kesultanan Mempawah pun berubah lagi karena harus menuruti apa yang digariskan oleh penjajah Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), Mempawah dijadikan sebagai salah satu dari 12 swapraja di Kalimantan Barat yang berada di bawah kekuasaan lembaga bentukan Jepang bernama Borneo Minseibu Cokaan. Sejak akhir bulan Desember 1942, wilayah Kesultanan Mempawah berada di bawah wewenang Bun Kei Kai Ri Kan, jabatan yang sederajat dengan wedana.

Setelah kekuasaan Jepang berakhir dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Mempawah menyatakan bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah yang termasuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Barat. Dengan demikian, Kesultanan Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan secara politik lagi untuk mengatur pemerintahannya, namun pihak kesultanan masih sering menghelat ritual/upacara yang dilakukan secara adat, semisal upacara Robo-Robo, ritual Naik Tojang, dan lain sebagainya..

Wilayah Kekuasaan

Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Beberapa tempat yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lainBahana, Sidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), Senggaok, Sebukit Rama, Kuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.

Makam Opu Daeng Menambon

Kawasan Makam Opu Daeng Manambom terletak di Sebukit Rama, sekitar 5 Km dari Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Di tempat ini bersemayam raja pertama Kerajaan Mempawah, Opu Daeng Manambun bergelar Pangeran Mas Surya Negara yang mangkat pada tahun 1763 Masehi.

Opu Daeng Manambon (1695-1763) adalah putra Opu Tandre Borong Daeng Rilekke, Raja dari Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan yang menikah dengan Putri Kesumba, anak dari pasangan Utin Indrawati (putri Panembahan Senggaok, Mempawah) dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan Tanjungpura. Pasangan Puteri Kesumba dan Opu Daeng Manambun inilah yang kemudian menurunkan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mempawah.
Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas sebuah bukit. Jalan menuju makam harus melalui ratusan anak tangga yang berjumlah 256 anak tangga. Menurut mitos, jika seseorang mencoba untuk menghitung jumlah anak tangga dari bawah, jumlah tersebut tidak akan pernah benar. Makam ini selalu menjadi salah satu agenda kunjungan utama Raja Mempawah ketika melaksanakan prosesi Robo-Robo yang dihelat setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Selain pada saat Robo-Robo, Makam Opu Daeng menambon juga ramai dikunjungi para peziarah pada hari Kamis dan Minggu.

Kompleks Makam Opu Daeng Menambon merupakan saksi sekaligus bukti sejarah. Pada zaman dahulu, di tempat ini merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah. Atas dasar hal tersebut, maka selain makam, di tempat ini juga ditemukan bukti sejarah lain seperti Batu Tempat Semedi, Kolam Batu Berbentuk Teratai, Prasasti Balai Pertemuan, dan Tongkat Kayu Belian.

Makam Raja-raja Mempawah

Makam Raja-raja Mempawah terletak di Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. 
Di tempat ini bersemayam para Raja Mempawah beserta para kerabat, antara lain: 
Gusti Mu’min bergelar Panembahan Mu’min Nata Jaya, 
Gusti Mahmud bergelar, Panembahan Muda Mahmud Accamaddin, 
Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma, 
Haji Gusti Amiruddin Hamid bergelar Pangeran Ratu, 
Hajjah Encik Kamariah bergelar Ratu Mas Sri Negara, 
Pangeran Faitsal Ibrahim dan 
Panembahan Ibrohim.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...