Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Tanjungpura


Kerajaan Tanjungpura merupakan salah satu kerajaan tertua di Kepulauan Kalimantan yang kedudukannya disejajarkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.

Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (‎Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.

Saat ini nama kerajaan ini diabadikan sebagai nama universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam XII/Tanjungpura

Sejarah 

Sumber yang menyatakan tentang keberadaannya dapat dibaca dalam Negarakartagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanagara (1268 – 1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada (1258 Saka atau 1336 M).

Namun, para sejarahawan menghadapi kesulitan untuk mengungkap secara lengkap tentang Kerajaan Tanjungpura tersebut. Hal ini disebabkan benda-benda peniggalan yang merupakan sumber yang dapat memberikan keterangan tidak didapati lagi bekas bangunan kerajaan, monumen atau candi-candi, serta situs-situs lainnya, begitu pula dengan catatan-catatan tertulis yang dapat mendukung kebenaran dari cerita-cerita rakyat yang dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut.

P. J. Veth dalam bukunya Borneo’s Weater Afdeling, Eerste Deel, yang diterbitkan pada tahun 1854, mengalami kesulitan pula dalam mendapatkan peninggalan sejarah yang banyak untuk memberikan pemahaman lengkap tentang Tanjungpura, bahkan untuk menjelaskan tentang adanya hubungan Tanjungpura dengan keturunan Brawijaya, P. J. Veth mengambil cerita rakyat, tanpa adanya bukti tertulis yang autentik, namun terus hidup dikalangan masyarakat.

Selain itu kurangnya pemeliharaan terhadap sisa-sisa peninggalan dan situs-situs yang masih ada menyebabkan banyaknya benda-benda peninggalan yang rusak dan hilang, seperti yang terjadi pada situs Kerajaan Matan di Sungai Matan (hulu Sungai Melano), yang sejak tahun tujuh puluhan menjadi sentralisasi pembalakan hutan.

Penyuntingan sekilas ini tidaklah mungkin dapat memaparkan semuanya secara keseluruhan baik tentang kerajaan, raja-raja, maupun keturunannya. Namun, paling tidak hal ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah yang ada di daerah Kalimantan Barat.

KERAJAAN ULU AIK (HULU AIR)
Penduduk asli Kalimantan Barat ialah suku bangsa Dayak dan suku bangsa Melayu. Suku Dayak lebih dahulu menghuni daerah ini bermukim di daerah pedalaman dan hulu anak-anak sungai. Kemudian datang suku Melayu dari Riau dan Semenanjung Malaka menempati daerah-daerah pantai, pesisir, dan aliran-aliran sungai.

Di hulu Sungai Keriau di Beginci Hulu Air, bermula sebuah kerajaan suku Dayak yang bernama Kerajaan Ulu Aik dengan rajanya yang bernama Siak Bulun (Siak Bahulun) yang mempunyai tujuh orang anak angkat, yang tertua bernama Putri Dara Pelimbung, yang kedua Putri Dara Pengumpat, ketiga Putri Suwuk Palunyap, keempat Sadung (laki-laki), kelima Putri Dayang Bepurung, keenam Putri Layung, dan yang terakhir bernama Putri Layang Putung, yang kemudian dialih namanya menjadi Putri Junjung Buih. Dari keturunan Putri Junjung Buih inilah lahir raja-raja Kerajaan Tanjungpura dan raja-raja di Kerajaan Kalimantan Barat.

KERAJAAN TANJUNGPURA
1. Sumber : 
a). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama menulis: pada masa Kertanagara dari Singosari dengan Maha Patih Aragani dalam merencanakan sistem pertahanan menghadapi politik ekspansi Khu Bilai Khan, membentuk strategi pertahanan Nusantaranya dengan memperluas daerah pengaruhnya atas daerah-daerah: Kerajaan Pahang, Gorong, Nusa Pemida (Bali dan Lombok), dan Bakula Pura (Tanjungpura) dan menempatkan prajurit Singosari di sekitar Riau dan Jambi.
b). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama mengenai Sumpah Nusantara Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan antara lain: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Maru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, sing Sunda, Palembang, Tumasik, sasana isun amukti palapa.”
c). Selanjutnya Mpu Prapanca menyebutkan pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah, Kalimantan masuk daerah III, “Luwas lawan Samudra mwang I lanuri Batan lampung mwang I Barus Yekahhinyang watak bhumi Malaya setanah kapwamateh anut Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas lawan ri katingan Sampit mwang Kuta lingga mwang I Lawai. Kadang danganI Landa Lenri Samedang (Simpang) Tirem tan kasah ri sedu Buruneng ri Tabalung ri Tanjung Kote Lawan ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.”
Dari tiga sumber ini:
- Tanjungpura disebut dengan berbagai nama, yaitu: Bakula Pura, Tanjungpura, dan Tanjungnegara.
- Kerajaan yang masuk Daerah III .adalah : Tanjungpura. Kapuas. Landak, Samedang (Simpang) Malano.

2. Letak Kerajaan Tanjungpura
a). Negeri Baru
Dari beberapa peninggalan sejarah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama) nampaknya daerah tersebut adalah salah satu pusat kerajaan di Ketapang yang dalam tulisan para sejarahwan disebut Tanjungpura atau Tanjung Negara atau Bakulapura dengan ibu negerinya Tanjungpuri.

b). Kayong (Muliakerta) 
Karena keadaan sudah berkembang dipilihlah suatu lokasi bernama Kayung sebagai ibukota Kerajaan Matan. Op raad zijner beide vrouwen boude Brawijaya zich eene woning. Niet ver van de plaats waar thans Kayung. De hoopfdplaats van het Matansche rick. Penulis Belanda menyebutnya Kerajaan Matan. Sesungguhnya itu Tanjungpura. Nama Matan baru dipakai setelah Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat kerajaan dari Sukadana ke Sungai Matan.

3. Raja – Raja Tanjungpura
a). Brawijaya (1454 – 1472)
Dari Silsilah Kerajaan Simpang Matan yang aslinya ditulis dalam huruf Arab Melayu, disalin sebagiannya oleh Gusti Maerat atas permintaan Gusti M. Saleh Wedana Sukadana tahun 1956, secara panjang lebar menceritakan tentang Raja Ulu Aik, Putri Junjung Buih dan Brawijaya yang berasal dari Majapahit.

Brawijaya keturunan dari Damarwulan. Damarwulan beranakkan Sang Ratu Kencana, Ratu Kencana beranakkan Brawijaya dengan enam saudaranya yang lain. Yang tertua bernama Lang Buana, kedua Jayapati, ketiga Lang Singapati, keempat Jayawani, kelima Indra Wadana, keenam Wijaya Wani, dan yang ketujuh Indra Wijaya.

Karena sulitnya menentukan pilihan sebagai raja, maka diadakanlah ujian atau sayembara yang kemudian dimenangkan oleh Indra Wijaya yang karena kedikdayaannya diberi nama Brawijaya. Timbullah iri hati kelima saudaranya yang tua yang kemudian bersepakat untuk meracuni Brawijaya sehingga seluruh tubuhnya tokak/borok. Akibat racun inilah, Brawijaya (berdasarkan mimpinya) minta dihanyutkan ke lautan besar dalam sebuah rakit. Di tengah rakit dibuatkan tempat untuk berendam selama dalam pengembaraannya. Dia didampingi oleh dua orang patih yaitu Patih Banggi dan Patih Galagundir dan dayang-dayang, dengan perlengkapan yang cukup. Selama berbulan-bulan dalam pelayaran itu, Brawijaya setiap harinya berendam di air asin dan ikan paten belang ulin yang menjilati dan memakan keriping-keriping boroknya. Akhirnya sampailah ia di pantai Selatan Borneo dengan penyakit yang mulai sembuh. Dari kisah inilah keturunan Brawijaya dipantangkan makan ikan paten. Karena di pantai tiupan angin begitu kencang, sedangkan Brawijaya baru sembuh, maka pelayaran dilanjutkan menyisir pantai melalui beberapa muara sungai dan akhirnya sampailah ia memasuki Sungai Pawan dan berhenti di Kandang Kerbau (saat itu belum bernama).

Hampir setiap hari Brawijaya dan kedua patihnya menjala ikan, maka pada suatu ketika mereka mudik jauh kehulu. Sampai pada suatu suak dikibarkannyalah jalanya, maka dirasanya ada ikan dalam jalanya itu, pelan-pelan diangkat jalanya dan dilihatnya hanya sebutir buah kedondong, begitulah sampai tiga suak yang didapatinya hanya buah kedondong itu, lalu dilemparkannya jauh kedarat. Karena sudah terasa jauh mudik kehulu, mereka memusing haluan kembali kebagannya, namun tiba-tiba, patih Banggi yang berada di kemudi menoleh kebelakang melihat ada benda putih hanyut diarus deras, setelah diperhatikan ternyata benda itu sebuah mundam (sejenis mangkok yang bertutup) yang berisi sehelai rambut. Brawijaya mengatakan tentu ada orang dihulu ini. Keesokan harinya mereka melanjutkan mudik, sampai di batang air tidak dapat lalu karena tumpat berisi kumpai (sejenis tumbuhan air), dan setelah direntas, di hulu kumpai itu ada pula pupuk air (buih air) yang memenuhi permukaan sungai. Di dalam pupuk air itu ada putri Layang Putung hanyut di dalam Gong yang hendak mencari rambutnya yang hanyut dalam Mudam ketika mandi di pangkalan. Kemudian dengan izin ayah angkatnya Siak Bulun, Layang Putung di bawa Brawijaya ke tanah Jawa. Dengan takdir Allah, Layang Putung yang kudung kaki tangannya sembuh setelah di-lamin tiga kali tujuh hari, maka dialihlah namanya menjadi Tuan Putri Junjung Buih. Dari sinilah asalnya adat me-lamin anak perempuan setelah datang bulan.

Setelah diadakan pembagian kekuasaan dan harta kerajaan serta rakyatnya, Brawijaya menjadi Raja di Borneo, membangun Kerajaan di Benua Lama, dan Wijaya Wani menjadi Raja Majapahit, sedangkan saudara-saudaranya yang meracuni dihukum untuk mengabdi kepada Brawijaya dan tidak boleh durhaka. Kelimanya dihukum dengan hukuman Lima Suku sepanjang keturunannya. Setiap suku itu diberi pangkat, yang tua Maya Agung yang berkewajiban menerima utusan yang datang. Dia adalah hulubalang pertama, wakil raja, menangani hal-hal yang besar termasuk perang dan menggelar raja. Kedua Mengkalang yang bertugas menalangi raja terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan raja, dan menalangi Maya. Ketiga Priyayi, rerahi-muka raja, menjadi raja sehari ketika raja wafat sedang belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Suku kelima diberi pangkat Mambal yang bertugas menambal hal raja, menambal adat, menambal sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak dalam menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.

b). Bapurung (1472 – 1487)
Putri Junjung Buih melahirkan dua putra, Bapurung dan Brangga Sentap. Pada zaman Raja Bapurung, Kerajaan Tanjungpura seperti bunga mawar yang harum baunya, negeri yang makmur dengan penduduk yang ramai dan menguasai daerah yang luas di Kalimantan Barat. Pada masanyalah kisah Kedondong yang menutupi sebagian wilayah kerajaan sehingga menjemur padi sampai ke Batu Ampar dan Padang Tikar. Kedondong ini ditebang oleh Brangga Sentap dengan Beliung Timah yang menjadi landasannya adalah tujuh orang perempuan hamil bungas (hamil pertama). Itulah pohon kedondong yang berasal dari buah kedondong yang tiga kali masuk dalam jala Brawijaya dan dilemparkannya kedarat.
Raja Bapurung menikah dengan Putri Banjar bernama Dayang Silor. Dari Dayang Silor ini lahirlah empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, yaitu: Karang Tunjung (Junjung), Pangeran Sedang Mandap, Pangeran Purba, dan Ratu Sinuhun.

c). Panembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)
Karang Tunjung kawin dengan Putri Kilang dari Brunei, mempunyai anak yang bergelar Sang Ratu Agung. Pada zaman Penembahan Karang Tunjung inilah Kerajaan Tanjungpura di Benua Lama dialihkan ke Sukadana yang letaknya sangat strategis, ditepi pantai yang terbuka, hubungan komunikasi dan perdagangan akan lebih berkembang sehingga menjadikan Sukadana Bandar perniagaan yang ramai.

KERAJAAN SUKADANA
1. Sumber: 
Dalam Negarakartagama, pada masa Kerajaan Singosari dan Majapahit dengan Sumpah Palapa, belum ada menyebutkan Sukadana, yang ada hanya Landak Kendawangan, Kapuas, Simpang Melano. Sejarah Indonesia mulai banyak menyebut Sukadana ketika dihubungkan dengan kerajaan Islam Makasar. Dengan jatuhnya Kerajaan Islam Makasar (1669), maka Sukadana menjadi Bandar perniagaan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, sehingga mulai banyak dikenal.

2. Raja – Raja Sukadana
a). Penembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)
Dinasti Brawijaya beragama Budha, dan gelar Penembahan baru dimulai pada masa Raja Pertama Karang Tunjung sekitar abad 15 dimana saat itu Sukadana mulai berkembang menjadi kota perniagaan yang ramai, sehingga perekonomian dan kemakmuran rakyatnya semaking meningkat. Menurut cerita Karang Tunjung itu apabila malam dia tidur didalam kelopak bunga Tunjung (Tanjung) maka namanya Karang Tunjung.

b). Gusti Syamsudin/Pundong Prasap bergelar Penembahan Sang Ratu Agung (1504 – 1518)
Pada masa kekuasaan Sang Ratu Agung (putra Penembahan Karang Tunjung) Sukadana semakin maju dan berkembang. Dia dinamai Pundong Prasap karena waktu pagi dan sore hari badannya mengeluarkan asap. Pada masa Panembahan ini Gelar Gusti mulai dipakai.

Gelar di lingkungan Kerajaan bukanlah menunjukkan kasta, tapi berupa ikatan kekerabatan, menganut garis lurus/garis laki-laki atau garis Bapak (Patria Chard). Sebagai contoh ;
- Bapak bergelar Gusti; anak laki-laki bergelar Gusti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Uti; anak laki-laki bergelar Uti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Raden; anak laki-laki bergelar Raden, yang perempuan bergelar Tiak.
- Bapak bergelar Mas; anak bergelar Mas, yang perempuan bergelar Mas.
Itulah gelar kekerabatan di lingkungan istana kerajaan. 

c). Gusti Abdul Wahab Bergelar Penembahan Bendala (1518 – 1526)
Penembahan Bendala adalah anak Sang Ratu Agung yang bergelar Penembahan Air Mala. Penembahan Bendala seperti raja-raja sebelumnya memajukan dan memakmurkan Sukadana. Hampir semua bidang kehidupan rakyat mendapat perhatiannya, seperti dalam bidang pertanian, perdagangan, dan kelautan.

d). Penembahan Pangeran Anom ( 1526 - 1533) 
Sewaktu Panembahan Bendala yang masih muda itu meninggal dunia, putra mahkota yang bakal menjadi penggantinya masih kecil, pemerintahan dipangku oleh adiknya Pangeran Anom. Pangeran Anom bergelar Panembahan Sukadana, setelah ia meninggal terkenal sebagai Marhum Ratu.

e). Penembahan Baroh (1533-1590)
Panembahan Baroh atau dikenal dengan panggilan Pangeran di Baroh. Kata Baroh atau di Baroh bukanlah nama, tapi gelar atau panggilan. Kata ‘di’ menunjukkan tempat. Kata Baroh artinya tempat yang rendah/dibawah. Penembahan Baroh merupakan pendiri Kerajaan Matan yang berada di hulu Sungai Melano di Sungai Matan.

Menurut P. J. Veth, sisa reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Baroh terdapat di daerah Simpang. Di bekas reruntuhan Kerajaan Matan terdapat “Laut Ketinggalan” yang kiranya berhubungan dengan gelar Penembahan di Baroh. Alkisah ketika lahir putra raja, dikumpulkanlah ahli-ahli Nujum untuk melihat nasib putranya. Menurut ramalan, putra raja ini akan meninggal disebabkan oleh binatang air. Menjelang umur tiga atau empat tahun, Sang Putra ingin melihat laut, maka dibuatkanlah laut (kolam). Di baruh ditempat yang agak rendah sehingga mudah mengalirkan air ke dalam kolam Kemudian dimintanya pula agar lautnya itu diisi dengan binatang air, maka diisilah dengan berbagai jenis ikan dan sebagainya. Akhirnya dimintanya pula buaya. Dibuatkanlah buaya dari kayu persis seperti buaya yang sebenarnya dengan sisik dan taringnya. Betapa senangnya dia berhari-hari bermain dengan buaya kayu itu. Takdir menentukan terlukalah dia terkena taring buaya itu dan meninggal karenanya. Laut itu kemudian dinamai “Laut Ketinggalan”.
Pada masa Penembahan Baroh, agama Islam sudah mulai berkembang yang dibawa oleh orang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1550, tetapi Panembahan sendiri belum memeluk Islam.

Agaknya pendirian kerajaan Matan merupakan strategi penyelamatan dan pengamanan kedudukannya di Sukadana, apabila suatu ketika Sukadana semakin lemah pertahanannya akibat peperangan, perebutan hegonomi dan persaingan ekonomi perdagangan.


f). Gusti Aliuddin/ Giri Kesuma bergelar Panembahan Sorgi (1590-1604)
Setelah meninggalnya Penembahan Baroh, diangkatlah Giri Kesuma yang juga disebut Penembahan Sorgi. Dia adalah Penembahan yang pertama kali menganut agama Islam. Sejak itu dia sering berhalwat mendekatkan dirinya kepada Allah karena itu beliau bergelar Panembahan Sorgi. Pada zamannya datang utusan dari Makatulmasyrafah Syech Syamsudin, Imam Kari dan Kadi Jamal yang membawa bingkisan sebuah Alqur’an, sebentuk cincin permata yakkut merah dan baju kebesaran. 

Panembahan Sorgi menikah dengan Putri Mas Jaintan, anak Pangeran Purba Jayakesuma–Raja Landak. Penembahan Giri Kesuma memakai gelar Giri, mungkin pengaruh dari Jawa (Sunan Giri). Penembahan Giri juga dikenal dengan Raja Matan. Jadi, Matan sudah mulai berperan sebagai kerajaan disamping Sukadana seperti yang dikemukakan oleh H. J. De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” menyebutkan “… adanya perkawinan antara pangeran-pangeran Giri dengan putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana yang mulai memerintah tahun 1590 memakai nama Giri Kesuma diduga ada pula pengaruh dari Giri di sana”.
Perkawinan Giri Kesuma dengan Putri Mas Jaintan, melahirkan :
1. Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin)
2. Ratu Surya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah dari Brunei, berputrakan Raden Sulaiman, dia kawin
    dengan  Mas Ayu Bungsu putri Ratu Sepudak  Raja  Sambas.  Setelah  menjadi  Sultan  Sambas, Raden  
    Sulaiman  bergelar  Sultan Muhammad Syafiuddin,  mengambil nama pamannya. Raden Sulaiman lahir di
    Sukadana. 
3. Raden Lekar kawin dengan Utin Periuk dari Meliau menjadikan keturunan Raja-Raja di sebelah Kapuas. 
  

g). Ratu Mas Jaintan (1604 – 1622)
Setelah mangkatnya Penembahan Giri Kesuma, sedang Putra Mahkota Giri Mustika masih kecil, maka oleh Majelis Kerajaan ditunjuklah Permaisuri Ratu Mas Jaintan sebagai Mangku Bumi dengan gelar Ratu Diatas Negeri. Pada masa Ratu Mas Jaintan terjadi perang Kendal. Sultan Agung dari Mataram mengirim armada yang dipimpin Bupati Kendal Baurekso (Baraksya) dan Irasyasa dengan tujuan memutuskan hubungan Sukadana – Surabaya (1622). Ratu Mas Jaintan akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Mataram.

h). Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (Sultan Muhammad Syafiuddin) 1622 – 1665 
Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika putra Mas Jaintan, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin adalah raja pertama yang menggunakan gelar Sultan, gelar yang bernuansakan Islam. Pada masa Sultan Muhammad Syafiuddin terjadi perang Sanggau. Gusti Kesuma Matan mempunyai 3 orang anak :
1. Gusti Jakar Negara (bergelar Sultan Muhammad Zainuddin) Raja Matan yang pertama.
2. Pangeran Agung.
3. Putri Indra Mirupa (Indra Kesuma).

KERAJAAN MATAN

Raja – Raja Matan:

a). Gusti Jakar Negara (Sultan Muhammad Zainuddin) 1665-1724
Putra mahkota Gusti Jakar Negara bergelar Sultan Muhammad Zainuddin merupakan Raja Matan pertama. Dia telah mengalami beberapa peristiwa dalam pemerintahan di Sukadana. Sejak diserang oleh Sultan Agung dari Mataram tahun 1622 kekacauan demi kekacauan terjadi, dan gangguan bajak laut semakin merajalela sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata, yang mengakibatkan semakin lemahnya pertahanan Sukadana sehingga membuat Sultan Muhammad Zainuddin mengalihkan pusat pemerintahannya ke Matan.

Pada masa pemerintahan Panembahan Baruh (1548-1550) telah merintis perluasan kekuasaannya ke daerah pedalaman sungai Melano, yaitu di Desa Matan, sekarang disebut Desa Batu Barat. Pengembangan pusat kekuasaan ke Matan ini, adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk di Sukadana.

Dengan pindahnya kerajaan ke Matan maka kosonglah Sukadana lebih 100 tahun lamanya. Penduduk migrasi ke pedalaman, menyusuri sungai Melano, Sungai Matan, sungai Bayeh dan bermukim di kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, Balaiberkuak dan sebagainya. Ketika penyunting tulisan ini, mengadakan perjalanan ke daerah pedalaman tahun 1967, bertemu dengan Pateh, Temegung, mereka menyatakan bahwa nenek moyangnya itu berasal dari Sukadana.

Di Matan agama Islam berkembang pesat dan syariat Islam dilaksana oleh rakyat. Sisa-sisa situs di Matan terdapat makam Syarif Qubra, Kari Jamal, Kolam Pemandian Putri Raja dan sebuah makam berhajrat tahun 11 Hijriyah. Ini kiranya tidak mungkin, karena Islam belum berkembang sampai kesini. Kemungkinan tahun itu bukan 11 tapi 110 atau 1100 Hijriyah sekitar abad ke 13 atau 14 Masehi. Ada dua pemakaman yang besar, pertama Pemakaman Raja-Raja di Matan itu sendiri dan kedua dibukit Sekusur penuh dengan makam, ini menandakan bahwa Kerajaan Matan itu adalah Kerajaan yang ramai dan besar, sayangnya karena sudah ratusan tahun lamanya tidak terpelihara sehingga kembali menjadi hutan belukar. Makam di Sekusur itu sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan diabadikan dalam pantun “Sumpah Orang Matan”:
"Sekusur dipagar bukit – Bisik (berisi) keramat didaratnya. Hatiku bujur (lurus-ikhlas) dibuat sakit – Ndak (tidak) selamat pendapatnya".
Ketika pemerintahan di Matan inilah terjadinya peristiwa perpecahan dengan adiknya Pangeran Agung yang berusaha untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sultan Muhammad Zainuddin.

Atas bantuan lima bersaudara Daeng Menambun anak dari Opu Daeng Ralaka (Opu Daeang Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak) yang datang dengan penjajab dan pencalangnya memasuki Sungai Melano sampai ke negeri Simpang. Berceritalah orang Simpang tentang hal ihwal Sultan Muhammad Zainuddin, maka merekapun segera berlayar dari Simpang ke Matan, mudiklah mereka di Sungai Matan ( batang Pawan ? ) sampai kepangkalan panembahan Agung di Matan.

Terjadilah perdebatan dengan menantu Panembahan Agung orang Bugis Daeng Mateku dan Haji Hafiz yang masih sepupu dua kali dengan lima bersaudara Daeng Menambun. Akhirnya Daeng Mateku dan Haji Hafiz bersedia mengundurkan diri keluar dari Matan. Kemudian masuklah lima bersaudara Daeng Menambun berhasil menangkap Pangeran Agung dan mengembalikan Sultan Muhammad Zainuddin ke tahta kerajaannya. 

Sultan Muhammad Zainuddin mempunyai istri bernama Nyai Kendi, anak-anak mereka :
1. Gusti Kesuma Bandan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin
2. Nyai Tua  (Utin Kabanat)  kawin  dengan  Syarif Husin  melahirkan  Syarif  Abdurrahman  kelak   menjadi
    Sultan di Pontianak. Gelar Nyai merupakan gelar isteri orang yang ternama atau  gelar isteri raja. Nyai Tua
    adalah isteri gahara, istri yang tua, nama sebenarnya adalah Utin Kabanat. 
    Isteri Gahara (Permaisuri)  Panembahan Simpang Gusti Rum dipanggil “Nyai Ratu” nama yang sebenarnya
    Tiak Aisyah. Jadi panggilan  Nyai  itu adalah sebutan  untuk isteri orang  yang  terpandang  pada umumnya
     isteri raja.
Dari istrinya yang lain Mas Inderawati berputra 6 orang :
1. Utin Kesumba bergelar Ratu Agung Senuhun kawin dengan Opu Daeng Menambun.
2. Pangeran Ratu.
3. Pangeran Mangkurat
4. Pangeran Agung Martadipura
5. Utin Kerupus
6. Utin Kerupis
Putri Kesumba anak tertua Sultan Muhammad Zainuddin yang kawin dengan Daeng Menambun beranak 10 orang :
1. Utin Damawan kawin dengan raja Landak.
2. Gusti Jamril bergelar panembahan Adijaya Kesumajaya jadi Raja Mempawah.
3. Gusti Jamadin bergelar Pangeran Cakra .
4. Utin Cenderasari jadi Ratu di Simpang.
5. Gusti Jadri bergelar Pangeran Mangku di Mempawah.
6. Ratu Surya Kesuma.
7. Gusti Jamal bergelar Gusti Panglima di Mempawah..
8. Utin Canderamidi kawin dengan Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak).
9. Gusti Sina – Gusti Bendara bergelar Pangeran Jaya Putra.
10.Utin Tawang. (Silsilah Kerajaan Mempawah).

b). Gusti Kesuma Bandan (Sultan Muhammad Muazzudin) 1724 – 1738 

Sultan Muhammad Zainuddin digantikan oleh putranya Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzudin dan mempunyai tiga orang anak:
1 Gusti Bendung (Pangeran Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin. 
2 Gusti Irawan, bergelar Sultan Mangkurat (Raja Kayong). 
3 Gusti Muhammad Ali (bergelar Pangeran Mas). Gusti Muhammad Ali bertugas memungut hasil (upeti) dari daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Matan.

c). Gusti Bendung (Pangeran Ratu Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin 1738-1749
Pada masa Gusti Bendung yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin, Gusti Muhammad Ali tetap bertugas sebagai pemungut upeti. Dia menikah dengan Puteri Penembahan Sanggau, dan kemudian menjadi Raja Sanggau dengan gelar Penembahan Sanggau Surya Negara. Sultan Muhammad Tajuddin mempunyai lima orang anak: Gusti Kencuran, Gusti Lekar (Mekar), Gusti Tuntung, Gusti Kenkunang, dan Utin Lahang. Gusti Lekar (Mekar) menikah dengan anak Kiyai Meliau dan beranakkan tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan. Dari keturunan Gusti Lekar inilah terlahir raja-raja di Meliau, Sekadau, Sintang, Belitang.

d). Gusti Kencuran (Sultan Ahmad Kamaluddin) 1749 – 1762 

Gusti Kencuran bergelar Sultan Ahmad Kamaluddin, mempunyai empat orang anak yang bernama: Gusti Asma, Gusti Bengkok, Utin Santan, dan Utin Belang.

Pada masa Sultan Ahmad Kamaludin, pamannya yang bernama Gusti Irawan (anak Sultan Muhammad Muazzudin) memohon kembali ke Muliakarta menjadi raja di sana dan diberi gelar oleh Sultan Achmad Kamaludin dengan gelar Sultan Mangkurat Raja Kayong (Matan). Kemudian terjadilah pembagian wilayah antara Simpang dan Kayong dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Simpang, dan sebelah kanan Sungai Pawan adalah wilayah Kayong. Sedangkan, batas daratnya adalah:
1. Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah)
2. Di desa Baya (Kematanan Agol)
3. Di hulu Sei. Laur (Temberenang Pantap)
Kedua kerajaan ini dikenal dengan panggilan Kerajaan Simpang dan Kerajaan Kayong

e). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814

Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.

KERAJAAN SIMPANG MATAN

Kerajaan Simpang dinamakan demikian karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya dipersimpangan dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya setengah hari perjalanan mudik dari Simpang sampailah ke Matan.

Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.

Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III : … Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.

Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang, Melano).

Raja-Raja Simpang Matan:

a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814

Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.

Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.
2. Gusti Asfar,  bergelar  Pangeran  Adipati.  Dia kawin  di Landak,  melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
    keturunan Raja Landak.  Kemudian  dia  kawin  lagi di  Tayan melahirkan  Gusti  Hasan yang menurunkan
    keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan 
4. Utin Upih. 

Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja, dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu.

Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai itu tidak ada hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut diserang balik mereka tergesa-gesa mundur dengan membuang muatan peluru dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai “lubuk senjata”

Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin tidak ada Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi dengan segala tipu muslihatnya.

Percaya dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.

Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjin saja.

b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829 

Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan….”.

Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang, masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan, pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.

Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong?) dengan Belanda oleh Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.

Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam boleh selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah mendapat pinjaman Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata itu hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman tanah Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai mayor Akil. Iapun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar Panembahan.

Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda, maka setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. 

Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)
2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)

Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang pertama memakai gelar Panembahan, dengan gelar Panembahan Anom Suriyaningrat.

Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda. 
- Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera. 
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis.
 
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874

Gusti Muhammad Roem (Pangeran Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.
- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku. 
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal

d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919

Diawal pemerintahan Panembahan Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena tentunya berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr. Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang merupakan berita dukacita memberi tahukan bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.

Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :

K A U K U L H A K .

“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890 dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.

Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat besarnya.

Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891 M.

Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.

Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti 
    Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin. 
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti 
    Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
    Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila, 
    Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti 
    Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin 
    Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin 
    Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana, 
9. Gusti Muskan, 
10. Gusti Megat, 
11. Gusti Dahlan, 
12. Gusti Serban, 
13. Gusti Sendang.

Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan “Dungun Kapal”.

Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat unruk membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajahan.

Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida, Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok. Namun disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.

Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki Anjang Samad di hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di Sukadana, akan tetapi panglima lainnya tetap melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di penjara Sukadana tinggal Panglima Enteki setelah beberapa tahun kemudian dibebaskan.

Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak melanjutkan perang Belangkait dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).

Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara Sukadana.

e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942

Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri (Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah (Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol) kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.

Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.

Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”

Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.

Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.

f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944

Gusti Roem mengangkat penggantinya Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet. Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. 

Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang, selamat ia dari samurai Kempetai Jepang.

Setelah beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan: “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.

Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak – Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano terus ke hulu Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar. Supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem) juga ditangkap. Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.

Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang mencari dua orang tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.

Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur.

g). Gusti Ibrahim

Sebagai pengganti Panembahan Gusti Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang berlaku diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.

Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan.

Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :

CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG

Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir : 

Gusti Intan, Yogikai Giin.
Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.

Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.

Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:

Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.
Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.

Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco : 

GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR

Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama :

GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)

Telok Melano, 1 Kugatau 2605


Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,

Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.


Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG

h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.

PENGHAPUSAN SWAPRAJA 

Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal 4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II 
   Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Da‎erah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana. Pe‎rbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)

Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan pada masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.

Wilayah Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan ibunegerinya di Tanjungpuri. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana.

Kerajaan Sukadana telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan Panembahan Baroh (1548−1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melano, yaitu sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, hingga ke daerah Balai berkuak.

Meskipun pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan. Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi, kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton  Muhammad Saunan sekarang berdiri.

Setelah era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai. Adapun batas-batas daratnya adalah sebagai berikut:

Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah).
Di Desa Baya (Kematanan Agol).
Di hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap).
Nama Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua sungai: satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang lainnya berada di sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu setengah hari.

Sistem Pemerintahan

Pendiri Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat, tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agungmerupakan hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.

Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.

Pada masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak (patriarki). Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri.

Memasuki pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.

Perkembangan selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.

Pada era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun 1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir, Sultan Kerajaan Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi, nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasisme Jepang.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959 tertanggal 4 Juli 1959, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6.‎

 

Sejarah Kerajaan Kotawaringin


‎Kesultanan Kotawaringin merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat pernah berdiri di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Kesultanan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan karena pendiri dari Kesultanan Kotawaringin merupakan keturunan dari Sultan Banjar ke-4, Sultan Musta’in Billah. Kesultanan yang sempat dihapuskan sebagai suatu wilayah yang independen pada pasca kemrdekaan ini kini dibangkitkan kembali. Pada tanggal 16 Mei 2010, bertempat di Istana Kuning, zuriat Kesultanan Kotawaringin mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin.

Sejarah

Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengahyang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 a‎tau 1530.‎dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja ‎sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakankeadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negaradependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".

Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.

Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).

Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".

Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuahkadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah ‎Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. 

W‎ilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeriMatan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. D‎aerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.[12] Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.

Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.

Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak JanggalaRajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satutanah yang di bawah angin (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.

Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyangsuku Dayak yang tinggal di hulu-hulusungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursiemas. Selepas itu dua orang menteri dariBanjarmasin bernama Majan Laut danTongara Mandi telah datang dari Tabanio(Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala DaerahKahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.

Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. 

Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka ‎Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung padaKesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). 

Kedatangannya disertaiPutri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan,Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuangartinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampungPandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. ‎Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. ‎Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai mangkubumi.

Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunkudan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura ‎Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa (‎Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut ‎Raden Saradewa ‎yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin.

Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamaiRaden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).

Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. ‎Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam didalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. ‎Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara k‎arena ada suka dan ada mara (= maju).

Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei1661 pada masa Sultan Rakyatullah.

Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakanRatu Amas. Oleh sebab sudah tua dia menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena dia berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.

Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar(1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantikkeponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelakSultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatanmangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia ‎tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.

Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Mudaputera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini,Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matandan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri ‎Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Dia juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Dia telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawanSultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawanMatan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar ‎Pangeran Ratu.

Asal-usul Kesultanan Kotawaringin

Kesultanan Kotawaringin merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat pernah berdiri di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut fakta sejarah, sejarah berdirinya Kesultanan Kotawaringin tidak bisa dilepaskan dari Kesultanan Banjar yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Salah satu fakta sejarah ditunjukan dalam buku Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat karangan J.U. Lontaan dan G.M. Sanusi. Dalam buku tersebut, Lontaan dan Sanusi menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin didirikan oleh Pangeran Anta Kasuma yang merupakan salah satu keturunan dari Sultan Banjar, Sultan Musta’in Billah.Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa sejak awal berdiri, Kesultanan Kotawaringin telah menjadi bagian dari Kesultanan Banjar.

Masih menurut buku yang sama, awal mula pendirian Kesultanan Kotawaringin dimulai dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar seputar perebutan kekuasaan antara Pangeran Adipati Tuha dan Pangeran Anta Kasuma. Pangeran Adipati Tuha yang notabene adalah kakak dari Pangeran Anta Kasuma akhirnya memenangkan perebutan tahta yang mengantarkannya menduduki singgasana Kesultanan Banjar. Sedangkan sang adik, Pangeran Anta Kasuma, memilih untuk meninggalkan Kesultanan Banjar guna mencari wilayah baru. Sikap sang adik direstui oleh Pangeran Adipati Tuha karena kebetulan sesuai dengan politik luar negeri kesultanan kala itu yang sedang dalam masa perluasan wilayah kekuasaan. Akhirnya rombongan Pangeran Anta Kasuma berangkat menuju wilayah baru.

Perjalanan rombongan Pangeran Anta Kasuma sampai di daerah yang bernama Rantau Pulut. Perjalanan diteruskan dan sampai di hulu Sungai Arut, daerah Pandau. Di hulu Sungai Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma bertemu dengan penduduk lokal, yaitu kumpulan dari sembilan kelompok suku yang berbeda, antara lain Suku Dayak Gambu, Arut, dan Anom pimpinan Demang Petinggi di Umpang. Pada awal pertemuan, rombongan Pangeran Anta Kasuma hampir bentrok dengan Suku Dayak Arut, namun jalan damai dengan cara perundingan akhirnya lebih dipilih. Lewat jalan perundingan tersebut, Pangeran Anta Kasuma mengikat sumpah darah dengan Suku Dayak Arut yang ditandai dengan sebuah prasasti yang disebut Batu Patahan‎ atau  Panti Darah Janji Samaya Prasasti ini sampai sekarang masih bisa dijumpai.

Setelah berjumpa dengan Suku Dayak Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma melanjutkan perjalanan hingga sampai di daerah Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin Lama). Di tempat ini rombongan mendirikan lanting (rumah apung dari kayu). Setelah bermukim cukup lama, Pengeran Anta Kasuma mendapatkan karunia seorang putri yang diberi nama Puteri Lanting.
Di Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin Lama), Pangeran Anta Kasuma mencoba untuk mendirikan permukiman hingga berkembang menjadi bentuk kerajaan. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Kotawaringin. Sehubungan dengan bentuk kerajaan yang masih terpengaruh oleh Islam, karena cikal bakal pendirian Kerajaan Kotawaringin dilakukan oleh keturunan dari Sultan Musta’in Billah yang memeluk agama Islam, maka mulai dari awal berdiri Kerajaan Kotawaringin telah lazim disebut dengan nama Kesultanan Kotawaringin.

Terdapat beberapa versi seputar tahun berdirinya Kesultanan Kotawaringin. Menurut Prof. Slamet Muljana, Kesultanan Kotawaringin merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Hal ini dituliskan dalam Kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh XII dan XIV. Penguasaan atas Kesultanan Kotawaringin terjadi ketika Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Hayam Wuruk (1351-1389 M) Indikasi kuat masuknya pengaruh Majapahit ke dalam sistem pemerintahan Kesultanan Kotawaringin adalah pengangkatan kepala-kepala suku menjadi menteri kesultanan atas inisiatif dari Kerajaan Majapahit.
Versi berikutnya adalah tulisan yang terdapat dipermakaman para Sultan Kotawaringin yang berlokasi di Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin Lama). Tulisan tersebut ditulis oleh Kyai Gede, Mangkubumi pertama di Kesultanan Kotawaringin. Di dalam tulisan tersebut, Kyai Gede menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin berdiri pada tahun 1598. Versi ketiga disampaikan oleh J.U. Lontaan dan G.M. Sanusi. Menurut pernyataan yang ditulis dalam buku Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat ini, Kesultanan Kotawaringin berdiri pada tahun 1679.

Dilihat dari ketiga versi tersebut, terdapat satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya Kesultanan Kotawaringin merupakan akibat dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar seputar perebutan tahta antara Pangeran Adipati Tuha dengan Pangeran Anta Kasuma pada masa pemerintahan Sultan Musta’in Billah (1595 – 1620). ‎Dari usia pemerintahan Sultan Musta’in Billah di Kesultanan Banjar dapat disimpulkan bahwa Kesultanan Kotawaringin harus berdiri pada babak akhir pemerintahan Sultan Musta’in Billah atau pasca pemerintahan Sultan Musta’in Billah. Dilihat dari fakta ini, angka tahun yang cukup logis untuk menunjukan tentang masa berdirinya Kesultanan Kotawaringin adalah awal abad ke-17 (1600-an).

Analisa selanjutnya merupakan hasil dari argumen ketiga versi di atas. Slamet Muljana menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351-1389 M). Pernyataan Slamet Muljana tersebut berlandaskan kekuatan literatur yang diambil dari Kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca pada pupuh XII dan XIV. Pada kenyataannya, dalam Negarakrtagama pupuh XII dan XIV tidak disebutkan tentang penguasaan Kesultanan atau Kerajaan Kotawaringin, melainkan disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit menguasai suatu daerah bernama Kotawaringin (bukan kesultanan). Besar kemungkinan yang dimaksud dengan Kotawaringin dalam Negarakrtagamaadalah suatu wilayah yang dulunya merupakan cikal bakal dari Kesultanan Kotawaringin yang kala itu masih dihuni oleh suku Dayak Arut. Kerajaan Majapahit yang menaklukan wilayah ini (Kotawaringin) kemudian menanamkan pengaruh hingga pada masa berdirinya Kesultanan Kotawaringin.

Versi kedua adalah tulisan Kyai Gede yang tertera di permakaman para Sultan Kotawaringin di Kotawaringin Lama yang menyebutkan tentang berdirinya Kesultanan Kotawaringin pada tahun 1598. Melihat angka tahun ini (1598) dengan waktu bertahtanya Sultan Musta’in Billah (1595) terdapat suatu bagian yang kurang logis. Pangeran Anta Kasuma tidak mungkin mendirikan kesultanan/ kerajaan baru selepas 3 tahun pasca ditabalkannya Sultan Musta’in Billah di Kesultanan Banjar. Selanjutnya, Perseteruan antara Pangeran Adipati Tuha dengan Pangeran Anta Kasuma juga tidak mungkin jika terjadi di awal pemerintahan Sultan Musta’in Billah.

Kemungkinan terdekat jika dilihat dari tulisan Kyai Gede adalah penjelasan bahwa sebelum Pangeran Anta Kasuma datang di Kotawaringin Lama, di sana telah bermukim Kyai Gede yang merupakan seorang ulama yang diduga berasal dari Kesultanan Demak di Jawa. Kyai Gede atau Abdul Qadir Assegaf telah menjalin hubungan yang harmonis dengan orang-orang Dayak tanpa berusaha mengubah keyakinan orang Dayak dari Kaharingan ke agama Islam.

Ketika Pangeran Anta Kasuma datang ke Kotawaringin Lama, Kyai Gede merasakan ada kesepahaman dalam bidang agama di antara keduanya. Terlebih lagi kepala suku Dayak Arut juga telah mengikat janji Sumpah Patahan dengan Pangeran Anta Kasuma sebagai ujud pengakuan atas kepemimpinan Pangeran Anta Kasuma. Sikap pemimpin Dayak Arut diwakilkan kepada Kyai Gede yang kebetulan mempunyai dua buah kelebihan, yaitu kesamaan persepsi tentang agama dan kedekatan dengan pimpinan Dayak Arut. Jadilah Kyai Gede sebagai mangkubumi pertama di Kesultanan Kotawaringin.

Versi ketiga adalah argumen dari JU Lontaan dan Sanusi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Kotawaringin telah berdiri pada tahun 1679. Melihat angka tahun ini (1679) dengan bertahtanya Sultan Musta’in Billah (1595-1620) terdapat selisih waktu sekitar 59 tahun. Angka ini (59 tahun) dirasa kurang logis untuk menunjukan tentang rentang waktu yang dibutuhkan Pangeran Anta Kasuma dalam mendirikan Kesultanan Kotawaringin. Analisa yang lebih logis adalah kemungkinan bahwa sebenarnya Kesultanan Kotawaringin telah berdiri sebelum tahun 1679. Hanya saja Lontaan dan Sanusi tidak melihat bahwa Kesultanan Kotawaringin tersebut telah sesuai untuk disebut sebagai suatu bentuk kesultanan atau kerajaan. Baru ketika Kesultanan Kotawaringin telah mempunyai landasan hukum dan pemerintahan yang jelas dengan adanya Kitab Kanun Kuntara pada masa pemerintahan Pangeran Anta Kasuma, Lontaan dan Sanusi sepakat untuk menyebut Kotawaringin telah sesuai untuk dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesultanan atau kerajaan.

Kesultanan Kotawaringin dari Masa ke Masa

Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Beliau memerintah dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede. Pada masa pemerintahan Ratu Bagawan Kotawaringin, sang sultan telah menetapkan batas wilayah kekuasaan dan membuat undang-undang yang dikenal dengan nama Kanun Kuntara. Batas wilayah sangat diperlukan sebagai legitimasi penguasaan atas suatu wilayah. Sedangkan undang-undang Kanun Kuntara digunakan untuk mengelola dan menjalankan roda pemerintahan sekaligus sebagai hukum negara.

Pada masa pemerintahan Ratu Bagawan, beliau membangun Dalem Luhur atau Istana Luhur. Selain membangun keraton, sang sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati, Perdipati (rumah panglima perang) Gadong Asam, Pa’agungan (gudang untuk menyimpan peralatan perang yang terdiri dari senjata dan pusaka), membangun surau untuk keperluan ibadah, dan paseban sebagai tempat bagi para bawahan dan rakyat untuk menghadap sultan. Pembanguan yang dilakukann oleh Ratu Bagawan semata-mata bertujuan untuk meletakan fondasi tata pemerintahan yang akan diwariskan kepada generasi setelahnya.

Pemerintahan Ratu Bagawan Kotawaringin berakhir dengan ditandai peralihan tahta kepada putranya yang bernama Pangeran Mas Adipati. Pada masa awal pemerintahan Pangeran Mas Adipati, beliau masih didampingi oleh Mangkubumi Kyai Gede. Tetapi di tengah-tengah menjalankan tugasnya sebagai mangkubumi, Kyai Gede meninggal dunia. Sebagai pengganti jabatan mangkubumi di Kesultanan Kotawaringin, Pangeran Mas Adipati mengangkat Dipati Ganding.

Pengganti Pangeran Mas Adipati adalah puteranya yang bernama Pangeran Panembahan Anum. Dalam menjalankan pemerintahan, beliau didampingi oleh Mangkubumi Dipati Gading. Selama hidup, Pangeran Panembahan Anum dikaruniai dua orang putra. Putra tertua yang bernama Pangeran Prabu akhirnya diangkat sebagai sultan untuk menggantikan kedudukan Pangeran Panembahan Anum.

Pangeran Prabu mempunyai 3 orang putera. Ketika telah selesai memimpin Kesultanan Kotawaringin, beliau mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putera tertuanya yang bernama Pangeran Dipati Tuha. Setelah wafat, Pangeran Dipati Tuha digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran Panghulu Pangganti Pangeran Penghulu adalah puteranya yang bernama Pangeran Ratu Bagawan. Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Bagawan, beliau membangun Masjid Jami Kotawaringin. Masjid ini dibangun karena surau yang telah dibangun pada masa Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin telah rusak. Pada masa inilah Kesultanan Kotawaringin mencapai puncak kejayaannya.
Pangeran Ratu Bagawan membawa Kesultanan Kotawaringin ke puncak kejayaan. Sultan ke-7 ini menempatkan perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian Kesultanan Kotawaringin. Pertanian dan hasil bumi yang melimpah dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Bahkan hasil kerajinan yang diproduksi oleh penduduk Kesultanan Kotawaringin laku di pasaran mancanegara. Kemajuan di sektor perekonomian tampaknya juga memacu perkawinan antarsuku dan menjadi magnet bagi para pendatang baru untuk bermukim di wilayah Kesultanan Kotawaringin.

Perpindahan Pusat pemerintahan

Masa keemasan Kesultaan Kotawaringin tak berlangsung lama. Bersamaan dengan situasi di mana kesultanan mencapai titik tertinggi di bidang perekonomian, muncul kebijakan baru dari negara induk, yaitu Kesultanan Banjar untuk menyerahkan Kesultanan Kotawaringin di bawah penguasaan Belanda. Penyerahan Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda merupakan konsekuensi yang harus dilakukan oleh Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Sultan Tahmidillah II. Konsekuensi ini merupakan bagian dari kompensasi yang diberikan kepada Belanda karena telah membantu dalam peperangan melawan Pangeran Amir. Selain kompensasi berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas, dalam perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, Kesultanan Banjar juga menyerahkan sebagian wilayahnya yang meliputi daerah pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari Desa Tatas.

Peralihan penguasaan Kesultanan Kotawaringin ternyata berdampak sangat besar. Pengalihan ini terutama berimbas pada sektor perekonomian dan pemerintahan. Penguasaan (monopoli) perdagangan yang sebelumnya dipegang oleh Kesultanan Kotawaringin, kini diambil alih oleh Belanda. Contoh nyata dari pengambil-alihan perdagangan tersebut adalah berpindahnya monopoli perdagangan garam yang sebelumnya dipegang oleh Kesultanan Kotawaringin, kini beralih ke tangan Belanda. Peralihan tesebut membuat pendapatan yang diterima Kesultanan Kotawaringin menjadi berkurang.

Di sisi lain, dalam sektor pemerintahan, Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya “berkiblat” kepada Kesultanan Banjar kini beralih ke Pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan Kotawaringin kini harus mengikatkan diri dengan Pemerintah Hindia Belanda melalui penandatanganan perjanjian untuk mengelola sumber daya alam di wilayah Kesultanan Kotawaringin. Hal ini dikukuhkan dengan peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin tidak lagi melaporkan pertanggungjawaban kepada Kesultanan Banjar melainkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda yang diwakilkan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.

Perpindahan kekuasaan kemudian juga diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan Kesultanan Banjar yang sebelumnya berlokasi di Kotawaringin Lama berpindah ke Sukabuni Indra Sakti atau dikenal dengan nama Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun) Kejadian ini terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Imanuddin pada tahun 1814. Besar kemungkinan perpindahan pusat pemerintahan tersebut juga dilandasi oleh faktor pengalihan kekuasaan.

Kemunduran

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Pertama, penguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kedua, perpecahan di pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan (garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan. Inilah masalah klasik yang melanda berbagai kerajaan di nusantara di akhir masa kekuasaan.

Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli, dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda. Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata. 

Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.

Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9) Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.

Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa Kesultanan Kotawaringin.

Bergabung dengan Republik Indonesia

Ketika kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Kotawaringin secara tegas menyatakan diri untuk masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia. Sikap ini dikemukakan secara langsung oleh sultan ke-14, yaitu Pangeran Ratu Anom Alamsyah. Sikap ini menimbulkan konsekuensi di pihak Kesultanan Kotawaringin, yaitu wilayah kesultanan dilebur ke dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Konsekuensi tersebut berimbas pada perubahan bentuk kesultanan menjadi swapraja (setingkat dengan kawedanan).

Menurut Lontaan dan Sanusi, pada tanggal 20 Oktober 1948 telah terbentuk semacam dewan perwakilan rakyat yang secara bulat mendukung dileburnya Kesultanan Kotawaringin ke dalam wilayah Republik Indonesia. Di pihak lain, pihak Kesultanan Kotawaringin juga mempunyai sikap yang senada, yaitu siap berdiri di belakang republik yang baru berdiri. Sikap ini didasari atas sepakterjang pihak Kesultanan Kotawaringin yang telah setia untuk terus mengobarkan api perlawanan terhadap Belanda pada masa revolusi fisik. Bantuan dari Kesultanan Kotawaringin berupa 300 pucuk senapan dan beberapa meriam membuktikan bahwa Kesultanan Kotawaringin secara tegas berada di belakang Republik Indonesia.

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI,17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.

Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.

Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.

Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :

Kabupaten Kotawaringin Barat
Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara


Kebangkitan

Kesultanan Kotawaringin dihapus sebagai suatu wilayah independen ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Wilayah Kesultanan Kotawaringin dijadikan salah satu daerah administratif setingkat dengan status sebagai daerah swapraja. Secara resmi, Swapraja Kotawaringin menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1 Mei 1950, meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Mulai dari perubahan status dari kesultanan menjadi swaparaja tersebut, Kesultanan Kotawaringin secara administratif menjadi salah satu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II memegang tampuk kekuasaan sebagai penguasa daerah swapraja sampai tahun 1975. Pasca pemerintahan beliau, zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengurus seorang pengurus harian bernama Pangeran Muasyidin Syah. Jabatan ini disandang oleh Pangeran Muasyidin Syah hingga tahun 2010. Pangeran Muasyidin Syah merupakan adik dari Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, sultan ke-13 Kesultanan Kotawaringin.

Perubahan terjadi pada bulan Mei 2010. Kala itu muncul ide untuk mengangkat kembali peranan seorang sultan sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Kotawaringin. Tetapi peran sultan yang ada sekarang berbeda dengan peran sultan ketika masih menjadi daerah sendiri sebelum dilebur menjadi satu kesatuan di bawah Pemerintah republik Indonesia. Peran yang dimainkan oleh sultan sekarang sebatas sebagai simbol budaya.

Ide untuk kembali mengangkat seorang simbol kemudian mendapatkan momentum ketika zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin. Penobatan dilaksanakan di Istana Kuning, pada hari Minggu, 16 Mei 2010. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah merupakan putra tertua dari Sultan XIV Kotawaringin, Pangeran Ratu Sukma Alamsyah 

Silsilah
Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Kotawaringin.
Pangeran Adipati Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan
Pangeran Mas Adipati
Panembahan Kota Waringin
Pangeran Prabu/ Panembahan Derut
Pangeran Adipati Muda
Pangeran Panghulu
Pangeran Ratu Bagawan
Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha
Pangeran Imanudin/ Pangeran Ratu Anom
Pangeran Akhmad Hermansyah
Pangeran Ratu Anom Alamsyah I
Pangeran Ratu Sukma Negara
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah
Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (meninggal pada tahun 1975)
@Pangeran Muasyidin Syah (pengurus harian)
angeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (2010-sekarang)
Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin pada awalnya hanya sebatas pengaturan dari sultan dan mangkubumi kepada para kepala adat setempat. Namun seiring dengan dibuatnya Undang-Undang Kanun Kuntara, sistem pemerintahan mengalami pengaturan yang lebih terstruktur dengan pembagian wilayah dan kepala daerah setempat. Undang-Undang Kanun Kuntara mengatur tentang pembagian wilayah yang dikepalai oleh seorang menteri, seperti Menteri Kumai, Menteri Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun), Menteri Jelai, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari pembagian tersebut, tugas antara sultan, mangkubumi, dan menteri telah terstruktur dengan jelas secara organisatoris. Hal ini menunjukan bahwa sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin telah cukup maju karena memiliki pedoman yang jelas, yaitu Undang-Undang Kanun Kuntara.
Sistem pemerintahan juga mengatur tentang kewajiban Kesultanan Kotawaringin sebagai negara bawahan untuk setia kepada negara induk yakni Kesultanan Banjar. Hal ini telah dimulai sejak sultan pertama, Ratu Begawan Kotawaringin sampai dengan Ratu Begawan. Ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Ratu Begawan, terjadi perpindahan pusat pemerintahan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun. Selain itu terjadi pula pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Belanda. Pada kasus pengalihan kekuasaan, sejak dialihkan dari Kesultanan Banjar kepada Belanda, sultan di Kesultanan Kotawaringin secara administratif kini tidak lagi bertanggungjawab kepada Kesultanan Banjar melainkan kepada Belanda. Setiap sultan harus mempertanggungjawabkan (melaporkan) segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.
Pada masa pasca kemerdekaan, status Kesultanan Kotawaringin berubah dari kerajaan yang independen menjadi salah satu bagian dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk swapraja atau kawedanan. Secara resmi, daerah swapraja Kotawaringin masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1950, meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukan ke Kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Status ini kemudian berkembang menjadi bentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat. Daerah ini ditetapkan sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Anta Kasuma gelar Ratu Bengawan Kotawaringin, Kesultanan Kotawaringin telah menetapkan batas-batas wilayah kekuasaannya. Batas-batas tersebut meliputi:
Di sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarun Pruya (Kerajaan Sintang di wilayah Provinsi Kalimantan Barat).
Di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Mendawai di wilayah Kalimantan Tengah
Di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa
Di sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Simbar (Kerajaan Matan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat) 
Ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Ratu Sukma Alamsyah, wilayah kekuasaan bertambah luas akibat dari politik perluasan wilayah sehingga mencakup wilayah-wilayah:
Di Kampung Mendawai (wilayah di sebelah timur) dibuka permukiman baru untuk penduduk Mendawai yang selama ini bermukim di Sungai Karang Anyar, sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Sungai Bulin.
Di Kampung Raja dibuka permukiman baru untuk penduduk Kampung Raja yang sebelumnya banyak bermukim di perladangan, sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama kampung Sungai Bu’un atau Kampung Baru yang kini termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Baru.
Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai (di depan simpang Mendawai), dibuka permukiman baru untuk orang-orang yang berasal dari Pulau Jawa. Tempat ini sekarang termasuk ke dalam wilayah kelurahan Sidorejo. ‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...