Senin, 23 November 2020

Sejarah Kesultanan Sambaliung


Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahanKesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu ‎Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. S‎ultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddinyang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.

Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Sejarah

Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Awal mula perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat pe­nyebarannya di sekitar Desa Sukan, Kabupaten berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Sultan pertama yang berkuasa di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam dengan gelar Alimuddin (1830-1836). Sebelum kesultanan ini berdiri, Raja Alam sebenarnya adalah sultan pertama di Kesultanan Batu Putih, yang berdiri pada tahun 1830. Pada tahun 1834/1836 nama Batu Putih berubah menjadi Tanjung,yang kemudian pada tahun 1849 berubah menjadi Sambaliung. Meski demikian, sejarah berdirinya Kesultanan Sambaliung sebenarnya sudah ada sejak tahun 1830.

Pada generasi Kesultanan Berau yang ke-9 (sayangnya data lengkapnya tidak ditemukan), di mana Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu, yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Sejak saat itu, Kesultanan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam perjalanan sejarahnya, fakta tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang terkadang berujung pada perselisihan. Berdasarkan silsilah tersebut, Raja Alam merupakan cucu Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma (raja pertama Kerajaan Berau).

Raja Alam dikenal sebagai sultan yang sangat gigih dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Pada bulan September 1834 ia memimpin pasukannya bertempur melawan pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak Belanda menuduh Raja Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan Sulu dari Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar tidak aman. Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837, ia ditawan dan diasingkan ke Makassar. Selama masa pengasingan, tahta kekuasaan Kesultanan Tanjung (Batu Putih) oleh Belanda diserahkan kepada Sultan Gunung Tabur, yang bertindak sebagai pelaksananya adalah Pangeran Muda dari Kutai, yaitu keluarga dari istri Raja Alam. Pada tanggal 15 September 1836, Raja Alam dapat kembali ke Berau setelah permintaan Aji Kuning Gunung Tabur dikabulkan oleh pemerintah Belanda.

Sekembalinya dari masa pembuangan, Raja Alam tetap konsisten melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama tujuh tahun membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi menyerang mereka, pendirian Raja Alam tetap bulat. Belanda akhirnya mengalah. Pada tahun 1844, Belanda mengakui eksistensi Kesultanan Tanjung. Namun, tetap saja Raja Alam tidak menerima pengakuan tersebut karena hal itu sama saja dengan bersedia di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip yang dianutnya adalah bahwa syariat Islam melarang mengangkat orang kafir (baca: pemerintah koloial Belanda) sebagai pimpinan.

Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya, namanya diabadikan sebagai nama Batalion 613 Raja Alam yang berkedudukan di Kotamadya Tarakan. Melalui SK No.007/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999, presiden RI kala itu telah menetapkan dirinya sebagai tokoh nasional yang berhak mendapat penganugerahan tanda kehormatan bintang jasa terhadap bangsa negara. Hanya saja, penganugerahan terhadap dirinya sebagai pahlawan nasional masih diperjuangkan oleh pemerintah daerah Kalimantan Timur agar disetujui oleh pemerintah pusat.

Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung, Provinsi Kalimantan Timur. Istana ini telah menjadi museum yang juga merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di Kalimantan Timur. Museum ini menyimpan jejak-jejak sejarah peninggalan Kesultanan Sambaliung. Di samping itu juga terdapat koleksi unik berupa dua tiang kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang letaknya berada di halaman depan museum. Koleksi ini dipercaya sebagai bentuk peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis Wajo. Aksara yang tertulis dalam tiang kayu tersebut merupakan aturan-aturan bagi rakyat jika akan melintasi keraton.

Perlawanan terhadap Belanda 

Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung nama lengkap Raja Alam sendiri ialah Sultan Alumuddin Raja Alam, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampung Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau, kakeknya bernama Sultan Hasanuddin Marhum  yang menikah dengan Dayang Lama anak dari raja Solok Pilipina Selatan. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X. 

Campur tangan colonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga para penasihRakyat at raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan colonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Rakyat ketakutan dan sulit menghadapi penindasan. Ini terjadi sampai abad ke-14.

Walaupun kerajaan terpisah menjadi dua kerajaan, tidak menyurutkan kerajaan Berau untuk tetap melawan penjajahan Belanda. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial  Belanda menjalankan politik adu dombanya untuk memecah belah persekutuan Kerajaan Berau yang terdiri dari Kesultanan Gunung Tabur dan Sambaliung. Akhirnya pada tahun 1800  kedua kesultanan tersebut memisahkan diri. Setelah peristiwa tersebut kemudian Belanda mendekati sultan Gunung Tabur, Aji Kuning II (1833-1850), putra sultan Badaruddin. Pemerintah tahu bahwa kedua kerajaan itu tidak terdapat kesatuan pendapat.

Kesultanan Sambaliung yang dipimpin Raja Alam dengan sekutu-kutunya mengerti dengan siasat licik Belanda, karena itu ia mengadakan persiapan dengan memperkokoh  persatuan antara rakyatnya dengan suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok. Raja Alam beristana di Batu Putih (sekarang Kecamatan Talisayan). Di daerah  itu banyak bermukim pejuang-pejuang Bugis yang disebut Belanda sebagai bajak laut. Persekutuan Raja Alam dengan suku Bugis dan Solok semakin erat, kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang  pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau

Ada yang mengatakan penyebab terjadinya perang antara Kesultanan Sambaliung dan Belanda ialah dikarenakan ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan  Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung.

Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung  berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah  akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan Eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada  mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya.

Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat. 

Namun secara diam-diam  pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut  adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.

Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang-orang Bugis dan Solok.
Baik Raja Alam beserta segenap rakyatnya maupun pejuang-pejuang suku bangsa Bugis dan orang Solok, sudah bertekad bulat untuk tidak menerima bangsa Belanda sebagai “yang dipertuan” di tanah air mereka. 

Menurut pendirian dan kepercayaan mereka, bangsa Belanda adalah penjajah yang tergolong orang kafir. Selain perlawanan rakyat Nusantara, Belanda juga khawatir terhadap orang-orang Inggis yang bermaksud meluaskan pengaruhnya di Kalimantan Timur seperti James Brooke di Kalimantan Utara dan kemudian oleh Kapten Laut Inggris E. Belcher yang pada tahun 1834 dan 1848. Karena itu Belanda memberikan prioritas pertama untuk menundukkan Sambaliung yang bersekutu dengan pejuang-pejuang Bugis dan Solok.
Raja Alam mempunyai istana di Tanjung dan sebuah lagidi dekat Kampung Bugis di Tanjung Radeb sekarang. Di tempat ini ia dibantu oleh seorang panglima suku bangsa Bugis bernama Panglima Limbuti, keturunan Panglima Li Madu Daeng Pallawa yang mendirikan Kampung Bugis di Tanjung Radeb. Pertahanan yang kuat dibangun dekat laut di Batu Putih, Tanjung Manglihat, tempat gabungan suku bangsa Berau, uku bangsa Bugis, dan Solok pimpinan Sarif Dakula, menantu Raja Alam.  Armada Bugis dan Solok inilah yang dianggap berbahaya oleh Belanda.

Untuk menghancurkan armada kesultanan Sambaliung ini, pihak militer Belanda mempersiapkan angkatan lautnya yang sejak bulan April 1834 dengan perlengkapan persenjataan di markas angkatan lautnya di Makasar. Dengan dalih pengaduan Sutan Gunung Tabur Aji Kemuning II (Gazi Mahyudin), bahwa Raja Alam bersekutu dengan bajak laut Bugis yang menganggu ketertiban pelayaran di Berau, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan Sultan Aji Kuning II. Pada bulan September 1834, Belanda mengirim ekspedisi guna menindak Raja Alam. Empat buah kapal perang yaitu Korvet Heldin, brik Syiwa, sekuner Korokodil, dan Kastor seta berpuluh-puluh perahu mendarat dibawah pimpinan Kapten Laut Anemaelt, menyerang pertahanan armada laut Raja Alam di Batu Putih.

Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Alam dengan sekutu-sekutunya dari suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok dibawah pimpinan menantunya, Sarif Dakula, membuat kubu-kubu pertahanan, diantara Batu Putih, daerah Tanjung Mangkalihat yang menghadap arah ke laut dan ke darat, dan sebuah benteng di daerah pedalaman sepanjang 40x40 m, yaitu di Sungai Dumaring tidak jauh dari Batu Putih. Di Tanjung yang sekarang bernama Tanjung Radeb, Raja Alam dibantu oleh Panglima Bugis yang bernama Panglima Limbuto, keturunan Pamglima La Madu Daeng Pallawa. Kubu-kubu pertahanan mereka diperkuat dengan meriam-meriam besar dan kecil yang sampai sekarang masih ada di daerah Berau. Senjata api dibeli dari Singapura dengan perantaraan perahu-perahu Bugis.

Dengan perahu-perahu pendaratnya pasukan Belanda mengadakan serangan terhadap pertahanan Raja Alam di Batu Putih dengan dilindungi oleh tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda. Pejuang-pejuang Sambaliung, Bugis dan Solok mempertahankan atu putih dengan gigih. Karena perlengkaan Belanda sudah dipersiapkan selama enam bulan di Makasar dan pasukannya telah berpengalaman dalam Perang Diponegoro dan Perang Imam Bonjol, maka Raja Alam terpaksa mengundurkan diri ke Tanjung untuk mempertahankan istananya. Ia dibantu oleh Panglima Limboto, putra Hadi, menantunya Sarif Dakula, dan orang-orang Bugis. Mereka bertahan di Sungai Dumaring, daerah Tanjung Mangkalihat.

Raja Alam dapat dikalahkan Belanda dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini  Raja Alam  ditangkap Belanda dengan putranya Hadi, yang kemudian menjadi Sultan Hadi menggantikan ayahnya, Raja Alam. Raja Alam dan keluarganya dijadikan sandera oleh Belanda. Pimpinan tentara Belanda, Kapten Anamaelt meminta agar Sarif Dakula dan orang-orang Bugis menghentikan perlawanan dengan jaminan keselamatan Raja Alam dan kelurganya. Untuk itu diminta Sarif Dakula dengan pengikut-pengikutnya datang menghadap di kapal perang Belanda.

Ada dua versi cerita yang berbeda yang mengatakan mengenai Sarif  Dakula dan kelurganya datang ke kapal perang Belanda. 
Cerita yang pertama, ketika Sarif  Dakula berunding dengan tentara Belanda. Karena Sarif Dakula tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke Makasar akan tetapi Sarif Dakula melakukan perlawanan , hingga akhirnya tewas. Mayatnya dibuang di laut. Melihat peristiwa itu, istrinya, Pangeran Ratu Ammas Mira yang sangat setia pada suaminya, melompat ke laut bersama-sama anaknya yang masih kecil. Akan tetapi  ia dan anaknya dapat diselamatkan. Karena Raja Alam dan keluarganya antara lain putranya, Hadi Jalaluddin, Pangeran Ratu Ammas Mira dianggap berbahaya oleh Pemeritah Kolonial Belanda, mereka diasingkan ke Makasar sebagai tawanan negara (staatgevangene). Adapun Sultan Bongkuch, salah seorang putra Raja Alam dapat melepaskan diri.

Versi yang kedua mengatakan bahwa Sarif Dakula datang bersama Raja Alam menghadap Belanda untuk melakukan perundingan, bukan bersama anak dan istrinya. Ketika itu, Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak istri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua.Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. 

Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay. Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang ke Makasar. Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar.

Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya.  Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar  Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur.

Selama Raja Alam dalam pembuangan di Makasar maka sejak tahun  1834, kerajaan Berau menjadi tidak aman. Pengikut-pengikut Sarif Dakula dan Pangeran Petta melakukan pengacauan di perairan Selat Makasr dan kampung-kampung di daerah Berau. Sungai Ulak dahulu bekas pusat pemerintahan Kerajaan Berau, dirampok oleh suku Bugis dan orang Solok. Kampung Pujut, wilayah Gunung Tabur, diserang suku bangsa Bugis dan Solok. Pemimpin pejuang suku bangsa Bugis ialah Tuassa dan pemimpin bangsa Solok yang mengadakan perlawanan terhadap kerajaan yang diakui Belanda sebagai jajahannya itu ialah Datu Kamsah.

Untuk mengatasai keadaan yang selalu tidak aman itu, Sultan Gunung Taabur meminta bantuan ipar Raja Alam, saudara istrinya yang menjadi pengeran mangkubuni Kerajaan Kutai dan memerintah di Batu Putih. Untuk menentramkan keadaan yang tidak ada kepastian itu, Sultan Gunung Tabur dan Pangeran Mangkubumi bersama-sama mengajukan permohonan kepada gubernur Belanda di Makasar, supaya Raja Alam dengan keluarga serta putra-putri dan cucunya dikembalikan ke Berau.

Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjagakeamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda.Permohonan ini kemudan disetujui oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 15 September 1836. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837, gubernur Belanda mengizinkan Raja Alam beserta kelurganya kembali  ke Batu Putih dengan ketentuan Raja Alam harus mengakui kedaulatan Belanda. Raja Alam kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Batu Putih ke Tanjung, daerah Kampung Bugis. Antara kedua kerajaan itu yaitu Gunung Tabur dan Sambaliung memang selalu terjadi peperangan. Karena Raja Alam tidak dapat memenuhi perjanjian yang didiktekan Belanda, maka ia harus kembali ke Batu Putih dan meninggal pada 7 Juli 1848. Ia dimakamkan di dekat Sungai Rindang, dekat Batu Putih.

Putranya, Sultan Hadi Jalaluddin yang diangkat Belanda sebagai sultan Salambiung sejak tahun 1844, meninggal pada tahun 1855. Pada akhir pemerintahannya, yang berpengaruh ialah saudaranya, Sultan Asyik Syarafuddin, putra Raja Alam dengan istrinya, putri dari Bugis yang menggantikannya pada bulan April 1850. Raja ini pada tahun 1852 berumur 38 tahun. Ia adalah seorang sultan yang berpengaruh, memerintah dengan tidak ada penguasa (rijkbestierder) di sampingnya. Sultan Bongkoch, putra Raja Alam yang sejak semua tidak dapat ditawan oleh Belanda, tetap tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda dan terus berjuang mengadakan pengacauan bersama-sama pejuang Bugis dan Solok di perairan Berau, Laut Sulawesi dan Selat Makasar.

Sampai saat ini, bangunan Keraton Sambaliung masih berdiri kokoh menghadap ke Sungai Kelay di Kecamatan Sambaliung. Sejak dialihfungsikan menjadi Museum, Keraton Sambaliung sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat sejumlah koleksi peninggalan sejarah masa lalu. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya tersebut, keraton ini dipimpin oleh Pemangku Adat Keraton Kesultanan Sambaliung yang kini dijabat oleh Datu Fachruddin bin Sultan Muhammad Aminuddin.

Silsilah

Berikut ini adalah silsilah Kesultanan Sambaliung, namun data terkait tahun kekuasaaan para sultan masih banyak yang belum lengkap:

Sultan Muhammad Alimuddin/raja Alam (1810-1844)
Sultan Muhammad Kaharuddin/raja Bungkoh (1844-1848)
Sultan Muhammad Hadi Jalaluddin bin Alam (1848-1850)
Sultan Muhammad Hasyik Syarifuddin bin Alam (1850 - 1863)
Sultan Muhammad salehuddin (1863-1869)
Sultan Muhammad Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin (1869 - 1881)
Sultan Abdullah Muhammad Khalifatullah Bayanuddin bin Muhammad Jalaluddin (1881-1902 ))
Sultan Muhammad Aminuddin (Datuk Ranik) (1902-1960 )

Periode Pemerintahan

Kekuasaan Kesultanan Sambaliung berdiri sejak tahun 1830 M hingga tahun 1960 M. Artinya kesultanan ini pernah eksis selama hampir satu setengah abad. Pada tahun 1960 M, bersama dengan Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan Sambaliung dihapuskan melalui keputusan parlemen Indonesia. Setelah itu, Kesultanan Sambaliung berubah nama menjadi Kecamatan Sambaliung. Sistem dan tata pemerintahannya pun tidak lagi berdasarkan pada model kesultanan, namun sudah beralih sebagaimana yang berlaku pada umumnya di Republik Indonesia. Untuk wilayah kekuasaanKesultanan Sambaliung sendiri sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.
   
Peninggalan Kesultanan Sambaliung

Beberapa peninggalan yang cukup unik dan menarik untuk disaksikan, antara lain adalah sebuah tugu prasasti dari kayu ulin yang bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang berukir aksara asli (lontara) Suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Lontara Bugis ini menjadi bukti peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis-Wajo. Ketiga tugu tersebut berisi aturan-aturan bagi rakyat ketika akan melintasi keraton pada masa lalu. Tugu yang bertuliskan Arab-Melayu berisi pesan bahwa jika Sultan sedang duduk di depan rumah atau di depan lawang sakaping, maka setiap orang harus duduk dulu baru bisa melewatinya.

Sementara itu, dua buah tugu yang berukiran Lontara Bugis tersebut berisi 7 buah pesan, yaitu setiap orang harus duduk terlebih dahulu kemudian meneruskan langkahnya ketika Sultan sedang berada di depan pintu gapura, tidak diperbolehkan berselisih di dalam wilayah istana, tidak diperkenankan tertawa saat melihat istana dan dilarang duduk di jalanan depan istana, tidak boleh melihat-lihat ke dalam istana jika tidak ada keperluan, tidak boleh menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan, seorang laki-laki yang akan menuju ke jalanan tidak boleh langsung memotong arah jalan, dan bagi siapa saja yang mengabaikan aturan-aturan tersebut maka dia dianggap telah meninggalkan peraturan yang ditetapkan oleh Petta Sultan La Mappata(ng)ka Sambaliung.

Koleksi lain dari Keraton Sambaliung yang menarik untuk dilihat adalah seekor buaya raksasa berukuran sekitar 4 meter yang telah diawetkan. Buaya yang telah diawetkan tersebut disimpan dalam akuarium kaca yang terletak di luar bangunan keraton. Namun, asal usul dan keterangan seputar buaya ini tidak disebutkan.

Selain koleksi peninggalan sejarah, masyarakat juga dapat menyaksikan berbagai kegiatan budaya di Keraton Sambaliung, seperti atraksi kesenian berupa Tari Jepen, Mamanda, dan syair-syair. Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini keluarga keraton juga tak jarang menyelenggarakan pesta budaya, seperti perkawinan yang dihiasi dengan pakaian adat dan pelaminan serba warna kuning. Selain itu, keraton ini juga sering digunakan untuk acara bapallasdalam upacara adat melahirkan serta upacara kematian kerabat sultan.
Bangunan keraton yang ada sekarang diperkirakan berdiri sekitar tahun 1881 M. Belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai siapa pendiri keraton yang terletak di tepi Sungai Kelay ini. Sejak terakhir ditempati oleh Sultan ke—8, Muhammad Aminuddin (1902 M- 1959M), Keraton Sambaliung tidak lagi tempati oleh para keturunan dan kerabat Sultan. Kini, bangunan keraton ini telah beralih fungsi menjadi museum yang dikenal dengan Museum Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung dengan ciri arsitektur China terdiri dari 12 kamar dan 1 (satu) ruang utama di bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Secara umum, bangunan utama digunakan untuk menggelar upacara adat dan pemberian gelar bangsawan kepada para keturunan Sultan. Selain itu, keraton ini juga memiliki 4 buah taman kecil di mana tiga di antaranya berada di teras depan. Pada bagian tengah, kiri, dan kanan halaman keraton juga terdapat taman yang cukup luas dan tertata rapi. Di depan halaman keraton terdapat gapura dengan hiasan lambang Keraton Kesultanan Sambaliung di atasnya.
Pada masa revolusi fisik atau ketika diperintah oleh Sultan Muhammad Aminuddin, Keraton Sambaliung pernah dua kali terancam untuk dihancurkan. Pertama, Tentara Pendudukan Jepang yang menginvasi Indonesia antara tahun 1942-1945 berusaha menghancurkan bangunan keraton dengan cara membakar menggunakan bensin, namun cara ini gagal. Upaya penghancuran keraton yang kedua terjadi pada 23 April 1945 sekitar pukul 13.00 WITA. Kala itu, Belanda yang datang dengan seragam pasukan sekutu membombardir Keraton Sambaliung namun tidak berhasil.


 ‎Wilayah Kekuasaan

Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliyung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Struktur Pemerintahan

(Dalam proses pengumpulan data)

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.  

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, tercatat jumlah penduduk Kecamatan Sambaliung adalah sebanyak 22.279 jiwa. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah penduduk, yaitu rata-rata 1,4 persen. Komposisi penduduknya adalah 40 persennya sebagai pendatang dan selebihnya penduduk asli Sambaliung. Banyaknya jumlah pendatang ke daerah ini dikarenakan terdapat sumber daya alam yang cukup melimpah, seperti tambang batu bara, pertanian, perkebunan, perikanan, juga hasil-hasil hutan. Banyak penduduk Sambaliung bermata pencaharian dalam bidang bidang tersebut. ‎

 

Sejarah Kerajaan Berau


Kerajaan Berau adalah sebuah kerajaan yang muncul pada era sebelum Islam masuk ke wilayah Kalimantan Timur atau yang dulu masih termasuk dalam wilayah Kalimantan bagian utara. Pendirian kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 Masehi ini dipelopori oleh orang-orang Melayu yang datang dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatra Selatan. Akibat konflik internal, Kerajaan Berau akhirnya mengalami keruntuhan. Wilayah kekuasaan Kerajaan Berau pun terbagi menjadi dua kerajaan baru, yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Daerah yang dulu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Berau sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.

Sejarah

Berdirinya Kerajaan Berau bukan berasal dari pecahan kerajaan lain ataupun bekas taklukan dari kerajaan yang lebih besar. Terbentuknya Kerajaan Berau justru muncul dari kesadaran masyarakatnya sendiri yang berkeinginan untuk membentuk suatu pemerintahan yang bersatu. Penduduk yang mendiami wilayah Berau ini terdiri dari beberapa kelompok atau komunitas masyarakat yang menghuni di sekitar aliran sungai besar. Sungai inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sungai Berau. Pesisir sungai ini dihuni oleh orang-orang Suku Berau (Melayu Berau) atau yang sering juga disebut sebagai komunitas adat Berau Banua. Pada akhirnya nanti, hampir seluruh wilayah kelompok adat Berau Banua di wilayah ini sepakat untuk bersatu di bawah pimpinan seorang Raja.

Asal-usul Pendiri Kerajaan Berau

Menurut data yang dihimpun oleh Joshua Project, sebuah lembaga penelitian yang melakukan riset tentang berbagai suku bangsa di seluruh dunia, masyarakat yang menjalani kehidupan di wilayah Berau tersebut termasuk dalam suku bangsa Melayu. Kini, populasi Suku Berau kira-kira berjumlah 12.000 orang. Mayoritas orang Suku Berau memeluk agama Islam dan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.

Asal-usul Suku Berau yang diyakini masih tergolong dalam rumpun suku bangsa Melayu termaktub juga dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang periset asal negeri Belanda, J.S. Krom. Di dalam catatannya yang bertajuk Memorie Overgave en Overname tertanggal 31 Juli 1940, Krom yang menyebut Suku Berau dengan nama Barrau, menulis bahwa penduduk asli Berau pada zaman dahulu disebut sebagai orang Banuwa (Banua). Krom meyakini, mereka adalah keturunan bangsa Melayu yang membentuk koloni atau permukiman di berbagai tempat di Kalimantan, salah satunya di tepi Sungai Berau.

Riset yang dilakukan untuk memastikan asal-usul Suku Berau diterapkan dengan metode penelusuran golongan darah. Hasil dari penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa urang Barrau (orang Berau) berasal dari ras Deutro Malay Sumatra atau ras Melayu Muda Sumatra. Bahasa lisan yang digunakan dalam keseharian Suku Berau pada umumnya terdapat banyak persamaan dengan bahasa Melayu, kendati ada sedikit pengaruh dari bahasa-bahasa lainnya. Selain itu, meskipun pada akhirnya terjadi percampuran darah dengan orang-orang Suku Bugis, Solok, Dayak Basap, dan lain-lainnya, namun orang Berau tetap mempertahankan identitasnya sebagai keturunan asli Melayu.

Terkait dengan asal wilayah orang-orang Suku Berau yang kelak mendirikan Kerajaan Berau, mereka diperkirakan datang dari Kerajaan Sriwjaya yang pernah sangat jaya sejak abad ke-7 M. Saat itu, Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatra Selatan, adalah imperium yang besar hingga abad ke-13 M. Penduduknya menyebar ke berbagai tempat untuk berdagang. Kuat dugaan bahwa orang-orang Melayu dari Sriwijaya membangun permukiman baru di sejumlah tempat di pesisir Kalimantan, termasuk Sukadana, Sambas, Berunai, dan Berau. Di tempat-tempat baru ini, mereka berbaur dengan orang-orang Melayu Kalimantan.

Orang-orang Suku Berau adalah kaum perintis yang memulai peradaban di Berau. Sebelum kedatangan mereka, orang-orang yang menempati wilayah Berau belum dapat dipastikan keberadaannya. Berdirinya Kerajaan Berau juga berasal dari gagasan para perantau yang datang dari Sumatra tersebut. Maka dari itu, awal lahirnya kebudayaan Berau dihitung dari kelahiran Kerajaan Berau yang didirikan oleh orang-orang Melayu dari Sriwijaya.

Sebelum terbentuk menjadi kesatuan kerajaan, Berau pernah termasuk ke dalam wilayah Ekspedisi Pamalayu yang digalang oleh Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada. Sejarawan Belanda, J. Eisenberger (1936), menulis bahwa pada pertengahan abad ke-14, tepatnya pada tahun 1365 M, kerajaan-kerajaan di Kalimantan yang bersatu dengan Majapahit antara lainKerajaan Kota Waringin, Sampit Kapuas, Tanjung Pura-Sukadana, Muara Barito, Tabalong, Sebulu, Pulau Laut, Pasir, Kutai, dan Berau.

Dalam kasus pendudukan Berau, sebenarnya bukan Kerajaan Majapahit langsung yang menjadi eksekutornya, melainkan Kerajaan Negara Dipa yang merupakan cikal-bakal Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Dipa memang mempunyai hubungan yang cukup erat dengan Kerajaan Majapahit karena Pangeran Suryanata, pemimpin Kerajaan Negara Dipa, adalah pangeran dari Majapahit. Tata cara kehidupan yang diberlakukan di Kerajaan Negara Dipa pun mirip dengan apa yang diterapkan di Kerajaan Majapahit.

Pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata itulah Kerajaan Negara Dipa berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan menaklukkan beberapa negeri lain, termasuk wilayah Berau. Wafatnya Raja Majapahit, Hayam Wuruk, pada tahun 1389 M membuat Kerajaan Majapahit mengalami masa kemunduran akibat konflik perebutan tahta. Kondisi internal Majapahit yang sedang bergolak tersebut membuat proyek Ekspedisi Pamalayu menjadi berantakan, termasuk dengan kondisi yang terjadi di Kerajaan Negara Dipa.

Kumpulan komunitas masyarakat yang ada di Berau pun akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Di penghujung abad ke-14 itu, mereka berupaya untuk menggagas penggabungan wilayah demi membentuk satu pemerintahan besar yang berdaulat dan independen. Momen inilah yang menjadi awal berdirinya Kerajaan Berau.

Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Berau

Penulisan historiografi tentang sejarah Kerajaan Berau pernah dilakukan oleh J. S. Krom pada kurun tahun 1939-1940. Dalam melakukan penelitian, periset sejarah asal Belanda ini dibantu oleh orang-orang yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan keluarga besar Kerajaan Berau, antara lain Sultan Sambaliung Muhammad Aminuddin, Sultan Gunung Tabur Achmad Maulana, dengan tim peneliti yang terdiri dari Klerk Lauw dan orang-orang lokal Berau termasuk Aji Berni Massuarno, Datu Ulang, Aji Raden Ayub, Abdulwahab, Alluh Bachrun, Adam, dan Chairul Arif.

Penelitian riwayat Kerajaan Berau yang diperoleh dari penelusuran data-data otentik dua pemerintahan pecahan Kerajaan Berau, yakni Kesultanan Sambaliung danKesultanan Gunung Tabur, serta naskah-naskah tradisional lainnya, menghasilkan rumusan tabir sejarah tentang Kerajaan Berau. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Kerajaan Berau didirikan oleh orang-orang Suku Berau yang pada awalnya terbagi atas beberapa komunitas atau kelompok masyarakat yang kemudian menyatukan diri.

Hasil penelitian yang dilakukan tim riset Krom menyebutkan bahwa adapun asal mula Kerajaan Berau itu pada awalnya terdiri dari lima banuwa atau nagri (banua atau nagari) dan dua kampung. Banua dan kampung adalah tingkatan wilayah administratif yang berlaku pada zaman itu. Banua yang pertama adalah Nagri Marancang yang dipimpin oleh Rangga Si Kannik Saludai dan dibantu oleh para punggawa bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal, dan Kuda Sambarani. Kedua adalah Nagri Kuran dengan pemimpinnya yang bernama Tumanggung Macan Nagara.

Banua yang ketiga adalah Nagri Bulalung di bawah kepemimpinan Angka Yuda yang mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kuripan. Yang keempat adalah Nagri Sawakung yang berada di tepi Sungai Kelay (anak Sungai Berau). Pemimpinnya adalah Si Patungut gelar Kahar Janggi dan wakilnya Si Balamman gelar Kahar Pahlawan.

Selanjutnya, yang kelima, adalah Nagri Pantai di bawah komando Rangga Batara yang mempunyai seorang anak perempuan yang terkenal cerdik bernama Si Kannik Barrau Sanipah. Dalam menjalankan pemerintahannya, Rangga Batara dibantu oleh sejumlah punggawa, antara lain  Rantai Tumiang, Unjit-Unjit Raja, Panas Karamian, dan Ujan Bawari.

Sedangkan dua kampung yang turut menggagas berdirinya Kerajaan Berau adalah Kampung Bunyut dan Kampung Lati. Kampung Bunyut terletak di Tanjung Batu, dengan pemimpinnya yang bernama Jaya Pati dan mempunyai seorang anak angkat bernama Dayang Bunyut Anak Raja Mangindanao. Terakhir adalah Kampung Lati yang berlokasi di cabang kiri Sungai Ulak (anak Sungai Berau) dan  dipimpin oleh Nini Barituk.

Kerajaan Berau diyakini berdiri tepat pada awal abad ke-15, yakni pada tahun 1400 M. Atas kesepakatan dari ketujuh wilayah, maka yang ditunjuk sebagai raja pertama Berau adalah Baddit Dippatung yang bergelar Aji Raden Soerja Nata Kasoema dan permaisurinya yang bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Poetari Paramaisoeri. Masa pemerintahan Kerajaan Berau yang pertama ini dimulai pada tahun 1400 dan berakhir pada 1432 M serta menempati pusat pemerintahan di Sungai Lati.

Baddit Dippatung dan Baddit Kurindan adalah anak angkat dari Nini Barituk, pemimpin Kampung Lati. Pemilihan pasangan ini sebagai pemimpin Kerajaan Berau yang baru saja terbentuk bukannya tanpa alasan. Asal-usul kelahiran Baddit Dippatung dan Baddit Kurindan yang konon terjadi secara ajaib dipercaya oleh ketujuh pemimpin banua/kampung sebagai petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Sosok Aji Raden Soerja Nata Kasoema dan Aji Poetari Paramaisoeri dikenal sangat berpengaruh dan berwibawa sehingga mereka berdua menjadi pemimpin yang sangat disegani.

Kondisi perpolitikan dan pemerintahan Kerajaan Berau berlangsung dengan aman dan tenteram selama berpuluh-puluh tahun sejak berdiri pada 1400 M. Perlahan tapi pasti, Kerajaan Berau mulai menapak masa-masa kebesarannya. Wilayah yang dikuasainya pun semakin luas dengan keberhasilan menaklukkan beberapa kerajaan lain, di antaranya termasuk Kerajaan Bulungan, Tidung, Sabah, Alas, dan Tungku.

Perjalanan sejarah Kerajaan Berau juga mengalami periodesasi Islam. Ajaran agama Islam mulai masuk dan berkembang di lingkungan Kerajaan Berau diperkirakan terjadi pada era pemerintahan raja ke-6, yakni Aji Temanggung Barani (1557-1589). Di masa ini, penerapan beberapa hukum kerajaan dengan berdasarkan pada syariat Islam sudah mulai diterapkan. Meskipun demikian, agama Islam belum menjadi agama wajib bagi seluruh warga Kerajaan Berau. Ajaran agama Hindu dan Buddha, yang merupakan bawaan dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, masih sangat kuat dan menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Kerajaan Berau.

Islam mulai mendapat tempat utama dalam keyakinan yang dipeluk Kerajaan Berau pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767). Gelar raja yang semula “Aji” dengan corak Hindu berganti menjadi “Sultan” yang bernuansa Timur Tengah menegaskan bahwa sejak saat itu Islam sudah menjadi agama resmi kerajaan. Syariat Islam semakin mantap menjadi bagian dari hukum pemerintahan ketika Kerajaan Berau dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin (1779-1800) yang semasa hidupnya sangat dihormati oleh segenap rakyat Kerajaan Berau.

Sementara itu, seperti halnya daerah-daerah lainnya di hampir seluruh Nusantara, penjajah Belanda pun sampai ke wilayah kekuasaan Kerajaan Berau. Pada tahun 1671, pihak Belanda mengirimkan utusannya yang bernama Paulus de Beck dan Chialloup de Noorman mengunjungi wilayah Kutai dan Berau untuk berusaha mengadakan hubungan dagang. Namun, di Berau usaha tersebut tidak berhasil pemimpin Kerajaan Berau tidak pernah mau menerima utusan Belanda tersebut. Pihak asing baru berhasil masuk ke Berau pada sekitar tahun 1833 di mana waktu itu Kerajaan Berau sudah terpisah menjadi dua pemerintahan yang berdiri sendiri-sendiri.

Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca tahun 1365 tidak menyebutkan nama Berau sebagai salah satu negeri yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada, kemungkinan Berau masih memakai nama kuno yang lainnya yaitu Sawaku/Sawakung (sebuah negeri lama di Kabupaten Berau). Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, menyebutkan hubungan Berau dengan Banjar pada masa Maharaja Suryanata, penguasa Banjar kuno abad ke-14 (waktu itu disebut Negara Dipa). Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata, pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (sebutan Banjar kuno pada masa Hindu), orang besar (penguasa) Berau sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan Raja Sambas dan Raja Sukadana. 

Berau dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas angin (= kerajaan di sebelah timur atau utara) yang telah membayar upeti. ‎Hubungan Berau dengan Kesultanan Banjar di masa Sultan Suryanullah/Sultan Suriansyah/Pangeran Samudera (1520-1546) disebutkan dalam Hikayat Banjar, waktu itu Berau salah satu negeri yang turut mengirim pasukan membantu Pangeran Samudera/Sultan Suriansyah dan juga salah satu negeri yang mengirim upeti. ‎Menurut Hikayat Banjar, pada pertengahan abad ke-17 Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir termasuk daerah ring terluar seperti Kutai, Berau dan Karasikan sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654. Maka sejak itu Berau tidak lagi mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar.

Perpecahan Kerajaan Berau

Bibit perpecahan di dalam lingkungan Kerajaan Berau sebenarnya sudah mulai muncul setelah masa pemerintahan penguasa Kerajaan Berau yang ke-9, Aji Dilayas (1644-1673), atau jauh sebelum periode pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin ataupun Sultan Zainal Abidin. Almarhum Aji Dilayas yang wafat pada tahun 1673 M mempunyai lebih dari satu istri sehingga muncul dua orang pangeran yang menjadi kandidat kuat pewaris tahta Kerajaan Berau selanjutnya, yakni Pangeran Tua dan Pangeran Dipati.

Pada saat penentuan penerus tahta inilah seringkali terjadi perbedaan pendapat yang tidak jarang memercikkan insiden di kalangan internal keluarga besar Kerajaan Berau. Sebelum konflik sempat membesar, diadakan forum musyawarah untuk menemukan solusi atas perbedaan pendapat tentang penerus tahta kerajaan. Penyelesaian masalah ini dilakukan secara internal oleh pihak kerajaan, tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun, termasuk pihak asing.

Sesuai dengan perundingan yang dilakukan oleh para sesepuh dan dewan kerajaan, maka kemudian disepakati bahwa sejak saat itu pemerintahan Kerajaan Berau dipimpin secara bergiliran oleh Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Sebagai putera sulung, Aji Pangeran Tua (1673-1700) memperoleh kesempatan pertama untuk melanjutkan tahta Kerajaan Berau. Memasuki abad ke-18, giliran Aji Pangeran Dipati  (1700-1731) yang berhak menjadi raja, dan begitu seterusnya.

Menjelang abad ke-19 M, bibit perpecahan mulai menguat. Pemimpin Kerajaan Berau yang berkuasa saat itu, yakni Sultan Zainal Abidin (1779-1800) yang merupakan keturunan dari Aji Pangeran Dipati, menderita penyakit cacar yang cukup parah. Dampak dari penyakit itu membuat kondisi Sultan Zainal Abidin menjadi cacat, yakni sang sultan tidak bisa lagi berbicara dengan lancar sehingga perkataannya tidak dapat dipahami oleh orang lain.

Situasi ini memunculkan wacana bahwa Sultan Zainal Abidin dianggap sudah tidak layak lagi memimpin kerajaan dan harus segera diganti. Pada saat inilah terjadi kericuhan mengenai siapa yang berhak menggantikan Sultan Zainal Abidin, apakah dari pihak keluarga Aji Pangeran Tua atau keturunan Aji Pangeran Dipati.

Adik dari Sultan Zainal Abidin yang bernama Gazi Mahyudin bersikukuh untuk menggantikan kakaknya. Di pihak lain, keturunan dari Aji Pangeran Tua yakni Raja Alam, juga merasa berhak memimpin Kerajaan Berau. Perselisihan ini membuat suasana menjadi semakin tegang dan mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat yang melibatkan gesekan antara pendukung kedua kubu. Jalan musyawarah pun tidak bisa lagi ditempuh karena setiap diadakan sidang untuk membicarakan masalah ini, pasti terjadi perdebatan yang tidak kunjung usai.

Sementara itu, konflik internal yang sedang melanda Kerajaan Berau rupanya dimanfaatkan dengan jeli oleh beberapa daerah taklukannya untuk mencoba lepas dari pendudukan Kerajaan Berau. Pada tahun 1800 M, Bulungan dan Tidung berhasil memisahkan diri dari Kerajaan Berau dan membentuk pemerintahan sendiri.

Pertikaian saudara yang terjadi di lingkungan keluarga besar Kerajaan Berau pada akhirnya memang tidak mampu diselesaikan. Setelah melalui proses sidang yang berbelit-belit dan berlangsung panas, maka diputuskan bahwa Kerajaan Berau akan dibagi menjadi dua, masing-masing untuk kubu yang merasa berhak memimpin kerajaan. Pihak keluarga Aji Pangeran Dipati memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau, serta wilayah kiri dan kanan Sungai Segah. Kubu keturunan Aji Pangeran Dipati ini kemudian mendirikan Kesultanan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Gazi Mahyudin.

Sedangkan kelompok keturunan Aji Pangeran Tua mendapat wilayah di sebelah selatan Sungai Berau, serta wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay. Dipimpin oleh Raja Alam yang bergelar Sultan Alimuddin, kubu ini mendirikan Kesultanan Sambaliung. Raja Alam terkenal sebagai pemimpin yang gigih menentang Belanda dan diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena perlawannya itu. Raja Alam sendiri diperkirakan masih mempunyai darah keturunan Bugis Wajo.

Demikianlah, sejak tahun 1800 M itu, riwayat panjang Kerajaan Berau berakhir dan peradaban rakyat Berau digantikan oleh dua pemerintahan baru yang sesungguhnya masih bersaudara. Sebenarnya hubungan yang terjalin antara dua kerajaan sedarah ini berjalan cukup harmonis meski sesekali terjadi perselisihan yang disebabkan oleh pengaruh yang diterapkan Belanda dengan politik adu dombanya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761) dibuat perjanjian antara Sultan Sepuh/Tamjidullah I (1734-1759) dari Banjar dengan Kompeni Belanda ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam perjanjian tersebut Kompeni Belanda akan membantu Sultan Tamjidullah I untuk menaklukkan kembali daerah Kesultanan Banjar yang telah memisahkan diri termasuk di antaranya Berau, negeri-negeri tersebut yaitu Berau, Kutai, Pasir, Sanggau, Sintang dan Lawai serta daerah taklukannya masing-masing. Kalau berhasil maka Seri Sultan akan mengangkat Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan selanjutnya Seri Sultan memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut untuk menyerahkan hasil dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni Belanda dengan perincian sebagai berikut :

Berau, 20 pikul sarang burung dan 20 pikul lilin.
Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin.
Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul lilin
Sanggau, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
Sintang, 60 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
Lawai, 200 tahil emas halus, dan 20 pikul sarang burung

Sultan Adam
Pada masa Sultan Adam dari Banjar dibuat perjanjian dengan Belanda yang di antara pasalnya menyerahkan vazal-vazal Banjar termasuk negeri Berau dan daerah-daerah lain di Kalimantan kepada Hindia Belanda. Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuahLeenstaat, atau negeri pinjaman.

Silsilah Raja Berau

Berikut ini adalah daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Berau sejak awal berdirinya hingga masa keruntuhannya:

Aji Raden Soerja Nata Kasoema dan Aji Poetari Paramaisoeri (1400-1432).
Aji Nikullam (1432-1461).
Aji Nikutak (1461-1492).
Aji Nigindang (1492-1530).
Aji Panjang Ruma (1530-1557).
Aji Temanggung Barani (1557-1589).
Aji Surya Raja (1589-1623).
Aji Surga Balindung (1623-1644).
Aji Dilayas (1644-1673).
Aji Pangeran Tua (1673-1700).
Aji Pangeran Dipati (1700-1731).
Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767).
Sultan Amiril Mukminin (1767-1779).
Sultan Muhammad Zaenal Abidin (1779-1800)


Sistem Pemerintahan Berau

Sebelum bergabung menjadi Kerajaan Berau, di wilayah sekitar Sungai Berau sudah terdapat beberapa pemerintahan kecil yang disebut banua atau kampung. Masing-masing dari pemerintahan kecil di Berau sebenarnya sudah memiliki kelengkapan untuk menjadi sebuah negara atau kerajaan. Mereka mempunyai pemimpin, rakyat, wilayah kekuasaan, dan pengakuan dari luar wilayah mereka. Setiap banua dipimpin oleh seorang kepala adat atau kepala suku sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin adat dan pemimpin agama.

Setelah negeri-negeri kecil tersebut berhimpun dan menjadi satu dalam kesatuan Kerajaan Berau, maka dibentuklah semacam dewan kerajaan yang anggotanya terdiri atas wakil dari masing-masing pemerintahan kecil yang menggabungkan diri untuk membentuk Kerajaan Berau tersebut. Dewan kerajaan ini mempunyai wewenang dalam mempengaruhi beberapa kebijakan kerajaan, terutama ketika suksesi pemilihan raja, keputusan untuk berperang, dan lain sebagainya. Meski demikian, raja yang telah terpilih setelah melalui sidang dewan kerajaan tetap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Wilayah Kekuasaan

Kerajaan Berau terbentuk berkat bergabungnya tujuh daerah pemerintahan yang semula berdiri sendiri-sendiri menjadi satu kesatuan wilayah, yakni antara lain Nagri Marancang, Nagri Kuran, Nagri Bulalung, Nagri Sawakung, Nagri Pantai, Kampung Bunyut, dan Kampung Lati. Oleh karena itu, wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh Kerajaan Berau pada masa awalnya juga merupakan gabungan dari keseluruhan wilayah yang dimiliki oleh masing-masing negeri yang kemudian bersatu tersebut.

Adapun nama-nama tempat yang akhirnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Berau antara lain Sungai Lati, Kuran, Muara Baru, Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam, dan Kinabatangan. Berikutnya adalah daerah Passut, Bandang, Maras, Ulu Kelay, Buyung-buyung, Semurut, Tabalar, Karang Bassar, Balikkukup, Mataha, Kaniiungan, Talisatan, Dumaring, Batu Putih, Tallauk Sumbang, dan Maubar.

Selain itu, masih ada juga Pulau Bira-Biraan Batu Baukir (terletak di Tanjung Mangkalihat) dan Gunung Bariun, serta daerah Rantau Petung, Parisau, Sata, Samburakat, Birang, Malinau, dan Si Agung. Pada perkembangannya kemudian, seperti yang ditulis oleh Mohammad Yamin dalam bukunya yang berjudul Tanah Air (1922), wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Berau semakin bertambah luas karena berhasil menaklukkan beberapa kerajaan, antara lain yaitu Kerajaan Bulungan,Kerajaan Tidung, dan Kerajaan Sabah.

Rumusan Mohammad Yamin di atas didukung oleh sejarawan dari Belanda H. J. Grizen dengan mengatakan, “Pada zaman dahulu, beberapa kepala pemerintahan di daerah Kalimantan Utara berasal dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan. Bulungan dan Tidung termasuk wilayahnya.” Bahkan, Grizen juga menambahkan bahwa wilayah Kerajaan Alas dan Kerajaan Tungku yang kemudian menjadi daerah pendudukan Inggris pernah menjadi daerah taklukan Kerajaan Berau.‎

Sejarah Kerajaan Pasir


Kesultanan Pasir pada awalnya berada di Sadurungas, kemudian pindah ke Pasir Belengkong. Kesultanan yang didirikan oleh pelarian dari Kerajaan Kuripan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan Kesultanan Banjar dengan status sebagai daerah taklukan.

Sejarah Awal Kerajaan Pasir

Sejarah Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi sekitar abad ke-16.  Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu.

Aria Manau yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang istri dikenal dengan nama Itak Ukop.

Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang (suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu, Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas, kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo.

Versi legenda menyatakan bahwa Putri Betung lahir bukan dari hasil perkawinan manusia melainkan dari sebutir telur yang tersimpan di dalam sebilah bambu (betung atau petung). Ketika masih bayi, Putri Betung hanya mau meminum susu dari kerbau putih . Di sini, terdapat kesamaan antara versi legenda dan fakta sejarah yang menceritakan tentang adanya kerbau putih, seekor hewan yang dipelihara oleh Aria Manau.

Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua) tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.

Perkawinan antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M

Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.

Pengaruh Islam di Kerajaan Pasir

Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600M.

Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra (memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir. Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim digunakan pada waktu itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680).

Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I) terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.

Dinamika Daerah Taklukan: Dari Kesultanan Banjar hingga Belanda

Daerah Pasir – yang kemudian menjadi Kerajaan Pasir -- telah menjadi daerah taklukan Kesultanan Banjar yang berdiri pada tanggal 24 September 1526  Sebagai daerah taklukan, Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi kesultanan diwajibkan untuk mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kesultanan Banjar berupa 10 kati emas urai, beras, dan padi.

Kebijakan pengiriman upeti tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat di Kesultanan Pasir. Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766) berangkat ke Kesultanan Banjar untuk meminta keringanan pengiriman upeti. Melalui langkah diplomasi, Sultan Sepuh I Alamsyah berhasil menawarkan solusi bahwa Kesultanan Pasir tidak lagi harus mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar, tetapi sebagai konsekuensinya, Kesultanan Pasir harus mengirimkan upeti 50 kati emas urai. Sultan Banjar memberikan waktu selama 1 tahun kepada Sultan Sepuh dan rakyatnya untuk menambang emas dan memberikannya kepada Kesultanan Banjar.

Usaha Sultan Sepuh dan rakyat Kesultanan Pasir tidak sia-sia. Mereka berhasil menambang emas dan menyerahkannya kepada Sultan Banjar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Atas dasar kesepakatan ini, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh, Kesultanan Pasir bisa menjadi daerah merdeka, dalam arti tidak wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya kepada Kesultanan Banjar.

Status sebagai sebuah negara yang merdeka bagi Kesultanan Banjar bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786). Setelah Sultan Ibrahim Alam Syah meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh Ratu Agung (1786 – 1788). Pada masa pemerintahan Ratu Agung, Kesultanan Banjar menjadi taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC).

Status Kerajaan Pasir sebagai daerah taklukan Pemerintah Hindia Belanda (VOC) dimulai ketika Belanda membantu Sultan Tahmidillah II dalam perang melawan Pangeran Amir. Perang ini adalah perang perebutan tahta yang terjadi di Kesultanan Banjar. Dalam perang tersebut, Sultan Tahmidillah II dibantu oleh Belanda sedangkan Pangeran Amir dibantu oleh orang-orang Bugis. Di akhir perang, yang terjadi pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan gabungan Sultan Tahmidillah II dan Belanda berhasil mengalahkan kekuatan gabungan Pangeran Amir dan orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilangka).

Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu ungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Permintaan ini dilakukan setelah peperangan berakhir. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787.

Salah satu poin penting dari perjanjian itu yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.

Kesultanan Pasir secara de facto telah menjadi daerah taklukan Belanda melalui perjanjian tanggal 13 Agustus 1787 tersebut. Belanda sebenarnya tidak mengetahui kesepakatan yang telah terjadi sebelumnya (pada masa pemerintahan Sultan Sepuh) bahwa Kesultanan Pasir sebenarnya telah menjadi daerah yang merdeka dan bukan lagi sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar. Meskipun demikian, Belanda tetap meminta pengakuan kedaulatan atas Kesultanan Pasir.

Penyerahan kedaulatan Kerajaan Pasir kepada Belanda baru dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853). Ketika ditabalkan sebagai sultan, untuk pertama kalinya A.L. Weddik, Residen Banjarmasin yang berpangkat Komisaris Gubernemen Belanda menghadiri acara penabalan. Pada waktu penabalan, Belanda mengikat secara de jureKesultanan Pasir melalui kontrak politik yang berisi:

Kesultanan Pasir mengakui sebagai daerah yang termasuk ke dalam wilayah jajahan Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir menyatakan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda dan taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kesultanan Pasir tidak akan mengadakan hubungan langsung ataupun membuat perjanjian dengan negara lain. Selain itu, musuh dari Belanda juga menjadi musuh Kesultanan Pasir.

Perlawanan terhadap Belanda

Perjanjian politik antara Sultan Adam II dan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh A.L. Weddik ternyata tidak sepenuhnya ditaati oleh Sultan Adam II. Beberapa kerjasama dengan pihak asing tetap dilakukan oleh Sultan Adam II tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda.

Salah satu kerjasama dengan pihak luar tersebut adalah kerja sama antara Sultan Adam II dengan seorang pedagang keturunan Arab dari Semarang yang bernama Syeh Syarif Hamid Alsegaf. Pedagang ini sering membawa pistol dan senapan untuk Sultan Adam II. Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang dikukuhkan dengan perkawinan antara Syeh Syarif Hamid Alsegaf dengan kemenakan sultan bernama Aji Musnah. Bahkan, Syeh Syarif Hamid Alsegaf kemudian diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan diberi gelar Pangeran.

Sultan Adam II juga menjalin hubungan dengan seorang pedagang lainnya bernama La Kumai dari Sulawesi Selatan. La Kumai kemudian dikawinkan dengan putri almarhum Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843) yang bernama Aji Rindu. La Kumai kemudian juga diangkat menjadi Menteri Kesultanan dan bergelar Pangeran Mas.

Salah satu tujuan kerjasama yang dilakukan oleh Sultan Adam II adalah membantu gerakan perlawanan di Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari. Sultam Adam II membantu gerakan dengan cara menyuplai senjata melalui gerakan bahwah tanah. Belanda yang mengetahui langkah-langkah Sultan Adam II mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan kemudian membuang Sultan Adam II ke Banjarmasin . Belanda beralasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sultan Adam II telah melanggar perjanjian politik yang telah disepakati sebelumnya.

“Pembangkangan” terhadap perjanjian politik terus menjalar sampai pewaris Kesultanan Pasir selanjutnya naik tahta, yaitu Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875). Di era pemerintahan Sultan Sepuh II, kebijakan Kesultanan Pasir sepaham dengan kebijakan Kesultanan Banjar yang melawab kepada Belanda. Perebutan tahta yang terjadi antara Sultan Tamjidillah II dengan Pangeran Hidayatullah ternyata menjalar pula ke Pasir. Sultan Sepuh secara tegas berada di belakang Pangeran Hidayatullah yang nyata-nyata mempunyai kedudukan yang sah sebagai pewaris tahta Kesultanan Banjar -- lain halnya dengan Sultan Tamjidillah II yang merupakan putera dari seorang selir yang tidak berhak untuk naik tahta. Pembangkangan ini semakin diperkuat dengan naiknya Sultan Tamjidillah II yang merupakan buah karya Belanda. Sultan Tamjidillah II dianggap sebagai pemimpin boneka buatan Belanda yang bertujuan untuk mengatur Kesultanan Banjar agar tunduk pada kekuasaan Belanda.

Penyebab utama keberpihakan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Hidayatullah dan Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari. Dalam sengketa perebutan tahta yang kemudian menimbulkan Perang Banjar (1859-1905) tersebut, Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir.

Pemimpin perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.

Pada saat Perang Banjar meletus, banyak pengikut Pangeran Antasari yang disembunyikan oleh Sultan Sepuh II maupun sultan setelahnya di Kesultanan Pasir. Tindakan inilah yang membuat Belanda menjadi murka karena selain tidak mentaati perjanjian politik yang ditandatangani pada masa pemerintahan Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853), Kesultanan Pasir juga memberikan tempat persembunyian bagi pengikut Pangeran Antasari yang merupakan musuh Belanda – dalam perjanjian tertera bahwa musuh Belanda adalah juga musuh dari Kesultanan Pasir.

Belanda tidak segera mengambil tindakan yang tegas untuk menyikapi “pembangkangan” dari beberapa sultan tersebut. Belanda hanya mewajibkan kepada para sultan yang memimpin Kesultanan Pasir untuk melakukan pelayanan sebaik-baiknya dalam hubungannya dengan urusan pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan perintah Residen Banjarmasin. Sikap “lunak” Belanda ini tetap tidak ditaati oleh para Sultan Pasir. Kesabaran Belanda sampai pada puncaknya ketika terjadi suatu peristiwa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898).

Kejadian ini berawal dari tindakan Sultan Muhammad Ali yang memberikan kelonggaran kepada para pegawainya untuk melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Akibat kelonggaran tersebut, beberapa perintah dari Residen Banjarmasin kurang mendapatkan pelayanan yang baik. Residen Banjarmasin yang mendapatkan laporan dari Asisten Residen yang mengadakan penyelidikan di Kesultanan Pasir kemudian memerintahkan kepada Sultan Muhammad Ali untuk datang ke Banjarmasin dan melaporkan serta mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Di luar dugaan Residen Banjarmasin, Sultan Muhammad Ali menolak untuk datang ke Banjarmasin. Bahkan, dengan tegas Sultan Muhammad Ali menyatakan bahwa urusan pemerintahan serta kebijakan di dalamnya yang menyangkut Kesultanan Pasir menjadi kewenangan Sultan Pasir, bukan kewenangan Belanda. Menghadapi sikap Sultan Muhammad Ali ini, Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan menangkap dan membuang Sultan Muhammad Ali ke Banjarmasin. Sultan Muhammad Ali akhirnya meninggal di tempat pembuangan.

Masa Akhir Kesultanan Pasir

Setelah Sultan Muhammad Ali dibuang ke Banjarmasin, terjadi kekosongan pimpinan pemerintahan di Kesultanan Pasir. Belanda kemudian mengangkat Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) yang dinobatkan sebagai sultan di Muara Pasir. Akan tetapi rakyat Kesultanan Pasir menolak sultan baru yang dinobatkan oleh Belanda ini. Rakyat kemudian mengangkat Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) yang dinobatkan di Benua.

Untuk mengatasi situasi yang semakin tidak kondusif di Kesultanan Banjar, maka Belanda mengambil tindakan tegas dengan mengambil alih pemerintahan di Kesultanan Banjar dalam periode tahun 1898 – 1899. Situasi  di Kesultanan Banjar akhirnya dapat diredakan setelah rakyat dan Belanda setuju untuk mengangkat sultan baru bernama Pangeran Ratu Raja Besar pada tahun 1899.

Dalam menjalankan pemerintahnnya, Pangeran Ratu Raja Besar mempercayakan urusan antara Kesultanan Pasir dengan Residen Banjamasin, J. Broes, kepada beberapa orang menterinya, yaitu Pangeran Mangku Jaya Kesuma, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, Pangeran Panji Nata Kesuma, dan Pangeran Dipati. Di antara keempat menterinya tersebut, hanya Pangeran Mangku Jaya Kesuma yang mendapat kepercayaan yang lebih besar untuk berhubungan dengan J. Broes.

Pada perkembangan kemudian, ternyata J. Broes lebih mempercayakan urusan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma daripada Pangeran Ratu Raja Besar. Atas dasar kepercayaan inilah, J. Broes akhirnya membuat surat pelimpahan kepercayaan yang berkembang menjadi surat pengalihan kekuasaan dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma.

Pengukuhan pengalihan kekuasaan Kesultanan Pasir dari Pangeran Ratu Raja Besar kepada Pangeran Mangku Jaya Kesuma diwakilkan kepada seorang overste dan asisten residen sebagai wakil dari Residen Banjarmasin. Kedua pegawai Pemerintah Hindia Belanda ini datang ke Kesultanan Pasir menggunakan tiga buah kapal yang lengkap dengan serdadu militer untuk mengantisipasi pergolakan yang mungkin terjadi sehubungan dengan pengalihan kekuasaan tersebut. Serah-terima kekuasaan akhirnya terjadi dan Pangeran Mangku Jaya Kesuma naik tahta dan bergelar Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908).

‎Sultan Ibrahim Chaliluddin ternyata tidak dikehendaki oleh rakyat Kesultanan Banjar. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan Ibrahim Chaliluddin tidak ditaati oleh rakyat, misalnya kebijakan untuk menarik belasting (pajak). Sebenarnya, Sultan Ibrahim Chaliluddin telah melakukan beberapa hal untuk menarik simpati rakyat, misalnya dengan mengangkat Aji Nyesei yang bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, putra dari Pangeran Nata Panembahan Sulaiman (seorang pewaris tahta yang memilih untuk tidak menggunakan haknya dan memberikan haknya kepada kemenakannya, yaitu Sultan Abdur Rahman Alamsyah) untuk diangkat menjadi raja muda. Akan tetapi semua upaya dari Sultan Ibrahim Chaliluddin tetap tidak bisa menarik simpati rakyat.

Melihat sikap rakyat yang kurang kooperatif terhadap kebijakan kesultanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mulai putus asa dalam memimpin Kesultanan Pasir. Apalagi Sultan Ibrahim Chaliluddin mendengar bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan kebijakan baru, yaitu mengadakan peraturan heerendients atau kerja rodi yang mewajibkan rakyat di Kesultanan Pasir untuk bekerja selama 20 hari tiap tahun, di samping kewajiban untuk membayar belasting.

Sultan Ibrahim Chaliluddin menilai bahwa rakyat di Kesultanan Pasir yang kurang dapat dikendalikan olehnya akan bersikap semakin melawan dengan adanya peraturan yang akan diterapkan oleh Belanda tersebut. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin juga tidak mampu melawan perintah dari Pemerintah Hindia Belanda karena statusnya sebagai daerah taklukan yang harus melaksanakan segala kebijakan yang datang dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Residen Banjarmasin. Sebagai jalan keluar, karena merasa sudah tidak mampu lagi untuk memimpin Kesultanan Pasir akibat dari berbagai tekanan, Sultan Ibrahim Chaliluddin mengajak para petinggi Kesultanan Pasir untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Sultan Ibrahim Chaliluddin menyarankan agar para petinggi dan kerabat Kesultanan Pasir menyerahkan pemerintahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan meminta ganti rugi bagi para bangsawan yang berhak atas pewarisan tahta Kesultanan Pasir.

Sebagian peserta musyawarah setuju dengan usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin, tetapi sebagian lainnya tidak setuju. Pangeran Jaya Kesuma Ningrat tidak setuju apabila Kesultanan Pasir diserahkan kepada Belanda karena pada suatu saat dia akan menjadi sultan. Pangeran Panji Nata Kesuma bin Sultan Abdur Rahman juga tidak setuju dengan saran tersebut karena Kesultanan Pasir adalah pusaka turun-temurun yang harus diperintah oleh zuriat para Sultan Pasir. Di pihak lain, Aji Meja Pangeran Menteri, Pangeran Mas, dan Pangeran Dipati menyetujui usul dari Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda.

Musyawarah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan Kesultanan Pasir kepada Belanda dengan kompensasi memberikan ganti rugi sejumlah uang kepada para bangsawan Kesultanan Pasir. Pada bulan Oktober 1907, melalui perantara Civil Gezaghebber (kepala pemerintahan sipil) Tanah Grogot, Kapten Droest, Residen J. Van Weerk memberitahukan kepada Sultan Pasir bahwa permohonan permintaan ganti rugi atas seluruh hak Kesultanan Pasir diterima baik oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Uang ganti rugi tersebut diputuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar N.F. 377.267.

Pada bulan April 1908, uang sebesar N.F. 377.267  yang dikirim oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia telah diterima oleh Gezaghebber Tanah Grogot. Selanjutnya, Gezaghebber Tanah Grogot memanggil Sultan Ibrahim Chaliluddin untuk mengumpulkan para bangsawan untuk diberi ganti rugi. Dalam pertemuan yang digelar kemudian, Gezaghebber Tanah Grogot mengeluarkan suatu akte tentang penyerahan Kesultanan Pasir kepada Pemerintah Hindia Belanda. Sejak ditandatanganinya akte penyerahan tersebut, secara de jure Kesultanan Pasir resmi diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Beberapa bangsawan yang tidak setuju dengan penyerahan tersebut memutuskan untuk mengadakan perlawanan. Pangeran Panji, Panglima Sentik, dan beberapa bangsawan lainnya bergabung bersama-sama dengan rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Para bangsawan ini mengangkat Pangeran Panji Nata Kesuma sebagai sultan kesultanan Pasir yang sah.

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Panji berlangsung antara tahun 1908-1912. Perlawanan ini berakhir karena Pangeran Panji tertangkap dan kemudian dibuang ke Banjarmasin. Tertangkapnya Pangeran Panji tidak menyurutkan timbulnya perlawanan serupa. Pada tahun 1913, seorang pengikut Pangeran Panji bernama Matjanang melancarkan perlawanan terhadap Belanda.

Sejalan dengan bergolaknya rakyat Pasir menentang Belanda, berdiri cabang Sarekat Islam (SI) pada tahun 1914 di wilayah Pasir. Para orator SI kemudian mendekati para bangsawan Pasir untuk menguatkan keberadaan organisasi ini di daerah Pasir. Karena merasa tertarik dengan propaganda dari para orator SI, para bangsawan Pasir akhirnya bergabung dengan SI. Bahkan, Sultan Ibrahim Chaliluddin menduduki posisi sebagai Presiden SI sedangkan adiknya yang bernama Pangeran Menteri menjadi wakil presiden. Keberadaan SI semakin kuat dan besar ketika Pangeran Ratu Raja Besar juga ikut serta masuk menjadi anggota SI.

Melalui SI, para bangsawan tersebut ternyata mendapatkan pencerahan dan sadar politik. Kesadaran berpolitik inilah yang akhirnya menjadi kesadaran bersama untuk membangun kekuatan dalam menghadapi Belanda. Para bangsawan yang sebelumnya setuju dengan penyerahan Kesultanan pasir, kini berbalik sadar bahwa tindakan yang mereka ambil semata-mata hanya menguntungkan Belanda. Mereka kini mulai melancarkan berbagai perlawanan dari pedalaman Pasir.

Pangeran Ratu Raja Besar, Andin Ngoko, Andin Gedang, Andin Dek, Pangeran Singa, Wana, Sebaya, Pangeran Jaya Kesuma Ningrat, dan Pangeran Perwira melancarkan perlawanan fisik mulai dari Teluk Apar, Teluk Adang, Pasir Benua, sampai pedalaman sungai Kadilo. Di sisi lain, Sultan Ibrahim Chaliluddin terus menggempur Belanda melalui aksi politik di bawah naungan SI. Perpaduan perlawanan fisik dan perlawanan politik ini mampu membuat Belanda kewalahan dan terpaksa meminta bantuan pasukan dari Banjarmasin pada tahun 1916.

Perlawanan para bangsawan Pasir berakhir dengan tertangkapnya para pemimpin pergerakan pada akhir tahun 1916. Bahkan, melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 19 November 1917 No. 43, Partai Sarekat Islam dibubarkan. Semua pengurusnya dinyatakan bersalah karena dituduh menghasut rakyat Pasir untuk mengadakan perlawanan. Melalui Surat Keputusan Gubernemen tertanggal 31 Juli 1918 No. 25, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dan memutuskan:

Sultan Ibrahim Chaliluddin dihukum buang seumur hidup ke Teluk Betung,
Pengeran Menteri dihukum seumur hidup dan diasingkan ke Padang,
Pangeran Perwira dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banyumas,
Aji Nyesei bergelar Pangeran Jaya Kesuma Ningrat dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Banjarmasin,
Pangeran Singa dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Garut,
Andin Dek dan Andin Ngoko masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Aceh dan Sawah Lunto,
Andin Gedang, Sebaya, dan Wana masing-masing dihukum 10 tahun dan diasingkan ke Cilacap, Semarang, dan Blitar.
Para pemimpin pergerakan perlawanan terhadap Belanda ini hampir semuanya meninggal dunia dalam pembuangan, kecuali Andin Dek dan Pangeran Jaya Kesuma Ningrat yang selamat menjalani hukuman dan kembali lagi ke Pasir.

Setelah meletusnya perlawanan rakyat dan bangsawan, Belanda meningkatkan penarikan pajak, pembatasan kesempatan memperoleh pendidikan (bahkan tidak pernah didirikan sekolah di Pasir), dan pengawasan secara ketat terhadap segala aktivitas rakyat. Berbagai tekanan yang dialami rakyat Pasir ini membuat kesempatan untuk bangkit melawan Belanda praktis tertutup sama sekali. Sesudah tahun 1917, rakyat Pasir tidak mampu mengadakan perlawanan.

Silsilah Raja Raja Pasir

Berikut ini adalah nama raja/ sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Pasir.

Ratu Putri Petung / Putri Di Dalam Petung (Sri Sukma Dewi Aria Manau Deng Giti) (1516 – 1567)
Raja Adjie Mas Patih Indra (1567 – 1607)
Raja Adjie Mas Anom Indra (1607 – 1644)
Raja Adjie Anom Singa Maulana (1644 – 1667)
Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680)
Sultan Panembahan Adam I (Adjie Duwo) (1680 – 1705)
Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726)
La Madukelleng (Arung Matoa dari Wajo, Bugis, Makasar) (1726 – 1736)
Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie Negara) (1736 – 1766)
Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie Sembilan) (1766 – 1786) *
Ratu Agung (1786 – 1788)
Sultan Dipati Anom Alamsyah (Adjie Dipati) (1788 – 1799)
Sultan Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji) (1799 – 1811)
Sultan Ibrahim Alamsyah (Adjie Sembilan) (1811 – 1815)*
Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1815 – 1843)
Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1843 – 1853)
Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1853 – 1875)
Pangeran Adjie Inggu (Putra Mahkota) putera Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara) (1875 – 1876)
Sultan Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) putera Sultan  Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil) (1876 – 1896) *
Sultan Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang) (1876 – 1898) **
Kevakuman pemerintahan kesultanan (diambil-alih Pemerintah Belanda) (1898 – 1899)
Pangeran Ratu Raja Besar (1899)
Sultan Ibrahim Chaliluddin (Adjie Medje) (1899–1908)

Sistem Pemerintahan

Sejak berdirinya Kerajaan Pasir yang kemudian menjadi Kesultanan Pasir, wilayah Pasir telah menjadi taklukan Kesultanan Banjar. Konsekuensi dari sebuah daerah taklukan adalah menjalankan semua kebijakan yang telah diputuskan oleh daerah induk (Kesultanan Banjar). Dalam urusan dengan pemerintahan, segala hal yang berkenaan dengan pengambilan kebijakan di Kesultanan Pasir harus mendapatkan persetujuan (izin) dari Kesultanan Banjar, termasuk di dalamnya dalam urusan pengangkatan sultan.

Selain tunduk dan patuh kepada Kesultanan Banjar, untuk urusan dalam negeri, Sultan Pasir juga memiliki beberapa perangkat pemerintahan. Di bawah kedudukan sultan, terdapat menteri yang bertugas untuk menjalankan perintah sultan. Perintah ini kemudian diteruskan kepada para kepala daerah yang disebut dengan gelar pangeran. Selain menjadi pemimpin daerah, seorang pangeran juga bertugas untuk menginformasikan dan menjalankan perintah dari menteri. Selain menjalankan perintah sultan, menteri juga bisa bertugas sebagai duta negara yang menggantikan fungsi sultan jika ada urusan ke luar daerah, misalnya ke Kesultanan Banjar ataupun ke tempat Residen Banjarmasin pada masa pendudukan Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Kalimantan secara umum dibagi ke dalam dua karesidenan yang terdiri dari beberapa swapraja atau daerah bekas kerajaan/kesultanan (gewest). Kedua karesidenan ini adalah Keresidenan Westerafdeling van Borneo dengan ibukota Pontianak dan Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin.

Ketika Belanda berkuasa atas Kesultanan Pasir sebagai kompensasi atas bantuan Belanda terhadap Kesultanan Banjar, secara struktur pemerintahan, wilayah Kesultanan Pasir dimasukan ke dalam de afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe Landen, yaitu sebuah afdeeling yang termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Zuide en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah “leenplichtige landschappen”, yaitu: Pasir, Pegatan, dan Koesan.

Atas dasar pengaturan tersebut, Sultan Pasir wajib memberikan laporan tentang kondisi pemerintahan dan segala kebijakan yang diambil, bahkan dalam urusan internal kesultanan kepada Residen Banjarmasin. Dalam hal ini, kedudukan Sultan Pasir dianggap sebagai kepala gewest saja. Akan tetapi jika berada di lingkungan kesultanan, kedudukan sultan merupakan kedudukan tertinggi.


Wilayah Kekuasaan


Wilayah Kesultanan Pasir sejak pemerintahan Putri Betung (1575 M) sampai dengan dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908, meliputi daerah yang sekarang ini disebut Kabupaten Pasir dan Penajam Paser Utara. Luas wilayah Kesultanan Pasir mencakup sekitar 14.937 Km2 atau 1.579.366 Ha, yang terdiri dari luas daratan 1.391.200 Ha dan luas perairan laut 188.166 Ha. Kesultanan Pasir berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu:

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan di Provinsi Kalimantan Timur yang pada saat itu berada dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura,
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Provinsi Kalimantan Selatan,
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah,
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar.

Luas wilayah Kerajaan Pasir diperkirakan juga meliputi sebagian kecil wilayah yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini, mengingat berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari daerah Kuripan (Amuntai) yang berada di wilayah Kalimantan Selatan. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya wilayah Kesultanan Pasir sedikit berkurang karena wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah (berdiri sendiri), yaitu menjadi Kerajaan Tanah Bumbu.

Dari mulai berdirinya Kesultanan Pasir sampai masa berakhirnya kesultanan ini, telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, yaitu:
Kuripan (sekarang Amuntai, Kalsimantan Selatan) adalah tempat asal-muasal Kerajaan Pasir,
Desa Lempesu atau dikenal dengan nama Sadurangas (27 KM dari Tanah Grogot, Kalimantan Timur) merupakan pusat kerajaan untuk pertama kalinya,
Gunung Sahari (1 Km sebelah selatan Museum Istana Sadurangas terletak di  Kecamatan Pasir Balengkong, Kalimantan Timur),
Benuwo (Pasir Belengkong, Kalimantan Timur),
Tanah Grogot (Pasir, Kalimantan Timur).‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...