Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Muna


Kerajaan Muna atau Wuna merupakan salah satu kerajaan besar yang berada di wilayah Sulawesi Tenggara. yang didirikan pada tahun 1371 hingga tahun 1956. Kerajaan ini terletak di Bagian Utara Pulau Muna dan beribukota di Kotano Wuna (kiniKecamatan Tongkuno), dengan Raja pertamanya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula Alias Remang Rilangiq yang menikah dengan Watandriabeng adik sawerigading (Epic I lagaligo)


Sejarah Awal Kerajaan Muna

Sebelum terbentuknya kerajaan Muna, di Muna telah terbentuk delapan kampung. Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampung yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi. . Kedelapan kampung itu kemudian dibagi menjadi dua wilayah utama yang terdiri atas 4 kampung. Empat kampung pertama dipimpin oleh kamokula, terdiri atas:

Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan empat kampung lainnya dipimpin oleh mieno yakni:

Kaura, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke.

Terbentuknya Kerajaan Muna

Sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saat ini di kenal dengan nama ‘Bahutara’.
Sawerigading dan para pengikutnya, kemudian berbaur dengan penduduk yang telah dahulu menetap dan membentuk komunitas di Pulau Muna. Lama kelamaan komunitas itu berkembang. Sawerigading dan empat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna. Suatu waktu dipilihlah suatu pemimpin untuk memimpin komunitas itu. Pemimpin yang dipilih adalah yang dianggap sebagai primus intervares.


Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna pertama.


Setelah dilantiknya La Eli bergelar Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I, Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah kerajaan berdaulat karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah danPemerintahan yang berdaulat dan seluruh perangkat masyarakat bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala aturannya yang bernama Kerajaan Muna.

Masa Pemerintahan Sugi Manuru

Setelah pemerintahan Bheteno Ne Tombula berakhir, Kerajaan Muna dipimpin oleh Sugi. Sugi bagi masyarakat Muna berarti Yang Dipertuan atau Yang Mulia.
Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
Dari kelima sugi yang pernah memimpin kerajaan muna, Sugi Manuru-lah yang dianggap berhasil membawa banyak perubahan di kerajaan muna dalam berbagai aspek.

Masa Pemerintahan Lakilaponto

Setelah masa pemerintahan sugi berakhir pemerintahan kerajaan muna dijalankan olehLakilaponto. Lakilaponto menjadi raja muna VII setelah menggantikan ayahandanya, Sugi Manuru sebagai raja muna. Selama menjadi raja muna, Lakilaponto terkenal akan keberaniannya. Pada masa pemerintahannya dibangunlah benteng mengelilingi ibu kota kerajaan muna, untuk menghalau dan menghadang ancaman serangan yang datang dari luar. Lakilaponto memerintah kerajaan muna selama kurang lebih 3 tahun (1517-1520) sebelum digantikan oleh adiknya sendiri, La Posasu.

Daftar Raja-Raja Muna

1- La Eli alias Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,alias Remang Rilangiq (Menjadi Raja Luwuk Purba sebagai Soloweta Raja = Raja Pengganti di Kerajaan Luwuk Purba Menggantikan Sawerigading (1371 – 1395).
2- La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1395 – 1420).
3- La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1420 – 1455)
4- La Patani gelar Sugi Patani ( 1455 – 1470)
5- Sugi La Ende (1470-1501)
6- ugi Manuru gelar Omputo Mepasokino Adhati( 1501-1517)
7- Lakilaponto Alias Murhum di Buton atau La Tolalaka di Kendari ( 1517 -1520), Menjadi Sultan Buton I dengan nama Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1520-1564)
8- La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1520-1551).
9- Rampeisomba gelar Karawawono ( 1551-1600).
10- Titakono ( 1600- 1625 )
11- La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
12- La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)
13- Wa Ode Wakelu ( 1667-1668).
14- La Ode Muh. Idris. (Soloweta Raja 1668-1671).
15- La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
16- La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1758, 1764-1767)
17- La Ode Pontimasa Kapitalao Wolowa di Buton(Soloweta Raja)( 40 hari )
18- La Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
19- La Ode Umara gelar Omputo Nigege
20- La Ode Mursali gelar Sangia Gola
21- La Ode Tumowu Kapitalao Lakologou di Buton (Soloweta Raja)
22- La Ode Ngkumabusi (Soloweta Raja)
23- La Ode Sumaeli gelar Omputo Nisombo
24- La Ode Saete gelar Omputo Sorano Masigi ( 1816-1830 )
25- La Ode Malei (Soloweta Raja)
26- La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
27- La Ode Ali gelar Sangia Rahia ( Soloweta Raja 1861-1864 )
28- La Aka Alias Yaro Kapala (Bhonto Balano / Perdana Mentri Merangkap Raja Wuna 1864-1866)
29- La Ode Ngkaili ( 1866-1906)
30- La Ode Ahmad Maktubu gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 – 1914)
31- La Ode Pulu (1914-1919)
32- La Ode Safiu gelar Oputa Motembana Karoona / Oputa Moilana Yi Waara ( 1919-1922), Sultan Buton ke 36 (1922-1924)
33- La Ode Rere gelar Omputo Aro Wuna (1926-1928 )
34- La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ). 1938-1947 terjadi Kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna
35- La Ode Pandu gelar Omputo Milano te Kosundano ( 1947-1956)
36- La Ode Sirad Imbo (Pelaksana Sementara) (2012-Sekarang)

Sejarah Perjuangan Menentang Penjajahan

Kerajaan Muna melakukan konfrontasi dengan Penjajah di mulai dengan keterlibatan Lakilaponto Raja Muna ke VII (1517-1520) menumpas Armada bajak laut Banggai Labolontio yang selalu menggangu keamanan kerajaan-kerajaan tetangga disekitarnya. selain itu, Lakilaponto juga Setelah Bertahta di Buton tahun (1520-1564) dan Mememeluk Islam yang dibawah oleh Syeid Abdul wahid dari Mekah ( Daulah Turky Usmani), dia berperan aktif menghalau Portugis di Tenggara Sulawesi, Banggai, selayar, Maluku, dan Solor NTT, sehingga Penjajahan Portugis tidak terlihat di Tenggara Sulawesi . 

Pada Masa Raja Wuna ke X La Titakono (1600-625) Kerajaan Muna menolak Campur tangan VOC di Buton karena dapat mengancam keutuhan dan persatuan Kesultanan Butuni Darusalam setalah mengetahui gelagat VOC di Buton. Namun pada akhirnya Sultan Buton tetap melakukan perjanjian Abadi tersebut pada tahun 1613 di bawah pimpinan Sultan Dayanu Iksanudin alias Laelangi. Dampak dari perjajian tersebut merenggangkan hubungan persaudaraan yang telah dibina oleh para pendahulu kedua kerajaan ini. Efek domino dari kerjasama tersebut Menimbulkan peperangan antara Muna dan Buton di Bawah pimpinan Raja Muna XII Sangia Kaendea (1626-1667). Mula-mula Kerajaan Muna memenangi Peperanga tersebut, namun setelah Buton mendapat bantuan dari VOC maka pasukan kerajaan Muna harus mundur. 

Selang beberapa waktu pasukan buton yang diperkuat oleh armada Kapal VOC berlabu di peraiaran pulau lima tepatnya di depan lohia. Pihak Bunton dan VOC mengirim utusan untuk menemui Raja Wuna dengan alasan perundingan perdamaian diantara kedua bela pihak. Mula-mula La Ode Ngakdiri/ Sangia Kaendea meragukan hal tersebut, namun karena terbujuk oleh alasan persaudaraan akhirnya iapun turut serta dalam melakukan perundingan itu. Sesampainya di pulau lima Raja Wuna tersebut tidak diajak untuk berunding seperti apa yang diberitahukan semula, dia ditangkap dengan tipu muslihat oleh Buton dan VOC dan diasingkan keternate, setelah beberapa lama kemudian Raja wuna tersebut diselamtkan kembali oleh Pihak kerajaan Muna dan kembali menduduki tahta Kerajaan Muna. Perlawanan Raja Muna berikutnya dilakukan oleh La Ode Saete (1816-1630) yang melakukan peperangan dengan pihak Belanda dan Buton sehingga banyak menghancurakan kapal-kapal Belanda dan Buton di Muna. selain itu Raja Muna tersebut mengorganisir semua kekuatan tempur yang ada dan melakukan perang semesta melawan penjajah sehingga dia mampu mempertahankan kerajaan Muna dari serangan musuh yang datang bertubi-tubi. Perjuangan Kerajaan Muna berikutnya dipelopori oleh La Ode Pulu (1914-1918), dia menentang keras perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 Antara Buton dan Belanda. 

Raja Muna mengagap perjanjian tersebut adalah Ilegal dan sepihak yang tidak sesui dengan Peraturan Adat di Muna sehingga dia melakukan perlawanan Rakyat secara gerilya dan banyak mematahkan serangan pasukan Belanda. Walau demikian dia akhirnya tetap terbunuh dalam peperangan tersebut karena minimnya jumlah persenjataan dan logistik perang. Hal tersebut menandai awal runtuhnya kedaulatan Kerajaan Muna dan makin kuatnya cengkaraman Belanda dan Buton di Muna. Walau demikian, para Raja-Raja Wuna berikutnya tetap Menolak Isi Perjanjian tersebut sehingga pergantian Raja-raja Muna berikutnya selalu tidak berlangsung lama. Perjuangan Rakyat Muna terus bergolak menentang penjajahan Belanda hingga akhirnya membentuk banyak laskar-laskar Rakyat dan beberapa Batalion tempur diantaranya Batalion Sadar yang merupakan embrio berdirinya KODAM WIRABUANA di Makssar dan Mendukung Kesepakatan Malino untuk bergabung dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Urutan Formasi Sarano Wuna(Pasangkululi)

Regu Pogala ialah regu perintis yang bersenjatakan tombak pemungkas (Gala). Sebagai regu perintis jalan, mereka memperagakan tarian perang, yang diperagakan oleh 4 orang prajurit pilihan. Seorang pemegang Tombi (bendera), seorang memainkan Gala, dan dua orang lainnya memukul gendang Pomani (gendang perang).

Omputo (Raja) : sebagai kotubu (kutub kekuasaan) : ia memakai peci poporoki (Daster Kebesaran) dan dipayungi dengan Pau (Payung Kebesaran). Sebagai Ulil’amri, ia mengenakan kostum Balahadhadha (simbol dari perlindungan segenap warga); disapa dengan Waompu (Kromo Inggil). BersenjatakanPasatimpo (Keris Pusaka) yang diselip pada lilitanSulepe (Pending). Berjalan diapit oleh 2 orang Kapitalao (Laksamana); disebelah kanannya Kapitalao Matagholeo (Laksamana Armada Timur); disebelah kirinya Kapitalao Kansoopa (Laksamana Armada Barat).
Kapitalao (Laksamana) : pimpinan sayap militer Sarano Wuna. Membawahi 4 komando daerah masing-masing 1 Kapita dan 3 Bharata (Bharata Tolu Peleno). Memakai daster dan baju kebesaran militer seorang Laksamana, kedua orang Kapitalao mengapit Omputo. Kapitalo Matagholeo memegang pedang kebesaran yang dijuluki La wiira ninggai meharono tapuaka (si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).

Sambil memegang pedang kebesaran dengan Ewa Wuna (Pencak Silat Khas Muna) dengan suara menggelegar ia berkata : ‘Turu, turu,turu; laha lahae somogilino wampanino, bisaramo nando aitu; ainihae la wiira ninggai meharono tapuaka; turu, turu, turu (tunduk, tunduk, tunduk; siapa-siapa yang ingin menentang, katakanlah sekarang juga; ini dia si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).

Kapitalao Kansoopa memegang Pandanga (Tombak Kebesaran) dalam sikap siaga penuh menunggu kalau-kalau ada penantang.
Bhonto Bhalano (Mangkubumi); ia adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Membawahi 4 Ghoera (Wilayah Besar) dan 8 orang Bobato (Adi Pati). Memakai daster dan baju kebesaran seorang Mangkubumi. Disebelah kirinyaMintarano Bhitara (Hakim Tinggi), berjalan sejajar. Pasangan itu diapit oleh Fato Ghoerano 94 pimpinan wilayah besar) : Koghoerano Tongkuno dan Lawa disebelah kanan Bhonto Bhalano, Koghoerano Kabhawo dan Katobu disebelah kiri Mintarano Bhitara. Keenam orang ini adalah anggota Majelis Tinggi diketuai oleh Bhonto Bhalano. Merekalah yang berhak memilih Raja dan Kapitalao. Di belakang barisan bersaf mereka, berjejer Fato Lindono (4 orang staf) pribadi Raja). Mereka adalah personifikasi dari filosofi kemasyarakatan : Kainsitala(Kesejajaran/kesetaraan), Kaura-ura (Kreatifitas), Bhalembo-lembo (perkumpulan/persatuan) dan Ndoke (cerdas dan tangkas).
Bharata Tolu Peleno menggunakan pakaian kebesaran militer Sarano Wuna, mereka adalah pimpinan komando daerah militer di 3 Bharata : Laghontoghe, Loghia, dan Wasolangka.

Bobato Oaluno; dengan pakaian kebesaran seseorang Adipati merekalah ini adalah pimpinan di delapan Bobato : Labhoora, Lakologou, Lagadi, Watumelaa, Lasehao, Kasaka, Mantobua dan Tobea.
Sara Hukumu (Hukamah) terdiri dari :
Kino Agama (Ketua Ulama); berdiri disebelah kiri Raja. Pasangan ini mempersonifikasikan harmoni ulama dan umara. Memakai jubah kebesaran dan sorban Kino Agama, jubah ini adalah simbol perlindungan segenap warga.
Imamu (Imam Mesjid Raya); memakai jubah dan sorban seorang imim. Pakaian itu adalah simbol dari perlindungan segenap warga terhadap adhala hu yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari ubun-ubun hingga leher manusia.

Hatibi Ruduano (Pasangan Hatib); memakai jubah dan sorban seorang hatib. Keduanya mengapit imam di kanan kirinya. Khatib Tongkuno di kanan dan Khatib Lawa di kiri. Pakaian kedua Khatib adalah simbol perlindungan segenap warga dari adhala ha yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari bahu hingga pinggul manusia.

Modhi Kamokula popaano (4 Moji Senior); memakai juba dan sorban Moji senior, berjejer di belakang Imam. Juba dan sorban mereka adalah simbol perlindungan segenap warga dari Adhala Hi yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan yang menimpa keempat anggota tubuh manusia.
Barisan inilah yang disebut Kolambu Rayati (Kelambu Rakyat). Zaman Kerajaan dahulu Raja dan Sara Hukumu bertanggung jawab apabila (bencana) kemanusiaan menimpa warga. Bila pertanggung jawabannya tidak beralasan cukup, Mahkamah Sarano Wuna berhak memberhentikan mereka.
Modhi Anahi Popaano (4 Moji Yunior) juga memakai jubah dan sorban. Mereka adalah aparat yang sewaktu-waktu menggantikan tugas-tugas Modhi Kamokula bila mereka berhalangan.

Sara Hukumu bertugas melantunkan takbiru (Takbir khas Muna) di dalam setriap kirab
Modhi Popaano Loghia (4 orang Moji dari mesjid Loghia); memakai jubah dan sorban seorang Mijo Bharata. Tugas mereka adalah Tambi yaitu menopang Takbiru yang dilantunkan oleh Sara Hukumu. Barisan mereka bersaf di belakang barisan modhi anahi.

Bhelo Bharuga (Aparat Keraton) terdiri dari :
Wangkaawi (Regu pembawa senjata Kerajaan) berjumlah 12 orang terdiri dari: Tunani (perwira) 4 orang. 
Firisi (Opsir) 4 orang, 
Siriganti (Bintara) 4 orang. 
Jejeran Tunani didepan, Firisi di tengah dan Siriganti di belakang.

Kapita (Pimpinan Komando kawal Keraton); berpakaian kebesaran selaku Perwira Militer, bersenjata keris, berjalan disebelah kanan Wangkaawi.
Bhonto Kapili (perwira pilihan); terdiri dari 4 orang perwira. Seorang memayungi raja dengan payung kebesaran; dua orang ajudan dan seorang lainnya memegang gambi (kendaga) raja yang berisi sirih pinang serta perlengkapannya. Mereka berderet di belakang raja.
Pasi (Prajurit Yudha); berpakaian seragam militer Sarano Wuna dan berenjata. Terdiri dari 40 orang, 5 staf masing-masing 8 orang.
Bhonto Litau (pemangku Protokol Keraton); berpakaian resmi sebagai seorang pemangku dan bersenjata. Berderet bersama barisan fato lindono.
Sampu Moose (Kejora Hinggap) berjumlah 10 orang Keda-keda (dedara). Berpakaian resmi Sampu Moose, menunggangi 10 ekor kuda berlonceng dan berkekang kuningan. Dikawali oleh 10 orang pemuda perkasa, Sampu Moose adalah regu pelestari tarian Linda (Limbai) selaku tarian asli Muna.

Sistim Pemerintahan

Pada dasarnya, sistem monarki (kerajaan) biasanya di daerah-daerah lain adalah jabatan turun-temurun akan tetapi di Kerajaan Muna. Rajanya dipilih oleh suatu Dewan Kerajaan (yang disebut Dewan Sara). Dewan Sara ini dijabat oleh Golongan Walaka. Dewan sara ini bertugas memilih, mengangkat dan memberhentikan raja.

Proses pemilihan raja biasanya diawali dengan pertemuan Dewan Sara (mungkin semacam Sidang Umum MPR di negara kita sebelum pemilihan predisen secara langsung). Dari sidang Dewan Sara inilah dipilih siapa yang berhak menjadi raja. Namun yang berhak menjadi Raja adalah tetap golongan Kaomu sebab golongan inilah yang mendominasi jabatan eksekutif. Sedangkan jabatan legislatif dijabat oleh golongan Walaka dan terkadang Walaka ini dinamakan golongan Sara. Dalam pemilihan raja, biasanya calon raja diusulkan oleh para anggota dewan yang mengakili aspirasi masyarakat. Akan tetapi jika calon raja hanya satu orang, maka calon raja tersebut langsung dinobatkan sebagai raja. Kerajaan Muna Juga mengenal sistem putra mahkota.

Raja yang terpilih sebelum dilantik, diambil sumpahnya terlebih dahulu. Pada masa Islam, raja yang akan dilantik harus mengucapkan dua kalimat sahadat dahulu, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah raja, yang berisi sebagai berikut:

Hansu-hansuruana badha somano konohansuru liwu, artinya biarlah badan hancur (binasa) asalkan negara tetap berdaulat.
Hansu-hansuruana Liwu somano konohansuru sara, artinya biarlah negara porak-poranda asalkan pemerintahan tetap tegak
Hansu-hansuruana sara somano konohansuru adhati, artinya biarlah pemerintahan bubar/goyah asalkan adat tetap ada.
Hansu-hansuruana adhati somano konohansuru tangka agama, artinya biarlah adat hancur/tidak terpakai lagi asalkan agama tetap ada.

Selain itu pemerintahan Kerajaan Muna terdiri Dewan Kerajaan yakni

Omputo (Raja)
Bhonto Bhalano
Mintarano Bhitara
Kapita Lau 2 orang
Kapita 1 orang
Koghoerano 4 orang
Fatolindono 4 orang.

Raja Muna

Raja Muna menangani pemerintahan di atas seluruh daerah Muna. Dia dibantu pertama-tama oleh bhonto bhalano dan selanjutnya oleh Syarat Muna. Dia juga ketua Syarat Muna. Dia mengangkat serta memberhentikan pejabat-pejabat tinggi setelah mendengarkan Syarat Muna dan sesuai dengan pendapat mereka. Semua keputusan Syarat Muna harus dikuatkan olehnya

Bhonto Bhalano

Sebenarnya dialah yang menyelenggarakan pemerintahan di Muna. Kedudukannya dalam Syarat Muna sama tinggi dengan Raja Muna. Dia menjadi anggota Syarat Muna dan ketuanya dalam perkara-perkara hukum. Sebagai jawatan tertinggi dia memberikan pendapatnya dalam berbagai perkara-perkara hukum. Keputusannya hampir selalu disetujui oleh Raja Muna. Dia bertempat tinggal di kota Muna. Dia berhak atas penjagaan di rumahnya oleh empat orang

Mintarano Bhitara

Mintarano bhitara membawa kata yang diucapkan oleh yang lebih rendah kedudukannya kepada bhonto bhalano. Sekaligus ia menyampaikan kepada anggota Syarat Muna di dalam rapat segala sesuatu yang mau disampaikan pada Syarat oleh Raja Muna atau bhonto bhalano. Dia menanyakan terdakwa dan saksi-saksi dalam sidang Syarat Muna serta semua pihak dalam perkara-perkara perdata. Merundingkan dengan keempat ghoerano mengenai keputusan yang akan dijatuhkan serta menyampaikannya kepada bhonto bhalano

Ghoerano

Tugas utamanya adalah menjaga ketentraman dan keamanan di wilayahnya. Mereka bertugas mengawasi kino dan mino di dalam wilayah mereka. Menjadi anggota Syarat Muna. Mengambil keputusan hukum di kampung-kampung. Mereka dapat diangkat menjadi bhonto bhalano, bertempat tinggal di kota Muna.

Kino dan Mino

Kino dan Mino bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di wilayahnya masing-masing, dibawah pengawasan Ghoerano

Fato Lindono

Tugas mereka mengurus semua urusan rumah tangga di rumah Raja Muna, wajib mengurus kayu bakar dan air, serta pada awal wajib menjaga Raja Muna. Ketika kemudian tugas ini menjadi terlalu berat bagi empat orang, mereka mendapat bantuan dari orang lain sehingga mereka menjadi kepala para pembantu Raja Muna. Pembantu yang tidak menetap di kota Muna, bertempat tinggal di empat kampung Kaura, Lembo, Kancitala, dan Ondoke. Keempat kampung itu mendapat nama sesuai dengan nama keempat kepalanya. Kampung-kampung ini dinamakan fato lindono, ‘empat bagian (baru)’. Keempat kepala itu mendapat gelar mino‘orangnya’.

Bhontono liwu dan Kamokula

Mereka mempunyai tugas antara lain :

Mengurus semua keperluan ladang. Inilah tugas utama mereka.
Menyampaikan perintah dari kino atau mino kepada penduduk kampung dan mengusahakan agar perintah ini ditaati.
Mengurus semua perselisihan kampung. Bila mereka tidak mampu mengurus suatu perselisihan, maka akan diajukan kepada kino atau mino.
Mengurus pengadilan sebagai Syarat Kampung
Bila ada tamu yang lebih tinggi kedudukannya mengunjungi kampung, mengurus segala sesuatu (menyediakan tempat bermalam, mengurus kayu, air, penjagaan dan sebagainya).

Pertahanan 

Pertahanan Kerajaan Muna menjadi tanggung jawab Kapitalao yakni 
Kapitalao Matagholeo (Kapten Armada Laut Timur) dan 
Kapitalao Kansoopa (Kapten Armada Laut Barat) 
keduanya bertugas menjaga wilayah pantai Kerajaan Muna dari serangan musuh. 
Kapitalao ini dipilih dari kepala kampung (Kino) yang bergelar Bobato Oaluno yakni Kino Tobea,Kino Kasaka,Kino Labora, Kino Lakologou,Kino Mantobua,Kino Lagadi,Kino Watumela,Kino Lasehao. Kapitalao Matagholeo berkedudukan di daerah Loghia, dan Kapitalao Kansoopa berkedudukan di daerah Wasolangka. Dalam menjaga wilayah pantai Kapitalao dibantu oleh Kino Barata yakni Kino Wasolangka,Kino Loghia,Kino Lahontohe dan Kino Marobea. Sedangkan keamanan wilayah ibukota dan Istana Kerajaan menjadi tanggung jawab Kapita (Kapten) yang dibantu oleh prajurit kerajaan. 

Pejabat yang berperan dalam pertahanan Kerajaan Muna antara lain :

Kapitalao

Kedudukan kapitalao ini hanya dapat diisi oleh para kino dari delapan kampung, yaitu Labora, Lakologou, Tobea, Mantobua, Lagadi, Watumelaa, Lasehao dan Kasaka (para kino ini disebut bobatu oaluno) dan ketiga kino bharata (Lohia, Lahontohe dan Wasolangka). Para kino dari kampung-kampung lainnya tidak dapat dipilih menjadi kapitalao. Para kino dari kampung-kampung lainnya dapat diangkat sebagai kino salah satu dari delapan kampung tersebut di atas, untuk kemudian dapat dicalonkan sebagai kapitalao.

Kapita

Kapita adalah dari golongan La Ode. Dia dipilih dari keturunan Raja Muna, kapitalao, dan kino yang pertama-tama diangkat. Ada dua orang yang dicalonkan, satu oleh ghoerano Tongkuno dan Kabawo, serta satu lagi oleh ghoerano Lawa dan Katobu. Nama kedua calon ini disampaikan kepada bhonto bhalano oleh ghoerano Tongkuno. Bhonto bhalano bersama mintarano bhitara memilih satu dari kedua calon tersebut. Kapita berfungsi sebagai komandan pasukan pertahanan dalam wilayah kotano wuna

Kino Bharata

Tugas mereka adalah melindungi wilayah dan hak-hak Raja Muna terhadap penyerangan dari luar . Karena itu mereka ditempatkan di tiga tempat pelabuhan di Muna, yaitu Lohia, Lahontohe, dan Wasolangka. Mereka juga dibebani dengan tugas agar pedagang-pedagang membayar imbalan kepada Syarat Muna untuk hasil hutan yang di kumpulkan. Sebagai kino dibebani urusan pengadilan.Berhak menetap di kota Muna dan berumah di sana. Dapat terpilih menjadi kapitalao.

Lotenani

Lotenani adalah penjaga utama Raja Muna. Bila di dalam ibukota terjadi suatu kejahatan dan pelaku-pelakunya melarikan diri lewat darat, maka lotenani akan mengejarnya. Untuk itu lotenani dapat menggunakan satu firisi, satu siriganti, satu bhonto kapili, Lotenani dipilih dari golongan anangkolaki

Firisi

Firisi terbagi atas Firisino Pasi dan Firisino Kolaki. Firisino pasi adalah kepala pasi (tentara) .Firisino kolaki adalah pemimpin siriganti (penjaga perhiasan istana)

Pasi

Pasi adalah tentara dalam Kerajaan Muna. Ada 40 orang pasi, yaitu dari setiap ghoera sepuluh orang. Para pasi adalah dari golongan anangkolaki. Pasi juga bertugas dalam istana mereka khusus mengawasi cara duduk yang sopan anggota Syarat dan orang-orang lainnya dalam kehadiran Raja Muna

Kerajaan Muna pernah beberapa kali berperang baik antara Kerajaaan Muna dengan Kerajaan tetanggan maupun perang internal dalam lingkup Kerajaan Muna.serta peperangan melawan Kolonial Belanda.

Perekonomian

Perekonomian Kerajaan Muna didominasi oleh sektor pertanian tradisional, perikanan dan juga perdagangan. Sektor pertanian mendominasi mulai dari wilayah utara Kerajaan Muna hingga perbatasan dengan Kesultanan Buton di wilayah selatan Kerajaan ini dan merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Kerajaan Muna. Sektor perikanan terdapat di wilayah pesisir seperti Loghia, Lahontohe, Wasolangka dan Tobea. Sedangkan sektor perdagangan dapat dijumpai di wilayah yang menjadi pelabuhan utama Kerajaan Muna yakni Lahontohe, Wasolangka dan Loghia. Setiap tahun pada bulan Maulud, setiap ghoera (Semacam Provinsi) harus menghasilkan suatu pajak sebesar 40 bhoka= Rp 96. Jadi jumlahnya 160 bhoka = Rp 384. Jumlah uang ini harus dihasilkan oleh semua orang maradika dan wesembali, jadi hanya orang yang tinggal di luar Kota Muna. Golongan La Ode dan Walaka dalam hal ini dibebaskan. Pajak ini, yang dinamakan wulusau, dapat berupa uang atau barang, seperti beras, kain putih, sarung dan seterusnya. Pajak ini dibayarkan pada bhonto bhalano, yang harus membaginya pula dengan Raja Muna, mintarano bhitara, kedua kapitalao, keempat ghoerano serta semua kino dan mino. Cara membaginya sama dengan yang berlaku pada wawontobho. Selanjutnya, pada zaman dahulu di ghoera Kabawo pada setiap bulan puasa dibayar pajak gula yang dibuat dalam sebelumnya. Bila orang membuat gula, maka di dalam hutan dibuat sebuah pondok kecil pada tempat bekerja, bhantea namanya. Pada setiap bhantea bekerja 10 sampai 30 orang. Pajak setiap bhantea adalah 300 potong gula yang dihasilkan oleh para maradika dan wesembali. Penghasilan total pajak gula ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu satu bagian untuk Raja Muna, satu bagian untuk bhonto bhalano bersama-sama dengan mintarano bhitara, dan satu bagian lagi untuk ghoerano Kabawo bersama dengan kino, mino, imam, khatib dan semua modhi dari Ghoera Kabawo. Bila pada saat pembayaran pajak ini, kapitalao berada di kota Muna, maka merekapun mendapat sebagian. Juga bilamana hasil hutan mau diekspor, maka harus dibayar suatu pajak, yang biasanya ditentukan sebesar 10% dari harganya. Harga pajak ini dibayarkan pada kino, yang harus membaginya dengan Syarat Muna.

LA KILAPONTO RAJA MUNA YANG MENJADI RAJA DI LIMA KERAJAAN BESAR DI WAKTU YANG BERSAMAAN

Lakilaponto Raja Muna VII (1538- 1541 M ), adalah manusia yang fenomenal. Dia memimiliki kesaktian yang tinggi, ahli strategi perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar ketata negaraan. Karena kepiawaiannya tersebut LA KILAPONTOpernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, hal ini dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelarmepokonduaghono Adhati artinya orang yang menggabungkan adat

Merujuk dari naskah diatas berarti LA KILAPONTO Pernah menjadi raja di Kerajaan Muna, Konawe, Mekongga, Kaledupa dan di Buton. Namun dari semua kerajaan tersebut hanya di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASUsebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.

LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.

Sebagai seorang raja di Lima Kerajaan besar LA KILAPONTO tentu saja memiliki kemampuan yang lebih dari yang lainnya. LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimilikiLA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanyaSUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. 
Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.

LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru hansuru badha Sumano kono hansuru liwu (Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).

Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itu dikenal denganMartabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikanLA SIRIDATU.

Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 - 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. 

Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 
1) Pomae-maeyaka; 
2) Popiara-piara 
3) Po maa-maasiaka. 
4) Poangka-angkataka. 
Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. 
Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .

Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelarHALUOLEO yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAYANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.

Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :

1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)

2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )

3. Putri raja Jampea

4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI

5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )

Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAHmemperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
4. perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
5. Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dariTobelo. LABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja yang bernama WA TAMPOIDONGI.
 WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya,namun tidak ada satupun dari satria-satria yang ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTOmeminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dari LAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan padaLA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpasLABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTOlangsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO, orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan Muna LA KILAPONTObertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjang LABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIOdi buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuhLABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. MaksudLAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIOselain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya,LA KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia sepertiisi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankanapa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antaraLAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja ButonLAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTOtetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTOlangsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAEtidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat ituLA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar Omputo Mepokonduaghoono Adhati artinya orang yang mengawinkan adat.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe,kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikutAdapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang sebarkan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulai mempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana dan LAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar Sultan MURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannyakepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namun yang pastipada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII,kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utarayaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaringditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKAtersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja MunaSUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilihLA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? )sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.‎

Sejarah Kerajaan Wajo

 


Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.

Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Boneyang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajodimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

Wajo sebagai Kerajaan

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua danSoppeng sebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagaiSamarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

Struktur Kerajaan Wajo

Masa Batara Wajo

- Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)

- Paddanreng --> Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)

- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (12) orang

Masa Arung Matoa

- Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)

- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang)

- Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)

- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (30 orang)

- Suro --> Utusan (3 orang)

Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.

Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE

- Arung Bettempola --> biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Di masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang

- Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE

- Petta MancijiE --> Staf keprotokuleran istana

Penguasa Kerajaan Wajo


Batara Wajo
1 La Tenribali
2 La Mataesso
3 La Pateddungi to samallangi
Arung Matowa
1 La Palewo to Palippu 1474 1481
2 La Obbi Settiriware 1481 1486
3 La Tenriumpu to Langi 1486 1491
4 La Palewo to Palippu 1491 1521
5 La Tenri Pakado To Nampe 1524 1535
6 La Temmassonge 1535 1538
7 La Warani To Temmagiang 1538 1547
8 La Malagenni 1547 1547
9 La Mappapuli To Appamadeng 1547 1564
10 La Pakoko To Pa’bele’ 1564 1567
11 La Mungkace To Uddamang 1567 1607
12 La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman 1607 1610
13 La Mappepulu To Appamole 1610 1616
14 La Samalewa To Appakiung 1616 1621
15 La Pakallongi To Alinrungi 1621 1626
16 To Mappassaungnge 1627 1628
17 La Pakallongi To Alinrungi 1628 1636
18 La Tenrilai To Uddamang 1636 1639
19 La Isigajang To Bunne 1639 1643
20 La Makkaraka To Patemmui 1643 1648
21 La Temmasonge 1648 1651
22 La Paramma To Rewo 1651 1658
23 La Tenri Lai To Sengngeng 1658 1670
24 La Palili To Malu’ 1670 1679
25 La Pariusi Daeng Manyampa 1679 1699
26 La Tenri Sessu To Timo E 1699 1702
27 La Mattone’ 1702 1703
28 La Galigo To Sunnia 1703 1712
29 La Tenri Werung Arung Peneki 1712 1715
30 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang 1715 1736
31 La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang 1736 1754
32 La Mad’danaca 1754 1755
33 La Passaung 1758 1761
34 La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa 1761 1767
35 La Malliungeng 1767 1770
36 La Mallalengeng 1795 1817
37 La Manang 1821 1825
38 La Pa’dengngeng 1839 1845
39 La Pawellangi Pajumpero'e 1854 1859
40 La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo 1859 1885
41 La Koro Arung Padali 1885 1891
42 La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng 1892 1897
43 Ishak Manggabarani Krg Mangeppe 1900 1916
44 Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki 1926 1933
45 Andi Mangkona Datu Mario 1933 1949
46 Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo 1949 1949
47 Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo 1949 1950
48 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1950 1952
49 Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi 1952 1954
50 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1954 1957


Peninggalan Sejarah di Wajo

1.    Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W

Salah satu peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah  lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.

Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi kerajaan.

Konon, mesjid yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.

Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam kapur  yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah.

Sementara, Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.

Kepada penulis, peziarah  mengatakan bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung matowa.

Lebih lanjut dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan mesjid.

“Dulu sesuai cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,”

Terkait dengan keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak keaslian bangunannya.

“Selain itu mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,” 

Selain itu katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,”


Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsilah salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.

Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.

Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.

Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan merian.

Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.

Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.

Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari keluarga mereka.

Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali songo.

Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.

“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,” 

Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.

Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.

1.    Sumur Jodoh

Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.

2.    Geddong’e

Geddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung, pasir, dan telur.

3.    Benteng

Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoalatentilai’ dengan penduduk negeri mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoeuntuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatanganiPerjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinanArung Palakka

4.    Mushola Tua Menge

Mushola Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushola Tua yang dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.

Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushola  selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.

Mushola Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik bangunan Mushola Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan Mushola kurang lebih 100m dari arah Timur.

5.    Makam Lasalewangeng Tenriruwa

Makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai 1736.


6.    Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung

Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur kira-kira tahun 1498 sampai 1528.

7. Makam    La Tenrilai’ Tosengngeng

La Tenrilai’ Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung Matowa setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna kira-kira tahun 1651-1658.

La Tenrilai’ Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.

Peristiwa yang sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone bersama Belanda di lain pihak.

Penyebab kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau, akhirnya tewas seketika.

Ada beberapa pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).

Setelah Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola

Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei, beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.

8.    Makam Besse Idalatikka

Ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2 bulan kematiannya.

9.         Saoraja Mallangga

WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda pusakapeninggalan kerajaan. 
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola. 

Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.

Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda. 

Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.

Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.

Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri. 

Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.

Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya. 

Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar. 
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.

Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," 

Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya. 

Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.

Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.

10.     Makam La Maddukkelleng

 La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.

Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.

Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.

Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.


Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.

Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.

Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.

Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.

Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.

Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
11.     Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...