Senin, 23 November 2020

Sejarah Kerajaan Luwu


Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Pernyataan ini mengacu pada nama Kerajaan Luwu yang disebut dalam naskah Bugis I La Galigo. Sesuai dengan naskah I La Galigo, Kerajaan Luwu kemungkinan telah berdiri pada abad ke-VII atau sebelumnya.

Berbicara tentang kapan berdirinya kerajaan Luwu belum ada sumber yang akurat yang bisa menjelaskan secara pasti tahun di dirikannya kerajaan Luwu tersebut. kerajaan Luwu baru terunkap secara resmi setelah ditulis oleh Prapanca pada zaman Majapahit tahun 1364 M dalam bukunya Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada disulawesi sebagai fase periode kerajaan di Nusantara.tetapi jika bersumber dari data ini maka kerajaan Luwu itu berawal Dari Simpurusiang padahal dalam sumber I Lagaligo terangkan bahwa pemerintahan Luwu pernah dibawah raja yang Bernama Batara Guru dan Batara Lattu. 

Kerajaan Luwu  juga diperkirakan se-zaman dengan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di pulau jawa. Dari perkiraan itu sehingga ada yang menduga bahwa kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika menghitung mundur dari masa pemerintahan Simpurusiang ( raja Luwu III ) yang berkuasa pada Tahun 1268 dengan adanya jarak kekosongan pemerintahan selama 300 tahun maka besar kemungkinan masa pemerintahan Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana dalam buku Sarita Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa Batara Lattu memerintah selama 20 tahun. Dari sumber ini dapat disimpulkan bahwa Batara Guru memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung mundur lagi dimasa pemerintahan Batara Lattu.

Dalam Epos I Lagaligo yang merupakan sumber tertua sejarah Luwu yang berhasil dikumpulkan oleh sarjana Belanda B.F. Matthes tahun 1880. Disebutkan bahwa yang pertama mendirikan kerajaan ware’ sekitar Ussu bernama Batara Guru. Batara Guru adalah anak lelaki tertua dari To Patotoe dengan Datu Palinge.

Batara Guru dikisahkan sebagai manusia jelmaan dari dewa yang diturunkan oleh Patotoe ke bumi dimana pada saat itu terjadi kekosongan. Dalam penafsiran kata “kosong” oleh para sejarawan bermakna kekosongan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia dari kekacauan ( Sianre Bale ) di tana Ware.

Adapun latar belakang diturunkannya Batara Guru ke Bumi dapat kita ketahui dalam kitab I Lagaligo sebagai berikut :
“Empat Manusia Dewa Sebagai Abdi Dikerajaan Langit, Sepulang dari taruhan permainan badai, petir, dan guntur melapor kepda baginda raja penguasa kerajaan langit yakni dewa sang penentu Patoto’E- Ampun Baginda kami baru saja pulang dari dunia tengah ( Ale Lino ) kami melihat bumi dalam keadaan kosong”.

Mendengar laporan para abdinya itu membuat raja PatotoE berpikir perlunya diutus salah seorang penghuni langit untuk diturungkan kebumi agar bisa memakmurkan bumi, selain itu agar bisa berketurunan dan kelak ada yang mengirimkan doa kepada dewata dikala senang mapun sulit.

Karena PatotoE merasa ini adalah hal yang penting untuk kelangsungan hidup di Bumi dan Langit maka Raja PatotoE mengundang seluruh kerajaan Dewa yang ada dikerajaan Langit ( Boting Langi ) Maupun kerajaan dasar Laut ( Paratiwi / Uri Liu ) untuk memutuskan siapa yang akan di utus  turun ke bumi. Dari kesepakatan antara pasangan raja PatotoE dengan Istrinya Datu Palinge maka di putuskanlah bahwa Putranyalah yang bernama La Toge Langi yang kemudian dikenal dengan nama Batara Guru.

Dalam cerita selanjutnya Batara Guru pun diturunkankan ke bumi ( Ale Lino ). Konon dalam cerita bahwa Batara Guru dimunculkan dari balik rumpun bambu kemudian disusul turunnya hak warisan berupa bekal kehidupan termasuk istana disekitar kampung “Ussu” yang kala itu masih hutan rimba dimana dari tempat ini menjadi awal mula pemerintahan “Ware” setelah Batara Guru bertemu dengan Istrinya yang bernama We NyiliQ Timo yang masih merupakan sepupunya yang berasal dari kerajaan Laut ( Para Tiwi ). We Nyiliq Timo muncul di “Busa Empong” di perkirakan muncul di teluk “Ussu” waktu dipertemukan dengan Batara Guru. Dalam sumber lain dikatakan bahwa disamping menikahi We Nyiliq Timo Batara Guru juga menikah We Saungriu. Dari perkawinannya itu lahir Sangian Sari . tetapi putri ini Mati muda dan dikisahkan bahwa dari perabuan Sangian sari tumbuh padi pertama di Luwu.

Dalam sejarah digambarkan bahwa sebelum Batara Guru diturunkan dibumi, situasi masyarakat Bugis Kuno hidup dalam ketidak teraturan, mereka saling menyerang tanpa aturan yang jelas, situasi tidak aman, yang kuat memangsa yang lemah ( Sianre Bale ). Akibat dari ketidak teraturan itu maka masyarakat sangat merindukan yang namanya kedamaian. Disaat Masyarakat mengalami keterasingan jiwa, Batara Guru hadir membawa ajaran kebenaran yang menyankut hal hal prinsif seperti “ Adele, Lempu,Tongeng, dan Getteng “ ajaran tersebut sangat didukung oleh situasi sehingga membuat ajaran dan segala kebijakan pada pemerintahan Batara Guru sangat efektif di masyarakat. 

Sosok seorang Batara Guru digambarkan oleh masyarakat itu amat dihormati karena disamping sebagai titisan Manusia Dewa, ia amat bijak dalam memerintah dan mempunyai tenaga yang kuat dan pemberani dalam melindungi penduduk dan hal ini diturunkan atau diwariskan secara tutun temurun kepada peminpin masyarakat Bugis yang dituangkan dalam simbol “ Pedang Emas, Payung Kerajaan dan Perisai ”.

Dari pernikahannya dengan We Nyiliq Timo, Batara Guru dikarunia seorang anak yang bernama Batara Lattu. Ia merupakan calon pemegang tahta kerajaan Luwu setelah Batara Guru. Ia dilahirkan diistana Ware dilokasi segita ( Bukit Finsemouni- Ussu- Cerekan ). Dalam sumber sejarah dikatakan bahwa ketika Batara Lattu cukup dewasa, dan pemerintahan tegak kembali, Batara Guru memutuskan untuk kembali ke kerajaan Langit. Kekuasaan Ware pun diserahkan kepada Batara Lattu dan tetap dianggap sebagai Dewa.


Sejarah awal Kerajaan Luwu

Kerajaan Luwu disebut sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Meskipun belum diketahui secara pasti tentang tahun berdirinya kerajaan ini, namun Kerajaan Luwu telah diakui pernah mengalami masa kejayaan pada abad ke-XV Jika ditarik ke belakang, nama Kerajaan Luwu telah dikenal dalam naskah Bugis I La Galigo. Di sini dikenal nama tokoh Sawerigading yang berasal dari kerajaan di Sulawesi Selatan (besar kemungkinan adalah Kerajaan Luwu). Menurut beberapa ahli, kerajaan di Sulawesi Selatan ini telah berdiri pada abad ke-VII sampai XV‎. Dari pendapat sementara ini, bisa diperoleh kesimpulan awal bahwa Kerajaan Luwu telah berdiri di Sulawesi Selatan pada abad ke-VII, bahkan bisa jadi sebelum abad ke-VII.

Nama Luwu disebut dalam karya suku Bugis, I La Galigo. Bersama dengan Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompotikka, Luwu merupakan salah satu dari tiga kerajaan pertama yang ditulis di dalam I La Galigo. Pada bagian awal kisah dalam  I La Galigo yang lazim disebut mula tau, dikisahkan tentang sejarah awal mula masyarakat Bugis.  I La Galigo membagi bumi menjadi tiga bagian, bumi bagian atas, tengah, dan bawah. Kehidupan masyarakat Bugis dimulai di daerah tengah yang bernama Ware (Wareq atau Luwu). Batara Guru dianggap sebagai leluhur orang Bugis dari dunia tengah yang menikah dengan seorang wanita dari dunia bawah yang bernama We Nyelliqtomaq. Keturunan dari keduanya kemudian berturut-turut menjadi lakon dalam kisah I La Galigo selanjutnya. I La Galigo menyajikan kisah yang terkesan sebagai suatu sejarah yang diformulasikan ke dalam karya sastra. Rafles menyebut I La Galigo  sebagai sebagai teks sejarah, khususnya pada bagian tokoh Sawerigading.

Tempat yang bernama Luwu memang menjadi sentral dalam I La Galigo. Luwu merupakan sebuah tempat di daerah sebelah utara Teluk Bone. Sehubungan dengan kisah yang diangkat dalam I La Galigo, sebagian orang beranggapan bahwa Luwu dianggap sebagai awal mula keberadaan orang-orang Bugis. Menurut sejarah politik pemerintahan orang Bugis, Kerajaan Luwu menjadikan Ware (Wareq) sebagai pusat pemerintahan sekaligus menjadi kerajaan tertua di tanah Bugis.

Kerajaan Luwu yang terbentuk dari suku Bugis ini disebut dengan beberapa nama, seperti Luwuq, Wareq, Luwok, dan Luwu’. Bersama dengan Kerajaan Gowa dan Bone, Kerajaan Luwu disebut sebagai Kerajaan Tellu Bocco-e (dalam bahasa Bugis, tellu artinya tiga dan bocco-e artinya yang penuh atau utama). Kerajaan Luwu terletak di Teluk Bone bagian utara dan beribukota diPalopo (atau disebut juga dengan nama Wareq). Di tempat yang berjarak sekitar 380 km dari Gowa ini bermukim datu atau raja Kerajaan Luwu.

Pada abad ke-XIV sampai XV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Pernyataan ini dikuatkan oleh Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi), Braam Morri pada tahun 1889 yang menyatakan bahwa antara abad ke-X sampai ke-XIV, Kerajaan Luwu mencapai puncak kejayaannya. Sektor pendukung kejayaan Kerajaan Luwu terutama berasal dari perdagangan bijih besi dan dan barang-barang yang berbahan dasar besi. Komoditas ini kemudian diperdagangkan dengan negara-negara agraria Bugis di selatan Sulawesi. Dari sinilah kemakmuran Kerajaan Luwu menjadikannya sebagai kerajaan terkuat di sebelah tenggara dan barat daya Sulawesi.

Kekuatan Kerajaan Luwu menjadi alasan untuk meluaskan wilayah kekuasaan. Pada abad ke-XV, Kerajaan Luwu menguasai Sungai Cenrana yang merupakan penghubung dengan Tasik Besar. Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengamanan jalur perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian di Kerajaan Luwu. Akan tetapi, sekitar tahun 1500 – 1530 Masehi, kekuasaan Kerajaan Luwu mulai merosot seiring dengan semakin kuatnya Kerajaan Wajo. Bahkan akibat yang paling parah, kawasan Sungai Cenrana akhirnya diserahkan kepada Kerajaan Wajo. Ketika itu Kerajaan Wajo diperintah oleh Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, sedangkan Kerajaan Luwu diperintah oleh Dewaraja.

Kekuasaan Kerajaan Luwu semakin merosot pada abad ke-XVII. Kala itu, Kerajaan Bone mulai meningkatkan kekuasaan dengan melebarkan wilayah. Akibat dari semakin kuatnya Kerajaan Bone, pada pertengahan abad ke-XVII, kemegahan Kerajaan Luwu mulai tertandingi seiring dengan meningkatnya kebesaran Kerajaan Bone di bawah pemerintahan Arung Palaka.

Perlawanan terhadap Belanda

Pada awal abad ke-20, Kerajaan Bone telah takluk di tangan Pemerintah Hindia Belanda. Penaklukan atas Kerajaan Bone ternyata berimbas dengan penaklukan terhadap Kerajaan Luwu dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki kekuasaan mutlak di bumi Sulawesi Selatan. Atas dasar ambisi ini, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan utusan untuk membuat perjanjian pendek (korte verklaring) yang ditujukan kepada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk di dalamnya Kerajaan Luwu. Secara tegas, Kerajaan Luwu menolak menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibat dari penolakan ini, perang antara Kerajaan Luwu dan Pemerintah Hindia Belanda meletus.

Utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendarat di wilayah Kerajaan Luwu pada tanggal 14 Juni 1905 untuk menyodorkan perjanjian pendek (korte verklaring) kepada raja Kerajaan Luwu saat itu, Andi Kambo. Seminggu kemudian, pada tanggal 21 Juni 1905, Gouverneur van Celebes (Gubernur Sulawesi) Kroesen yang merupakan perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda membuat nota perjanjian kepada Andi Kambo. Belanda tak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui sikap Andi Kambo terhadap perjanjian tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1905, surat dari Andi Kambo telah sampai ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Surat itu dengan tegas memuat penolakan atas inisiatif Belanda yang ingin membuat perjanjian pendek dengan Kerajaan Luwu ‎Sikap Andi Kambo diartikan sebagai bentuk perlawanan. Genderang perang akhirnya ditabuh Belanda. Kerajaan Luwu diserang oleh Belanda.

Andi Kambo sadar bahwa penolakannya atas perjanjian pendek tentu menimbulkan perang. Beliau kemudian bermusyawarah dengan hadat luwu untuk menyiapkan pertahanan apabila pasukan Belanda benar-benar menyerang Luwu. Berbagai kubu pertahanan dibangun dan menunjuk Andi Tadda sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Andi Tadda membangun kubu pertahanan di Ponjalae. Tepat seperti dugaan Andi Kambo sebelumnya, Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan militer ke Kerajaan Luwu. Pendaratan pertama pasukan Belanda terjadi pada tanggal 9 September 1905 di bawah pimpinan Kolonel C.A. van Loenen. Perang pertama antara pihak Belanda dan Kerajaan Luwu yang dimotori oleh Andi Tadda meletus pada tanggal 12 September 1905.

Perlawanan Andi Tadda hanya berlangsung selama 14 jam. Andi Tadda gugur di Ponjalae pada tanggal 12 September 1905. Atas kegigihannya dalam mempertahankan bumi Luwu dari rongrongan penjajah, Andi Tadda mendapat gealr Opu Pawelai Ponjalae (artinya kurang lebih, “yang telah meninggal dunia di Ponjalae”) Pasca kematian Andi Tadda, Kerajaan Luwu tak lagi memiliki pimpinan perlawanan. Ditambah lagi, Belanda mengancam apabila Andi Kambo tidak menyerah dan menandatangi perjanjian pendek, maka Belanda akan membakar Palopo. Andi Kambo akhirnya menyerah dan menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda. Penyerahan ini terjadi pada tanggal 19 September 1905.‎ Sejak saat itu, Kerajaan Luwu telah takluk dan berada di bawah penguasaan Belanda.  

Penaklukan Kerajaan Luwu oleh Belanda berimplikasi pada pengaturan sistem pemerintahan yang berada di Kerajaan Luwu. Belanda mengatur sistem pemerintahan dengan membagi Kerajaan Luwu menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak swapraja (Kerajaan Luwu). Selain itu, wilayah Kerajaan Luwu juga dibagi menjadi 5 onder afdeling, yaitu Palopo, Makale, Masamba, Malili, dan Mekonggae Sistem pemerintahan di Kerajaan Luwu ini tetap berlaku ketika Jepang menjajah Sulawesi Selatan menggantikan Belanda.

Pada era kemerdekaan, Kerajaan Luwu yang diperintah oleh Andi Jemma (putera dari Andi Kambo) dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu Luwu. Pada tahun 1953, Andi Jemma diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, yang waktu itu dijabat oleh Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu (periode 1957-1960). Andi Jemma merupakan penguasa (datu) Kerajaan Luwu terakhir. Sejarah Kerajaan Luwu berakhir ketika Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. 


Nama-nama Pajung/Datu Luwu

Berikut ini adalah nama-nama Pajung atau Datu yang pernah memerintah Kerajaan Luwu yang diawali oleh kepemimpinan Batara Guru dan diakhiri oleh Andi Djemma sebagai raja terakhir.

- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.

- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.

- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.

- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.

- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.

- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.

- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.

- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.

- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.

- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.

- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.

- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.

- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.

- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.

- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada tahun 1587-1615 M.

- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.

- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17 memerintah pada tahun 1637-1663 M.

- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.

- Lamaddussila Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.

- La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.

- Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.

- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.

- We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.

- Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Petta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.

- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun 1778-1810 M.

- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun 1810-1825 M.

- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.

- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun 1854-1880 M.

- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.

- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda. ‎

 

Sejarah Kerajaan Bone


Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.

Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.

Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.

Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.

Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.

Pembentukan Kerajaan 

Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.‎

Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).

Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.

Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.

Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone

Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.

Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.

Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.

Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.

La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.

Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. 
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.‎
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.‎
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.‎
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
‎‎
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).‎

Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddon. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.‎


Perjanjian Tellumpoccoe

Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.‎

Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.‎

Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.‎

Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).‎
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
‎‎
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.‎
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.‎

Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.‎
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.‎

Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.

Proses Islamisasi Bone

Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.‎

Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.
‎‎
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.‎
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone. 
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.‎

Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.

Arung Palakka dan Kolonial

Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.‎

Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.‎

Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
‎‎
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.

Runtuhnya Kerajaan Bone

Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.‎
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.
‎‎
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
‎‎
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.‎

Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.

Daftar Arumpone Bone
1- Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
2- La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo [To' Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
3- La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
4- We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
5- La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
6- La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
7- La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
8- La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
9- La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
10- We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
11- Wa Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
12- La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
13- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
14- Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
15- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
16- La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang (1672-1696)
17- La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (1696-1714)
18- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
19- La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
20- Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
21- La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
22- I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
23- La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
24- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
25- I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
27- La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
28- La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
29- La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30- I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
31- La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
32- La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)‎
33- La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
34- La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
35- I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
36- La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
37- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
38- Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
39- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [Matinroé-ri Gowa] (1950-1960) (masa jabatan kedua diangkat oleh belanda)
39- Arung Bocco Petta Daru / Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
40- Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng MatinroE-ri Kajuara ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"‎

 

Sejarah Kesultanan Buton


Kesultanan Buton terletak di Kepulauan ‎Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi ‎Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki ‎kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan‎ berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada da‎lam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Sejarah Awal

Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebi‎h dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.

Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.

Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.

Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Raja Buton Masuk Islam

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton.Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh  Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.

Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.

Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:

Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.

Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.

Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.

Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.

Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.

Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.


Pemerintahan Kerajaan Buton

Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, 
Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan 
Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. 

Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.

Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:

Eksekutif = Sara Pangka
Legislatif = Sara Gau
Yudikatif = Sara Bitara
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi

Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.

Politik Masa Kerajaan Buton

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Keadaan Masyarakat

Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.

Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.

Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.

Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.

Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Perekonomian Buton

Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Hukum Kerajaan Buton

Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Bahasa di Buton

Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.

Bidang Pertahanan

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta denganfalsafah perjuangan yaitu :

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhanmasyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masaKerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya danarkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Dengan wacana pembentukan Provinsi Kepulauan Buton yang terdiri dariKabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara, Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah. Serta tiga daerah yang masuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna.

Daftar Sultan Kesultanan Buton

Daftar sultan / List of sultans

1) 1491-1537: Sultan Murhum
2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi 
3) 1566-1570: Sultan La Sangaji 
4) 1578-1615: Sultan La Elangi 
5) 1617-1619:  Sultan La Balawo 
6) 1632-1645: Sultan La Buke 
7) 1645-1646: Sultan La Saparagau 
8) 1647-1654: Sultan La Cila 
9) 1654-1664: Sultan La Awu 
10) 1664-1669: Sultan La Simbata
11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja 
12)1680-1689: Sultan La Tumpamana 
13) 1689-1697: Sultan La Umati 
14) 1697-1702: Sultan La Dini 
15) 1702: Sultan La Rabaenga 
16) 1702-1709: Sultan La Sadaha 
17) 1709-1711: Sultan La Ibi 
18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi 
19) 1712-1750: Sultan Langkariri 
20) 1750-1752: Sultan La Karambau
21) 1752-1759: Sultan Hamim 
22) 1759-1760: Sultan La Seha 
23) 1760-1763: Sultan La Karambau 
24) 1763-1788: Sultan La Jampi 
25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu 
26) 1791-1799: Sultan La Kopuru 
27) 1799-1823: Sultan La Badaru 
28) 1823-1824: Sultan La Dani 
29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus 
30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa
31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi 
32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar 
33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin 
34) 1914: Sultan Muh. Husain 
35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali 
36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu 
37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi 
38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi 
39) mei 2012-19 july 2013:  La Ode Muhammad Jafar 
40) 13 des. 2013 – sekarang La Ode Muhammad Izat Manarfa.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...