Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Cikal Bakal Sumedang Larang


Pada masa awal didirikannnya, kerajaan Sumedang Larang bernama Kerajaan Tembong Agung, kerajaan ini didirikaan oleh Prabu Guru Aji Putih (putra Aria Bima Raksa, patih kerajaan Galuh Pakuan) kira-kira abad ke 8 masehi. Tembong berarti tampak dan Agung berarti besar, jadi kerajaan Tembong Agung bisa diartikan sebagai sebuah kerajaan yang tampak besar atau tampak agung. Kerajaan ini didirikan di Desa Leuwi Hideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. 
Prabu Guru Haji Aji Putih mempunyai empat anak yaitu Batara Kusumah alias Batara Tuntang Buana alias Prabu Tadjimalela, Sakawayana alias Aji Saka, Haris Darma, dan terakhir Jagat Buana alias Langlang Buana.

Diakhir masa kepemimpinan Prabu Guru Aji Putih, Kerajaan Tembong Agung ini kemudian dipegang oleh putra sulungnya yaitu Prabu Tadjimalela. Pada masa pemerintahan Prabu Tadjimalela Kerajaan Tembong Agung mengalami dua kali perubahan nama, yang pertama, Prabu Tadjimalela (juga mempunyai nama Prabu Agung Resi Cakrabuana) mengubah nama Kerajaan Tembong Agung  menjadi Kerajaan Himbar Buana, Himbar berarti menerangi dan Buana berarti alam atau dunia, jadi Kerajaan Himbar Buana kurang lebih bisa diartikan sebagai kerajaan yang menerangi alam.‎

Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh).

Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya : 
(1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ; 
(2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”.

Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.”

Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).

Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.

Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.

Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.

Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).

Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.

Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. 
Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.

Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 950M sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya disebut-sebut pada tahun 1500 an.

Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan Prabu Guru Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama dengan Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh, yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. 
Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh islam didalam pemerintahannya. 
Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.

Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.

Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya. 
Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Haji Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. 
Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. 
Ketiga Agama Islam telah diyakini dan di jalani oleh para pendiri Sumedang. Walaupun secara resmi menjadi agama di kerajaan pada abad ke 16M.
Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru Haji Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela. 

Prabu Agung Cakrabuana Tajimalela (950 M)

Prabu Agung  Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya dua putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. ‎

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan).

Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan kerajaan Sumedang Larang secara luas hingga ke pelosok-pelosok pedesaan.  Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. 
Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.‎

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :

Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun) 

Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam. 

Kiyai Demang Watang di Walakung. 

Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang. 

Santowaan Cikeruh. 

Santowaan Awiluar. ‎

Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.‎

Prabu Geusan Ulun‎

Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M.
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.‎

Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda.‎

Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.
‎‎
Didalam Pustaka Kertabhumi dikisahkan :

“Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera tirinya Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang).

Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh yaitu :

Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. 
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). 

Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun.

Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.

Akhirnya Panembahan Senopati dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Panembahan Senopati dengan Panembahan Ratu. 
Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. 
Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Hatur punten bilih lepat jujutanana.‎

 

Wiratuya Sunan Giri dan perjalanan mencari Wahyu Cakraningrat


Jauh sebelum tiba waktunya, sesungguhnya sunan Giri sudah meramal bahwa Sutowijoyo ( anak ki Ageng Pemanahan), akan menjadi raja besar di Bhumi Mataram. 

Peristiwa penghadapan Sunan Giri di Japanan (Mojokerto). Sultan Hadiwijaya selaku penguasa Pajang, para adipati, bupati se Tanah Jawa bagian timur hadir.

Kewalian giri dikitari sawah membentang nan luas. Pepohonan tua dikanan kiri jalan menambah suasana rindang dan mententramkan. Mereka singgah di Pendopo  Agung yg berdiri megah terbuat dari kayu jati berukir. Pada saat Kanjeng Sunan Giri keluar ke Pendopo. Sultan Hadiwijoyo segera bersimpuh di kaki beliau yang suci. Setelah jangkep semua Bupati, lurah prajurit dan santri2 serta para tamu lainnya duduk berbaris rapi, Kanjeng Sunan berkata;

“ Tingkir anakku…. Mendekatlah kemari ngger “

“ sendiko Kanjeng Sunan “

“ semua yang hadir disini, saksikanlah ! aku sudah mengijinkan Joko Tingkir anakku menjadi Sultan membawa amanat dari negeri Demak. Kuizinkan pula kamu membawa memindahkan Tahta Demak  ke Pajang . jadilah kamu penguasa seluruh jawa, Kholifatulloh Sayidin Panotogomo. Saksikanlah semua yang hadir di sini anakku ku beri gelar : Hadiwijoyo .”
Para bupati, lurah prajurit dan seluruh hadirin saur manuk. Forum ini merupakan forum wejangan (nasehat), siraman rohani dari Sunan Giri kepada seluruh elite politik Jawa waktu itu. Di samping itu, Sunan Giri juga memberikan ajaran ilmu tata negara, ilmu kanuragan, ilmu kebatinan (tasawuf/filsafat) dan ilmu peperangan.

Lalu para hidangan disajikan oleh para juru ladi. Dan semua yang hadir menikmati peristiwa kembul bujana itu, karena dinanti-nanti berkahnya.( berkah makanan yang disajikan wali ). 

Pada saat menikmati makan bersama itu, Sunan Giri melihat ada seorang yang  terkhir kali mengambil makanan. Sang Sunan yang  wiku tidak samar akan cahaya yang  memancar terang dari mukanya. Lantas Kanjeng  Sunan dengan pelan kepada Sultan.

“ putraku… siapakah anak buahmu yang makan terakhir kali itu ? siapa namanya ?”
“ teman hamba Kanjeng Sunan, namanya Pemanahan. ‎
“ panggilah ke sini ! ia pantas duduk berjajar dengan siswaku para Bupati .”
“ baik Kanjeng Sunan “

Setelah Pemanahan duduk dengan para Bupati, Kanjeng Sunan Giri berkata sambil menepuk punggung Ki Pamanahan.

Di depan forum, berwirayatuya-lah Panembahan Sunan Giri bahwa kelak anak turunan Pamanahan akan menjadi raja Tanah Jawa. Bahkan, Giri pun kelak akan takluk pada kekuasaannya.

Pamanahan langsung jadi pusat perhatian. Para adipati dan bupati seolah-olah mengamini wirayatuya tersebut. Tapi tidak dengan Sultan Hadiwijaya. Raut mukanya jadi berubah. Melihat perubahan tersebut, Sunan Giri melanjutkan bahwa itu sudah takdir Allah. Yang menolak wirayatuya tersebut akan kena bilahi (bencana, musibah).‎

Ki Ageng Mataram kaget tersentak seketika itu beliau  bersembah. Dan matur

“ semoga sabda Paduka Kanjeng Sunan dikabulkan . mudah-mudahan wahyu itu benar-benar terjadi atas kehendak Alloh. Izinkanlah hamba mempersembahkan keris ini kepada paduka sunan Giri “

“ eh..heeh. aku terima persembahanmu Ki Mataram. Akan tetapi, terimalah kembali Keris ini sebagai hadiah ku kepadamu. Karena Pusaka ini pusaka Wahyu yang hanya untuk Pegangan seorang Raja“

“ sembah nuwun, Kanjeng Sunan. “

Semua yang hadir sangat kagum dengan Kyai Pemanahan. Sultan Hadiwijoyo terdiam dan terpaku dengan peristiwa yang terjadi dihadapan nya. Kemudian Sunan Giri meminta dibuatkan sebuah telaga pemandian kepada semua yang hadir. Seluruh siswa, lurah prajurit patuh. Meraka semua menyiapkan peralatan dan segera membuat telaga. Beberapa hari kemudian, telega tersebut selesai dibuat dan diberi nama “ telaga Patut “. Sultan para tamu diizinkan kembali pulang ke Pajang.‎

Sepulang dari acara penghadapan, Kasultanan Pajang mengadakan rapat mendadak. Sultan Hadiwijaya mengumpulkan elite politik Pajang. Pangeran Benawa, Patih Mancanegara, Tumenggung Wila, Tumenggung Wuragil mengajukan pendapat untuk menghancurkan Mataram, tapi Hadiwijaya mencegahnya. Sultan Pajang itu sepertinya takut dengan kutukan Sunan Giri akan bencana jika melawan wirayatuya di Japanan itu.

Perjalanan mencari Wahyu 
‎Ki Pamanahan resah bercampur kecewa. Bumi Mentaok sebagai hadiah sayembara dalam mengalahkan Aryo Penangsang belum juga diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya, Sultan Pajang. Sultan yang masa mudanya bernama Joko Tingkir itu terkesan mengulur, menunda-nunda atas pemberian hadiah tersebut. Padahal, tanah Pati yang menjadi satu paket dalam hadiah sayembara tersebut sudah diserahkan ke Ki Penjawi, sepupu Ki Pamanahan.

Pamanahan benar-benar sangat kecewa, karena kesetiaan, pengabdian yang selama ini ia lakukan seolah-olah diabaikan begitu saja oleh Sultan Hadiwijaya. Pengorbanan demi kewibawaan Kasultanan Pajang yang ia lakukan terlebih saat Pajang harus  berani melawan Aryo Penangsang, Adipati Jipang yang sakti mandraguna. Pamanahan merasa dirinya sangat diabaikan.

Meskipun sangat kecewa, Pamanahan tidak mau melakukan pemberontakan pada Hadiwijaya. Pada suatu saat Kyai Ageng  lebih memilih bertapa di sebuah bukit daerah Giri Sekar guna mendekatkan diri pada Tuhan demi meminta keadilan atas nasibnya. Ketika hari ke empat puluh Sunan Kalijaga di Kadilangu mengetahui kesedihan Pamanahan tersebut. Kanjeng Sunan pun segera menuju tempat riyadhoh Kyai Ageng Pamanahan.

Kyai Ageng melihat ada bunga Pudhak yang bersinar di batang pohon tempat beliau bertapa. Ketika Kyai Ageng hendak memetik bunga tersebut tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan tertunduk Kyai Ageng menyembah dan sungkem. Kanjeng Sunan pun tersenyum dan ngendiko.

Ngger Pamanahan kuatkan tekadmu dan segera pulang ke Pajang biar nanti aku yang akan jadi saksi atas titah Adikmu Sultan. Dan tempat tersebut diberikan nama Kembang Lampir.

Sang Sunan yang menjadi panutan masyarakat Jawa tersebut kemudian menjadi mediator mempertemukan Pamanahan dengan Hadiwijaya. Hadiwijaya akhirnya menyerahkan bumi Mentaok pada Pamanahan dengan syarat Pamanahan mengucapkan sumpah-setia pada Pajang. Solusi dari Sunan Kalijaga itu untuk menjawab keraguan Hadiwijaya yang takut akan ramalan Sunan Giri bahwa kelak di hutan Mataram akan muncul penguasa Jawa.

Tapi Pamanahan cerdik, atas nama kehendak Tuhan yang tiada satupun orang tahu, dia hanya sumpah setia untuk dirinya sendiri, tidak dengan anak-turunannya. Di sinilah sesungguhnya awal “perlawanan” Mataram terhadap Pajang

Sementara bagaimana keadaan Ki Pemanahan setelah sampai di Bhumi Mataram ? begitulah takdir. Ramalan sunan Giri bahwa di daerah mataram akan ada raja agung yg menguasai tanah jawa , benar-banar menjadi perhatian khusus Ki Pemanahan. Sebagaimana biasa, untuk mencapai sesuatu, Ki pemanahan tidak pernah melupakan satu kegiatan yang namanya bertapa. Do’a ki Pemanahan selalu terkonsentrasi bahwa Raja Agung itu jangan sampai keluar dari keturunannya.

Keluar hutan naik gunung selalu dilakukan oleh ki Pemanahan. Hanya ada satu tujuan yaitu bertapa untuk mencari kebenaran Wiratuya Sunan Giri, dan dia sudah bersumpah pada diri sendiri, bahwa dia tidak akan pulang sebelum mendapat firasat bahwa memang benar kalau keturunannya benar-benar akan menjadi raja penguasa tanah jawa. Suatu hari ia teringat pada sahabatnya di daerah gunungkidul.yang bernama ki Ageng Giring atau ki Ageng Paderesan. 

Pada suatu hari ki Ageng Giring sedang nderes. Tiba- tiba ki Giring mendengar suara gaib yang mengatakan : “ barang siapa dapat minum degan atau air kelapa muda habis sekali teguk, kelak ia akan menurunkan raja tanah jawa. “ Segera Ki Ageng Giring mencari asal bunyi tersebut. 

Dan ternyata berasal dari sebuah pohon kelapa yang hanya berbuah satu. Di petiknya buah kelapa tersebut, lalu di bawa pulang. Agar ia dapat menghabiskan airnya sekaligus, pergilah ia lebih dulu mencari kayu di hutan, dan memperingatkan istrinya agar jangan ada orang yang meminim air kelapa muda itu.

Setelah ki Giring sampai di hutan, tak lama datanglah Ki Pemanahan di rumah ki Ageng giring. Karena merasa kering tenggorokannya dan melihat degan tergeletak begitu saja, tak ayal Ki Pemanahan meminum air degan itu sekaligus habis. Setelah sore, datanglah ki ageng Giring yang telah siap minum air kelapa tersebut. Tetapi alangkah terkejutnya ia melihat kelapa itu telah kosong isinya. Dan tahulah dia bahwa yang meminum degan tersebut adalah sahabatnya sendiri, Ki Pemanhan. Waktu ki ageng Giring meminta agar kelak anak keturunannya bergantian menjadi raja, ki Pemanahan hanya menjawab Tuhan yang maha mengatur.
‎Begitupun di Mataram. Pamanahan juga berbagi cerita ke seluruh elite politik Mataram tentang wirayatuya Sunan Giri dan juga cerita ramalan Ki Ageng Giring yang selama ini ia rahasiakan.

Dalam kesempatan itupula Pamanahan memberikan wasiat kepada sanak-kerabatnya, diantaranya: jika anak-cucunya berkuasa, agar menempatkan posisi secara mulia kepada kerabat Mataram (Selo) yang telah mbabat alas hutan Mentaok menjadi Mataram. Kedua, kalau suatu saat Mataram akan ekspansi keBang Wetan (daerah pesisir Jawa Timur) hendaknya dilakukan pada hari Jum’at Pahing bulan Muharram, sama dengan hari penghadapan Sunan Giri di Japanan. Ketiga, dalam penaklukan Bang Wetan hendaknya tidak melewati Gunung Kendeng.

Tidak lama kemudian Ki Ageng Mataram jatuh sakit. Dia akhirnya wafat tahun 1584. Sebelum meninggalnya, Ki Ageng Mataram kembali memberikan wasiat; menitipkan anak-anaknya ke Ki Juru Martani, sepupu sekaligus iparnya. Kedua, menunjuk Sutawijaya, Raden Ngabehi Loring Pasaruntuk menggantikan keududukannya. Ketiga, agar Sutawijaya tetap mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Mataram. Keempat, agar anak-anaknya yang lain (Raden Jambu, Raden Santri, Raden Tompe, dan Raden Kedawung) patuh dan taat pada Ki Juru Martani

Sepeninggal Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pamanahan), Sutawijaya memimpin Kademangan Mataram. Atas saran Ki Juru Martani, semua anak Ki Ageng Mataram dibawa menghadap Sultan Hadiwijaya di Pajang untuk mendapatkan pengesahan sekaligus memberi kabar tentang meninggalnya Pamanahan.

Hadiwijaya sedih, kenapa kabar duka itu terlambat datangnya sehingga dia tidak bisa mengiringi jenazah abdi setianya itu. Dia juga akan mencari pengganti Pamanahan untuk memimpin Mataram. Tapi sebelum selesai Hadiwijaya berbicara, Ki Juru Martani sudah menyela tentang wasiat Pamanahan; bahwa pengganti selanjutnya adalah Sutawijaya. Sultan setuju dan memberi gelar Sutawijaya dengan “Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama”.

Sebelum rombongan Mataram itu pulang, Hadiwijaya berpesan pada Senopati untuk serius membangun Mataram. Dengan alasan pembangunan itu, dia diberi waktu setahun untuk tidak perlu menghadap ke Pajang agar lebih fokus pada pembangunan Mataram, dan tepat setahun dari penghadapan ini agar datang ke Pajang. Senopati dan Juru Martani setuju.

Di bawah kekuasaan Senopati, Mataram berkembang pesat menjadi lebih besar. Ia bangun prajurit yang kuat, mendirikan tembok pagar mengelilingi kademangan, membangun balai kademangan yang megah dan memerintah dengan adil. Benih-benih perlawanan Mataram terhadap Pajang semakin nyata; tepat setahun, Senopati tidak juga mau menghadap pada Sultan Hadiwijaya di Pajang.

Sutowijaya juga mencari wahyu cokroningrat

Sebagaimana ayahnya, Sutowijaya juga selalu mencari kebenaran ramalan sunan giri. Menjelang tengah malam , ia keluar rumah menuju ke Lipuro, dan tidur di atas batu kumoloso, sebuah batu hitam yang halus permukaanya. Kepergiannya membuat kaget Ki juru Martani. Tapi dia hapal betul kemana putra kemenakanya itu pergi. Sesampainya di lipuro, didapatinya Suyowijaya sedang tidur pulas. Dibangunkanlah dengan berucap;

“ tole…bangunlah, katanya ingin menjadi raja, mengapa enak-enakan tidur saja “
Tiba-tiba ki juru martini melihat bintang sebesar buah kelapa terletak diatas kepala sutowijaya. Ki Juru terkejut dan membangunkan lagi keponakannya itu.

“ tole,,tole…, bangunlah segera, yg bersinar diatas kepalamu itu apa ? “ kata ki Juru.

Bintang itu menjawab ; “ ketahuilah… aku ini memberi kabar kepadamu, maksudmu bersemedi dengan  khusyuk , meminta kepada Tuhan yang maha kuasa sekarang telah dikabulkan. Kamu akan menjadi raja tanah jawa , turun sampai anak cucumu akan menjadi raja tiada bandingnya. Sangat ditakuti oleh lawan, kaya akan emas dan permata,. Kelak ketika buyutmu menjadi Raja, Negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana bulan dan matahari. Sering melihat bintang kemukus di malam hari. Gunung meletus dan hujan abu , itu pertanda akan rusak .”

Setelah berbicara demikian, bintang itu langsung menghilang. Sutowijaya berkata dalam hatinya ; “ permohonanku sudah dikabulkan, niatku menjadi raja menggantikan kanjeng sultan Hadi wijaya , turun sampai anak cucuku, sebagai pelita tanah jawa, orang jawa akan tunduk semuanya “

Lain halnya dengan ki Juru martini. Mengetahui apa yg sedang dipikirkan oleh sutowijaya, ia kemudian bertutur lembut :

“ senopati…kamu jangan berpikir sombong. Memastikan kejadian yang belum tentu terjadi. Itu tidak benar. Jika kamu percaya omongan bintang itu , kamu salah. Itu suara gaib, bisa bener bisa bohong. Tidak bisa ditangkap seperti lidah manusia. Dan kelak jika kamu benar-benar berperang melawan Pajang, tentu bintang itu tidak bisa kamu tagih atau kamu mintai pertolongannya. Tidak salah jika aku atau kamu kelak menjadi raja di mataram dan tidak salah pula jika kalah dalam perang dan menjadi tawanan .”

Mendengar perkataan pamannya, Senopati akhirnya sadar dan meminta ma’af. Dan berkata; “ paman..bagaimana petunjuk paman, saya akan menurut sendiko dawuh “

“ tole… kalau kau sudah menurut, mari kita memohon kepada Alloh, semoga semua yang  sulit bisa dimudahkan. Mari kita membagi tugas. Kamu pergi ke laut selatan dengan topo ngambang , dan aku akan pergi ke gunung merapi menjalankan topo ngidang ‘” meneges” kepada tuhan. 

Wangsit keraton semakin dijemput. Atas saran Ki Juru Martani mereka berbagi tugas. Ki Juru Martani akan “sowan” ke Gunung Merapi, sedangkan Senopati disarankan “sowan” ke Laut Kidul.

Untuk menuju Laut Kidul Senopati melakukan tapa ngeli (ngintir, terhanyut). Dengan mengikat tubuhnya pada sebilah papan dari kayu jati tua (Tunggul Wulung), dia membiarkan tubuhnya terhanyut di Kali Opak hingga Laut Kidul. Di hilir Kali Opak dia kemudian naik di atas ikan Olor yang dulu pernah diselamatkannya dari seorang nelayan. Begitu sampai di Laut Kidul, Senopati berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.

Datanglah ombak besar, angin menderu membuat gelombang badai setinggi gunung. Selama tujuh hari tujuh malam badai itu berlangsung. Senopati tetap tegar berdiri melanjutkan tapanya. Melihat hal tersebut, datanglah Sunan Kalijaga, Wali Agung Tanah Jawa.

Wali anggota Dewan Wali Songo tersebut menasehati Senopati agar tidak sombong dengan memamerkan kesaktiannya seperti itu karena Alloh bisa tidak suka. Senopati mengajak Sunan Kalijaga karena sang Sunan ingin melihat kemajuan Mataram. 

Sesampai di Mataram, Sunan Kalijaga menasehati agar Senopati membangun pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Alloh. Sang Sunan juga menyarankan agar Senopati  membuat pagar bumi jika akan mendirikan rumah. Kanjeng  Sunan juga menyarankan agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun Kota Raja.

Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan, “ Kelak jika engkau membangun Kota, maka ikutilah tuangan airku ini”. Sang Sunan kemudian berpamitan.‎

Panembahan Senopati resmi bertahta sebagai raja Mataram dengan sebutan Panembahan Senopati Ingalogo. ‎Sesuai dengan wasiat ayahnya, Senopati kemudian mengangkat saudara-saudaranya sebagai orang penting Mataram. 

Raden Jambu diangkat sebagai Pangeran Mangkubumi, ‎
Raden Santri sebagai Pangeran Singasari, ‎
Raden Tompe sebagai Pangeran Tumenggung Gagak Baning (yang kelak menjadi Adipati Pajang menggantikan Pangeran Benawa). ‎
Sedangkan sang paman, Ki Juru Martani diangkat sebagai Tumenggung Mandaraka.‎

Demikianlah usaha Ki Pamanahan dan putranya panembahan Senopati dalam mencari wahyu cokroningrat . mereka tidak lantas ongkang-ongkang kaki menanti ramalan Sunan Giri, tetapi berupaya mewujudkannya dengan tirakat dan do’a serta tetep menjalankan Syariat Agama agar wahyu itu tidak lepas dari dirinya. ‎

 

Legenda Telaga Sarangan dan Riwayat Tombak Kyai Upas


Telaga Sarangan 

Telaga Pasir atau yang lebih dikenal Telaga Sarangan adalah salah satu obyek wisata air di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga seluas 30 hektar dengan kedalaman 30 meter ini tepatnya berada di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan atau sekitar 18 kilometer arah barat Kota Magetan. Menurut cerita, awalnya telaga ini berupa ladang milik seorang petani bernama Kyai Pasir. Suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa Kyai Pasir dan istrinya yang mengakibatkan ladang mereka berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Telaga Pasir berikut ini!‎

Di suatu tempat di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tepi hutan. Meskipun hanya terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan, gubuk mungil itu sudah cukup aman bagi Kyai Pasir dan istri tercintanya dari gangguan binatang liar. Dinding gubuk itu terdiri dari susunan kulit kayu yang diikatkan pada tiang kayu dengan menggunakan rotan. Di antara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar dan masuk ke dalam gubuk.

Pekerjaan sehari-hari Kyai Pasir adalah petani ladang. Dari hasil ladang itulah ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari, lelaki tua yang sudah mulai renta itu berangkat ke ladang dengan membawa kapak. Ia bermaksud membabat hutan untuk membuat ladang baru di dekat ladang miliknya. Ketika hendak menebang salah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebutir telur besar berwarna putih tergeletak di bawah pohon itu.

“Hai, telur binatang apa itu?” gumamnya dengan heran.

Kyai Pasir amat penasaran terhadap telur besar itu. Ia pun mengambil telur itu seraya mengamatinya dengan seksama.

“Ah, tidak mungkin ini telur ayam. Mana ada ayam berkeliaran di tempat ini?” Kyai Pasir kembali bergumam, “Lagi pula, telur ini lebih besar dari telur ayam.”

Kyai Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya, telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun membawa pulang sambil telur itu dan menyerahkannya kepada istrinya.

“Bu, tolong masak telur itu untuk makan siang kita!” ujar Kyai Pasir.

“Wah, besar sekali telur ini. Baru kali ini aku melihat telur sebesar ini,” ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu, “Dari mana telur ini, Pak?”

Kyai Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu, ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur itu karena sudah kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur itu. Namun, sang istri masih saja terus bertanya kepadanya mengenai telur itu.

“Ini telur binatang apa, Pak?” tanya Nyai Pasir.

“Sudahlah, Bu. Tidak usah banyak tanya!” ujar Kyai Pasir mulai kesal. “Cepatlah kamu masak telur itu, perutku sudah keroncongan!”

Nyai Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.

“Pak, hidangan makan siang sudah siap. Mari, makan dulu!” ajak Nyai Pasir.

Kyai Pasir pun beranjak dari tidurnya. Ia bersama istrinya segera menyantap telur itu dengan lahap. Telur rebus tersebut mereka bagi dua sama rata. Usai makan siang, Kyai Pasir kembali ke hutan untuk melanjutkan pekerjaannya. Di tengah perjalanan, ia masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi. Namun, ketika ia sampai di ladang, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit, panas, dan kaku. Matanya pun mulai berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia pun merintih kesakitan.

“Aduh, kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku sakit begini,” ratap Kyai Pasir.

Semakin lama, rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kyai Pasir pun tidak mampu menahan rasa sakit itu sehingga rebah ke tanah dan berguling-guling ke sana kemari. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seluruh tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga yang besar. Sungutnya amat tajam dan keras. Wujudnya pun amat mengerikan. Kyai Pasir yang telah menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus berguling-guling tanpa henti.

Pada saat yang bersamaan, Nyai Pasir yang berada di rumah juga mengalami nasib yang sama. Rupanya, telur yang telah mereka tadi adalah telur naga. Nyai Pasir yang merasa sekujur tubuhnya terasa sakit segera berlari ke ladang untuk meminta tolong kepada Kyai Pasir. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di ladang. Ia mendapati suaminya telah berubah menjadi naga yang menakutkan. Ia pun hendak melarikan karena ketakutan. Namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, istri Kyai Pasir itu pun rebah dan berguling-guling di tanah. Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik hingga akhirnya berubah menjadi seekor naga betina.

Kedua naga itu berguling-guling sehingga tanah di sekitarnya berserakan dan membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-kelamaan, cekungan tanah itu semakin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang amat deras dari dasar cekungan tanah itu. Semakin lama semburan air itu semakin deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi telaga.

Oleh masyarakat setempat, telaga itu dinamakan Telaga Pasir yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir. Namun, karena lokasinya berada di Kelurahan Sarangan sehingga telaga ini biasa juga disebut Telaga Sarangan.‎

Demikian cerita Legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur. Hingga saat ini, legenda ini masih digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Magetan. Kini, Telaga Pasir atau Sarangan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Magetan.‎


Telaga Ngebel dan tercipta nya Tombak Kyai Upas

Dahulu kala waktu Ki Ageng Mangir merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah Kabupaten Ngrowo yang akhirnya menjadi Tulungagung sedang Istrinya bernama Roro Kijang yang ikut serta merantau, pada hari waktu Roro Kijang hendak makan sirih (nginang), dicarinya pisau untuk membelah pinang namun tak dapat menemukan, akhirnya minta pisau kepada Suaminya. oleh Suaminya diberi Pisau Pusaka Kyai Seking dengan berpesan kepada Istrinya :

– Agar lekas dikembalikan

– Jangan sekali pisau itu ditaruh dipangkuannya.

Pisau Pusaka Seking diterima dan terus dipergunakan untuk membelah pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikrnati rasa daun sirih dan Pinangnya.

Kemudian lupa pesan Suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang teijadi ia amat terkejut dan heran karena pisau diatas pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.

Dengan ratap dan tangis Dewi Roro Kijang menceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.

Roro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa sedih hati ia melaksanakan perintah Suaminya bertapa di tengah Rawa sedang Ki Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat.

Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar seperti orang bunting, tepatnya waktu itu ia melahirkan tetapi apa yang teijadi, ia tidak melahirkan seorang anak manusia melainkan seekor Ulangan.  sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular ia ular yang Ajalb kulitnya bercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti Mahkota.

Roro Kijang terkejut dan sangat takut serta merasa malu untung tak ada yang mengetahuinya. Roro Kijang lalu mengambil sebuah Kelenting yang dibawanya lalu dipasang pada leher si Ular kemudian di tutup dengan tempayan setelah itu Roro Kijang pindah bertapa dilain tempat.

Bayi Ular semakin lama semain besar sehingga tempayan tempat ia terkurung makin lama makin sesak lama kelamaan tempayannya pecah dan ular dapat keluar.

Diluar ular makin lama bertambah semakin besar dan kuat kulitnya kena sinar Matahari semakin terang dan bercahaya gemerlapan.

Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya sehingga kelenting dilehemya berbunyi : kelinting – kelinting, karena ia nerasa hidup sendirian maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan dirinya dan siapakah kedua Orang tuanya. Akhirnya  timbulah niat untuk mencari kedua Orang tuanya dan dilihatnya dari jauh ada seorang sedang bertapa. Yang akhimya orang pertapa tadi adalah ibunya yaitu Roro Kijang, yang selanjutnya memberi nama kepada anaknya dengan nama Baru Klinting.

Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang. Baru Klinting disuruh nenyusul / mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis, Baru klinting lalu berjalan menuju ke gunung Wilis karena yang dituju jauh dan sudah payah lalu berhenti. 

Bekas tempat istirahat akhimya menjadi desa yang bernama Desa Baru Klinting masuk Kabupaten Tulungagung. Ki Ageng Mangir setelah bertapa di Gunung Wilis ia berubah nama menjadi Ki Ajar Solokantoro, ketika ia sedang bertapa datanglah Baru Klinting dihadapannya.

Sebagai seorang pertapa yang telah tinggi Ilmunya, ia telah dapat mengetahui apa yang telah terjadi, terutama rentetan dengan peristiwa hilangnya pisau pusaka Seking.‎

Kedatangan Baru Klinting mengutarakan maksudnya sesuai petunjuk ibunya Roro Kijang bahwa yang pertapa di sini adalah Ayahnya dan Ki Ajar Solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujung ekor sampai kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini maka akan diterima sebagai anaknya.

Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal sejengkal  saja untuk mencapai Ekomya maka dengan segera Baru Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-pan- jangnya sampai ke Ujung ekor, setelah lidah Baru Klinting dijulurkan sampai ke ekor maka pertapa lalu mencabut pusaka lidah Baru Klinting lalu di potong seketika itu juga putuslah lidah Baru Klinting yang sebelah dan lidah yang sebelah masih menyambung ekor sedang baru kliting sendiri kesakitan. 

Dengan menahan sakit maka marahlah Baru Klinting ditariknya ekor dan mengagah mulutnya akan menelan sang Ayah, tetapi setelah diberi pengertian bahwa apabila ingin menjadi manusia agar jangan mempunyai lidah bercabang dua jadi harus dipotong yang satunya, atas saran sang Ayah maka ditelanlah potongan lidah yang satu tetapi harus dikeluarkan lagi dan jangan dikeluarkan melalui mulut.

Lidah dikeluarkan melalui telinga tetapi keluarlah sebuah pusaka yang disebut Tombak berdapur Baru yang kelak sangat bermanfaat untuk Baru Klinting.

Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertimbun oleh daun daun dan tanah sehingga sebagian badan yang tidak terpendam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepala saja yang dapat kelihatan terang muncul disuatu desa yang dinamakan desa “Sirah Naga” termasuk Kecamatan Millir Kabupaten Madiun.

Pada suatu hari didesa Ngebel dilereng Gunung Wilis akan mengadakan Bersih desa pelaksanaannya dipusatkan dirumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh Rakyat dalam desa untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki supaya masuk hutan mencari binatang buruan baik Kijang, Rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta Rakyat nanti.

Pada pagi harinya orang desa yang laki-laki berduyun-duyun masuk hutan  mereka membawa parang, kapak sabit dan, keranjang dan tali,  mungkin nasib sedang sial untuk mereka hampir seharian tak seekorpun dapat buruannya, semua lelah dan payah, oleh Pimpinannya diperintahkan untuk  berhenti di tempat masing-masing sambil menunggu kalau ada binatang yang terlihat.

Diantara sekian banyak ada seorang yang sambil duduk mengayunkan kapaknya ke batang kayu, anehnya kayu itu mengeluarkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu keluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi . keluar darahnya.

Semua riang gembira barang yang disangka kayu itu dipotong-potong sepanjang badannya. Mereka beramai-ramai membawa pulang hasil buruan dan dimasak bersama-sama dirumah Kepala Desa. 

Sehari semalam di pendopo Kepala Desa diadakan keramaian, semua Rakyat didesa laki-laki maupun perempuan, tua muda datang melihatnya Orang tua didalam Rumah dan anak anak di halaman rumah. Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar halaman rumah, datanglah seorang anak compang-camping Pakaiannya dan banyak luka di badannya, dimana anak itu datang mendekati anak-anak dan anak anak itu datang menjauh. Mereka merasa muak melihat anak itu datang. merasa dihina oleh kawan sebayanya, maka ia lalu pergi ke Dapur minta nasi, semua orang benci melihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi. 

Kemudian datang seorang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan pindang daging sate. nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis. Perutnya pun kenyang dan badannya menjadi kuat, aneh bin Ajaib semua luka-luka di badannya hilang sama sekali dan bentuk badannya menjadi baik seperti anak anak di desa itu.

Ia mendekati nenek tua itu yang telah memberi nasi tadi dan berpesan pada nenek tadi apabila ada apa-apa agar nenek tadi membawa entong (sendok nasi) dan lekas saja naik lesung, anak itu lalu meninggalkan nenek  dan berkumpul dengan anak-anak desa itu.

Dengan membawa sebuah lidi sapu ia masuk kelingkaran tempat anak- anak bermain seraya menantang kepada anak-anak desa itu, bahwa siapa yang bisa mencabut lidi yang baru ditancapkan ditanah akan diberi hadiah sebungkus nasi penuh dengan daging. 

Semua anak datang mencobanya tetapi tak berhasil malahan orang tuapun datang ingin mencobanya men­cabut lidi tetapi juga tidak adayang berhasil. Dengan berpesan kepada orang desa itu bahwa orang kikir itu tidak baik dan tidak mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan jangan berlagak sombong dan suka menghina orang lain. 

Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi sapu yang tertancap di tadi dengan mudahnya seolah-olah timbul sebuah mata air yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.

Oleh karena derasnya air maka anak-anak dan Orang tua jatuh tenggelam semua orang mati dan segala Bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “.

Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan Entong sebagai alat pendayung. 

Nenek tua bersama anak kecil tadi menjalankan perahunya ketepi danau lalu mendarat. Tempat mendarat ini ditepi pasar Ngebel nenek tua tadi tinggal dan menetap disitu sampai ajalnya dan dimakamkan ditengah-tengah Pasar Ngebel. Akhirnya nenek tua itu disebut “Nyai Latung” dan telaga tadi disebut dengan sebutan ” Telaga Ngebel

Diceritakan bahwa Baru Klinthing yang sedang bertapa dalam hutan karena perbuatan penduduk Ngebel maka badannya telah hancur tinggal bagian Kepalanya saja. Kepalanya menjadi batu terletak di Desa sebelah Barat dari Desa Ngebel. Tempat kepala ini akhirnya dinamakan Desa “Sirah Naga”. 

Dengan takdir Illahi Baru Klinting setelah hancur badannya menjelma menjadi seorang anak kecil dan disebut anak bajang dan si Bajang inilah yang membuat permainan lidi sapu tadi. Setelah si Bajang berpisah dengan nenek tua lalu ia mencari Orang tuanya ditinggalkannya Danau Ngebel, lalu pergi ke Gunung-gunung mencari tempat Orang tuanya bertapa. Setelah bertemu lalu menghadap Orang tuanya (Ayahnya) sambil menyampaikan bahwa perintah Ayahnya telah dilaksanakan dengan baik.

Sang Ayah akhimya mengakui bahwa ia anaknya dan diberi nama “Joko Baru” dan diberinya sebuah Pusaka Tombak bemama “Tombak Baru Kuping” Joko Baru dengan rasa hormat  bersujud dan menerima sebuah pusaka dari Ayahnya. Setelah menerima Pusaka Joko Baru diberi nasehat- nasehat dan disuruh pergi ke arah timur Gunung Wilis dan jangan berhenti kalau belum sampai ke sebuah Rawa yang luas dan Ayahnya berpesan bahwa disitulah tempat Tumpah darah Joko Baru. Setelah sampai ditempat itu agar nanti Joko Baru membangun tanah kelahirannya, sebab dengan pusaka ini nanti Joko Baru akan menjadi Orang Besar dan setelah itu dicarilah Ibunya dan tinggal lah bersamamu dengan baik.

Setelah cukup pesan Ayahnya Joko Baru bersujud dan mohon diri untuk melaksanakan perintah Ayahnya. Joko Baru terus pergi kearah timur Gunung Wilis setelah berjalan berhari-hari sampailah di tanah Ngrowo dan bertemu dengan ibunya serta diterima dengan senang hati.

Akhirnya pusaka Tombak Baru Kuping menjadi Pusaka Wasiat Kabupaten Bonorowo secara turun temurun hingga yang akhirnya  pindah ke utara menjadi Kabupaten Tulungagung.

Tombak pusaka tersebut hingga kini menjadi pusaka Kadipaten Tulungagung dengan Nama Kanjeng Kyai Upas

Telaga Wahyu ‎

Telaga wahyu adalah telaga yang teletak di Kabupaten Magetan Jawa Timur. Telaga Wahyu yang berjarak sekitar 16 km dari Kota Magetan. Tepatnya di Desa Ngerong, Kecamatan Plaosan. Jika berkendara dari arah Magetan menuju lereng Gunung Lawu. Telaga ini mempunyai luas sekitar 10 hektare dan kedalaman sekitar 23 meter. Telaga ini selain digunakan sebagai tempat rekreasi pemancingan. Suasana alam yang ada di Telaga Wahyu sangat terjaga keasriannya agar dapat memanjakan wisatawan yang berkunjung ke Telaga Wahyu.

Cerita datang dari salah satu pohon yang berada di selatan telaga wahyu, pohon besar serta berduri yang masyarakat sekitar menamai dengan pohon Randu. Pohon yang mungkin umurnya setara dengan umur telaga wahyu saat ini, konon setiap malam tertentu ada seorang nenek berpakaian hitam berambut panjang dan mempunyai peliharaan kucing yang amat banyak dan berwarna hitam semua. Pada waktu-waktu tertentu dan malam tertentu sering menampakan wujudnya kepada para pemancing ikan di Telaga Wahyu pada malam hari.

Telaga Wahyu sengaja ditebari berbagai macam ikan untuk disediakan bagi mereka yang gemar memancing, sehingga tempat ini merupakan tempat pemancingan dan sering pula dimanfaatkan untuk berkemah. Selain menjadi tempat pemancingan, telaga ini juga sangat nyaman dengan udara yang sejuk, pemandangan yang alami indahnya untuk dijadikan tempat rekreasi keluarga. Di dekat Telaga wahyu, wisatawan dapat menemukan sebuah mata air alami yang di namakan Sumber Tamtu,menurut legenda bahwa mata Air Tamtu ini memiliki kasiat untuk bisa awet muda.‎

 

Puncak Songolikur Gunung Muria


Gunung Muria adalah sebuah gunung di wilayah utara Jawa Tengah bagian timur, yang termasuk ke dalam wilayahKabupaten Kudus di sisi selatan, di sisi barat laut berbatasan dengan Kabupaten Jepara, dan di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Pati. Di kawasan ini terdapat tempat yang sangat legendaris peninggalan Wali Songo, yaitu pesanggrahan di kawasan puncak Gunung Muria yang dalam sejarah negeri ini merupakan basis pesanggrahan di manaKanjeng Sunan Muria menyebarkan agamaIslam di tanah Jawa. Di sini pulalah Sunan Muria dimakamkan. Nama Gunung Muria dan daerah Kudus dinamakan berdasarkan nama Bukit Moria dan kota Al-Qudus/Baitul Maqdis/Yerusalem. Demikian pula nama Masjid Al Aqsa Menara Kudus berdasarkan nama Masjid di Yerusalem..

Puncak Muria
Gunung Muria mempunyai ketinggian1.601 meter dari permukaan laut. Puncak-puncaknya yang tertinggi antara lain:

Puncak Songolikur; merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria. Sering juga disebut sebagai puncak Saptorenggo.
Puncak Candi Angin; tapi sampai saat ini belum ada yang tau berapa ketinggian puncak Candi Angin
Puncak Argowiloso; tapi sampai saat ini belum ada yang tau berapa ketinggian puncak Argowiloso.‎
Puncak Argojembangan
Puncak Abiyoso

Puncak Saptorenggo atau disebut juga Puncak Songolikur adalah puncak tertinggi di Gunung Muria Jawa Tengah dengan ketinggian 1602 meter dpl. Puncak ini termasuk dalam wilayah administratif desa Rahtawu, Gebog Kabupaten Kudus Jawa Tengah.
Selain menjadi puncak yang menarik perhatian setiap Pecinta Alam untuk mendakinya, juga menjadi tempat tujuan bagi para pencari berkah dan pelaku spiritual utamanya pada setiap bulan sura atau bulan muharam.

Dahulu kala Konon katanya di Puncak Rahtawu – yaitu Puncak Songolikur ( Puncak 29 ) adalah pusat pertapaan para dewa yang selalu memberikan kedamaian dan rahmat di Bumi.
Wisata pegunungan Rahtawu merupakan suatu tempat yang terletak di kaki Gunung Muria sekitar 20 km dari Kota Kudus yang terletak di desa Rahtawu Kecamatan Gebog. Rahtawu ini memiliki pemandangan yang indah karena letaknya yang dikelilingi deretan pegunungan dan sungai-sungai yang masih jernih. Mata air sungai Kali Gelis berasal dari Rahtawu ini. Kawasan ini sangat cocok bagi para pelajar, remaja serta muda-mudi yang berhobi mendaki gunung dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan Puncak “SONGOLIKUR”.

Selain memiliki wisata alam, Rahtawu mempunyai wisata budaya karena di rahtawu ini terdapat tempat-tempat pertapaan / petilasan dimana nama petilasan tersebut diambil dari beberapa cerita pewayangan, yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton

Rahtawu yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian merupakan daya tarik bagi yang suka laku prihatin.
Kata orang desa rahtawu nama Rahtawu mempunyai arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalo indonesianya (darah yang bercecer )

Tabu/Pantangan tertentu. Di Rahtawu juga ada pantangan, yakni warga dilarang nanggap wayang kulit. Meski di sana banyak nama petilasan bernama leluhur Pandawa.
“Bila dilanggar, yang bersangkutan terkena bencana,”
Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, ( Jogetan tradisional di daerah pantura Jawa tenggah)

Prosesi ritual itu dikatakan sebagai tradisi warga Rahtawu yang berjalan turun-temurun. “Maksudnya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih banyak dari tahun lalu.
Rahtawu memang menyimpan banyak misteri. Dan seharusnya, baik ilmuwan Islam maupun juru dakwah tertarik dan mencari tahu bagaimana praktik Islam di sana. Apalagi, dinamika kehidupan warga di Rahtawu yang juga masih tradisional

MITOS, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyasa yang merupakan leluhur Pandawa dan Korawa.
Menurut cerita babad dan Purwa, konon leluhur raja-raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata.

Di Rahtawu terdapat banyak “petilasan pertapaan” yang diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan tempat bertapanya “para suci” yang oleh penduduk setempat disebut “Eyang”.
Diantaranya :

Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.
Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Saloka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.
Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung “Abiyasa”, ada yang menyebut “Sapta Arga”.
Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung “Sangalikur”,
di puncaknya tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.
Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung “Sangalikur” sebelah timur.
Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga sebelum bertaubat), di Rahtawu.
Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto, berupa makam di dusun Semliro.

Semua “petilasan” (kecuali makam Eyang Mada) merupakan “batu datar” yang diperkirakan sebagai tempat duduk ketika bertapa (meditasi, semadi). Sayangnya, semua petilasan tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat sedemikian rupa “sakral” dengan diberi bilik yang tertutup dan dikunci.
Pembukaan tutup dilakukan setiap bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.

Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk melakukan “ritual sesaji” dengan bunga dan pembakaran dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran untuk melakukan “ritual sesaji” maupun “ngalap berkah”
Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan, Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa.

Bangunan peribadatan berupa masjid ataupun langgar (mushalla) merupakan bangunan baru buatan jaman ini. Maka sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs peradaban apakah di Rahtawu tersebut ?
ini berkaitan dengan ajaran budhi (Sabdo Palon) ajaran tentang kautaman urip.

Meskipun semua “petilasan pertapaan” berkaitan dengan nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh yang mengadakan pagelaran wayang tersebut.

ketegaran Jawa dalam berinteraksi dengan berbagai peradaban pendatang di Rahtawu, sebagai berikut :

Di puncak tertinggi (gunung “Sangalikur”) adalah “petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang”. Tempatnya sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung (tan kena kinayangapa).
Dibawahnya ada “petilasan pertapaan” Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar).

Tokoh-tokoh tersebut merupakan simbul personifikasi manusia titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan “laku darma” pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau mengajarkan “laku-urip” yang religius.

Sang Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan (realitas tertinggi) Jawa.
Bathara Ismaya merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau diibaratkan pada sel hidup).
Eyang Manik Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan.

Demikian pula kiranya konsep Jawa tentang “Urip” selalu terdiri dari “Manikmaya” dan “Ismaya” yang juga tidak bisa dipisahkan.

Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa yang tidak pernah berperang.
1. Puntadewa simbul kesabaran,
2. Nakula kecerdasan, dan
3. Sadewa kebijaksanaan.

Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa, Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih. yang sekarang berdiam di Alas krendo wahana
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan di gunung “Sangalikur” dibawah Sang Hyang Wenang,

Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan (sesembahan) adalah kesadaran akan “sejatining urip”, yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar),Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana).

Puncak kedua di “gunung Abiyasa” merupakan “petilasan pertapaan” Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya merupakan maharesi yang tertinggi “kawruhnya”.
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan turun melalui jalan yang sama.
Sepertinya menyiratkan bahwa jalan menuju puncak ketinggian “harkat spirituil manusia” yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak meninggalkan keramaian dunia.
Palasara dan Abiyasa konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.

Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya pula, keduanya tidak menempati “etika agama” dalam hal bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang terekayasa oleh kebutuhan.
Palasara bercinta-asmara dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai “kesempurnaan harkat kemanusiaan” bisa dicapai juga dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah, meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan “norma kesusilaan” dan “etika keagamaan”.

Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat manusia katimbang dewa.

Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki gunung seolah menyiratkan pandangan Jawa, bahwa sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta (memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi disetarakan dengan manusia.

Begitulah Penafsiran tentang hakekat adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di Rahtawu.
Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam Eyang Mada, adalah suatu “punden” baru yang tidak ada hubungannya dengan “petilasan pertapaan” paya Hyang dan Resi.

Adapun bagaimana sejarah Rahtawu masih merupakan misteri. Siapa pula yang menetapkan daerah itu Menjadi petilasan pertapaan, juga masih sulit untuk didapatkan keterangan. Yang jelas sudah sejak jaman kuno Rahtawu dianggap sebagai tempat petilasan pertapaan “para suci”. Mungkin dulunya mirip “Sungai Gangga” di India.

Atau semua itu adalah rekayasa para leluhur Jawa untuk lebih meyakinkan bahwa yang menciptakan Mahabharata, Resi Wiyasa, adalah Abiyasa yang tinggalnya di Rahtawu, Jepara.
Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi tempat untuk kepentingan “ngalap berkah” yang bermacam-macam.
Caranya juga bermacam-macam pula. Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap klenik, tahayul dan syirik.
Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga) yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang muslim. 
Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen).
Menurut yang “muslim saleh”, menyatakan bahwa Rahtawu tempat berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan “kejawen” menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma kuburan manusia biasa.

Begitulah kenyataan pergulatan antar peradaban di Jawa baru mencapai tahap saling menganggap klenik, tahayul dan syirik bagi pihak yang tidak sealiran.

Jamaah Manganthi sekitar 20 orang berjalan beriringan menuju puncak songolikur untuk “terjun langsung” di alam bebas dan bukan hanya melakukan zikir di rumah saja, karena kita akan merasakan perbedaan batin dan merasakan aura alam pegunungan pada tengah malam.‎

Setelah sampai di  puncak Songolikur , Mbah Doel beserta jamaah Manganthi melaksanakan sholat hajat dan berzikir di areal tersebut. Tiba-tiba datang sinar biru meluncur dari arah atas ke bawah. Dengan karomah wali yang dianugerahkan Mbah Doel sinar itu ditangkap . Ternyata setelah ditangkap berubah wujud menjadi pusaka. Mbah Doel menganggap itu oleh-oleh dari Puncak Songolikur dan tanda perkenalan dengan penghuni ghaib di sana. Oleh karena itu jangan sampai kita mengimani pusaka dan sejenisnya namun berimanlah pada Allah swt yang menciptakan alam dunia seisinya.

Populitas
Gunung Muria terdapat berbagai habitat flora, diantaranya:

Aren (Arenga pinata)
Bendo (Artocarpus elasticus)
Cengkeh (Eugenia aromatica)
Dadap (Erythrina sp)
Eukaliptus (Eucalyptus alba)
Gintungan (Bischoffia javanica)
Ingas (Gluta renghas)
Jati (Tektona grandis)
Kaliandra (Callyandra calotirsus)
Lamtorogung (Leucaena glauca)
Manggis (Garcinia mangostana)
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Pinus (Pinus merkusii)
Randu (Ceiba pentandra)
Salam (Eugenia polyantha)
Tejo (Cinnamomum sp)
Wuni (Antidesma bunius)
Berbagai macam anggrek
Pohon Pepaya
Pohon Jambu Monyet
Gunung Muria terdapat berbagai habitat fauna, diantaranya:

Kijang
Macan Tutul
Monyet Ekor Panjang
Wisata Religi
Makam Syeh Sadzli
Makam Sunan Muria‎
Makam Sunan Muria terletak di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Berlokasikan di atas sebuah bukit. Sehingga para peziarah yang hendak berziarah harus menapaki anak tangga sejauh + 500 meter. Di kiri kanan anak tangga berderet kios para penjual makanan dan souvenir.

Bagi yang tidak kuat mendaki anak tangga bisa memilih jasa tukang ojek. Dengan jasa ini selain bisa menghemat energi, selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan yang menarik.

Wisata Alam
Air Terjun Songgo Langit, di Desa Bucu
Air Terjun Jurang Nganten, di DesaTanjung
Air Terjun Suroloyo, di Desa Bungu
Air Terjun Banyu Anjlok, di DesaSomosari
Air Terjun Undak Manuk, di Desa Blingoh
Air Terjun Nglamer, di Desa Dudakawu
Air Terjun Kedung Ombo, di Papasan
Air Terjun Nggembong, di Srikandang
Air Terjun Nglumprit, di Desa Dudakawu
Air Terjun Grinjingan Dowo, di DesaDudakawu
Air Terjun Monthel, di Desa Colo
Air Terjun Gonggomino, di Desa Rahtawu
Air Tiga Rasa Rejenu, di Desa Japan
Air Terjun Widodaren, di DesaLumbungmas
Air Terjun Santi, di Desa Gunungsari
Air Terjun Grenjengan Sewu, di DesaJrahi
Air Terjun Tadah Hujan, di Desa Sukolilo
Wisata Sejarah
Museum Gong Perdamaian Dunia, di Desa Plajan
Situs Pusat Bumi, di Desa Plajan
Candi Angin, di Desa Tempur
Candi Bubrah, di Desa Tempur
‎‎
Gunung Muria terdapat beberapa bumi perkemahan, di antaranya:

Bumi Perkemahan Sreni Indah
Terletak di Desa Bate Gede, KecamatanNalumsari, Kabupaten Jepara. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Nasional Gerakan Pramuka.

Bumi Perkemahan Pakis Adhi
Terletak di Suwawal Timur, KecamatanPakis Aji, Kabupaten Jepara. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah. Bumi Perkemahan ini juga pernah digunakan untuk menggelar Jambore Nasional OI yang di hadiri Iwan Fals.

Bumi Perkemahan Tempur
Terletak di Desa Tempur, KecamatanKeling, Kabupaten Jepara. Bumi Perkemahan ini mempunyai keunikan karena tempatnya di salah satu puncak Gunung Muria tepatnya di Puncak Tempur, Bumi Perkemahan ini pun dekat dengan tempat-tempat peninggalan bersejarah seperti Candi ANgin, Candi Bubrah, Kolam Nawangwulan, dll.

Bumi Perkemahan Abiyoso
Terletak di kaki Gunung Abiyoso di DesaMenawan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun 1996.

Bumi Perkemahan Kajar
Terletak di Desa Kajar, Kecamatan DaweKabupaten Kudus sekitar 2 km arah selatan Makam Sunan Muria.

Bumi Perkemahan Jolong
Terletak di Desa Jolong, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati. Dari sini merupakan salah satu jalur pendakian menuju puncak Argo Jembangan.

Perencanaan
Kereta Gantung
Membuat Kereta gantung dari bawah sampai ke masjid Makam Sunan Muria, Kereta Gantung tersebut diperuntukkan bagi orang lemah atau sakit, bagi untuk orang yang sehat tapi ingin menaiki maka dikenakan tarif 2 kali lipat tarif untuk orang sakit/cacat. Agar tidak merugikan bagi Tukang Ojek dan Penjual Aneka Sovenir di Tangga menuju Masjid Makam Sunan Muria.

Visit Muria Mount
Agar warga luar kota mengetahui keindahan Gunung Muria, dari semua tempat wisata yang terletak di Kaki Gunung Muria hingga puncak Gunung Muria yang terdapat di Jepara Kudus hingga Pati‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...