Tidore adalah sebuah pulau bergunung api di gugusan utara kepualuan
Maluku. Pulau Tidore dahulu dikenal dengan sebutan “Kie Duko” atau
gunung berapi Sebab saat itu masih aktif. Ketika Islam masuk, di Maluku,
Kie Duko berubah nama menjadi “To Ado re atau (Thadore /Tidore)” yang
merupakan nama tanda perdamaian antara penguasa pribumi pasca perang
akbar (Antar penguasa di Maluku Utara) di tahun 846 Masehi.
Maluku saat itu dikenal dengan daerah yang penuh peperangan lokal
(Perebutan wilayah) antara pribumi hingga akhirnya seorang ulama asal
iraq bernama Syekh Yakub harus turun tangan dalam mendamaikan perang
tersebut.
Dalam sejarahnya, Syeh Yaqub merupakan adalah utusan (Duta) Kerajaan
Abbasyiah (era kekhalifahan Al-Muttawakil 847-946 Masehi) untuk tugas
ekspansi perdagangan di maluku. Syeh Yaqub adalah tokoh penting dalam
perundingan Togorebo (Nama tempat yang dijadikan nama perundingan) di
sebuah wilayah dekat kaki gunung kie duko bernama Marijang (Sekarang
dikenal dengan nama Kie Matubu).
SHAHJATI Merintis Kerajaan.
Tidore menjadi kerajaan setelah seorang keturunan ulama Arab dari hasil
perkawinannya dengan salah satu putri penguasa pribumi bernama Jou Boki
Nursafa melahirkan seorang laki-laki bernama Shahjati yang kelak
mendirikan kerajaan Tidore.
RESTORASI ISLAM era CIRILIATI
Keturunan Shahjati bernama Ciriliyati (1495-1512) sukses
mentranformasikan kerajaan Tidore menjadi kerajaan Islam hingga beliau
sepakat mengganti gelar Kolano (Gelar raja bagi kepemimpinan kerajaan
Tidore) menjadi Sultan dengan yang memberinya nama Islam yakni
Djamaluddin.
Tidore adalah salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia yang
terletak di utara kepulauan Maluku (Prop. Maluku Utara). Berbatasan
dengan pulau Ternate dan Pulau Halmahera.
TIDORE DAN KONFEDERASI MOLOKU KIERAHA
Kesultanan Tidore pula merupakan anggota dari Konfederasi MOLOKU KIERAHA
(Persekutuan 4 kerajaan besar ; Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan)
yang dideklarasikan dalam konferensi MOTI / “MOTI Veerbond” pada tahun
1322) Moloku Kie Raha akhirnya diakui kedaulatan konfederasinya oleh
Aliansi Kerajaan Islam Nusantara (Melayu, Demak, Mataram, Gowa-Tallo,
Banggai, Bima, Hitu dll). Kerajaan Tidore sendiri berdiri tidaklah
jelas, namun para ahli mengemukakan kepemimpinan Tidore (Secara pribumi)
sudah cukup lama.
PASCA KEPERGIAN SYEH YAQUB
Kedatangan kembali seorang musafir barat jauh (Arab) bernama Maulana
Maghribi Jaffar Ash Sadiq pada hari Senin 10 Muharam 470 Hijriah atau
1077 M.
Para penduduk pribumi memanggilnya dengan sebutan “Jafar sadiq / Jafar
No”. Tercatat Jafar No meminang seorang putri Momole (Penguasa pribumi)
bernama Jou Boki Nursafa, darinya mereka melahirkan keempat (4) orang
putri dan ke (4) empat orang putra.
MEWARISI KEKUASAAN PARA LELUHUR
Sepeninggal Jafar No, keempat putranya mewarisi kekuasaan kakek-kakeknya
(keluarga dari ibu). Hal ini karna kakeknya (dari ibu) merupakan
penguasa saat itu. Sang kakek selalu memanggil mereka dengan panggilan
“Dano” alias cucu. Kerap panggilan tersebut kelak menjadi gelar
bangsawan bagi mereka para keturunan Boki Nursafa hingga kini. Keempat
putera mereka melanjutkan kekuasaan leluhur mereka di setiap daerah
Moloku Kieraha (Gamlamo, Kie Gapi, Bacan, Jailolo). Sedang keempat
putrinya mengikuti jejak ayahnya membentuk kekuasaan di Banggai (Yang
nantinya melahirkan kerajaan-kerajaan di banggai dan sekitarnya,
Sulawesi Tenggara).
SILSILAH KEPEMIMPINAN
Merupakan daerah yang memiliki kepemimpinan absolut atas daerahnya.
Dahulu Tidore menggunakan sistem kepemimpinan orang terkuat (Layaknya
hukum rimba). kemudian berevolusi menjadi sistem kepemimpinan Islam.
Para pemimpin di era zaman Tidore kuno dikenal sebagai orang yang kuat
(Sakti) dengan julukan Momole (Gelar pemimpin / orang kuat).
Hingga pada zaman sejarah (terbentuknya sistem kerajaan modern akibat
transformasi zaman), barulah diketahui bahwa seorang pemimpin/raja
bergelar Kolano. Beberapa generasi kemudian (Ketika sistem pemerintahan
islam diterapkan) barulah penggunaan gelar Sultan digunakan. Berikut
para pemimpin dan gelarnya yang pernah memerintah Tidore. Urutan nomor
dihitung dari tercatatnya sejarah :
Kolano Syahjati alias Muhammad Nakil bin Jaffar Assidiq
Kolano Bosamawange
Kolano Syuhud alias Subu
Kolano Balibunga
Kolano Duko adoya
Kolano Kie Matiti
Kolano Seli
Kolano Matagena
Kolano Nuruddin (1334-1372)
Kolano Hasan Syah (1372-1405)
Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin (1495-1512)
Sultan Al Mansur (1512-1526) ::::::::::: Pusat pemerintahan di Kadato (Istana) Sela Waring di Rum
Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen (1526-1535)
Sultan Kiyai Mansur (1535-1569)
Sultan Iskandar Sani (1569-1586)
Sultan Gapi Baguna (1586 -1600)
Sultan Mole Majimo alias Zainuddin (1600-1626)
Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah (1626-1631) memindahkan
pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Biji Negara di Toloa.
Sultan Gorontalo alias Saiduddin (1631-1642)
Sultan Saidi (1642-1653)
Sultan Mole Maginyau alias Malikiddin (1653-1657)
Sultan Saifuddin alias Jou Kota (1657-1674) ::::::::: memindahkan
pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Salero, di Limau Timore
(Soasio)
Sultan Hamzah Fahruddin (1674-1705)
Sultan Abdul Fadhlil Mansur (1705-1708)
Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia (1708-1728)
Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan (1728 – 1757)
Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin 1757 – 1779
Sultan Patra Alam (1780-1783)
Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar (1784-1797)
Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati, Nuku (1797-1805)
Sultan Zainal Abidin (1805-1810)
Sultan Motahuddin Muhammad Tahir (1810-1821)
Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah (1821-1856) Pembangunan Kadato Kie
Sultan Achmad Syaifuddin Alting (1856-1892)
Sultan Achmad Fatahuddin Alting (1892-1894)
Sultan Achmad Kawiyuddin Alting Alias Shah Juan (1894-1906) Setelah
wafat, terjadi Masa awal konflik internal, (Kadato kie dihancurkan)
hingga vakumnya kekuasaan.
Sultan Zainal Abidin Syah (1947-1967) pasca wafat, vakumnya kekuasaan.
Sultan Hi. Djafar Syah (1999 – 2012) Pembangunan Kadato Kie kembali
Perdebatan kepemimpinan Islam di Tidore
Berdasarkan penjelasan diatas, disebutkan bahwa Agama Islam di wilayah
Kesultanan Tidore hadir setelah raja ke-sembilan memimpin (Kolano
Nuruddin 1334-1372). Namun, menurut Irham Rosyidi pendapat ini masih
dapat diperdebatkan. Jika penjelasan diatas benar, mengapa raja/Kolano
pertama Kesultanan Tidore bernama Syahjati alias Muhammad Nakil,
bukankah nama tersebut mengindikasi pengaruh agama Islam?. Berpijak
pada nama tersebut maka Irham Rosyidi berpendapat bahwa agama Islam
masuk wilayah Kesultanan Tidore diduga kuat sejak raja/Kolano pertama
pada tahun 1108 M.
Misteri vakumnya kesultanan Tidore di tahun 1906-1946
Sejak mangkatnya Sultan Kawiyuddin Alting alias Shah Juan di tahun 1906.
Kepemimpinan sultan vakum dipimpin oleh para Bobato. 10 Tahun kemudian
tepatnya pada tahun 1912. Tidore dicengangkan dengan Penyusup (Bosi ;
Tidore) yang menghasut warga untuk memilihnya naik menjadi sultan.
Dengan rasa tanggung-jawab inilah pihak keluarga (Dano) melaksanakan
protokol adat dengan menyelamatkan “Mahkota kesultanan” agar terhindar
dari malapetaka (Kejahatan pencurian maupun lainnya). Terdengar kabar,
Mahkota disimpan di salah satu rumah yang dirahasiakan oleh pihak Bobato
dan keluarga di kediaman Soasio.
Sumber lain
Isu lain tentang mengapa terjadi kevakuman kepemimpinan Kesultanan
Tidore berasal juga dari isu tentang trik yang digencarkan pemerintah
kolonial Belanda yang tidak senang jika Kesultanan Tidore terlalu aktif
dan berkesinambungan. Sebab Sultan Tidore dan para bobatonya dikenal
Belanda sejak dahulu sebagai suatu subjek (pelaku) yang sulit
dikendalikan dan tidak bisa diajak kerja sama. Apalagi Belanda masih
harus memperjuangkan Irian barat (Papua) secara statuta agar harus jatuh
di tangan Belanda meski dalam statuta kesultanan Papua masih wilayah
kekuasaan Tidore. Olehnya itu “Devide et impera” kembali digencarkan di
internal pejabat kesultanan guna mengganggu konsentrasi Kesultanan
terhadap status Irian barat.
Bergabungnya Tidore kedalam Negara kesatuan republik Indonesia
Soekarno adalah ahli politik, tapi dibalik keberingasannya ia adalah
orang cerdas dan pertama yang mengubah tak tik perlawanan senjata dengan
tak tik meja perundingan internasional itupun tak lain dengan amunisi
andalannya “Sejarah”. Soekarno paham tentang status papua dalam koridor
wilayah kesultanan Tidore. Soekarno pun paham tentang konflik internal
di kesultanan Tidore. Olehnya mengapa ia begitu merasa wajib harus
mempelajari sejarah Tidore terlebih dahulu. Dan baginya, sangat tak
sulit menemukan Tidore (Arsip lama kesultanan – VOC) selama ia masih
bersekolah di Stovia (Batavia).
Tepat Pada tanggal 14 Desember 1946 pemerintah Kesultanan Tidore
diaktifkan kembali dengan dilantiknya Zainal Abidin Syah sebagai Sultan
Tidore ke-37. Sultan Zainal Abidin Syah dilantik di Denpasar Bali pada
tanggal 14 Desember 1946, selanjutnya disusul dengan penobatan secara
adat Kerajaan Tidore pada tanggal 27 Pebruari 1947 di Limau Timore,
Soasio.
Sultan Zainal Abidin Syah bersedia mengintegrasikan Kesultanan Tidore
kepada Indonesia dan menolak tawaran Belanda atas integrasi (Tidore –
Belanda), atas jasa beliau Soekarno tetap menghormati Sultan selaku ahli
waris wilayah dan mengangkat Sultan menjadi Gubernur I (Pertama) Irian
barat.
Indonesia : “Semua karna Nuku”
Sikap konsisten yang anti terhadap kolonial Belanda tersebut membuat
pemerintah Republik Indonesia memberi gelar pahlawan nasional kepada
Sultan ke-30, yakni Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah
Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati alias Nuku, yang
memerintah 1797-1805 Masehi pula terkenal mengalahkan Belanda secara
telak hingga Belanda harus mengakui wilayah Nuku pada Perjanjian
Stadbland 24 Juni 1824 . Bagi Soekarno, tanpa ada pengakuan ini, mungkin
sekarang Tidore bukanlah Indonesia.
Sejarah Kesultanan Ternate
asal usul
Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunung api seluas 40 km persegi,
terletak di Maluku Utara, Indonesia. Penduduknya berasal dari Halmahera
yang datang ke Ternate dalam suatu migrasi. Pada awalnya, terdapat empat
kampung di Ternate, masing-masing kampung dikepalai oleh seorang Kepala
Marga, dalam bahasa Ternate disebut Momole. Lambat laun, empat kampung
ini kemudian bergabung membentuk sebuah kerajaan yang mereka namakan
Ternate. Selain Ternate, terdapat juga kerajaan lain di kawasan Maluku
Utara, yaitu: Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Dalam sejarahnya, Ternate merupakan daerah terkenal penghasil
rempah-rempah, karena itu, banyak pedagang asing dari India, Arab, Cina
dan Melayu yang datang untuk berdagang. Sebagai wakil masyarakat, yang
berhubungan dengan para pedagang tersebut adalah para kepala marga
(momole).
Bagaimana awal cerita pembentukan Kerajaan Ternate? Ceritanya, seiring
semakin meningkatnya aktifitas perdagangan, dan adanya ancaman eksternal
dari para lanun atau perompak laut, maka kemudian timbul keinginan
untuk mempersatukan kampung-kampung yang ada di Ternate, agar posisi
mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin Tobona, kemudian
diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole
Ciko, pemimpin Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja)
pertama pada tahun 1257 M dengan gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur
berkuasa hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate memainkan peranan penting
di kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor
perdagangan. Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah
satu di antara kerajaan Islam tertua di nusantara, dikenal juga dengan
nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama Ternate jauh lebih populer dibanding
Gapi.
Pembentukan Persekutuan
Sebagaimana disebutkan di atas, selain Ternate, di Maluku juga terdapat
beberapa kerajaan lain yang juga memiliki pengaruh. Masing-masing
kerajaan bersaing untuk menjadi kekuatan hegemonik. Dalam
perkembangannya, Ternate tampaknya berhasil menjadi kekuatan hegemonik
di wilayah tersebut, berkat kemajuan perdagangan dan kekuatan militer
yang mereka miliki. Selanjutnya, Ternate mulai melakukan ekspansi
wilayah, sehingga menimbulkan kebencian kerajaan lainnya. Dari
kebencian, akhirnya berlanjut pada peperangan.
Untuk menghentikan konflik yang berlarut-larut, kemudian Raja Ternate
ke-7, yaitu Kolano Cili Aiya (1322-1331) mengundang raja-raja Maluku
yang lain untuk berdamai. Setelah pertemuan, akhirnya mereka sepakat
membentuk suatu persekutuan yang dikenal sebagai Persekutan Moti atau
Motir Verbond. Hasil lain pertemuan adalah, kesepakatan untuk
menyeragamkan bentuk lembaga kerajaan di Maluku. Pertemuan ini diikuti
oleh 4 raja terkuat Maluku, oleh sebab itu, persekutuan tersebut disebut
juga sebagai Persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Islam di Ternate
Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara diam-diam ke Ternate melalui
jalur perdagangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang Arab
yang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang
bermukim. Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan
lewat jalur dakwah. Muballigh yang terkenal dalam menyebarkan Islam di
kawasan ini adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri
Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang memeluk
Islam, namun, hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja
Ternate yang diketahui memeluk Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486 M),
Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-1500) yang kemudian
menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren Sunan
Giri di Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa
(Sultan Cengkeh). Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian
mengadopsi hukum Islam sebagai undang-undang kerajaan. Ia juga mengganti
gelar Kolano dengan sultan. Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga
membangun sekolah (madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat di
Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.
Kedatangan Penjajah Eropa
Orang Eropa pertama yang datang ke Ternate adalah Loedwijk de Bartomo
(Ludovico Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun kemudian, pada 1512 M,
rombongan orang Portugis tiba di Ternate di bawah pimpinan Fransisco
Serrao. Ketika pertama kali datang, bangsa kulit putih ini masih belum
menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka masih menunjukkan
itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan
Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin
pada Portugis untuk mendirikan pos dagang.
Sebenarnya, Portugis datang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga
menjajah dan menguras kekayaan Ternate untuk dibawa ke negerinya. Namun,
niat jahat ini tidak diketahui oleh orang-orang Ternate. Ketika Sultan
Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang permaisuri bernama Nukila, dan
dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu
Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih
hidup dan ternyata berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera
memanfaatkan situasi dengan mengadu domba kedua belah pihak hingga pecah
perang saudara. Dalam perang saudara tersebut, Portugis berpihak pada
Pangeran Taruwese, sehingga Taruwese berhasil memenangkan peperangan.
Tak disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran Taruwese justru
dikhianati dan dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan
Kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate. Sejak
saat itu, Pangeran Tabarij menjadi Sultan Ternate. Dalam
perkembangannya, Tabarij juga tidak menyukai tindak-tanduk Portugis di
Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang ke Goa-India. Di
sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan Ternate
sebagai kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang
menggantikan Tabarij juga menolak mentah-mentah perjanjian ini.
Tindak-tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga
sultan di Ternate membuat Sultan Khairun jadi geram. Ia segera
mengobarkan semangat perlawanan terhadap Portugis. Untuk memperkuat
posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan Portugis dari Malaka,
Ternate kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan Aceh,
sehingga Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke Ternate.
Portugis hampir mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan,
kemudian Gubernur Portugis di Ternate, Lopez de Mesquita mengundang
Sultan Khairun untuk berunding.
Berbekal kelicikan dan kejahatan yang memang telah biasa mereka lakukan,
Portugis kemudian membunuh Sultan Khairun di meja perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian naik menjadi Sultan Ternate
menggantikan Sultan Khairun yang dibunuh Portugis. Ia segera
memobilisasi kekuatan untuk menggempur kekuatan Portugis di seluruh
Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama lima tahun,
akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi
Maluku pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini
merupakan kemenangan pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit
putih.
Silsilah raja
Berikut ini beberapa kolano dan sultan yang pernah berkuasa di Ternate.
Data berikut belum lengkap, karena masih banyak nama sultan yang belum
tercantum. Urutan nama-nama sultan disesuaikan dengan urutannya menjadi
sultan.
1. Kolano Baab Mashur Malamo (1257-1272)
7. Kolano Cili Aiya (1322-1331)
17. Kolano Marhum (1465-1486)
18. Sultan Zainal Abidin (1486-1500)
19. Sultan Bayanullah (1500-1521)
20. Pangeran Taruwese
21. Pangeran Tabarij
22. Sultan Khairun (1534-1570)
23. Sultan Baabullah (1570-1583)
-- Sultan Mandar Syah (1648-1650)
-- Sultan Manila (1650-1655)
-- Sultan Mandar Syah (1655-1675)
-- Sultan Sibori (1675-1691)
-- Sultan Muhammad Usman (1896-1927)
48. Sultan Muhammad Jaber Syah
49. Sultan Mudaffar Syah (1975-2015)
Periode Pemerintahan
Ternate mencapai masa jaya pada paruh kedua abad ke-16 M, di masa
pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583), berkat ramainya perdagangan
rempah-rempah. Saat itu, untuk menjaga lalu lintas perdagangan di
kawasan tersebut, Ternate memiliki armada militer yang tangguh.
Ketangguhan armada ini telah terbukti dengan keberhasilan mereka
mengalahkan penjajah Portugis. Pada paruh kedua abad ke-17 M, sebenarnya
kejayaan Kerajaan Ternate telah berakhir, seiring dengan mundurnya
Sultan Mandar Syah dari singgasana kerajaan karena dipaksa oleh Gubernur
VOC di Ambon, Arnold de Vlaming. Bahkan, ternyata Sultan bukan hanya
dipaksa turun, tapi juga dipaksa untuk menandatangani perjanjian agar
Ternate melepaskan seluruh klaim teritorinya di Maluku.
Hingga saat ini, Kerajaan Ternate telah berdiri lebih dari 750 tahun.
Dalam usianya yang sudah begitu tua, Kesultanan Ternate masih tetap
berdiri, walaupun keberadaannya tak lebih dari simbol belaka. Jabatan
sultan sekarang ini tak memiliki wewenang, tapi tetap berpengaruh di
masyarakat. Sultan Ternate saat ini adalah Drs. Hi. Mudaffar Sjah, BcHk.
(Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1975, dan merupakan sultan yang
ke-49.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa awal berdirinya, kekuasaan Kerajaan Ternate hanya mencakup
beberapa kampung di Pulau Ternate. Seiring perkembangan, Ternate semakin
maju dan mencapai masa jayanya di abad ke-16. Saat itu, kekuasaan
Kerajaan Ternate mencakup wilayah Maluku, Sulawesi Utara, Timur dan
Tengah, Nusa Tenggara, Selatan Kepulauan Philipina (Mindanao) dan
Kepulauan Marshal di Pasifik.
Struktur Pemerintahan
Sebagaimana diceritakan di atas, pada awal berdirinya, Kerajaan Ternate
hanyalah kumpulan beberapa kampung. Saat itu, kepala kampungya disebut
Momole. Ketika kampung-kampung ini bersatu membentuk sebuah kerajaan,
pemimpinnya disebut Kolano (raja). Ketika Islam mulai menyebar ke
seluruh penjuru nusantara dan Raja Ternate kemudian memeluk Islam, gelar
Kolano diganti dengan sultan. Kolano pertama yang memakai gelar sultan
adalah Zainal Abidin. Sejak saat itu, pemimpin tertinggi di Ternate
adalah sultan. Selanjutnya, karena kerajaan menggunakan hukum Islam,
maka, ulama juga memegang peranan penting.
Untuk membantu Sultan menjalankan tugas-tugas kerajaan, kemudian
dibentuk pula jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Penasihat Raja yang
disebut Fala Raha (empat rumah). Fala Raha merupakan representasi empat
klan bangsawan yang menjadi tulang punggung Kesultanan Ternate. Bisa
dikatakan bahwa, Fala Raha sebenarnya pengganti empat momole di masa
sebelum datangnya Islam. Masing-masing raha dipimpin oleh seorang
Kimalaha. Di antara Kimalaha tersebut adalah: Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Para pejabat tinggi istana berasal dari empat klan
ini. Jika sultan tak meninggalkan pewaris, maka penerusnya dipilih dari
salah satu klan yang empat ini. Jabatan lain yang dibentuk untuk
membantu tugas sultan adalah Bobato Nyagimoi (Dewan 18), Sabua Raha,
Kapita Lau, Salahakan dan Sangaji.
Kehidupan Sosial Budaya
Ternate merupakan daerah yang terkenal penghasil rempah-rempah. Penduduk
yang bertani adalah mereka yang tinggal di kawasan perbukitan, mereka
menanam cengkeh, pala, kayu manis dan kenari. Cengkeh dari Ternate
sangat terkenal karena kualitasnya yang baik. Di daerah yang agak
rendah, penduduknya menanam kelapa. Masyarakat yang bermukim di pinggir
pantai banyak juga yang menjadi nelayan. Selain petani dan nelayan,
orang-orang Ternate juga banyak yang menjadi pedagang. Makanan utama
orang Ternate adalah beras, sagu atau ubi kayu (singkong) yang diolah
khusus, dikenal dengan nama huda, bentuknya mirip dengan irisan roti.
Dari singkong, orang Ternate juga membuat papeda. Beras yang dikonsumsi
masyarakat Ternate berasal dari Pulau Halmahera, Makassar dan Manado.
Jika direnungkan, sebenarnya peninggalan Ternate tidak sebanding dengan
kebesaran namanya. Tidak ada warisan intelektual, arsitektur ataupun
seni berkualitas tinggi yang ditinggalkannya. Satunya-satunya warisan
sastra yang ditinggalkan hanyalah Dolo bololo se dalil moro. Sastra ini
berbentuk puisi, peribahasa, ibarat, yang kebanyakannya berisi
pendidikan moral tradisional. Padahal, sebagai bandar utama
rempah-rempah di Maluku, Ternate sudah berhubungan dengan peradaban yang
lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina, Arab dan Eropa. Namun,
sepertinya hal itu tidak meninggalkan pengaruh.
Berkaitan dengan absennya kebudayaan tulis, mungkin disebabkan Ternate
selalu sibuk dengan urusan peperangan dan konflik. Sebelum Eropa datang,
Ternate konflik dengan kerajaan sekitarnya karena memperebutkan
hegemoni. Setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan bangsa
Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap energinya hanya
untuk mempertahankan diri, sebab, konteksnya adalah: menyerang atau
diserang. Karena alasan-alasan inilah, maka seni budaya yang muncul di
Ternate, seperti tarian cakalele, memiliki watak militer dan
kepahlawanan.