Rabu, 18 November 2020

Sejarah Hadromaut (Dalam Alqur'an dan sampai masa kini)


1.KAUM AD (2000-1000 SM)

Hadhramaut wilayah yang sarat dengan nilai sejarah. Al-Quran menyebutnya dengan al-ahqaf lebih pada 17 tempat. Nabi Hud AS adalah Nabi pertama dari bangsa arab yang diutus kepada mereka. Negeri ini disebut negeri 'Ad pertama, "yang belum pernah dijadikan seumpamanya di negeri itu". (QS. al-Fajr : 8). Kaum Ad merupakan bangsa pertama yang menempati negeri subur di antara Yaman dan Oman ini. Menurut ahli sejarah, tidak ada bangsa lain yang menempati Hadhramaut sebelum kaum ‘Ad. Al-Qur'an menceritakan kaum ‘Ad sebagai kaum yang kuat dan perkasa. Namun karena mereka menolak ajakan Nabi Hud AS dan malah terus menyembah berhala, akhirnya mereka binasa. Sebagian yang mengikuti ajaran Nabi Hud AS (disebut ‘Ad kedua) selamat.

Kaum Ad, Tsamud dan Dinasti Qahthan berada dalam satu kurun. Di satu waktu, terjadi perang antara Ad dengan Tsamud. Dan pada waktu lain, terjadi perang antara Ad dengan Ya'rib Bin Qahthan yang lebih dikenal dengan sebutan Qahthan.
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa lama Kaum ‘Ad bertahan di Hadhramaut. Sebagian ahli sejarah menyebutkan mereka bertahan di sana selama 1000 tahun. Sebagian lain mengatakan selama 2000 tahun. Ada pula yang menyebutkan 700 tahun. Konon, mereka berasal dari seorang ibu yang memiliki negeri besar mencakup Babilon, Asyur (Iraq), Mesir dan India, 22 abad sebelum Masehi.

Nabi yang diutus kala itu adalah Hud as yang wafat dan dimakamkan di daerah sebelah timur Hadhramaut, dekat Beir Barhut (sumur Barhut). Nabi Muhammad menyebut sumur itu sebagai tempat dilemparnya arwah orang-orang kafir. Orang orientalis menyebutkan, Beir Barhut adalah sebuah goa besar, dalam dan gelap. Tekstur dalamnya naik turun dan terputus-putus. Panjangnya sekitar 120 kaki, lebar 450 kaki dan kedalamannya 600 kaki.

Kehidupan pada masa kaum Ad sangat makmur. Berbekal kekayaan dari hasil pertanian yang subur, dilengkapi dengan keahlian mereka dalam merancang bangunan, mereka membangun rumah dan berhala sembahannya dari batu yang indah.

2. DINASTI QATHAN(10 – 18 Abad SM)

Qahthan adalah dinasti pertama setelah kaum ‘Ad. Semua bangsa arab Qahthan berasal dari keturunan dinasti ini. Diceritakan, dinasti ini berasal dari nama seseorang keturunan Nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan bin 'Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Salah satu anak keturunannya berjuluk Hadhramaut (kematian telah datang, red) karena setiap hadir perang, dari pihak musuh pasti banyak korban berjatuhan.
Menurut Imam al-Haddad, Hadhramaut adalah asal nama daerah di Mahra seperti Dei’ut dan Seihut. Selain nama itu, Hadhramaut dikenal dengan nama Abdal.

Selain Hadhramaut, masih banyak keturunan Qahthan, diantaranya Ya'rib bin Qahthan. Saudara tua Hadhramaut ini dikenal sebagai raja agung penguasa negeri Saba (Ma'rib sekarang). Dia melantik saudaranya, Hadhramaut, sebagai penguasa negeri antara Yaman dengan Oman yang kemudian dinamai dengan namanya.
Kekuasaan Dinasti Qahthan terus berlanjut di Hadhramaut hingga berabad-abad, sejak lebih dari 1000 tahun SM. Menurut sebagian ahli sejarah, kekuasaan mereka 18 abad SM sedangkan kaum ‘Ad 22 abad SM. Menurut versi Yunani, 20 lebih kerajaan dikuasai keturunan Qahthan. Diantaranya adalah kerajaan Hadhramaut, al-Ma'in dan al-Saba.

Ketiga kerajaan ini dikuasai keturunan Qahthan sampai masa Dinasti Himyar. Karena itu, dalam silsilah raja Hadhramaut, ada yang bernama Ma'in, dan di kerajaan Saba' ada yang bernama Hadhramaut. Begitu juga dengan dinasti Himyar. Ini berarti, dulu Hadhramaut terkadang independen, terkadang di bawah otoritas Saba', sesuai dengan kondisi politik saat itu. Namun yang pasti, penguasa semua negeri itu adalah keturunan Qahthan. Otoritas terakhir adalah dinasti Kindah, sampai kemudian datang ajaran Islam.

3. DINASTI MA`IN (1500 – 850 tahun SM)

Pada mulanya, Yaman terbagi menjadi beberapa negeri, termasuk di dalamnya Hadhramaut. Semua wilayah itu memiliki raja sendiri sampai kemudian terjadi perang antara mereka. Perang itu untuk memenuhi ambisi menguasai seluruh wilayah dan menjadikannya satu negeri besar dengan penguasa tunggal.

Negeri besar pertama di Yaman adalah negeri Ma'in yang terkenal dengan perdagangannya. Negeri yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Jauf ini berdiri sekitar 15 abad SM. Kekuasaannya meluas hingga ke luar Yaman, termasuk Hijaz (Saudi Arabia) dan sekitarnya.

4.DINASTI SABA`(850 – 115 tahun SM)

Dinasti ini terletak di Negeri Saba’ yang beribukota Ma'rib. Pada abad ke-9 SM, Saba’ berhasil mengalahkan dinasti Ma'in. Dinasti ini membangun bendungan Ma'rib yang menjadikan Saba’ sebagi pusat pertanian dan perdagangan kala itu. Dinasti ini bertahan dari tahun 850 hingga 115 SM.

5. Kehidupan Sosial di Masa Dinasti Qahthan

Kondisi sosial di masa Dinasti Qahthan sangat makmur. Hadhramaut saat itu sampai kepada puncak kemajuan di semua bidang, menjadi puncak keramaian, memiliki pasukan yang tangguh dan ekonomi yang maju. Wangi-wangian dan padupa sebagai andalan negara itu. Banyak pedagang yang berdagang ke negeri utara --Suriah dan sekitarnya-- membawa luban (sejenis kemenyan, red) dan wangi-wangian lainnya dari Qahthan. Dari utara, yang saat itu menjadi pusat perdagangan, mereka kembali membawa emas, perak dan makanan.
Hadhramaut sangat strategis, berada di tengah dua jalur menuju utara hingga Bahrain (teluk arab), Shur (Lebanon), jalur ke Arab selatan dekat laut merah dan padang pasir Najd, hingga Makkah. Hadhramaut kala itu disebut sebagai negeri luban.

6. Agama Yang Dianut pada Masa Dinasti Qahthan

Penduduk Hadhramaut kala itu menyembah berhala. Berhala yang paling terkenal adalah Sein yang diletakan di sebuah tempat peribadatan khusus bernama Sein dzu mudzab. Berhala ini sangat istimewa dan dipisahkan dari berhala lain. Disebutkan, mudzab adalah nama kota besar yang telah hancur yang sekarang dikenal dengan kota Khuraibeh Douan (saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Hadhramaut).

Konon, ada dua kalimat yang hingga kini masih terucap di kalangan masyarakat Khuraibeh, yaitu “yasin 'alaik” dan “ya haula ya haula.” Sebagian orang mengatakan kedua kalimat itu adalah nama dua berhala pada zaman dulu. Namun sebagian lain membantah pendapat itu dan mengatakan kedua kalimat itu adalah ayat pertama dari surat Yasin dan ucapan La Haula wala Quwwata illa Billah. Kalimat itu biasa diucapkan ketika hujan turun dan mengairi ladang pertanian.

Dari dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu sudah ada manusia yang beriman kepada Sang Pencipta. Diceritakan, negeri Mudzab memiliki pusat kota bernama Maefa'a, ibukota pertama dan kota peradaban yang hingga kini masih ada puing-puingnya, berupa bekas istana, tempat peribadatan, dan lainnya. Sekarang, yang masih nampak jelas adalah tulisan dan lukisan di daerah antara Maefa'a dan 'Izan.

Setelah itu, berdiri kota lain bernama Shabwa. Kota ini lebih besar dibanding kota-kota sebelumnya. Hal itu terbukti dengan peninggalannya yang luar biasa. Hadharim (etnis Hadhramaut) kala itu terkenal berwibawa dan ahli memanah. Satu diantaranya adalah Rasym yang salah satu keturunannya bernama 'Asyira (Syakim).

7. Dinasti Himyar (165 SM hingga 525 M)

Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’ sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika) pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan arab yang populer saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan Bahrain sampai era kedatangan Islam.

Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba dan Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fur bin Abi Karib As'ad yang menguasai Dinasti dzi Raidan, Hadhramaut, dan Yamanat (Yaman). Dialah raja yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.

8. Perdagangan

Hadharim punya andil besar dalam sejarah perdagangan Arab. Mereka menjalin hubungan dengan Roma, Yunani, Persia, China dan India. Hadhramaut memiliki kota pusat perdagangan dan memiliki pelabuhan penumpang dan barang yang datang dari India dan China. Semua komoditi perdagangan dibongkar muat di pelabuhan itu, kemudian diangkut ke Saba, Syam dan Iraq.
Padupa yang menjadi kekayaan alam produksi Hadhramaut termasuk salah satu yang diperhitungkan dalam perdagangan. Daerah pusat perdangan dan pelabuhan itu bernama al-Is'a (atau Shihr sekarang, 50 km dari Kota Mukalla). Selain itu, ada daerah lain pangkalan pedagang, seperti Shibam dan Syabwa. Ketiga daerah ini mengalami kemajuan pesat di dunia perdagangan yang tidak ada membandinginya kala itu.

II. HADRAMAUT SEBE;UM DAN SESUDAH ISLAM

1. Sebelum Islam (525 – 630 M)

Setelah runtuhnya Dinasti Himyar dan orang-orang Habsyah (Eritrea) mulai berkuasa di Yaman. Hadhramaut berada di bawah otoritas dua raja dari Dinasti Hadhramaut dan Kindah. Dari dua Dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta sampai datangnya Islam.

Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai oleh raja-raja dari kedua Dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Disebut sebagai raja-raja, karena semua keturunannya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri di daerah lembah. Mereka keturunan Amr bin Muawiyah bin Kindah, al-Asy'ats bin Qais yang memimpin kelompok Al-Harits bin Muawiyah, setelah pemerintahan bapaknya (raja Qais bin Ma'di Karib), Wail bin Hajr al-Hadhrami dari Dinasti Hadhramaut yang disebut oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengirim utusannya dengan sebutan Sayyidul Aqwal (pimpinan raja-raja), atau dikenal sebagai raja dari Kindah yang memiliki 17 gelar.

Kindah adalah keturunan Qahthan. Dia berasal dari Oman yang kemudian hijrah ke Hadhramaut dan bertemu dengan Dinasti Hadhramaut yang juga keturunan Qahthan, seperti Syarahil bin Murrah, Salamah bin Hajr dan raja-raja lain yang menguasai kota-kota di Hadhramaut, seperti Tarim dan lainnya.
Kedatangan Kindah membawa petaka bagi saudara-saudaranya sesama Dinasti Qahthan. Hingga sering terjadi perang sengit antara mereka dan selalu dimenangkan oleh Kindah yang kemudian berhasil menyatukan Hadhramaut.

Hadhramaut kala itu terbagi menjadi negeri-negeri kecil, yang disebut Mahafid. Itu sebutan untuk negeri-negeri di daerah lembah, seperti Shibam, Jardan, Dou'an, dan Syabwa. Sedangkan dari Kindah sendiri terdapat negeri bernama Sukun (Hadhramaut Tengah), Sakasik (Hadhramau Barat), Tujib di 'Andal, Hudun, Qasyaqisy, Dammun, Hajrain, Raidatuddin, dan lainnya.

Dinasti Hadhramaut menguasai beberapa daerah pantai dan bersekutu dengan Kindah dalam menguasai sebagian wilayahnya, seperti Syabwa dan al-Karr (antara Hajrain dengan Qatn sekarang). Selain dinasti di atas, masih banyak dinasti-dinasti lain, seperti Dinasti Mahra dan sebagainya.

2. Sesudah Islam

Setelah agama Islam datang dan menyebar ke seluruh kawasan Arab, Hadhramaut mengirimkan utusannya dalam jumlah besar ke Madinah al-Munawwarah. Ribuan kilo meter ditempuh untuk menemui Nabi Muhammad SAW dan bergabung dengan tentara Islam. Diantara utusan itu adalah kelompok dari Kindah yang dipimpin oleh Asy'ats bin Qais Al Kindy pada tahun 10 H. Mereka diterima dengan baik oleh Nabi SAW. Namun ada dua hal yang diperingatkan oleh Rasul. Pertama, mereka memakai pakaian sutra, sedang itu diharamkan dalam Islam. Kedua, mereka membanggakan keturunan dari Akil al-Murar.

Dihadapan Nabi SAW mereka dengan bangga mengatakan, “Kami adalah keturunan Akil al-Murar dan engkau juga keturunannya.” Mereka satu keturunan dari Ibu dengan Nabi SAW. Kedua hal ini dilarang oleh Nabi SAW. Mereka menurut dan langsung melepas kemudian merobek pakaian suteranya.

Hubungan suku Quraisy dan Kindah menjadi lebih dekat dengan terjalinnya perkawinan antara Asy'ats bin Qais dengan Umi Farwa binti Abu Quhafa (saudari Abu Bakar Assiddiq RA). Nabi SAW juga meminang Qatilah binti Qais (saudari Asy'ats). Namun Asy'ats meninggal sebelum Qatilah datang dari Hadhramaut.
Utusan-utusan lain dari Hadhramaut berbondong-bondong datang ke madinah al-Munawwarahm, seperti Qais bin Salamah al-Ju'fi dan Rabiah bin Murahhab al-Hadhrami.

Orang pertama yang diutus sebagai ‘tangan kanan’ Nabi SAW di Hadhramaut adalah Ziyad bin Lubaid al-Anshari al-Khazraji al-Bayadhi radliyallahu ‘anhu, salah satu pahlawan besar dari kalangan Sahabat. Dia menghabiskan waktunya di daerah Tarim dan Shibam sejak akhir masa Nabi SAW hingga permulaan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

Sedang sahabat yang pertama kali berdakwah di Yaman adalah Mu'adz bib Jabal radliyallahu ‘anhu yang menempati daerah antara Sukun dan Kindah. Mu’adz dikenal sebagai sahabat agung yang pandai membaca dan bergaul. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya membuat masyarakat berlomba-lomba belajar dan meriwayatkan hadits darinya. Begitu juga Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat yang berdakwah ke Hadhramaut.

Setelah Nabi SAW wafat, sebagian Hadharim murtad. Hingga banyak pula dari kalangan Hadharim sendiri yang tetap dalam Islam ikut berperang melawan temannya sendiri yang murtad.
Hadharim sangat berjasa dalam sejarah penyebaran Islam dan memperluas pemerintahan Islam. Tak sedikit dari mereka yang menjadi panglima perang dan menaklukan negeri asing, seperti Asy'ats bin Qais al-Kindy yang menaklukkan negeri Nahawand dan Azerbaijan.

Pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriyah, Hadhramaut telah menjalin hubungan dengan kota peradaban Islam pertama, Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Hadhramaut berbondong-bondong memeluk agama Islam dengan penuh rasa taat sesuai dengan nurani mereka yang cinta akan kebaikan dan kedamaian.
Hubungan mereka dengan Rasulullah SAW dan para sahabat terjalin saat Islam datang dan menyebar di Jazirah Arab. Kontak mereka dengan para sahabat meningkat saat perang riddah (memberantas orang-orang murtad). 

Yaitu ketika sebagian kelompok di Hadhramaut tidak menghiraukan utusan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bernama Ziyad Bin Lubaid. Mereka tidak mau membayar zakat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat. Pertempuran kedua kelompok tidak bisa dihindari, banyak korban tewas. Namun kemenangan berada di tangan para sahabat setelah 70 pasukannya syahid di medan perang.
Hubungan antara Hadharim dengan para sahabat pada periode pertama menyebarnya Islam memberi andil besar dalam penanaman keimanan, prinsip serta akhlaq islami. Mayoritas penduduk Hadhramaut belajar ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, dan hukum kepada para sahabat. Mereka juga banyak belajar tentang jihad.

Mereka bergabung dengan barisan tentara “al-Fath”. Dengan semangat membara, mereka pulang ke negerinya membawa kabar gembira akan agama baru yang kemudian diikuti oleh keluarga dan anak cucu mereka. Setelah itu, kabilah-kabilah Hadhramaut banyak yang hijrah ke Madinah dan tidak kembali ke negerinya. Demikian hijrah ke Madinah al-Munawwarah silih berganti.
Namun fenomena ini mendesakkan dampak negatif bagi Hadhramaut sendiri. 

Karena banyak Hadharim yang meninggalkan negeri asalnya, lama-kelamaan penduduk asli tanah kelahirannya tidak banyak tahu tentang ilmu pengetahuan. Semua orang ikut bergabung dengan pasukan Islam. Yang tinggal di Hadhramaut hanya orang-orang lemah dan tidak memiliki kepribadian.
Di antara faktor meluasnya kebodohan di Hadhramaut adalah tidak adanya perhatian dari pemerintah Bani Umayyah maupun Bani Abbas terhadap wilayah ini. Kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan keputusan melawan pemberontak di Hadhramaut. Pemberontakan itu sendiri terjadi karena berbagai problematika yang membelenggu rakyat berupa kedzaliman dan kehidupan yang sempit. Gerakan yang paling populer di kalangan rakyat Hadhramaut saat itu adalah gerakan yang dipimpin oleh Abdullah Bin Yahya al-Kindy (128 H) yang dijuluki Thalib al-Haq (penuntut kebenaran).

3. Munculnya Paham al-Ibadhiyah

Al-Ibadhiyah adalah salah satu paham Khawarij yang diambil dari nama pembesarnya, Abdullah Bin Ibadh. Dia pencetus pertama paham ini. Khawarij, golongan yang keluar dari kelompok Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah radliyallahu ‘anhu, terpecah menjadi 20 aliran dan yang paling dominan adalah al Ibadhiyah yang akhirnya juga terpecah menjadi 4 aliran.

Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Abdullah bin Yahya al-Kindy (wafat 130 H) yang bergelar Thalib al-Haq (sebagaimana disebutkan). Dia orang pertama yang menjadi imam panutan umat di kalangan Ibadhiyyin (pengikut aliran al-Ibadhiyah, red) di Hadhramaut. Dia pula yang mempelopori gerakan rovolusi melawan pemerintahan Bani Umayah, Marwan Bin Muhammad (129 H).

Setelah menguasai wilayah Hadhramaut dan menjadikan kota Shibam sebagai pusat kepemimpinannya, al-Kindy melebarkan sayap ke Sana'a dengan membawa 2000 pasukan khusus dan berhasil menguasainya. Lengkap sudah kekuasaan al-Kindy di Yaman. Namun ia belum puas, hingga berniat menambah kekuasaanya ke Hijaz (Makkah dan Madinah). Sampai di Makkah, tepat pada musim haji, lagi-lagi ia sukses. Seorang panglima perangnya, Abu Hamzah, berhasil menguasai Makkah dan melanjutkan jejaknya ke Madinah. Kota itu berhasil dikuasai setelah terjadi pertempuran sengit di daerah Qadid, dekat Madinah.

Keberhasilan menguasai Hijaz tidak membuat dirinya ‘ongkang-ongkang kaki’. Dia pun berencana mengirim pasukan untuk menyerang pemerintahan Umawiyah di Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya). Tapi sebelum pasukan al-Kindy menyerang, Marwan Bin Muhammad (pemegang tampuk pemerintahan Umawiyah) mengirim pasukan yang dikomandoi Abdul Malik bin Athiyah as-Sa'di dan berhasil mengalahkan pasukan al-Kindy.
Setelah pertempuran selesai, Abdul Malik pergi ke Sana'a untuk membunuh al-Kindy. Sampai di Sana'a, tepatnya di daerah Tubala, mereka bertemu dengan pasukan Al Kindy. 

Pertempuran pun terjadi. Untuk kedua kalinya, pasukan al-Kindy mengalami kekalahan. Al-Kindy sendiri terbunuh dalam pertempuran itu.
Sepeninggal al-Kindy, tampuk kekuasaan dipegang Abdullah bin Sa'id al-Hadhrami. Selain Abdullah bin Sa'id, ada tokoh al Ibadhiyah yang kharismatik pada akhir abad ke-2 H, yaitu Muhammad bin Amr bin Abdullah al-Haritsy al-Hadhrami yang berhasil membunuh Ma'n bin Za'idah asy-Syibani.

Pada awal hingga pertengahan abad ke-5 H, ada pula tokoh al Ibadhiyah yang sangat populer, bernama Abu Ishaq Ibrahim bin Qais bin Sulaiman al-Hamdani al-Hadhrami (454 H). Pada abad ke-6 H, aliran al-Ibadhiyah melegenda di bawah kepemimpinan keluarga an-Nu'man, keturunan Bani ad-Daghar (penguasa kota Shibam).
Yang sangat terkenal kala itu adalah Rasyid bin Ahmad bin an-Nu'man yang mati terbunuh ketika memimpin gerakan melawan kekuasaan Abdullah Bin Rasyid dari aliran Sunny (605 H).

4. Munculnya Sunni Asy'ariyah

Pada tahun 260 H, di kota Basrah Iraq lahir seorang anak bernama Ahmad bin Isa bin Muhammad dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya bernama Isa dan kakeknya bernama Ali bin Muhammad al-Uraidhi. Keduanya hijrah ke Madinah al-Munawarah dan wafat disana. Walaupun ditinggal ayah dan kakeknya, Ahmad bin Isa tetap tinggal di Kota Basrah Iraq hingga tumbuh dewasa.
Saat itu (255 H), kondisi Iraq secara umum sedang gonjang-ganjing. Kekuasaan dipegang oleh orang kulit hitam yang telah membawa banyak kerusakan dan malapetaka. Polemik ini lebih disebabkan karena panglima Ali bin Ahmad yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kondisi seperti itu bertahan hingga pemerintahan Bani Abbas berhasil membunuhnya di tahun 270 H.

Stabilitas keamanan semakin tidak menentu setelah kekuasaan Bashrah dipegang oleh Abu Thahir al-Janabi (311 H). Dia melucuti senjata, menculik, menawan wanita dan merampas harta rakyat. Tragedi-tragedi yang menakutkan seperti ini terus menimpa kota Bashrah. Bani Alawiyyin (keluarga Ahmad bin Isa) tak luput dari siksa dan penderitaan yang berat itu, hingga pada puncaknya Ahmad Bin Isa memutuskan untuk hijrah.

Pada tahun 317 H, Ahmad bin Isa melakukan perjalanan hijrah pertama menuju Hijaz (Madinah al-Munawwarah). Ia ditemani anaknya, Ubaidillah dan cucunya, Bashri bin Ubaidillah. Sementara keluarganya yang lain, Muhammad, Ali dan Hasan, ditinggal di Bashrah dan menetap di sana hingga mempunyai keturunan yang turun temurun.

Setelah menetap di Madinah kurang lebih satu tahun, Ahmad bin Isa melanjutkan perjalanan ke Makkah (318 H). Kemudian ke Yaman dengan berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Ketika sampai di Hadhramaut, Ahmad bin Isa merasa cocok dan akhirnya menetap di sana.

Daerah pertama yang dijadikan tempat tinggal adalah Wadi (lembah) Doan yang penduduknya beraliran Syiah, meski mayoritas masyarakat Hadharamaut secara umum saat itu pengikut Ibadhiyah. Setelah beberapa lama tinggal di Do'an, ia berpindah ke daerah Hajrain, kemudian Qarah Bani Jusyair (sebuah desa dekat Bour), kemudiaan pindah lagi ke Khasisah dan membeli tanah yang kemudian diberi nama Shauh.

Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir (orang yang berhijrah, red) beraliran Sunni dan beraqidah Asy'ariyah. Ini jelas berbeda dengan Ibadhiyah. Perbedaan ini merupakan salah satu faktor kepindahannya dari satu tempat ke tempat lain. Konon, diantara kedua belah pihak sering terjadi perdebatan sengit. Adu argumen dan hujjah ini terus berlangsung sampai akhir hayat dan diteruskan oleh keturunanya (Bani Alawi), sampai aliran Ibadhiyah ini lenyap dengan sendirinya dari Hahramaut pada abad ke-7 H.
Al-Muhajir menetap di Hadhramaut selama 26 tahun. Ia dimakamkan di Khasisah (345 H). 

Keturunan dari al-Muhajir inilah yang disebut dengan sebutan Alawiyyin (Bani Alawi) di Hadhramaut, diambil dari nama kakeknya, Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Mula-mula, nama Alawiyyin digunakan untuk membedakan keturunan al-Muhajir dengan anak pamannya, Jadid bin Ubaidillah, yang saat itu, di Iraq, nama Alawiyyin identik orang yang fanatik dengan Ali bin Abu Thalib.

Demikian pengaruh dan dominasi keturunan al-Muhajir terus berkembang di Hadhramaut dan sekitarnya hingga berpengaruh pada kebudayaan, kehidupan sosial dan karakter penduduknya. Lewat pengajaran dan tuntunannya, mampu mencetak masyarakat yang madani, berbudi luhur dan berpendidikan. Tidak dapat dipungkiri jasa mereka di kancah politik untuk membela negeri Hadhramaut demi menciptakan kedamaian.

5. Dinasti Rasyidiyah (400-700 H)

Dinasti Rasyidiyah adalah keturunan Bani Qahthan, salah satu Dinasti Himyar. Mereka adalah anak-anak pamannya dari Bani Daghar yang dikalahkan oleh Dinasti Syibam. Silsilah nasab mereka bertemu dari Fahd bin al-Qail bin Ya'fur bin Murah bin Hadhramaut bin Saba al-Asghar. Hadhramaut di masa pemerintahan Rasyidiyah yang dipimpin Qahthan Bin al-Aum al-Himyari juga mengalami kemajuan pesat. Pusat pemerintahan berada di Tarim, lalu diteruskan oleh anaknya, Ahmad pada tahun 430 H. Kekuasaan ini terus berlangsung sampai abad ke-7 H. Pemerintahan Rasyidiyah bermazhab Sunni Syafii, berakidah Asy’ari. 

Karena itu, terjadi perbedaan dengan Mazhab Ibadhi yang masyhur saat itu. Orang yang paling populer adalah Abdullah bin Rasyid yang sekarang namanya dipakai untuk lembah di Hadhramaut, wadi Bin Rasyid.
Saat keturunan Rasyid memegang kekuasaan yang berpusat di Tarim, di daerah lain terdapat sejumlah pemerintahan sendiri. Seperti pemerintahan Bani Daghar di Syibam dan pemerintahan Alu Iqbal di Syihr yang disebut juga keluarga Faris. Saat itu, sering terjadi pertempuran melawan pasukan asing yang berusaha menguasai Hadhramaut.

Pada tahun 569 H, kelompok asing al-Ayyubiyyun (Turky) berhasil menguasai Hadhramaut dengan pimpinan Thauran Syah, saudara kandung Shalahudin al-Ayyubi. Ia mengirim pasukan untuk menguasai Hadhramaut pada tahun 575 H, dipimpin oleh panglima perang, Utsman al-Zanjabily. Mereka berhasil menguasai wilayah Syihr. Pemerintahan Rasyidiyah beserta dinasti-dinasti lain terus mengadakan perlawanan, namun selalu gagal.
Kekalahan yang menimpa dinasti-dinasti di Hadhramaut tidak mematahkan semangat untuk terus mengadakan perlawanan mengusir pasukan asing. 

Namun kondisi makin kacau, perampokan, penculikan dan penjarahan semakin merajalela saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Umar bin Mahdi al-Yamani yang mengusung akidah dari luar. Ia menginstruksikan penyerangan terhadap Dinasti An-Nahdliyah di Shibam yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari pasukannya sendiri (621 H).

Setelah Qabilah an-Nahdiyah dapat menguasai keadaan, semua tawanan Umar Bin Mahdi, dilepaskan dari penjara di Tarim. Termasuk keturunan Abdullah bin Rasyid yang kemudian bertolak ke Shihr dan tinggal di sana sampai akhir hayat. Demikianlah Hadhramaut saat itu, terus menerus dilanda perang dan perebutan kekuasaan yang tidak ada habisnya.

6. Awal Dinasti al-Katsiri

Al-Amir Salim Bin Idris Bin Muhammad Bin Ahmad al-Hubudzi bukan orang Hadhramaut. Dia lahir dan besar di Dhafar (Oman). Tapi kakeknya merupakan penduduk Hadhramaut. Kakeknya adalah salah satu punggawa dari kesultanan Muhammad Bin Ahmad al-Akhal, seorang Emir dari daerah Mirbath Oman wilayah pantai timur daerah Dhafar. Ia dipercaya menjalankan perdagangan sang sultan.

Ketika sultan wafat dan tidak ada yang menggantikannya, Muhammad al-Hubdzi maju untuk memegang tampuk pimpinan di daerah Dhafar. Setelah itu diteruskan oleh anaknya, Ahmad yang telah membangun daerah Dhafar hingga menjadi kota modern di tahun 650 H. Ahmad terkenal dermawan, sederhana dan berakhlak mulia.

Kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh keturunannya Muhammad bin Idris, kemudian Salim bin Idris. Salim inilah yang berambisi untuk menguasai seluruh daerah Hadhramaut. Ia lalu datang di Hadhramaut dan membeli tanah di Syibam tahun 673 H dan dijadikan sebagai pusat aktifitasnya. Ia memulai perang di sejumlah kota dan berhasil menduduki Seiyun, Damun, al-'Ajz al-Gheil. Namun kemudian ia gagal setelah Raja Tarim, Umar bin Mas'ud Yamani bersama pasukannya mengepung dan mengurungnya beberapa bulan, sampai akhirnya menyerah dan kembali ke Syibam, lalu pulang kenegerinya (Dhafar).

Keluarga al-Katsiri sejak akhir abad ke-6 H mempersiapkan diri untuk menguasai Hadhramaut dan membangun kekuasaan Dinasti al-Katsiri. Tapi saat al-Hubudzi datang ke Hadhramaut dari Dhafar, kekuasaan al-Katsiri diserahkan kepada al-Hubudzi. Dan saat al-Hubudzi pulang ke Dhafar, Al-Katsiri kembali menggantikan kekuasaanya dengan memakai nama al-Hubudzi (675 H). Pada tahun itu, pemimpin Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Katsir (disebut al-Katsiri Pertama), yang tengah bersiap-siap menguasai Hadhramaut wafat.

7. Akhir Dinasti al-Katsiri

Pernah suatu ketika, Raja al-Mudzaffar Yusuf bin Umar bin Rasul mengirim utusannya kepada Raja Persia untuk mengantarkan hadiah berharga melalui jalur laut. Di tengah jalan, utusan tersebut diterjang badai hingga terdampar di pantai Dzafar. Salim bin Idris al-Hubudzi, yang kebetulan menjadi raja Dzafar, menahan dan merampas perbekalan serta hadiahnya.

Raja Mudzaffar marah dan menganggap hasil rampasan itu akan digunakan untuk menyerang Aden. Maka sebelum terlambat, Raja al-Mudzaffar mengirimkan pasukan besarnya ke Dzafar. Dzafar digempur habis-habisan dari laut dan darat hingga semua al-Hubudzi terbunuh pada tahun 678 H.

Setelah kematian al-Hubudzi, al-Katsiri mulai menguasai semua kekuasaanya di Hadhramaut. Kekuasaan Al-Katiri ini berbeda dengan yang lain. Ia senang mendekati para pemuka agama hingga para ulama pun mendukung pemerintahannya. Salah satunya adalah Syekh Muhammad bin Umar Ba 'Abbad beserta putranya, Abdullah al-Qadim yang membangun kota Ghurfah di tahun 701 H.

Hubungan al-Katsiri dengan Alawiyyin yang disegani kala itu, sangat baik. Hal itu menjadikan kekuasaannya meluas ke seluruh daerah Hadhramaut. Hanya satu daerah yang tidak bisa dikuasai, yaitu daerah Bur yang diduduki oleh Qabilah Ali Banjar yang menolak pemerintahan Al-Katsiri. Namun akhirnya Bur dapat dikuasai setelah berhasil mengalahkan dan menghancurkan kekuasaannya di tahun 723 H.

Akhir abad ke-8 H, semua daerah menjadi kekuasaan al-Katsiri. Pada tahun 814 H, salah satu keluarga Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Ja'far bin Badr bin Muhammad bin Ali bin Katsir pergi meninggalkan Bur. Ia bergerilya ke segala penjuru Hadhramaut sampai berhasil menguasai daerah Dzafar. Mulai saat itu, dia mendapat gelar Sultan. Dialah orang al-Katsiri pertama yang mendapatkan gelar itu.
Ia wafat setelah menguasai Syibam, Dzafar dan hampir seluruh wilayah Hadhramaut. Dzafar berada di bawah kekuasaan al-Katsiri hingga dinasti kerajaannya tidak memiliki pengaruh lagi di tahun 1130 H.

8. Dinasti Badujanah dan Sultan Badr Abu Thuwairiq

Sejarah telah mencatat, Kota Syihr sering mengalami pergantian pemerintahan. Pernah suatu kali independen, terkadang juga di bawah otoritas raja-raja Yaman. Bahkan yang unik, kota ini pernah menjadi ibu kota dan di lain waktu menjadi kota biasa.

Penguasa pertama Syihr adalah al-Amir Said bin Mubarak bin Faris Badujanah al-Kindi (keturunan bani Kindah). Ia berkuasa pada paruh awal abad ke-9 Hijriah. Ia dikenal tegas, pemurah, berwibawa, adil dan bijaksana. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya, Muhammad yang mewarisi sifat sang ayah. Ibunya berasal dari keluarga besar Ma'asyir yang nota bene dikenal dengan kecerdasan, cerdas dan pakar dalam berpolitik.
Sementara itu, Dinasti al Rasul yang kokoh di Yaman dan Hadhramaut telah terhempas dari peredaran, direposisi kemudian oleh Dinasti Al Thahir yang telah menduduki Aden, dataran rendah di Yaman, dan Kota Taiz.

Aden saat itu mengalami ketidakstabilan politik. Ditambah lagi dengan perang yang berkecamuk antara Bani al Kald dan Bani al Ahmad, keduanya dari Bani Yafi'. Hal ini memaksa Al Kald untuk berlindung ke Syihr dan memotivasi Amir Badujanah untuk menduduki Syihr sambil menjanjikan bantuan. Ibunda Amir tidak setuju dengan rencana ini. Namun saying, Amir tidak menggubris nasehatnya.

Saat ia hampir sampai di pesisir Aden, tiba-tiba angin kencang datang. Akibatnya, kapal-kapal pasukan maritim ikut tenggelam. Amir selamat dari bencana itu, tapi ia tertangkap di sana (tahun 862 H). Saat berita itu sampai ke telinga ibunya, ia bergegas menuju Aden dan meminta Sultan Amir untuk membebaskan putranya, dengan syarat penyerahan kekuasaan Syihr ke tangan al Thahir.

Sebagian sumber sejarah mengatakan, Sultan Amir menduduki Syihr tahun 865 H. Sementara Badujanah melarikan diri ke desa Hayrey, Mahrah.
Tatkala Sultan Badr bin Muhammad bin Abdullah al-Katsiri mengetahui kabar keberhasilan al Thahir menduduki Syihr, ia mengirim surat persahabatan sekaligus perjanjian (867 H.). Lalu ia memasuki Syihr sebagai penguasa. Itulah awal mula al Katsiri bercokol di Syihr.

Pada tahun 883 H, al Dujanah berhasil merebut kembali Syihr dan mengusir al-Katsiri. Sultan Badr lari menuju Hadhramaut, tepatnya di kota Syibam yang merupakan sentral kerajaan al-Katsiri saat itu.
Al-Dujanah seterusnya menguasai Syihr sampai awal abad 10 H. Peperangan silih berganti terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh Sultan Dja'far bin Abdullah bin Ali al-Katsiri tahun 901 H. Ia menggabungkan Syihr dalam kerajaan al-Katsiri.

Diantara pemuka di kerajaan al-Katsiri adalah Sultan Badr bin Abdullah bin Ja'far al-Katsiri yang bergelar Abu Thuwairiq. Ia dianggap Sultan pertama yang berhasil mempersatukan Hadhramaut sampai ujung perbatasannya.
Abu Thuwairiq membangun militernya dari etnis selain Hadhramaut. Mulai dari Turki, Bani Yafi', budak-budak Afrika, kabilah-kabilah Zaidiyah Yaman dan lainnya. Tujuannya adalah menenangkan mereka sekaligus menumbuhkan loyalitas. Siasat politik ini sangat berpengaruh guna menjaga stabilitas keamanan.
Kekuasaan Abu Thuwairiq melebur dari Awaliq bagian barat manuju Sayhut bagian timur, dari pesisir selatan menuju padang pasir al-Ahqaf bagian utara. Bani Abdul Wahid dan Awaliq juga berikrar tunduk kepadanya.

Pada tahun 937 H, ia menginstruksikan agar namanya dicetak dalam uang perak negara nominal satu riyal setengah dan seperempat. Di tahun 942 H, ia kembali mencetak dengan nama Qisyah. Perhatiannya pada sisi keilmuan juga patut diacungi jempol.
Diantara aktivitas kemiliterannya adalah blokade terhadap Syibam yang saat itu dikuasai Al Muhammad. Tarim juga sempat dikepung 20 hari sampai penguasa Tarim saat itu, Muhammad bin Muhammad bin Ja'far, menyatakan menyerah beserta al-Yamani. Al Amir lalu mengusir mereka tanpa terkecuali, hanya saja budak-budak keluarga Yamani dibiarkan tetap di Tarim. Dengan demikian tercatat Dinasti Al-Katsiri adalah yang pertama menguasai Tarim. Di bulan yang sama, ia menguasai Haynan.

Begitulah perjalanan politiknya, hingga pada akhirnya ia menguasai semua kawasan Hadhramaut dari ujung sampai ujung lainnya.
Perlu dicatat, di abad ke-10 itu juga Hadhramaut mengalami masa yang kaya ulama dan sastrawan. Ulama saat itu betul-betul memperoleh penghormatan, meski ada beberapa gonjang-ganjing politik yang membuat Abu Thuwairiq bersikap antipati terhadap ulama. Syekh Ma'ruf Ba Jammal misalnya, seorang sosok ulama yang dikenal shalih, sempat dituduh mendukung salah satu pembangkang dari sepupunya. Ia ditangkap dan diarak dengan cara tidak layak, sambil digantungkan di lehernya seutas tali dengan diikuti yel-yel "Ini adalah sesembahanmu, hai rakyat Syibam". Ulama itu lalu diisolir ke Dau'an.

Tahun 929 H, Portugal datang menyerang Syihr. Tapi penduduk setempat melawan dengan gigih. Para syuhada banyak berguguran. Sampai saat ini, di sana terdapat makam ‘tujuh syuhada’, tepatnya di desa Aql Bagharib. Pertempuran terus berkecamuk, hingga akhirnya Portugal hengkang menuju India.
Tapi tahun 942 H, Portugal kembali mencoba menduduki Syihr. Abu Thuwairiq mengobarkan semangat perlawanan hingga menyebabkan Portugal kewalahan. Pertempuran berlangsung terus menerus baik di darat maupun di laut. Tentara Abu Thuwairiq benar-benar gigih berperang. Hingga di hari kedua, Portugal kalah telak. Koban bergelimpangan di jalanan. Perahu-perahu mereka dirampas berikut penangkapan para nakodanya. Pasukan Portugal menyatakan menyerah dan memohon aman. Abu Thuwairiq memberikan jaminan keamanan pada mereka, termasuk kapten kapal. Tawanan perang ini berjumlah 70 orang. Abu Thuwairiq membaginya untuk masing-masing kompi pasukannya, sepuluh untuk para komandan, sepuluh untuk tentara Zaidiyah, sepuluh untuk Bani Yafi' dan sepuluh untuk para budak. Abu Thuwairiq berhasil menguasai kapal, uang, harta dan budak.

Setelah itu, ada rombongan Portugal lagi yang datang. Mereka membawa harta kekayaan dari Afrika timur. Abu Thuwairiq menangkap mereka untuk menyusul teman-temannya yang sudah tertawan. Ia lalu menghadiahkan 35 tawanan untuk Sultan Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Istanbul Turki. Sebelas tawanan untuk saudaranya, Muhammad, yang menjabat gubernur Dzifar. Dan membawa 30 tawanan ke pedalaman Hadhramaut saat musim panas di tahun 942 H.

Perang melawan Portugal yang terjadi berulang-ulang, kemudian berdamai setelah perang, atau berperang yang diakhiri damai, membuat Badr memiliki banyak tawanan Eropa. Hingga suatu saat, Badr mencium gelagat pembangkangan sebagian orang Portugal. Ia menginstruksikan agar mereka semua dibunuh tanpa sisa. Ia lalu mengirim kepala-kepala mereka ke Raja Turki saat itu, Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Ternyata, beberapa bangsawan al-Katsiri merasa tidak senang dengan sikap Abu Thuwairiq yang diktator dan menyerahkan urusan-urusan penting kenegaraan kepada pihak selain keluarga al-Katsiri.

Dimulai oleh Ali bin Umar Al Katsiri di Syibam. Ia menyatakan lepas dari Abu Thuwairiq dan memproklamirkan pembangkangannya. Ia dibantu oleh orang-orang berpengaruh Hadhramaut saat itu, diantaranya Syekh Ma'ruf Ba Jammal. Mendengar berita itu, Badr menyerang Syibam dan berhasil menguasainya (958 H). Ali bin Umar al-Katsiri ditahan di penjara Muraymah yang kemudian menjadi penjara bangsawan al-Katsiri yang membangkang.

Di Haynan, Amir Muhammad bin Badr bin Muhammad juga melakukan pergolakan dan akhirnya ikut mendekam di penjara Muraymah. Tidak ketinggalan Muhammad, saudaranya sendiri. Peperangan antara mereka berdua menjadi sebuah rivalitas yang akhirnya Amir Muhammad hanya berhasil menduduki Syihr sampai ajal menjemputnya.

Pergolakan demi pergolakan datang silih berganti, sampai-sampai putranya sendiri yang bernama Abdullah ikut ditangkap dan ditahan di penjara Muraymah pada bulan Shafar 976 H. Ketika sakit keras menimpa, ia kembali ke Seiyun sampai kematian menjemput di tahun 977 H. Setelah perjuangan panjang, ia berhasil menjadikan Seiyun sebagai ibu kota. Kuasa dan hukum al-Katsiri di Seiyun dan beberapa desa di lembah Hadhramaut bertahan sampai munculnya revolusi dan kemerdekaan tahun 1967 M.

9. Umar bin Awadh bin Abdullah al-Quaithi al-Yafi'i

Umar lahir di abad 12 Hijriah, di daerah Lahrum, kawasan Andal. Imru'ul Qois, seorang penyair arab kawakan yang sajaknya banyak dikutib kitab-kitab klasik, dalam gubahan syairnya mengatakan:
Sepertinya aku tak pernah begadang di Dammun meski sekali
Dan tak pernah menyaksikan pertempuran satu hari pun di Andal
Ayah Umar selalu pulang pergi antara Lahrum dan Syibam. Oleh karena itu, ketika sang ayah meninggal, Umar beserta ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam pendidikannya, pindah ke Syibam. Di sana ia belajar baca tulis, berhitung, dan dasar-dasar ilmu agama. 

Kecerdasan dan kepiawaiannya sudah tampak sejak kecil.
Pada tahun 1207, saat krisis ekonomi menimpa keluarganya, untuk mencukupi keperluan hidup --sebab sang ayah tak meninggalkan kekayaan sepeserpun-- ia berimigrasi ke India, negara favorit yang selalu dituju para imigran asal Hadhramaut saat itu. Ia lalu bergabung dengan pasukan Raja Nakbur. Ia lihai di bidang militer dan kepemimpinan. Tapi di saat ia menjabat sebagai komandan militer, sering terjadi insiden-insiden yang kemudian memaksanya untuk hengkang menuju Haidar Abad.

Raja Haidar Abad, yang sudah mendengar perihal Umar, menawarinya untuk mengepalai satu peleton dari pasukan militernya. Umar pun tak ragu menerimanya. Mulai saat itu, ia diberi gelar "Nuwab Jan Natsar Jank", sebuah gelar penghormatan di India. Ia dengan penuh keseriusan menjalankan tugas yang diembannya. Allah SWT menganugrahinya lima orang putra; Muhammad, Abdullah, Sholeh, Awadh dan Ali.
Kabilah Yafi' di Hadhramaut saat itu banyak mengalami tekanan dari beberapa infasi militer yang bertujuan mencabut kekuasaan mereka dari tanah Hadhramaut. 

Geliat pemberontakan itu dipimpin Manshur bin Umar dari keluarga Isa bin Badr dan Gholib bin Muhsin al-Katsiri. Manshur berhasil menanam benih perpecahan dan fitnah di antara kabilah-kabilah yang ada di Syibam. Ia mulai mengobarkan api permusuhan, sehingga berhasil mengusir Kabilah Bani Yafi’ dari Syibam tanggal 27 Ramadhan 1255 H.

Setelah adu kekuatan berdarah, tidak ada yang selamat kecuali beberapa gelintir pasukan garnisum Yafi' di Syibam. Harta dan rumah mereka pun dirampas. Tidak cukup itu, ia juga memblokade kerabat dari pihak ibu bani Yafi', yaitu keluarga Ali Jabir Bakhsyamir. Bahkan mereka mengirim orang untuk berbuat onar di Qathn. Di sana, mereka meledakkan rumah Bin Ma'mar al-Khallaqi dengan batu dan membunuh orang yang ada di dalamnya, diantaranya dua bibi Umar bin Awadh al-Quaithi.

Sedangkan di timur lembah, Ghalib bin Muhsin juga berupaya merebut kekuasaan Yafi' di Tarim, Seiyun dan desa sekitarnya.
Silih berganti kabar menyedihkan ini terdengar di telinga Umar bin Awadh di India. Ia memikirkan cara untuk menyelamatkan kerabatnya. Ia memulainya dengan cara membeli tempat sebagai markas, yaitu tanah "Raydhah" milik keluarga al-Aydrus, yang selanjutnya ia bangun di sana benteng-benteng kokoh di tahun 1255 H.

Pada tahun 1258 H, saat utusan bani Yafi' datang ke India untuk meminta tolong padanya, Umar mengutus anaknya, Muhammad, agar menetap di Raydhah sekaligus membeli alat-alat perlengkapan perang, lalu mengajak tentara bani Yafi' untuk berjuang bersama.
Langkah awal adalah mengembargo keluarga Ali Jabir dan merebut beberapa benteng milik Mansur bin Umar di sekitar Kushamir. Begitu pula benteng-benteng al-Aqqad yang lokasinya dekat dengan Syibam. Kemudian mereka mengusir paksa keluarga Katsiri dari Hadziyeh, salah satu kota di Qathen yang klasik dan historik.

Mereka juga membuat penjagaan ketat di desa Khumur, setelah terlebih dulu mengusir peduduknya yang nota bene masih kerabat keluarga Katsiri. Semua ini sebagai terobosan perdana untuk menyerang Syibam. Setelah al-Quaithi merasakan stabilitas Qothen, ia mulai mencari sekutu dari kabilah lain. Di antaranya keluarga Abdul Aziz di Suwayri, timur Tarim, juga dengan kepala kabilah keluarga bani Tamim, Ahmad bin Abdullah at-Tamimi. Berkat langkah ini, mayoritas keluarga Tamim yang berdomosili di kawasan timur menjadi sekutu al-Quaithi. Kemudian mereka menjadikan Suwayri sebagai pusat penyerangan terhadap al-Katsiri dari belakang.

Langkah selanjutnya, mereka mengadakan perjanjian dengan kepala tertinggi Bani Nahd, Tsabit bin Abdurrahman an-Nahdi, Raja Ma'rib Syarif Abdurrahman al-Khalidi, Raja Darriyah di Najd Muhammad bin Husein bin Qumla dan Sultan Awaliq Awadh bin Abdullah al-Aulaqi. Dengan begitu, tersebarlah propaganda kerajaan Quaithi baru sampai ke ujung Najd Yaman. Demikianlah, Umar bin Awadh terus berupaya memperkuat kekuasaannya dan bersiap diri menghantam Syibam dengan cara bersekutu dengan keluarga besar Hudzeil al-Katsiri, yang kebetulan tinggal di Dhahirah, kawasan Syibam. Lokasi itu sekaligus dijadikan sebagai pangkalan perang.

Markaz di Syibam ini diserang tahun 1279 H dari arah utara yang disebut daerah Syuwairi', hingga nyaris roboh. Melihat realita itu, al-Quaithi memutuskan untuk menangguhkan serangan atas Syibam. Ia memerintahkan tentaranya untuk merobohkan pos-pos mereka dan mengevakuasi penduduk Syuwairi' yang asalnya tinggal di Syibam menuju Raydhah Qathen. Diantaranya adalah kabilah al-Syuaib, al-Mu'allim, al-Birrahiah dan lainnya. Ia juga memberikan bantuan materi untuk mereka dan berjanji akan kembali ke Syibam dalam waktu dekat.

Al-Quaithi masih bertekad bulat membersihkan kawasan Syibam dari sisa-sisa al-Katsiri. Karena itu ia mulai menduduki Khamir tahun 1273 H. Ia menyerang benteng Sa'adiyah Bazraq dan ar-Rahz. Tiga-tiganya adalah benteng penting kota. Ia berhasil menguasainya setelah melakoni pertempuran sengit di tahun 1274 H.

Manshur bin Umar merasa posisinya berada dalam bahaya. Ia meminta gencatan senjata dengan memberi syarat pembagian Syibam mejadi dua bagian. Dengan begitu, al-Quaithi berhasil menduduki Syibam di awal Muharam 1275 H. Dilanjutkan dengan penculikan Mansur bin Umar di tahun yang sama, sehingga Syibam mampu dikuasai secara penuh.

Namun di tahun yang sama, tepatnya di bulan Dzul Hijjah, al-Katsiri kembali berambisi merebut Syibam. Tak ayal lagi, pertempuran sengit terjadi di kawasan al-Karan dan Jarab Hasyam sebelah barat Syibam. Namun mereka tidak berhasil.
Al-Quaithi lalu membeli kota Hurah dari keluarga Umar bin Ja'far, keluarga besar Isa bin Badr al-Katsiri. Dengan langkah ini, Hurah menjelma menjadi kota kedua setelah Syibam yang berhasil dikuasainya. Pusat-pusat kota yang penting sama sekali tidak dikuasai Kabilah al-Katsiri, kecuali Sahil bin Mahri yang terletak di sebelah selatan Syibam.

Mereka terus menerus mempertahankan kota itu, hingga terjadi peperangan demi peperangan selama 4 tahun dan baru berakhir dengan penyerahan Sahil beserta benteng-bentengnya kepada al-Quaithi di tahun 1281 H. Sebagai gantinya, al-Quaithi membayar 10,000 Riyal sebagai tebusan harta kekayaan Al Mahri di Sahil, Masilah, dataran tinggi Sabbalah, yang semuanya di bawah kuasa al-Quaithi.

Di bulan Shafar 1282 H, al-Jama'dar Umar bin Awadh al-Quaithi, pelopor Dinasti Quaithi, meninggal dunia di Haidar Abad. Ia berwasiat agar kuasa hukum sepeninggalnya diserahkan kepada tiga orang putranya Abdullah, Awadh dan Sholeh dan berpesan kepada Muhammad dan Ali, dua putranya yang lain agar tunduk kepada mereka bertiga.

Dengan begitu, Dinasti Quaithi terus berkesinambungan dalam perluasan pemerintahan di masa al-Jama'dar Awadh bin Umar orang yang bergelar Sultan pertama kali sesuai keputusan pemerintah India tahun 1902.
Syihr Yaman dapat dikuasai di bulan Dzul Hijjah 1283 H, begitu pula Syuhair. Kemudian di tahun 1292 H, Ghail ikut diduduki. Akibatnya keluarga Umar Ba'mar, para penguasa setempat, melarikan diri. Sebelumnya, di tahun 1287 H, Kota Hami Mukalla juga berhasil diduduki. Demikian juga Bagasywan, Qren, Dies, lalu Qushair, dapat ditaklukkan pada tahun 1288 H. Dengan perluasan ini, semua pelabuhan timur Yaman di bawah kuasa hukum al-Quaithi.

Di lain tempat, Naqieb (ketua, pen) Sholah bin Muhammad al-Kasadi yang saat itu memerintah Mukalla memiliki banyak hutang kepada al-Quaithi untuk biaya operasional salah satu infasi militernya. Setelah ia wafat, al-Quaithi menuntut Umar bin Sholah selaku anaknya agar melunasi hutang itu. Sengketa terjadi antara kedua kerajaan dan berakhir dengan diserahkannya setengah dari Mukalla, Brum dan Harsyiyyet, untuk al-Quaithi. Tapi sengketa bertambah memanas. Sampai akhirnya Inggris ikut campur dalam penyelesaian masalah ini dan memaksa al-Kasadi agar meninggalkan Mukalla menuju Zanjibar bulan Nofember 1881 M.
Begitulah ceritanya, hingga akhirnya pelabuhan-pelabuhan penting Hadhramaut berada di bawah kuasa al-Quaithi. Begitu pula kawasan bagian dalam yang meliputi Syibam, Qathen, dan Hinah.

Tanggal 13 Februari 1881 M. bertepatan dengan Jumadil Tsani 1305 H, al-Quaithi menandatangani perjanjian protektorat dengan Inggris. Tahun 1317 H, al-Quaithi berhasil meduduki Desa Khureibeh Dau'an.
Tahun 1318 H, al-Quaithi mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah Hajar dan selanjutnya mampu menguasai seluruh lembah.
Tahun 1325 H/1909 M, Sultan Awadh al-Quaithi meninggal dunia. Posisinya diganti oleh Ghalib, putranya yang wafat tahun 1340 H./1922 M. Dilanjutkan kemudian oleh Umar yang wafat tahun 1354 H. Lalu dilanjutkan oleh Shaleh bin Ghalib dan terus berkuasa sampai Revolusi Yaman selatan meletus.

Begitu pula dengan dinasti al-Katsiri di Seiyun, Tarim dan sekitarnya, serta kawasan Kabilah Abd Aziz di sebelah Syibam, sampai Yaman Selatan merdeka dari cengkraman kolonial Inggris. Setelah merdeka, Yaman Selatan bersatu dan kerajaan-kerajaan yang terpencar-pencar menyatu menjadi Republik Yaman Selatan Nasional.

Tapi kepedihan rakyat Yaman selatan secara umum dan Hadhramaut pada khususnya masih belum reda saat pemerintah sosialis selama lebih dari 30 tahun memerintah. Ketika konflik internal dalam waktu yang cukup lama terus menerus membuncah, terkadang dengan dalih merampas sekte oportunis kiri, terkadang pula atas nama sekte oportunis kanan, begitulah seterusnya sampai Yaman secara keseluruhan bersatu di bawah bendera Republik Yaman (al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah). Dan Hadhramaut menjadi salah satu provinsi di negara itu.

Provinsi Hadramaut sebagai leluhur Alawiyin 

Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan Ain Ba Ma’bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Penamaan Hadramaut menurut penduduk adalah nama seorang anak dari Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh yang bernama Hadramaut, yang pada saat ini nama tersebut disesuaikan namanya dengan dua kata arab hadar dan maut (menurut sebagian versi).

Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. 

Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar. Makam Nabi Hud secara tradisional masih ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya’ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya’ban.

Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya sering berziarah ke makam Nabi Hud. Beliau sudah tiga puluh kali berziarah ke sana dan beliau lakukan pada setiap bulan Sya’ban. Dalam ziarah tersebut beliau berangkat bersama semua anggota kerabat yang tinggal di dekatnya. 

Beliau tinggal (di dekat pusara Nabi Hud) selama beberapa hari hingga maghrib menjelang malam nisfu sya’ban. Beliau menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, “Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah.” Menurut sebagian ulama kasyaf, makam Nabi Hud merupakan tempat penobatan para waliyullah.Setibanya di syi’ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan.

Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah ‘Hazar Maweth’ yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan “hadirnya kematian” yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Pengertian lain kata Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah “panas membakar”, sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut).

Kota-kota di Hadramaut.

Di antara pelabuhan yang cukup penting di pantai Hadramaut adalah al-Syihir dan al-Mokalla. Asy-Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan terutama Moskat, Dzofar dan Aden serta perdagangan dengan bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu. Syibam merupakan kota Arab terkenal yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini terdapat lebih dari 500 buah rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima. Orang Barat menjulukinya ‘Manhattan of the Desert’. Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadramaut sejak jatuhnya Syabwah (pada abad ke 3 sampai abad ke 16). Karena dibangun di dasar wadi yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya tahun 1532 dan 1533. Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam adalah al-Gorfah, Seiyun, Taribah, al-Goraf, al-Sowairi, Tarim, Inat dan al-Qasm.

Seiyun merupakan kota terpenting di Hadramaut pada abad ke 19, kota terbesar yang merupakan ibukota protektorat terletak 320 km dari Mokalla’.  Ia juga sering dijuluki ‘Kota Sejuta Pohon Kurma’ karena luasnya perkebunan kurma di sekitarnya.

Kota lain di sebelah Timur Syibam adalah Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi’i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. 

Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: 

(1) agar kota tersebut makmur, 

(2) airnya berkah, dan 

(3) dihuni oleh banyak orang-orang saleh. 

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa: “al-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus”.

Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah. Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.


Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan: 

(1) keberkahan pada setiap masjidnya, 

(2) keberkahan pada tanahnya, 

(3) keberkahan pada pergunungannya. 

Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universital-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut. Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba’alawi. Bangunan masjid Ba’alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut.

Naqib dan Munsib

Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.

Munsib merupakan perluasan dari tugas ‘Naqib’ yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang ‘naqib’ adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga ‘naqib’, beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:

Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.

Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan ‘naqib’ dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya ‘Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad’ berkata: “Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya ‘naqib’ yang dipilih di antara mereka”. Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.

Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:


Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu’.
Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.

Dari waktu ke waktu tugas ‘naqib’ semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu ‘naqib’ jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas ‘naqib’ tersebut, maka terbentuklah ‘munsib’. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala’ Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.

Keluarga golongan sayid.

Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah:

Aal-Ibrahim
Al-Ustadz al-A’zhom
Asadullah fi Ardih
Aal-Ismail
Aal-Bin Ismail
Al-A’yun
Aal-Albar
Aal-Battah
Aal-Albahar
Aal-Barakat
Aal-Barum
Aal-Basri
Aal-Babathinah
Aal-Albaiti
Aal-Babarik
Aal-Albaidh
Al-Turobi
Aal-Bajahdab
Jadid
Al-Jaziroh
Aal-Aljufri
Jamalullail
Aal-Bin Jindan
Al-Jannah
Aal-Junaid
Aal-Aljunaid Achdhor
Aal-Aljailani
Aal-Hamid
Aal-Alhamid
Aal-Alhabsyi
Aal-Alhaddad
Aal-Bahasan
Aal-Bahusein
Hamdun
Hamidan
Aal-Alhiyyid
Aal-Khirid
Aal-Balahsyasy
Aal-Khomur
Aal-Khaneiman
Aal-Khuun
Aal-Maula Khailah
Aal-Dahum
Maula al-Dawilah
Aal-Aldzahb
Aal-Aldzi’bu
Aal-Baraqbah
Aal-Ruchailah
Aal-Alrusy
Aal-Alrausyan
Aal-Alzahir
Aal-Alsaqqaf
Al-Sakran
Aal-Bin Semith
Aal-Bin Semithan
Aal-Bin Sahal
Aal-Assiri
Aal-Alsyatri
Aal-Syabsabah
Aal-Alsyili
Aal-Basyamilah
Aal-Syanbal
Aal-Syihabuddin
Al-Syahid
Aal-Basyaiban
Al-Syaibah
Aal-Syaikh Abi Bakar
Aal-Bin Syaichon
Shahib al-Hamra’
Shahib al-Huthoh
Shahib al-Syubaikah
Shahib al-Syi’ib
Shahib al-Amaim
Shahib Qasam
Shahib Mirbath
Shahib Maryamah
Al-Shodiq
Aal-Alshofi Alsaqqaf
Aal-Alshofi al-Jufri
Aal-Basuroh
Aal-Alshulaibiyah
Aal-Dhu’ayyif
Aal-Thoha
Aal-Al thohir
Aal-Ba’abud
Al-Adeni
Aal-Al atthas
Aal-Azhamat Khan
Aal-Aqil
Aal-Ba’aqil
Aal-Ba’alawi
Aal-Ali lala
Aal-Ba’umar
Aal-Auhaj
Aal-Aydrus
Aal-Aidid
Al-Ghozali
Aal-Alghozali
Aal-Alghusn
Aal-Alghumri
Aal-Balghoits
Aal-Alghaidhi
Aal-Fad’aq
Aal-Bafaraj
Al-Fardhi
Aal-Abu Futaim
Al-Faqih al-Muqaddam
Aal-Bafaqih
Aal-Faqih
Aal-Bilfaqih
Al-Qari’
Al-Qadhi
Aal-Qadri
Aal-Quthban
Aal-Alkaf
Kuraikurah
Aal-Kadad
Aal-Karisyah
Aal-Mahjub
Al-Muhdhar
Aal-Almuhdhar
Aal-Mudhir
Aal-Mudaihij
Abu Maryam
Al-Musawa
Aal-Almusawa
Aal-Almasilah
Aal-Almasyhur
Aal-Masyhur Marzaq
Aal-Musyayakh
Aal-Muzhahhir
Al-Maghrum
Aal-Almaqdi
Al-Muqlaf
Aal-Muqaibil
Aal-Maknun
Aal-Almunawwar
Al-Nahwi
Aal-Alnadhir
Al-Nuqa’i
Aal-Abu Numai
Al-Wara’
Aal-Alwahath
Aal-Hadun
Aal-Alhadi
Aal-Baharun
Aal-Bin Harun
Aal-Hasyim
Aal-Bahasyim
Aal-Bin Hasyim
Aal-Alhaddar
Aal-Alhinduan
Aal-Huud
Aal-Bin Yahya

Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, 

Sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah:
Aal-Hasni
Aal-Barakwan
Aal-Anggawi
Aal-Jailani
Aal-Maqrabi
Aal-Bin Syuaib
Aal-Musa al-Kadzim
Aal-Mahdali
Aal-Balakhi
Aal-Qadiri
Aal-Rifai
Aal-Qudsi

Dan yang dari keturunan Sayidina Hasan Bin Ali bin Abi Thalib hanya dengan satu sebutan. Yaitu Alhasany 

Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi alhasany , yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya.

Kesultanan Melayu Jambi


Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan Palembang(kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah Kerinci, meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini tidak lagi dipedulikan.

Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batang Hari.

Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.

Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.

Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. 

Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. 

Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.

Sebelum bercerita lebih banyak mengenai Aditywarman, ada baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan sejarah leluhur Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.

Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak

Menjelang akhir abad ke-13, Kartanegara mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.
Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. 

Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Aditywarman. 

Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara.

Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Aditywarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. 

Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.

Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan
Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.

Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. 

Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan silsilah  raja-raja Minangkabau.

Agak rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika  pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. 

Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. 

Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
Wilayah Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.

Di masa Jambi masih menjadi kerajaan merdeka, kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Namun, belum ada kejelasan, apa status pemimpin daerah-daerah di Jambi, selama negeri ini menjadi bagian dari wilayah kerajaan lain.

Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung, mengingat data arkeologis yang sangat minim.


Dinamika perkembangan kerajaan Melayu di Jambi dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, kerajaan Melayu I yang mulai berkembang kira-kira sebelum tahun 680 M. Dalam berita Dinasti Tang disebutkan bahwa pada tahun 644 dan 645 M utusan dagang dari Kerajaan Mo-lo-yu datang ke negeri Cina. Kedua, Kerajaan Melayu II yang menurut J.G. de Casparis, berkembang sekitar abad XI sampai sekitar tahun 1400. Pada masa tersebut kerajaan Melayu II telah mengadakan kontak dengan Jawa yang dibuktikan lewat adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 dan pengiriman arca Amoghapasa Lokeswara pada 1286 ke Padang Roco (Jambi Hulu). Besar kemungkinan kerajaan yang dimaksud oleh Casparis adalah Kerajaan Darmasraya. Ketiga, kerajaan Melayu III yang telah terpengaruh oleh unsur Islam. Pengaruh ini dibuktikan dengan pemberian gelar sultan serta nama-nama Islam pada raja-raja yang memerintah, seperti Sultan Taha Saifuddin, Sultan Nazaruddin, dan lain-lain.‎

Kerajaan Melayu III atau disebut pula Kesultanan Jambi mulai dapat terekam perkembangannya sekitar akhir abad ke-19. Kerajaan ini muncul ketika pengaruh kekuasaan Kerajaan Darmasraya mulai melemah. Kerajaan Darmasraya sendiri mulai kehilangan pengaruh sejak adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275. Ekspedisi Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Melayu dengan pusat Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera). Ekspedisi ini merupakan buah pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang naik tahta pada 1254.

Secara politik, sejak 1275 Kerajaan Darmasraya telah berada di bawah pengaruh Kerajaan Singasari. Pengaruh ini kembali dikukuhkan ketika Ekspedisi Pamalayu jilid 2 kembali dilakukan. Kali ini bukan di bawah panji Kerajaan Singasari, melainkan dibawah panji Kerajaan Majapahit. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali pengaruh di Kerajaan Darmasraya yang sebelumnya direbut oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347 Adityawarman menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari.‎

Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat kedudukan Adityawarman semakin kuat sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahan dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau, sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” Dari sinilah terjadi perpindahan pusat kerajaan, yaitu dari di Muaro Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso.
Jika dilihat dari garis keturunan, Adityawarman sebenarnya adalah cucu dari Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Raja Kerajaan Darmasraya ketika Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275). Akan tetapi kenyataan ini ternyata tidak menjadikan Adityawarman secara otomatis dapat menduduki tahta di Kerajaan Darmasraya. Besar kemungkinan karena alasan inilah, Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan baru yang bernama Kerajaan Pagaruyung di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat.
Kerajaan Darmasraya sendiri tetap berdiri di Jambi dengan Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa sebagai rajanya‎. Hanya saja secara politis Kerajaan Darmasraya di Jambi tetap menjadi daerah taklukan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap Kerajaan Darmasraya mulai melemah ketika Kerajaan Pagaruyung yang telah menjadi kesultanan karena pengaruh Islam mengalami pergolakan akibat perseteruan antara Kaum Paderi dan Kaum Adat. Perseteruan mencapai puncaknya ketika terjadi pembunuhan keluarga Kesultanan Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao pada 1809.

Akibat pembunuhan ini tercerai-berailah anggota keluarga Kesultanan Pagaruyung yang saat itu diperintah oleh Sultan Arifin Muning Alamsyah (Sultan Bagagar Alamsyah). Perseteruan yang tidak berkesudahan membuat anggota Kesultanan Pagaruyung yang masih tersisa meminta bantuan Belanda untuk mengusir Kaum Paderi. Belanda menyanggupinya dengan kompensasi bahwa Kesultanan Pagaruyung berada di bawah pengaruh Belanda. Akan tetapi setelah kesepakatan antara pihak Belanda dan Kesultanan Pagaruyung telah tercapai, justru kini Kaum Adat berbalik bekerjasama dengan Kaum Paderi untuk memerangi Belanda. Akibatnya pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kesultanan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.‎

Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu. Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347.

Runtuhnya Kesultanan Pagaruyung membuat kendali pengaruh atas Kerajaan Darmasraya menjadi hilang. Kerajaan Darmasraya kemudian muncul kembali ke permukaan sebagai kerajaan baru yang dikenal dengan Kesultanan Jambi. Kesultanan menjadi bentuk baru kerajaan karena pengaruh Islam yang didapat ketika Kerajaan Darmasraya berada di bawah taklukan Kesultanan Pagaruyung.

Sejarah awal Kesultanan Jambi cukup sulit untuk ditelusuri. Hanya satu patokan yang cukup jelas bahwa sejarah awal berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan kebangkitan Islam. Sedangkan Islamisasi di Sumatera umumnya diyakini bermula pada abad ke-15. Sumber yang mengungkapkan sejarah awal Kesultanan Jambi pasca Kerajaan Darmasraya juga masih sedikit. Beberapa sumber tidak membicarakan secara spesifik tentang sejarah awal Kesultanan Jambi, namun berbicara tentang keadaan Jambi pada masa tersebut. Misalnya saja, pada abad ke-17, Kesultanan Jambi masih mengontrol daerah subur Kerinci di sebelah Tenggara. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-18 daerah tersebut tidak lagi mempedulikan kedaulatan kekuasaan Kesultanan Jambi. Sultan Jambi yang memerintah saat itu tidak bisa memberlakukan kewenangannya di daerah-daerah tenggara yang lain seperti Serampas dan Sungai Tenang. Sumber tersebut tidak menyebutkan secara terperinci tentang siapa sultan yang memerintah saat itu atau tindakan apa yang diambil sehubungan dengan sikap pembangkangan dari daerah Kerinci, Serampang, ataupun Sungai Tenang.

Sedikit keterangan lainnya tentang sejarah awal Kesultanan Jambi dapat dilihat ketika Kesultanan Jambi mengalami kejayaan di sektor perdagangan sekitar abad ke-16 sampai 17. S‎ekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, sektor perekonomian (perdagangan) di Kesultanan Jambi mengalami masa keemasan. Perdagangan yang dilakukan antara Kesultanan Jambi dengan Portugis, Inggris, dan Hindia Timur Belanda, sangat menguntungkan Kesultanan Jambi. Bahkan pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Akan tetapi situasi ini mulai berubah sekitar tahun 1680-an. Pada tahun tersebut Jambi mulai kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatera pasca perseteruan dengan Johor, disusul kemudian dengan pergolakan internal. Inggris yang melihat hilangnya prospek yang menguntungkan atas kerjasama perdagangan dengan Jambi, akhirnya meninggalkan pos dagangnya pada 1679. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruh lebih kuat, meskipun waktu itu VOC hanya memperoleh keuntungan yang sangat kecil. Pada 1688, Belanda menangkap Sultan Jambi dan membuangnya ke Batavia. Tindakan ini mengakibatkan terbelahnya Kesultanan Jambi menjadi dua kesultanan, hulu dan hilir.

Sejak terbelahnya Kesultanan Jambi, kejayaan akan perdagangan yang sempat dirasakan sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, tidak pernah lagi diperoleh oleh Kesultanan Jambi. Bahkan setelah penyatuan kembali Kesultanan Jambi pada 1720-an, kejayaan di sektor perdagangan ini tidak pernah kembali dirasakan oleh Kesultanan Jambi. Penyebab utama karena pada akhir abad ke-18, terjadi pergeseran seputar komoditi utama dari Kesultanan Jambi. Jika sebelumnya lada menjadi komoditi utama, maka kini berubah menjadi emas. Dalam perdagangan emas ini, Kesultanan Jambi hanya memperoleh untung sedikit karena penambang emas yang didominasi orang dari Minangkabau mengekspor komoditi emas mereka ke tempat di manapun yang menjanjikan keuntungan tinggi, sehingga tidak selalu melalui ibukota Jambi. Ditambah lagi pihak Kesultanan Jambi tidak mempunyai otoritas efektif atas tindakan para pedagang ini, karena telah kehilangan pengaruh. Pihak Kesultanan Jambi tidak bisa mengambil tindakan sepihak karena menjadi negara vasal di bawah Kesultanan Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung). Segala keputusan yang diambil oleh Kesultanan Jambi harus mendapat persetujuan dari Kesultanan Pagaruyung, bahkan hingga urusan pemilihan sultan. Keadaan ini memaksa pihak Kesultanan Jambi tidak bisa leluasa mengambil tindakan atas apa yang telah dilakukan oleh para pedagang Minangkabau, karena para pedagang ini mendapat perlindungan langsung dari Kesultanan Pagaruyung.    

Sejarah awal Kesultanan Jambi mulai sedikit terbuka ketika diperintah oleh Sultan Mohildin yang memerintah sekitar tahun 1811. Salah satu bagian penting dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan Mohildin adalah dilakukannya kontak awal dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada 1818, seorang utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendatangi Sultan Jambi berkenaan dengan konflik di Palembang dan Rawas. Dalam kontak awal ini, pihak Kesultanan Jambi menyatakan bahwa Sultan Mohildin mengungkapkan persahabatan dan menyatakan bahwa dia maupun rakyatnya tidak akan pernah mendukung Sultan Palembang. Catatan lain dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan Mohildin adalah sejarah perang saudara yang melanda Kesultanan Jambi.

Keterangan lain ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Mohildin adalah keterangan tentang konflik internal (perang saudara). P‎ada 1811 penduduk ibukota yang dipimpin oleh para saudagar Arab dan suku Raja Empat Puluh bangkit melawan Sultan Mohildin karena dugaan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh istri Sultan Mohildin terhadap beberapa anak perempuan keluarga kaya raya. Pemberontakan ini memaksa Sultan Mohildin untuk meminta bantuan saudaranya agar melindungi keluarga sultan. Saudara Sultan Mohildin setuju dengan syarat bahwa anaknya, Raden Tabun, dipermaklumkan sebagai pangeran ratu (putra mahkota) setelah Sultan Mohildin mangkat.‎

Pergolakan internal lainnya terjadi pada 1817-1818 yang terjadi antara Sultan Mohildin dengan sepupunya. Pergolakan ini berakibat pada kekalahan Sultan Mohildin, meskipun beberapa waktu kemudian sang sepupu tewas. Ketegangan berlanjut ketika putra Sultan Mohildin, Mohammad Fachruddin naik tahta pada 1821 atau 1829-1841. Naiknya Sultan Mohammad Fachruddin sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Jambi berarti mengesampingkan perjanjian antara Sultan Mohildin dan sepupunya melalui pengangkatan Raden Tabun selaku putra mahkota. Dengan demikian tujuan pengangkatan Raden Tabun sebagai putra mahkota yang selanjutnya diproyeksikan sebagai sultan, praktis tertutup dengan naiknya Mohammad Fachruddin sebagai sultan di Kesultanan Jambi. Bahkan Sultan Mohammad Fachruddin menunjuk saudaranya sebagai pangeran ratu untuk menggantikan kedudukan Raden Tabun. Pergolakan antara Sultan Mohammad Fachruddin dan Raden Tabun terus terjadi hingga tahun 1840-an. Sultan Mohammad Fachruddin sendiri pada dasarnya tidak dinobatkan secara adat dan baru menempati istana Kesultanan Jambi pada 1833. Sebelumnya, selama pergolakan terjadi beliau menempati daerah dataran tinggi padat penghuni, atau kadangkala di Muara Tebo dan di Sarolangun, Tembesi Hulu.‎

Sultan Mohammad Fachruddin yang naik menggantikan Sultan Mohildin, tetap melanjutkan kebijakan ayahnya untuk bersikap kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini dibuktikan ketika pada 3Agustus dan Oktober 1829, Residen Palembang F.C.E. Praetorius mengirimkan seorang utusan untuk menghadap Sultan Mohammad Fachruddin untuk memerangi perompak dan melacak kapal Belanda yang telah dirompak pada Mei 1829. Belanda sebenarnya tidak banyak berharap akan bantuan yang besar dari Kesultanan Jambi, mengingat Sultan Mohammad Fachruddin sendiri kala itu tidak tinggal di istana, melainkan tinggal di perbatasan Minangkabau untuk membantu Kesultanan Pagaruyung memerangi Kaum Paderi. Hanya saja sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan mengawali hubungan baik, kontak dengan Kesultanan Jambi tetap harus dilakukan. Hal ini dikukuhkan dengan sebuah perundingan antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan Residen Praetorius pada 1830.‎

Pada 14 November 1833 disepakati kontrak sementara antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani di Sungai Bawang (sebuah dusun kecil di Rawa), di mana Sultan Mohammad Fachruddin menempatkan dirinya dan Kesultanan Jambi di bawah perlindungan dan otoritas tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kontrak sementara ini akhirnya berubah menjadi kontrak permanen yang ditandatangani pada 1834. Bagi Belanda penandatanganan kontrak pada 1833 dan akhirnya dipermanenkan pada 1834, merupakan sebuah langkah yang sesuai dengan tujuan Pemerintah Kolonial, yaitu meluaskan otoritas Belanda di Sumatera, mengisolasi Minangkabau, dan berusaha membasmi Perompak.‎

Pemerintahan Sultan Mohammad Fachruddin berakhir dengan kemangkatannya pada Januari 1841 dan digantikan oleh Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Ketika Sultan Abdulrachman Nazaruddin memerintah, terjadi serangkaian pemberontakan. Pada 1842, salah satu daerah di Jambi memberontak menentang Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Pada 1845 ancaman akan adanya perang saudara semakin besar. Akan tetapi pada 1846 pertikaian ini berakhir. Seperti sultan pendahulunya, Sultan Abdulrachman Nazaruddin sangat menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada Belanda. Otoritas Kesultanan Jambi yang sangat lemah untuk menanggulangi adanya pergolakan bahkan sebatas mengatur rakyat, membuat perlindungan dari Belanda menjadi jalan keluar satu-satunya.

Pada Oktober 1855 Sultan Taha Saifuddin naik tahta untuk Sultan Abdulrachman Nazaruddin yang mangkat pada 18 Oktober 1855. Pemerintahan Sultan Taha Saifuddin ditandai dengan perseteruan antara Kesultanan Jambi dengan Belanda. Perseteruan tersebut merupakan efek dari penolakan Sultan Taha Saifuddin terhadap perjanjian dengan Belanda. Tidak seperti para sultan pendahulunya, Sultan Taha Saifuddin memilih untuk tidak menjalin kerjasama dengan Belanda.  Akibat dari perseteruan ini, Sultan Taha Saifuddin terdesak dan keluar dari istana pada 1858.‎

Meskipun keluar dari istana, perlawanan terhadap Belanda tetap dilakukan sampai beliau gugur pada 1904. Selama perlawanan terjadi, Belanda yang menduduki istana Kesultanan Jambi mengangkat sultan pengganti meskipun Sultan Taha Saifuddin masih hidup. Sultan lain yang naik tahta untuk menggantikan kedudukan Sultan Taha Saifuddin yang menyingkir keluar keraton, merupakan sultan yang diangkat oleh Belanda dan dianggap sebagai Sultan Bayang (tidur) Di kemudian hari, atas perlawanan gigihnya terhadap Belanda, Sultan Taha Saifuddin mendapat anugerah sebagai sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1977.‎

Sultan pertama yang naik tahta sebagai Sultan Bayang adalah Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881). Beliau adalah paman dari Sultan Taha Saifuddin dan adik dari Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Sultan Bayang kedua adalah Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866). Sedangkan Sultan Bayang yang terakhir adalah Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901). Sultan ini merupakan Sultan Bayang yang ketiga dan terakhir yang diangkat oleh Belanda, karena sesudah Sultan Ahmad Zainuddin turun tahta, tidak terjalin kesepakatan antara para pembesar Kesultanan Jambi dengan Belanda untuk mengangkat calon sultan pengganti. Ketika Sultan Ahmad Zainuddin memerintah, beliau mengangkat putra ketiga Sultan Taha Saifuddin yang bernama Raden Anom Kesumoyudo yang masih berumur empat tahun sebagai pangeran ratu (putra mahkota). Sedangkan untuk kuasa pangeran ratu diangkatlah Raden Abdurrachman, putra Sultan Mahmud Mahiddin dan Pangeran Ario Jayakusumo yang kemudian digantikan oleh Pangeran Marto Jayakusumo, Putra Sultan Abdulrachman Nazaruddin.

Faktor pemicu pergolakan yang terjadi di Kesultanan Jambi, khususnya keinginan Belanda untuk menguasai Jambi, salah satunya disebabkan karena wilayah Kesultanan Jambi sangat baik sebagai bandar perdagangan. Kesultanan Jambi merupakan sebuah negeri yang kuat dalam bidang maritim. Kekuatan Kesultanan Jambi di bidang maritim bisa dilihat dari faktor wilayah yang ada di Kesultanan Jambi.

Daerah Jambi, Palembang, Indragiri, Kualo Tungkal, dan lain-lain termasuk ke dalam daerah yang dinamakanthe favoured commercial coast. Pelayaran tempo dulu yang sangat bergantung pada angin muson yang bergerak berlainan arah setiap tahunnya, menjadikan kawasan pantai timur sebagai tempat peristirahatan menanti angin untuk melanjutkan pelayaran. Tempat-tempat ini berperan sebagai penghubung antara “negeri di atas angin,” yaitu India, Persia, dan Arab, dengan “negeri di bawah angin” seperti Jawa, dan pulau-pulau lain di sebelah timur seperti Muangthai, Vietnam, serta Asia Timur di sebelah Utara. Hal itu berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh masyarakat di kawasan ini, menyangkut pelayaran niaga, yang dalam bahasa Edwar L. Poelinggomang dalam bukunya Perdagangan Maritim: Sumberdaya Ekonomi Manusia di Kawasan Indonesia Timur (1996) disebut sebagai prinsip laut bebas atau mare liberium.

Menurut teori kebaharian setidaknya terdapat 6 faktor yang menentukan sebuah negara dapat menjadi kekuatan laut, yaitu letak geografis, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, sifat pemerintahan beserta lembaga-lembaga pendukungnya. Keadaan geografis di Jambi sangat mendukung bagi negeri tersebut untuk menjadi negara maritim. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa daerah Jambi merupakan titik pertemuan antara hulu dan hilir atau hinterland dengan foreland. Keadaan garis pantai purba wilayah Jambi bagian timur yang menghadap Teluk Wen dengan dukungan Sungai Batanghari dengan anak-anak sungainya merupakan bukti geografis yang sangat strategis.‎

Ditinjau dari bentuk tanah dan pantainya, Jambi merupakan daerah yang cocok untuk dijadikan lokasi pelabuhan. Tanah liat dengan kadar 72% tidak membahayakan bagi kapal yang merapat, serta wilayah pulau-pulau karang kecil-kecil sebagai tempat strategis kapal dalam perlindungan terhadap ombak. Dalam hal jumlah penduduk, berdasarkan temuan arkeologis, dapat diketahui bahwa kota-kota/pemukiman di sepanjang Sungai Bantanghari serta anak-anak sungainya merupakan daerah pemukiman penduduk yang padat, misalnya: Kualo Tungkal, Muaro Sabak, Simpang, Muaro Jambi, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Sungai Langsat, dan sebagainya. Untuk faktor penguasaan penduduk dalam menguasai sumber laut, Jambi mempunyai suku Bajau yang sangat familier dengan kehidupan laut. Suku Bajau merupakan kelompok suku bangsa yang hidup berpindah-pindah di perairan laut sebelah timur Jambi. Suku ini bertempat tinggal di perahu beratap dan bermata pencaharian mencari ikan. Sedangkan dalam hal sistem pemerintahan, Kesultanan Jambi menjalin hubungan baik dengan masyarakat pantai ataupun wilayah perairan sungainya sebagai faktor yang dominan dibandingkan masyarakat lainnya. Jadi ada hubungan ketergantungan antara masyarakat maritim dengan penguasanya, misalnya masyarakat Simpang dengan Jambi. Berbagai faktor pendukung tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Kesultanan Jambi terutama sebagai kekuatan ekonomi, politik, maupun militer. Sebaliknya faktor inilah yang membuat pihak kolonial Hindia Belanda sangat menginginkan Kesultanan Jambi menjadi salah satu daerah jajahan di Sumatera.

Silsilah
Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1997)‎ dari data yang berhasil dihimpun tentang silsilah para sultan yang memerintah di Kesultanan Jambi adalah sebagai berikut:

1.      Sultan Mohildin (± 1811)
2.      Sultan Mohammad Fachruddin (antara 1821 dan 1829-1841)
3.      Sultan Abdulrachman Nazaruddin (1841-1855).
Silsilah para sultan ini ditambah dengan sumber lain dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), yang menyebutkan bahwa setelah Sultan Abdulrachman Nazaruddin turun tahta, pengganti beliau adalah:

4.      Sultan Taha Saifuddin (1855-1904)
5.      Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881)
6.      Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866)
7.      Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901).   

Sistem Pemerintahan
Struktur negara Jambi (sistem pemerintahan Kesultanan Jambi) sama dengan sistem pemerintahan di banyak kerajaan Melayu klasik lainnya. Raja atau sultan dilekati dengan kekuatan mistik dan bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangan kosmis antara langit dan bumi. Sultan memimpin rakyatnya dalam hubungan luar negeri dan secara internal bertindak sebagai penengah dan otoritas yudisial tertinggi, setidak-tidaknya bagi warga Jambi. Sultan dan pangeran ratu (putra mahkota) dipilih oleh perwakilan empat keluarga bangsawan Jambi atau suku: Kraton, Kedipan, Perban, dan Raja Empat Puluh. Jika menghendaki, sultan bisa menunjuk seorang penasehat khusus sebagai duta besar, mewakili dirinya dalam hubungan dengan pihak-pihak asing seperti otoritas kolonial. Sultan berkuasa bukan atas populasi homogen Melayu dengan asal usul Melayu yang sama, tetapi atas banyak kelompok etnis yang berbeda-beda (batin, Minangkabau, penghulu, suku-pindah, dan Kubu). Istana sendiri lebih bercorak Jawa ketimbang Melayu, sebagaimana tercermin dalam gelar-gelar Jawa yang dipakai. Sultan berfungsi sebagai pemegang kekuasaan yudisial tertinggi hanya pada orang-orang Jambi (yang berasal usul Melayu) yang hidup di sepanjang Sungai Bantanghari dan sebagian Tembesi.‎

Pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:

1.      Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
2.      Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.

Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :

1.      Pangeran Adipati
2.      Pangeran Suryo Notokusumo
3.      Pangeran Jayadiningrat
4.      Pangeran Aryo Jayakusumo
5.      Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.

Sedangkan Kerapatan Patih Luar dipimpin oleh seorang pangeran yang tertua dan diberi gelar Pangeran Diponegoro dengan para anggota yang diberi gelar:

1.      Pangeran Mangkunegoro
2.      Pangeran Purbo
3.      Pangeran Marto Joyokusumo
4.      Pangeran Kromodilogo
5.      Pangeran Kusumodilogo
Kerapatan Patih Luar pada hakekatnya merupakan dewan kabinet atau lembaga eksekutif pada masa sekarang. Para anggota, baik dalam Kerapatan Patih Dalam maupun Luar berasal dari kalangan bangsawan tinggi atau bangsawan keraton dan atau dari sultan yang dipilih dan diangkat oleh sultan.

Alur pemerintahan dimulai dari sultan yang memberikan perintah kepada Kerapatan Patih Dalam yang meneruskannya kepada Kerapatan Patih Luar. Perintah dari Kerapatan Patih Luar kemudian diteruskan kepada kepala bagian Rapat Dua Belas, terus kepada para jenang, lalu kepada para batin dalam daerah-daerah perantauan (rantau gebied). 

Perubahan yang cukup signifikan terjadi ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Taha Saifuddin. Sultan Taha Saifuddin tidak hanya mengangkat para anggota Kerapatan Patih Dalam dan Luar yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi, tetapi juga mengangkat anggota dari kalangan bangsawan rendah. Para anggota tersebut yaitu:

Kerapatan Patih Dalam

1.      Said Idrus bin Hasan Aljufri bergelar Pangeran Wirokusumo
2.      Said Ali bin Alwi Aljufri bergelar Pangeran Syarif Ali
3.      Said Husin Barakba bergelar Pangeran Mangkunegoro
4.      Kemas Suko bergelar Pangeran Kusumoyudo  
Kerapatan Patih Luar

1.      Ki Demang Gemuk, dari Kampung Tengah, seberang Kota Jambi
2.      Ki Demang Dullah Capuk, dari Kampung Jelmu, seberang Kota Jambi
3.      Kemas Temenggung Puspowijoyo (Haji Muhammad Yasin), dari Kampung Tanjung Pasir, seberang Kota Jambi
4.      Temenggung Surodilogo (Temenggung Tari), dari Kampung Baru, seberang Kota Jambi
5.      Temenggung Tando, dari Kampung Tanjung Johor, seberang Kota Jambi.

Di samping Kerapatan Patih Dalam dan Luar, di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Jambi juga dibentuk Dewan Kalbu dengan para anggota yang terdiri dari para hulubalang, ulama, tua tengganai, dan cerdik pandai. Dewan Kalbu ini pada hakekatnya merupakan Dewan Pertimbangan Agung pada masa sekarang
Secara struktural sistem pemerintahan di Kesultanan Jambi dari tingkat paling atas sampai tingkat paling bawah dapat dipetakan sebagai berikut:

1.      Kesultanan dipimpin oleh sultan
2.      Rantau dipimpin oleh jenang
3.      Negeri dipimpin oleh batin
4.      Luhak dipimpin oleh penghulu
5.      Kampung atau dusun dipimpin oleh tuo-tuo
6.      Rumah dipimpin oleh Tengganai.‎

Para jenang, batin, penghulu, dan tuo-tuo dengan daerahnya masing-masing ditetapkan oleh sultan dengan suatu surat perjanjian yang secara tertulis menyebutkan pula daerah hukum (rechtsgebied), hak untuk mempunyai pemerintahan sendiri (rechtgemeenschap, landschap) dengan disebutkan pula secara lengkap gelar-gelar yang diangkat, seperti:

1.      Adipati
2.      Rio Muncak
3.      Temenggung
4.      Ki Demang
5.      Lurah
6.      Mangku dan seterusnya 

Adalah dusun yang mempunyai kekayaan sendiri akan tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak karena berada di bawah perlindungan daerah yang kedudukannya lebih tinggi seperi luhak, negeri, atau rantau. Demikian juga hak untuk memperluas daerah bagi dusun tidak diperbolehkan, kecuali ada persetujuan dari daerah perlindungan yang bersangkutan.
Ketika Belanda menaklukkan Kesultanan Jambi, terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan. Perubahan secara signifikan adalah menjadikan Jambi dan Kerinci dalam satu gewest (daerah) di bawah perintah seorang Residen. Dalam hal ini berarti pemegang kekuasaan tertinggi tidak lagi berada di tangan sultan, akan tetapi berada di tangan seorang residen yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Hindia Belanda.


Wilayah Kekuasaan
Pada permulaan abad ke-19 wilayah selatan Jambi berbatasan dengan Karesidenan Palembang yang dibentuk sejak tahun 1819. Kesultanan Jambi sendiri mempunyai hubungan dengan karesidenan ini melalui Bengkulu dan Rawas (sebuah daerah di Palembang). Di sebelah utara berbatasan dengan Kesultanan Indragiri dan sejumlah kerajaan merdeka Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota. Di sebelah barat, di Pegunungan Bukit Barisan, Jambi berbatasan dengan Dataran Tinggi Padang di Minangkabau, sebuah karesidenan sejak 1816.

Batas wilayah administrasi pemerintahan (batas wilayah kekuasaan) Kesultanan Jambi meliputi daerah-deerah yang tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi sembilan lurah, Batangnyo Alam Rajo”. Adagium ini jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:

a.      Pucuk, yaitu Ulu, dataran tinggi.
b.      Sembilan lurah, yaitu sembilan negeri atau wilayah.
c.       Batangnyo Alam Rajo, yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri atas dua belas suku atau daerah
Khusus untuk adagium “sembilan lurah” yang diartikan dengan sembilan negeri, menurut pepatah adat, ditambahkan pula dengan “empat di atas, tiga ditaruh di bawah, dan dua di Bangko bawah”. Tambahan adagium tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:

a.      Empat di atas, meliputi daerah Kerinci, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh empat depati, yaitu:
1.      Depati Rencong Talang yang berpusat di Pulau Sangkar dengan daerah kekuasaan meliputi tanah di sebelah barat dan selatan Danau Kerinci.
2.      Depati Muara Langkap Tanjung Langkap Sekian yang mempunyai pusat kekuasaan di Tamiang.
3.      Depati Biang Sari dengan daerah kekuasaan yang meliputi tanah di sebelah tenggara dan timur Danau Kerinci.
5.      Depati Atur Bumi yang menempatkan pusat kekuasaan di Hiang. Daerah kekuasaannya meliputi tanah di sebelah barat laut dan tenggara Danau Kerinci sampai daerah Gunung Kerinci  
b.      Tiga ditaruh di bawah, meliputi daerah Bangko atas, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh tiga depati, yaitu:
1.      Depati Setio Rajo dengan daerah kekuasaan meliputi Lubuk Gaung.
2.      Depati Setio Nyato dengan daerah kekuasaan meliput daerah Sungai Manau.
3.      Depati Setio Beti dengan daerah kekuasaan meliputi Tantan
c.       Dua di Bangko bawah, meliputi:
1.      Daerah Batin IX, yang terdiri pula atas Batin IX Ulu dan Batin IX Ilir.
2.      Daerah yang disebut Induk Enam anak sepuluh dan lebih dikenal dengan sebutan Luhak XVI, meliputi daerah-daerah :
1.      Tiang Pumpung
2.      Dusun Tuo
3.      Sanggerahan
4.      Sungai Tenang
5.      Serampas
6.      Pembarap
Selain adagium dari pepatah adat yang ditambahkan tersebut, adapula yang menganalogikan bahwa “sembilan lurah” dianalogikan dengan sembilan sungai yang mengalir di daerah Jambi, yaitu:

1.      Batang Merangin
2.      Batang Masumai
3.      Batang Tabir
4.      Batang Pelepat
5.      Batang Senamat
6.      Batang Tebo
7.      Batang Bungo
8.      Batang Jujuhan
9.      Batang Abuan Tungkal
Adapun “Batangnyo Alam Rajo”, diartikan dengan daerah teras kerajaan yang terdiri dari 12 daerah atau suku, yaitu:

1.      Jebus, meliputi negeri-negeri Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, Tanjung, dan Landrang.
2.      Pemayung, meliputi negeri-negeri Teluk sebelah Ulu, Pudak Kumpeh, dan Berembang.
3.      Maro Sebo, meliputi negeri-negeri Sungai Buluh, Pelayang, Sengketi Kecil, Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rangas Sembilan, Sungai Aur, Teluk Lebar, Sungai Bengkal, Mengupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam, dan Kubu Kandang.
4.      Petajin, meliputi negeri-negeri Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Keruh, Teluk Rendah, Dusun Tuo, Peninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh.
5.      VII Koto disebut juga Kembang Peseban, meliputi negeri-negeri Teluk Ketapang, Muara Tabun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang, dan Tanjung.
6.      Awin, meliputi negeri Pulau Kayu Aro dan Dusun Tengah
7.      Penagan, meliputi negeri Sudun Kuap
8.      Mestong, meliputi negeri-negeri Tarekan, Lopak-Alas, Kota Karang, dan Sarang Burung.
9.      Serdadu, meliputi negeri Sungai Terap.
10.  Kebalen, meliputi negeri Terusan
11.  Aur Hitam, meliputi negeri-negeri Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapa, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung.
12.  Pinokawan Tengah, meliputi negeri-negeri Dusun Dure Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai Durian.
Secara geografis, paparan wilayah Kesultanan Jambi di atas dapat dirangkum menjadi dua bagian, yaitu:

1.      Daerah Hulu Jambi yang meliputi:
1.      Daerah Aliran Sungai Tungkal Ulu
2.      Daerah Aliran Sungai Jujuhan
3.      Daerah Aliran Sungai Batang Tebo
4.      Daerah Aliran Sungai Tabir
5.      Daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambi.
2.      Daerah Hilir Jambi, meliputi daerah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir sampai Rantau Benar ke Danau Ambat, yaitu pertemuan antara Sungau Batanghari dan Batang Tembesi, sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Dari paparan luas wilayah secara geografis ini, menurut catatan tentara Belanda, luas keseluruhan wilayah Kesultanan Jambi adalah 884 Gm (Geografis mil) atau 1¼ kali luas negeri Belanda.

Sejalan dengan wilayah daerah administrasi Kesultanan Jambi, pepatah adat Jambi juga menyebutkan tentang batas-batas wilayah Kesultanan Jambi sebagai berikut:

“Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo. Dan Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang”.

Terjemahan dari pepatah adat tersebut kurang lebih diartikan sebagai berikut:

1.      Ujung Jabung, yaitu daerah pantai Jambi (daerah Tungkal)
2.      Durian Takuk Rajo, yaitu daerah Tanjung Samalidu.
3.      Sialang belantak besi, yaitu daerah Sitinjau Laut.
4.      Bukit Tambun Tulang, yaitu Bukit Tiga (Singkut)
Berdasarkan paparan wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi serta batas-batas daerah kekuasaannya, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Provinsi Jambi sekarang ini merupakan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi.

Kehidupan Sosial-Budaya
Sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horisontal barat ke timur sangat mendominasi pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan dalam politik, ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi. Hal ini dapat dilihat dari erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, misalnya Padang Roco, Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi, Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi, Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, perairan Riau, Selat Malaka, Jawa, Asia Timur, dan Asia Selatan khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir dilaksanakan dengan barter, misalnya kain sutera, keramik, tekstil dari Cina atau India, dengan hasil dari Kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dan lain-lain sehingga menimbulkan sistem perdagangan dari yang tradisional sampai modern. Potensi hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra perdagangan. Tercatat pada pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak 1615 dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah perdagangan di mana orang-orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat. Lewat perdagangan ini para Sultan Jambi memperoleh keuntungan yang sangat berlimpah.

Selain itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan sungai besar Batanghari dengan anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Ule (Alai), Batang Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai ini juga mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai, Batang Tabir, Batang Pelepat, Batang Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah aliran sungai ini disebut dengan ”sembilan lurah“ (negeri). Oleh karena itu daerah Kesultanan Jambi disebut juga dengan ”Pucuk Jambi Sembilan Lurah“. Di kawasan “sembilan lurah” ini telah terjadi aktivitas sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah pedalaman. Dukungan para kepala elite lokal yang menguasai tiap lurah dengan sebutan depati, membuat terbukanya potensi perdagangan antara Jambi dengan pihak luar. Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah pemukiman padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan temuan-temuan arkeologis berupa lebih dari 149 bekas pemukiman kuno maupun 70 situs purbakala.

Di sisi lain, mata pencaharian penduduk di wilayah Kesultanan Jambi adalah bertani. Di dataran rendah padi ditanam dengan cara membabat dan membakar hutan; sedang di dataran yang lebih subur seperti Tembesi dan Tebo, padi ditanam di sawah yang tidak jarang sampai surplus produksi dan dikirim ke dataran rendah. Di daerah Tebo dan Tembesi hulu, peternakan juga menjadi mata pencaharian penduduk.  

Di luar dari kehidupan perekonomian di daerah Kesultanan Jambi berkembang pula kehidupan seni budaya. Perkembangan seni budaya di wilayah Kesultanan Jambi pada umumnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Hanya saja untuk beberapa hal terdapat kreasi baru seperti dalam seni musik dan tari. Sedangkan jenis seni budaya di Kesultanan Jambi dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Seni ukir yang termanifestasi dalam bentuk :
a. Ukiran bunga tampuk manggis
b. Ukiran akar Cina
c. Ukiran tawang
2.      Seni tari dan lagu, antar lain terdiri dari :
a. Tari Tauh atau lebih dikenal dengan istilah ”Betauh“
b. Tari nan Belambai
3.      Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan pandan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...