Rabu, 18 November 2020

Sejarah Kerajaan Gowa


Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa

1.Masa Sebelum Tumanurung

Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui).

Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.

2.Masa Tumanurung

Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.

Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).

Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.

Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut. Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat penantian, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.

Kejadian itu cepat diketahui oleh Gallarang Mangasa dan bolo yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur. 

Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.

Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami.

Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Setelah Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman.
Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, 

Yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).

Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. 
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi 
(1) Paccelekang, 
(2) Patalassang, 
(3) Bontomanai Ilau, 
(4) Bontomanai Iraya, 
(5) Tombolo, dan 
(6) Mangasa.

Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: 
(1) Saumata,
(2) Pannampu, 
(3) Moncong Loe, dan 
(4) Parang Loe.

Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. 

Begitu eratnya hubungan kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.

3.Masa Perkembangan Kerajaan Gowa

Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapakrisik Kallonna”, dan dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.

Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.

Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna itu pula, Gowa telah berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa daerah di sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong dijadikannya sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa tetapi masih diberi kesempatan memerintah. 

Mereka diwajibkan membayar sabbukati (bea perang) dan mengakui supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna ini pula, Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara asing yang berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512, juga orang Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo) menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. 

Orang Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng Tumapakrisik Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah benteng dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra Karaeng Tumapakrisik Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga Ulaweng selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong, Barombong, Anak Gowa dan Kalegowa.

Setelah karaeng Tumapakrisik Kallonna wafat, beliau digantikan oleh puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai benmteng utama. Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan. 
Oleh karena itu Ia menyerang Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina.

Setelah Tonipallangga meninggal dunia, Ia digantikan oleh Tonibatta (1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.

Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi pembesar-pembesar terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara berkabung selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan. Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa ( kesepakatan di caleppa). Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya Kajaolalido langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).

Keadaan damai dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi Tellunpoccoe atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa. Oleh karena itu, pada tahun 1583 ia melancarkan serangan terhadap Wajo. Tujuh tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu mengalahkan Tellumpoccoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.

Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa XIII (1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya. Pemecatan dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti pembunuhan dan pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.

Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu, pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga Ri Agamana, Sultan Awwalul Islam.

4.Islamisasi Kerajaan Gowa

Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. 

Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. 

Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.

Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.

Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. 
Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.

B. Zaman Keemasan

Setelah Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.

Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubuminya yang terkenal itu, baik dari segi sosok kecendiakawanannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi. 

Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Nusantara.

Kerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga Internasional. 
Bangsa Eropa gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli perdagangan dan menjajah.
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun. 

Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.

Setelah Belanda melihat kenyataan peperangan di Kawasan Timur Nusantara banyak menimbulkan kerugian menghadapi Gowa. 
Belanda dengan berbagai siasat menawarkan perdamaian. Tahun 1655 Belanda mengutus Willem Vanderbeck bersama Choja Sulaeman menghadap Sultan membawa pesan damai dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker tetapi tidak berhasil. 

Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.

Perjanjian itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian itu. Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager, tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan Gowa. Demikian berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan tidak terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.

Karena Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone dan pengikut Aruppalakka, dan pasukan Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.

Tahun 1667 perang besarpun bergolak antara Pasukan Gowa dengan Belanda. Karena kekuatan tidak seimbang, menyebabkan benteng milik Gowa satu persatu direbut Belanda dan sekutunya, seperti benteng galesong, Barombong melalui pertempuran sengit yang banyak menelan korban kedua belah pihak.

Melihat Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan itu, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.

Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemar, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.

Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. 
Hal itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.

C. Masa Kemunduran dan Keruntuhan

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. 

Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. 

Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. 

Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. 
Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Pertama Gowa.

D Raja-raja Kesultanan Gowa 

Tumanurunga (+ 1300)

Tumassalangga Baraya

Puang Loe Lembang

I Tuniatabanri

Karampang ri Gowa

Tunatangka Lopi (+ 1400)

Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna

Pakere Tau Tunijallo ri Passukki

Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)

I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)

I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte

I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).

I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).

I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna

Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.

I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653

I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni1670

I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.

I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna

Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681

I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)

La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)

I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi

I Manrabbia Sultan Najamuddin

I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)

I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)

I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)

Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)

I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)

I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)

I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)

I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)

La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)

I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)

I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)

I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.

I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)

Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1946-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

 

Kerajaan Banawa (donggala)

 

Kerajaan Banawa adalah salah satu kerajaan Melayu yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Donggala Banawa karena lahir di wilayah Donggala. Kerajaan yang berdiri pada medio abad ke-15 Masehi ini terlahir berkat andil tokoh legendaris yang berpetualang dari tanah Bugis, yaitu Sawerigading. Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini mampu mempertahankan eksistensinya hingga era pascakemerdekaan Republik Indonesia. Saat ini, Banawa menjadi wilayah kecamatan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

Sejarah

Penduduk Donggala adalah percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa, hasil persilangan ras Wedoid dan Negroid yang berkembang menjadi suku bangsa baru menyusul datangnya orang-orang Proto-Melayu pada tahun 3000 SM. Aroma Melayu semakin kental ketika pada era 300 SM kaum perantau yang berasal dari ras Deutro-Melayu juga menyambangi Donggala dan tempat-tempat di Sulawesi Tengah lainnya .Mayoritas penduduk Kerajaan Banawa adalah orang-orang dari Suku Kaili.

Cikal-Bakal Berdirinya Kerajaan Banawa

Pendahulu Kerajaan Banawa adalah suatu perabadan monarki milik Suku Kaili yang bernama Kerajaan Pudjananti atau yang sering juga disebut sebagai Kerajaan Banawa Lama. Kerajaan ini diperkirakan masih eksis pada abad ke-11 hingga 13 M, sezaman dengan Kerajaan Singasari yang dilanjutkan oleh Majapahit. Diperkirakan, Kerajaan Pudjananti mengalami masa kejayaan antara kurun tahun 1220 sampai 1485 M. Kerajaan Pudjananti menjadi salah satu dari tiga kerajaan tua yang terdapat di Sulawesi Tengah, yaitu Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi.

Versi legenda, diceritakan bahwa raja yang paling terkenal dalam riwayat Kerajaan Pudjananti bernama Raja Lian. Sang penguasa dikisahkan menikahi seorang wanita dipercaya datang dari alam gaib. Perkawinan ini membuahkan seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang memberi Raja Lian tujuh orang cucu, masing-masing enam cucu laki-laki dan satu cucu perempuan. Keenam cucu laki-laki tersebut kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat, dan menjadi penguasa di daerah-daerah baru tersebut.

Sesuai namanya, pusat pemerintahan Kerajaan Pudjananti diduga kuat berlokasi di daerah yang bernama Pudjananti atau Ganti. Jarak Pudjananti tidak begitu jauh dari Donggala, yang kelak menjadi ibukota Kerajaan Banawa, hanya sekitar 2 kilometer. Pudjananti merupakan kawasan tua yang sudah lama berpenghuni.

Donggala sudah kesohor sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai. Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah. Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa disebut dengan nama Banava, yang boleh jadi merupakan akar dari kata Banawa.

Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari negeri Cina. Seorang pedagang Eropa, bernama Antonio de Paiva, pada kurun tahun 1542-1543 bertolak ke Donggala dengan maksud untuk mencari kayu cendana. Pada saat itu, wilayah Banawa memang banyak ditumbuhi pohon cendana. Dimana bisa ditemukan batang-batang pohon cendana di pegunungan di sekitar Palu dan Donggala.

Penamaan Banawa sebagai kerajaan dimungkinkan juga terkait erat dengan nama kapal yang ditumpangi Sawerigading untuk mengarungi samudera, termasuk mengunjungi Ganti dan Donggala. Sawerigading adalah seorang pangeran dari Kerajaan Luwu Purba, putera dari Sang Raja Batara Lattu. Nama Sawerigading dikenal melalui cerita dan kisah dari epik sastra Bugis yang legendaris, yakni La Galigo.

Di suatu tempat yang tidak jauh dari Ganti dan Donggala, kapal yang ditumpangi rombongan Sawerigading terpaksa berlabuh karena mengalami sedikit kerusakan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal di sana, tempat di mana Sawerigading menyangga bahteranya itu lantas dikenal dengan nama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis-Donggala berarti “galangan perahu"

Langgalopi termasuk wilayah kekuasaan milik Kerajaan Pudjananti. Sawerigading kemudian memutuskan untuk mengunjungi kerajaan itu. Bukti bahwa rombongan Sawerigading pernah melalukan pelayaran sampai ke wilayah kekuasaan Kerajaan Pudjananti termaktub dalam Kitab Bahasa Bugis. Dalam kitab itu disebutkan bahwa salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananti.

Sawerigading sempat berkunjung ke Kerajaan Sigi di Teluk Kaili dan bermaksud menyunting Ratu Ngilinayo, pemimpin Kerajaan Sigi, untuk dijadikan istrinya. Akan tetapi, pernikahan itu tidak pernah terjadi karena terjadi gempa bumi pada saat pembicaraan pinang-meminang dilangsungkan sehingga rencana tersebut menjadi kacau-balau. Akibat bencana itulah, seperti yang diyakini dalam legenda, perairan Teluk Palu menjadi kering. Orang-orang yang semula berdomisili di pegunungan pun mulai turun dan mendirikan permukiman baru di lembah bekas laut itu serta beranak-pinak hingga sekarang.

Singkat cerita, dari hasil kunjungan ke Kerajaan Pudjananti itu muncul gagasan untuk menikahkan anak lelaki Sawerigading, yakni La Galigo, dengan puteri Kerajaan Pudjananti yang bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti.  Dari perkawinan itu, La Galigo dikarunai dua orang anak, masing-masing laki-laki dan perempuan. Cucu laki-laki Sawerigading diberi nama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro, yang artinya “pergi menantang, menang, dan akhirnya semua menyembah kepadanya”. Sedangkan anak yang perempuan diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti, yang bermakna “bintang tunggal yang diikuti semua orang” 

Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro dinikahkan dengan I Badan Tassa Batari Bana, puteri dari kakak Raja Bone. Setelah pernikahan itu, Sawerigading dan La Galigo mulai menggagas pendirian pemerintahan baru sebagai pengganti Kerajaan Pudjananti. Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai menghadiahkan seluruh wilayah Kerajaan Pudjananti. Sejak saat itu, sebuah pemerintahan hasil afiliasi Bugis dan Kaili dengan nama baru, yaitu Kerajaan Banawa.

b. Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Banawa

Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M  

Penerus kepemimpinan I Badan Tassa Batari Bana juga seorang perempuan, bernama I Tassa Banawa. Ratu ke-2 Kerajaan Banawa ini memerintah sejak tahun 1552 sampai dengan 1650 M. Pada masa pemerintahan I Tassa Banawa, wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa semakin bertambah luas. Selain itu, kabinet I Tassa Banawa juga berhasil merumuskan tata cara atau sistem pemerintahan dan membentuk Dewan Adat Pittunggota atau semacam lembaga legislatif kerajaan.

Masa pemerintahan I Tassa Banawa berakhir pada tahun 1650 M. Penerus I Tassa Banawa adalah cucu perempuannya, yaitu Puteri Intoraya. Ratu ke-3 Kerajaan Banawa ini menikah dengan dengan seorang lelaki bernama La Masanreseng Arung dari Cendana Mandar. Pernikahan pasangan ini dikaruniai empat orang anak, masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan, yang diberi nama La Bugia, La Lotako, Puteri Nanggiwa, dan Puteri Nanggiana.

Pada era kepemimpinan Ratu Intoraya, pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah Donggala. Penyebaran dan perkembangan ajaran Islam di lingkungan Kerajaan Banawa, dan juga di seluruh wilayah Sulawesi Tengah, pada medio abad ke-16 M itu dipelopori oleh kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan yang sudah terlebih dulu memeluk Islam. Pelopor syiar Islam di kawasan Sulawesi Tengah adalah orang-orang dari Kerajaan Bone dan Wajo.

Sejalan dengan itu, Ratu Intoraya pun menjadi penguasa Kerajaan Banawa pertama yang memeluk Islam. Tindakan yang dilakukan oleh Ratu Intoraya dan segenap keluarga Kerajaan Banawa itu membuat sebagian besar rakyat juga turut berbondong-bondong masuk Islam.

Tidak cuma masuknya ajaran Islam saja yang mewarnai dinamika kehidupan Kerajaan Banawa pada masa pemerintahan Ratu Intoraya, melainkan juga pengaruh bangsa-bangsa asing yang datang dari Eropa. Portugis adalah wakil dari kaum Barat pertama yang memasuki wilayah ini, kemudian disusul oleh Spanyol dan Belanda lewat kongsi niaganya yakni Vereniging Oost-indische Compagine (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya, peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi pengaruh kompeni Belanda.

Memasuki tahun ke-19 pemerintahan Ratu Intoraya, VOC sudah menjalin mitra niaga dengan sejumlah kerajaan di kawasan Sulawesi Tengah, termasuk dengan Kerajaan Banawa, dan kerajaan-kerajaan Suku Kaili lainnya seperti Kerajaan Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak penambangan emas dengan masing-masing penguasa kerajaan tersebut.

Belanda menawarkan kepada raja-raja lokal yang bersemayam di wilayah itu untuk pemberian bantuan dalam bidang penanggulangan keamanan. Peluang Belanda terbuka kian lebar karena pada waktu itu wilayah Kerajaan Banawa dan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Tengah sedang rawan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan perompak dari wilayah Mindanao, Filipina, itu seringkali menganggu kawasan perairan di Selat Makassar .

Kaum kompeni kian mendapat angin dengan diizinkannya membangun benteng atau loji. Pemerintahan Ratu Intoraya sebagai orang nomor satu di Kerajaan Banawa berakhir pada tahun 1698 M. Putra sulung Ratu Inoraya, yakni La Bugia, naik ke puncak kekuasaan tertinggi kerajaan. Dengan demikian, La Bugia adalah laki-laki pertama yang menempati singgasana Kerajaan Banawa di mana tiga penguasa sebelumnya adalah perempuan. Setelah ditabalkan sebagai raja, La Bugia menyandang gelar kehormatan sebagai La Bugia Pue Uva.

Pada era kepemimpinan Raja La Bugia Pue Uva, kemakmuran warga masyarakat Kerajaan Banawa semakin maju. Bandar niaga Donggala semakin mendapat perhatian dari berbagai kalangan sebagai salah satu sentra jaringan perniagaan di nusantara. Bahkan, saking kondangnya citra Donggala, pada masa pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva ini datang gangguan dari bangsa Portugis yang berambisi untuk merebut pelabuhan dagang Donggala sehingga terjadi pertempuran melawan pihak Kerajaan Banawa. Dalam peperangan laut ini, Raja La Bugia Pue Uva berhasil mempertahankan Donggala dari ancaman Portugis.

Periode pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva usai pada tahun 1758 M. Sebagai anak pertama, Puteri I Sabida adalah orang yang paling berhak untuk meneruskan tahta ayahandanya. Dengan demikian, Kerajaan Banawa kembali dipimpin oleh seorang perempuan. Ratu I Sabida mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang pejabat kerajaan yang bernama Madika Matua Banawa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang putera dan seorang puteri, masing-masing bernama La Bunia, Kalaya, Lauju, dan Puteri I Sandudongie.

Sosok Ratu I Sabida digambarkan sebagai tokoh wanita yang pemberani dan sakti mandraguna. Ia memimpin dengan penuh wibawa, tegas, disegani oleh kawan maupun lawan, dan berhasil membawa Kerajaan Banawa menjadi peradaban yang sejahtera. Selain itu, Ratu I Sabida juga membuka ruang interaksi dengan kaum pedagang asing yang singgah di pelabuhan Donggala dan yang menetap untuk sementara di wilayah Kerajaan Banawa. Pada masa ini, mulai diperkenalkan cara merajut tenun sutra, yang kini dikenal sebagai kain tenun Donggala, oleh para saudagar dari Gujarat.

Dalam urusan pewarisan tahta, Ratu I Sabida tampaknya cenderung memilih Puteri I Sandudongie sebagai calon penerusnya kendati ketiga anaknya yang lain adalah laki-laki, termasuk anak yang paling sulung. Setelah Ratu I Sabida meninggal dunia, puteri bungsunya itulah yang diangkat sebagai pelanjut tahta Kerajaan Banawa. I Sandudongie naik jabatan sebagai ratu pada tahun 1800. Raja perempuan terakhir dalam sejarah Kerajaan Banawa ini menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama La Sa Banawa.

Pada masa kuasa Ratu Kerajaan Banawa yang ke-6 ini, Belanda juga berhasil memaksa Ratu I Sandudongie untuk menandatangani sejumlah kesepakatan yang tentu saja merugikan pihak Kerajaan Banawa. Kontrak perjanjian yang disodorkan oleh Belanda kepada Ratu I Sandudongie pada tahun 1824, misalnya, memuat isi yang pada intinya semakin menguatkan dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan di Donggala. Salah satu keuntungan istimewa yang diperoleh Belanda dengan kontrak tersebut adalah bahwa Belanda diperbolehkan mendirikan Kantor Bea dan Cukai (Doane), beserta macam-macam fasilitas, dengan dalih memperlancar kegiatan ekonominya.

Setelah menjadi ratu selama 45 tahun, Ratu I Sandudongie wafat pada tahun 1845. Putera semata wayangnya, La Sa Banawa, ditetapkan selaku pemimpin Kerajaan Banawa yang berikutnya. Setelah ditahbiskan menjadi raja, La Sa Banawa memperoleh nama kehormatan La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera dan menyandang gelar adat Mpue Mputi. Penguasa ke-7 Kerajaan Banawa ini mengawini I Palusia dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama I Tolare dan La Marauna.

Di era kepemimpinan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera, meski masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh Belanda, populeritas Donggala kian menjulang. Donggala tidak hanya sebagai kota pelabuhan saja, tetapi juga sebagai kota pelajar, kota perdagangan, kota pemerintahan, kota perjuangan, dan kota budaya yang sering menjadi rujukan dan didatangi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Josep Condrad, pengelana sekaligus penulis berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan yang dilakoninya. Selama masa kunjungan ke Kerajaan Banawa sejak tahun 1858, Condrad menjalin persahabatan yang erat dengan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera .

Kepala pemerintahan Kerajaan Banawa yang berikutnya adalah La Makagili yang tidak lain adalah cucu dari Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera. Penguasa Kerajaan Banawa yang ke-8 ini menduduki puncak singgasana sejak tahun 1888  dengan gelar La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang paling berani dan gigih melawan penjajah Belanda.

Tepat pada tanggal 23 Juli 1893, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa yang selama ini berlokasi di Pudjananti alias Ganti dipindahkan ke Donggala. Penetapan Donggala sebagai ibukota Kerajaan Banawa ini bertahan hingga Kerajaan Banawa bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu, tahta Raja La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu berakhir pada permulaan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1902 

Kerajaan di Era Kemerdekaan 
Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kuat menancapkan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sulawesi Tengah, tidak terkecuali Kerajaan Banawa. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut telah diikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan berbagai macam kontrak politik dan ekonomi .Pada periode tahun 1902 hingga 1926, pemimpin Kerajaan Banawa adalah La Marauna dengan gelar La Marauna Pue Totua dan mendapat julukan kehormatan sebagai. Mpue Totua

Pengemban estafet kepemimpinan Kerajaan Banawa yang ke-10 ialah Raja La Gaga Pue Tanamea yang bertahta sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1932. Raja La Gaga Pue Tanamea adalah anak dari kakak kandung Raja La Marauna Pue Totua yang telah menjabat sebelumnya. Setelah Raja La Marauna Pue Totua mangkat, yang diangkat sebagai penggantinya adalah putera keempat almarhum raja, bernama La Ruhana Lamarauna. Pada masa pemerintahan Raja Banawa ke-11 ini, terjadi pertempuran sengit antara Belanda dengan Jepang yang mendarat di wilayah Sulawesi Tengah pada tanggal 15 Mei 1942. Akhirnya, Jepang berhasil mengambil-alih penguasaan wilayah Kerajaan Banawa.

Raja La Ruhana Lamarauna harus menjalankan pemerintahannya dengan waspada dan berhati-hati selama era penjajahan Jepang. Pada masa ini, Kerajaan Banawa nyaris tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan secara politik lagi dan hanya sekadar menjalani kehidupan sembari menunggu terjadinya perubahan. Harapan itu terwujud ketika pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Raja La Ruhana Lamarauna pun leluasa dapat menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banawa hingga tutup usia pada tahun 1947 

Pemangku tahta Kerajaan Banawa yang selanjutnya adalah putera bungsu Raja La Ruhana Lamarauna, bernama La Parenrengi Lamarauna. Selain sebagai pemangku tahta, Raja Banawa ke-12 ini juga berkecimpung di ranah perpolitikan nasional dengan merangkap jabatan sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pertama di Sulawesi Tengah. Suami dari Hajja Sania Tombolotutu ini merupakan raja terakhir Kerajaan Banawa dan memungkasi riwayat hidupnya pada tahun 1986. Raja La Ruhana Lamarauna menghembuskan nafas terakhirnya di Palu.

Raja La Parenrengi Lamarauna disebut sebagai raja terakhir Kerajaan Banawa karena sejak tanggal 12 Agustus 1952, Donggala ditetapkan sebagai salah satu dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, selain Kabupaten Poso. Status daerah Banawa pun dialihkan menjadi kecamatan dan ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Donggala. Sejak saat itu, kehidupan Banawa selaku pemerintahan kerajaan dinyatakan usai.

Silsilah

I Badan Tassa Batari Bana (1485-1552 M).
I Tassa Banawa (1552-1650 M).
I Toraya (1650-1698M).
La Bugia Pue Uva (1698-1758 M).
I Sabida (1758-1800).
I Sandudongie (1800-1845).
La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888).
La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902).
La Marauna Pue Totua (1902-1926).
La Gaga Pue Tanamea (1926-1932).
La Ruhana Lamarauna (1932-1947).
La Parenrengi Lamarauna (1947-1959)
Sistem Pemerintahan

Kerajaan Banawa mengadopsi sistem pemerintahan yang telah diberlakukan dalam tata cara pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kemiripan pola pengaturan kehidupan di Kerajaan Banawa dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan tersebut terlihat dari bentuk bangunan dan pemakaian gelar kehormatan untuk bangsawan.

Bangunan adat khas Kerajaan Banawa dikenal dengan sebutanbaruga yang merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan kerajaan. Sedangkan gelar-gelar kehormatan kerajaan yang dianugerahkan kepada para bangsawan di Kerajaan Banawa juga nyaris persis dengan gelar bangsawan di Sulawesi Selatan, sebut saja pemakaian gelar yang berawalan La, Daeng, Andi, dan sebagainya.

Di samping itu, format dan struktur pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Banawa juga memakai gaya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yakni dengan menganut sistem Pitunggota. 

Pitunggota adalah suatu susunan pemerintahan kerajaan dan lembaga legislatif yang dipimpin oleh seorang Baligau. Keanggotaan Pitunggota terdiri dari tujuh pejabat tinggi kerajaan, termasuk menteri dan pejabat daerah, yaitu antara lain Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Tadulako, Galara, Pabicara, dan Sabandara.

Madika Malolo adalah sebutan untuk raja muda sebagai wakil dari Raja Banawa dalam mengurusi persoalan-persoalan tertentu. Pengangkatan Madika Malolo dilakukan langsung secara adat oleh raja dan harus mendapat restu dari dewan kerajaan. Madika Matuamerupakan jabatan perdana menteri yang merangkap sebagai pejabat urusan luar negeri dan ekonomi. Seorang Madika Matuadiangkat dan diberhentikan oleh raja atas persetujuan Baligau. Anggota Pitunggota lainnya yakni Ponggawa atau menteri dalam negeri, Tadulako atau menteri pertahanan dan keamanan, Galaraatau menteri kehakiman, Pabicara atau menteri penerangan, dan Sabandara alias menteri perhubungan kelautan 

Tata cara pemerintahan di Kerajaan Banawa juga terdapat dua lembaga tinggi, yakni Libu Nu Maradika (semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Libu Nto Deya (semacam Dewan Permusyawaratan Rakyat). Tugas Libu Nu Maradika adalah mengesahkan penobatan raja terpilih. Sedangkan Libu Nto Deya ialah dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah atau Kota Pitunggota. Bentuk Kota Pitunggota ditetapkan berdasarkan luas wilayah kerajaan yang memiliki perwakilan Soki (kampung). Selain itu, dalam tradisi Kerajaan Banawa dikenal tingkat penggolongan strata sosial masyarakat, antara lain yaitu Madika/Maradika (kaum raja dan bangsawan), Totua Nungata (keturunan tokoh-tokoh masyarakat), To Dea (rakyat biasa), dan Batua yang merupakan kasta hamba atau budak.

Wilayah Kekuasaan

Sejak era pemerintahan Raja La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888) hingga Raja La Ruhana Lamarauna (1932-1947), Kerajaan Banawa memiliki luas wilayah sekitar 460.000 hektare yang terbagi atas tiga daerah. Pertama adalah kawasan Banawa Selatan yang memiliki area wilayah dari Loli Watusampu sampai Surumana yang berbatasan dengan daerah Mamuju. Berikutnya adalah kawasan Banawa Tengah yang membentang dari Pantoloan sampai Sindue. Bagian ketiga adalah kawasan Banawa Utara dengan cakupan daerah yang terhampar dari Balaesang hingga Dampelas Sojol, termasuk Pulau Pasoso dan Pangalasing.

Daerah-daerah yang dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa pada masa sekarang menjadi desa-desa yang bernaung di wilayah administratif Kecamatan Banawa. Daerah-daerah itu meliputi Ganti, Bambarimi, Boneoge, Boya, Gunling Bale, Kabonga Besar, Kabonga Kecil, Kola-Kola, Labuanbajo, Lalombi, Limboro, Lolioge, Lolitasiburi, Lumbudolo, Lumbumarara, Maleni, Mbuwu, Powelliwa, Salengkaenu, Salubomba, Salumpaku, Surlimana, Tanahmea, Tanjung Batu, Tolongano, Tosale, Towale, dan Watatu.

Kerajaan di Lampung


Kerajaan Skala Brak (Sekala Beghak) berdiri di Lampung pada sekitar abad ke-3 Masehi dengan pemimpinnya bernama Raja Buay Tumi 
Nama Raja Buay Tumi diyakini sebagai pemimpin Suku Tumi, yakni salah satu bangsa pertama yang menempati tanah Lampung dan kemudian membangun peradaban di Skala Brak. Lokasi Kerajaan Skala Brak terletak di lereng Gunung Pesagi, Belalau, di sebelah selatan Danau Ranau, sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung.

Keberadaan Kerajaan Skala Brak dianggap sebagai simbol peradaban, kebudayaan, dan eksistensi orang Lampung. Penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata “Anjak Lambung” yang artinya menunjukkan tempat yang tinggi, yakni lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung .
Keterangan ini merujuk bahwa sejarah orang Lampung sangat berkaitan dengan Skala Brak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.

A. Skala Brak, Cikal-Bakal Orang Lampung

Terdapat sejumlah teori tentang etimologi Skala Brak. Pertama, Sakala Bhra, yang berarti titisan dewa, ini terkait dengan Kerajaan Skala Brak Hindu. Kedua, Segara Brak, yang berarti genangan air yang luas, yaitu Danau Ranau yang letaknya tidak jauh dari Kerajaan Skala Brak. Ketiga, Sekala Brak, yang berarti tumbuhan sekala (kemungkinan Ketembang Sekala atau Amomum Blumeanum Valeton, tanaman sejenis jahe-jahean) yang banyak terdapat di dataran tinggi Pesagi Selain itu, ada pula yang menyebut Skala Brak atau Sekala Beghak dengan arti “tetesan yang mulia”.

Kajian oleh sejumlah sejarawan umumnya mengarah pada persamaan persepsi bahwa Skala Brak adalah daerah asal orang Lampung. Pengelana dari Cina, I Tsing (635-713), pernah berada di Jambi dan konon sempat menetap di Sriwijaya selama 10 tahun (685-695). Dalam perjalanan itu, I Tsing menyebut “To Lang Pohwang” yang diduga berasal dari bahasa Hokian yang berarti “orang atas” atau “orang-orang yang berada di atas”. I Tsing mungkin menunjukkan keberadaan orang-orang yang tinggal di lereng Gunung Pesagi yang tidak lain adalah Suku Tumi.

Mengutip dari penelitian yang dilakukan Universitas Lampung, menyebutkan bahwa istilah “To Lang Pohwang” diambil dari bahasa Toraja. “To” berarti orang, sedangkan “Lang Pohwang” dibahasakan sebagai “Lampung”. Dengan demikian, “To Lang Pohwang” dapat diartikan sebagai “orang Lampung” Selain itu, ada juga yang menyebut bahwa “To Lang Pohwang” merupakan pelafalan dari “Tulang Bawang”, nama yang lekat dengan nama sungai, daerah, dan sebuah kerajaan yang juga terdapat di Lampung.

Suku Tumi menganut agama Hindu Bairawa. Mereka mengagungkan Belasa Kepampang, sebuah pohon keramat dengan dua cabang, yaitu cabang nangka dan cabang sebukau (sejenis kayu bergetah). 

Konon, jika menyentuh cabang sebukau, orang bisa terkena penyakit kulit, namun dapat segera disembuhkan dengan getah cabang nangka yang juga terdapat di pohon itu. Kepercayaan ini diterima tidak hanya di Skala Brak saja tapi hingga ke daerah-daerah lain di sepanjang aliran Way Komering, Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulangbawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai 

Ketika pemerintahan Islam menguasai Skala Brak, Belasa Kepampang ditebang dan kayunya dipergunakan untuk membuat pepadun. Pepadun adalah singgasana raja yang hanya boleh digunakan atau diduduki pada saat penobatan Sultan Skala Brak beserta keturunannya. Tumbangnya pohon Belasa Kepampang juga menjadi pertanda jatuhnya kekuasaan Suku Tumi sekaligus punahnya aliran animisme di Skala Brak.


b. Skala Brak pada Zaman Hindu (Masa Kerajaan)

Riwayat leluhur bangsa Lampung dan Skala Brak dapat ditelusuri, antara lain dari warahan (cerita turun-temurun), warisan adat, serta peninggalan lainnya. Salah satu benda peninggalan Skala Brak adalah menhir yang merupakan peninggalan masa Megalitikum dan ini menjadi bukti bahwa leluhur orang Lampung telah memiliki peradaban sejak masa pra-sejarah.

Riwayat Kerajaan Skala Brak juga dapat diketahui dari tambo-tambo yang di masyarakat. Tambo adalah salah satu bentuk ekspresi atas kesadaran masyarakat terhadap masa lalu yang berisi seluk-beluk kebudayaan, adat, dan asal-usul masyarakat. Di dalam tambo terkandung narasi kesejarahan yang ditujukan untuk berbagai kepentingan sebagai ekspresi atas kondisi sosial pada waktu di mana tambo itu dibuat. Tambo-tambo tentang Skala Brak yang ditemukan sebagian besar ditulis pada kulit kayu atau kulit kerbau.

Di lereng Gunung Pesagi, ditemukan sejumlah peninggalan lainnya, seperti batu-batu bekas kuno, tapak bekas kaki, altar, dan tempat eksekusi. Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) yang ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa, merupakan bukti peninggalan Skala Brak pada zaman Suku Tumi. Dalam prasasti bertarikh 9 Margasira 919 Saka itu terpahat nama seorang raja yang diduga pernah berkuasa di Skala Brak, bernama Baginda Sri Haridewa.

Sedangkan dari sebuah batu berangka tahun 966 Saka atau 1074 Masehi yang juga ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa diperoleh keterangan bahwa Lampung telah dihuni sekelompok masyarakat beragama Hindu. Diperkirakan, batu yang bertuliskan huruf Pallawa ini merupakan perangkat untuk mengeksekusi orang yang melanggar hukum kerajaan. Unsur Hindu dalam kebudayaan Kerajaan Skala Brak semakin kuat dengan ditemukannya parit-parit, jalan-jalan setapak, batu persegi, batuan berukir, serta puing-puing candi khas Hindu.

Menurut sejarah warga Skala Brak pernah melakukan perpindahan bertahap dari waktu ke waktu. Migrasi itu terjadi karena beberapa peristiwa penting. 

Pertama adalah ketika Suku Tumi terusir dari kampung halamannya akibat masuknya agama Islam. 

Kedua, adanya perselisihan internal di antara keluarga kerajaan sehingga pihak yang tidak menerima keadaan memutuskan untuk pindah ke daerah lain. 

Ketiga, adanya gempa bumi yang menyebabkan sebagian besar penduduk Skala Brak mencari perlindungan ke daerah lain. Keempat, adanya aturan adat yang menetapkan bahwa yang paling berhak memperoleh hak waris keluarga adalah anak tertua sehingga banyak anak-anak muda Skala Brak memilih pindah ke daerah lain dengan harapan akan mendapat kedudukan dan status sosial yang lebih baik.

Akibat gelombang migrasi itu, terjadilah penyebaran kebudayaan Suku Tumi. Sebagian besar dari mereka mengikuti aliran way (sungai) untuk bermukim dan mempertahankan hidup. Beberapa aliran sungai yang menjadi tempat tujuan migrasi Suku Tumi antara lain Way Koming, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Tulang Bawang, beserta anak-anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung, Palembang (Sungai Komering), bahkan hingga ke Pantai Banten. 

Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu juga diindikasikan sebagai peradaban yang kelak berpengaruh terhadap berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang karena terdapat sebagian Suku Tumi yang menuju Palembang. Selain itu, ada keturunan dari Kerajaan Skala Brak Hindu yang diduga menjadi pendiri Dinasti Sriwijaya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Dapunta Hyang Sri Jayanaga inilah yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri di Minanga Komering.


c. Skala Brak pada Zaman Islam (Masa Kepaksian)

Seperti yang diriwayatkan dalam tambo, masuknya Islam ke Skala Brak dibawa oleh empat putra Sultan Maulana Umpu Ngegalang Paksi, Raja Pagaruyung. Para pangeran itu dibantu oleh seorang pemudi berjuluk Si Bulan (Putri Bulan), diperkirakan bernama asli Indarwati, dan merupakan leluhur Orang Tulangbawang Berikut nama empat pangeran dari Minangkabau yang bermaksud menyiarkan agama Islam di Skala Brak tersebut:

1. Umpu Bejalan Di Way, bernama asli Inder Gajah, menurunkan Orang Abung.

2. Umpu Belunguh, nama aslinya diperkirakan sama dengan nama gelarnya, yakni Belunguh, menurunkan Orang Peminggir.

3. Umpu Nyerupa, bernama asli Sikin, menurunkan Orang Jelma Daya.

4. Umpu Pernong, bernama asli Pak Lang, menurunkan Orang Pubian.

Kata “Umpu” berasal dari kata “Ampu”, sebutan bagi anak raja Kerajaan Pagaruyung-Minangkabau. Kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 itu merupakan kerajaan Hindu sebelum beralih ke Islam sejak pertengahan abad ke-16. Kisaran waktu tersebut merujuk pada data yang menyebutkan, Sultan Alif Khalifatullah dinobatkan sebagai pemimpin Kerajaan Pagaruyung pada sekitar tahun 1560 setelah menganut Islam, nama kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Dengan demikian, masuknya Islam ke Skala Brak yang dibawa keempat pangeran dari Pagaruyung terjadi pada tahun-tahun setelah Sultan Alif Khalifatullah berkuasa.

Naskah kuno Kuntara Raja Niti menyebut Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong dengan nama yang berbeda, yakni masing-masing Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang 

Oleh keempat penguasa baru tersebut, wilayah Skala Brak dibagi rata dan masing-masing memiliki wilayah, rakyat, dan adat-istiadatnya sendiri, serta mempunyai kedudukan yang sama.

Penguasa terakhir Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu adalah seorang perempuan bernama Umpu Sekekhummong (Ratu Sekerumong). Meskipun sempat melakukan perlawanan, namun Skala Brak tidak mampu menahan serangan dari Pagaruyung yang lebih kuat. Segera setelah berhasil menguasai Skala Brak, keempat pangeran Pagaruyung mendirikan suatu perserikatan bernama Paksi Pak, yang berarti “Empat Serangkai” atau “Empat Sepakat”. Dimulailah babak baru dengan hadirnya Islam di Skala Brak yang mewujud menjadi Paksi Pak atau Kepaksian Skala Brak.

Berkuasanya Kepaksian Skala Brak, berarti juga berakhirnya kekuasaan Suku Tumi. Orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan banyak yang menyeberang ke Jawa. Sebagian yang lain mengungsi ke Palembang untuk mencari perlindungan. Belakangan diketahui bahwa ada seorang keturunan Kerajaan Skala Brak Hindu, bernama Kekuk Suik, yang masih mengibarkan sisa-sisa eksistensi Kerajaan Skala Brak di Pesisir Selatan Krui – Tanjung Cina.

Suku Tumi yang menyelamatkan diri ke Pesisir Krui menempati beberapa wilayah atau marga, meliputi Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai, dan Marga Way Sindi. Namun, di tempat yang baru ini, pelarian Suku Tumi tidak luput dari kejaran Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan mendapat bantuan dari lima orang punggawa Kepaksian Skala Brak. Setelah upaya penaklukkan berhasil, daerah tersebut dikenal dengan nama Marga Punggawa Lima karena kelima punggawa dari Kepaksian Skala Brak kemudian menetap di wilayah tersebut.

Sebagian warga Skala Brak yang lain, dipimpin Pangeran Tongkok Podang, mengikuti aliran Way Komring dan mendirikan pekon (negeri). Kesatuan dari beberapa pekon ini kemudian menjadi marga atau buay yang diperintah oleh seorang raja atau saibatin di daerah Komering, Palembang. 

Sebagian kelompok lagi pergi ke arah Muara Dua, kemudian ke selatan menyusuri aliran Way Umpu hingga di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan dikenal sebagai Lampung Daya atau Lampung Komering yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komering Ulu, serta Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komering Ilir.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Suku Tumi sangat menghormati pohon Belasa Kepampang. Ketika Kerajaan Skala Brak berganti rupa menjadi Kepaksian Skala Brak, pohon keramat ini ditebang dan kayunya digunakan untuk membuat pepadun, yakni singgasana yang hanya boleh diduduki pada hari ketika Sultan Kepaksian Skala Brak dinobatkan. Terdapat dua makna filosofis yang terkandung dalam kata pepadun, yaitu:

1. Pepadun dimaknai sebagai papadun, yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan sebagai legitimasi bahwa yang duduk di atasnya adalah resmi menjadi seorang raja.

2. Pepadun dimaknai sebagai paaduan, yang berarti tempat mengadukan segala persoalan, maka orang yang duduk di atas pepadun adalah orang yang berhak memberikan keputusan atas perkara-perkara yang diadukan.

Dengan demikian, pepadun menempati posisi tertinggi dalam tradisi Kepaksian Skala Brak. Untuk menghindari perselisihan di antara keturunan keempat Kepaksian yang berkuasa, maka atas kesepakatan keempat Paksi, pepadun dititipkan kepada orang kepercayaan, yakni Buay Benyata yang berkedudukan di Pekon Luas. Ketika salah seorang dari keempat pemimpin Kepaksian membutuhkan pepadun untuk keperluan penobatan, maka pepadun itu dapat diambil namun harus dikembalikan lagi kepada Buay Benyata setelah digunakan.

Perselisihan yang muncul justru terjadi di antara keturunan Benyata. Pada 1939, sejumlah keturunan Benyata memperebutkan siapa yang berhak menyimpan pepadun. Sebelumnya memang belum ada kesepakatan tentang hal itu. Atas keputusan Kerapatan Adat dengan persetujuan Kepaksian Skala Brak dan Karesidenan (wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda), diputuskan bahwa pepadun disimpan di kediaman keturunan langsung dari Umpu Belunguh (salah seorang dari keempat pemimpin Kepaksian Skala Brak), hingga sekarang.

Di bawah pemerintahan empat Kepaksian, peradaban Skala Brak berkembang cukup pesat, baik kemajuan eksternal maupun internal. Skala Brak menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara, bahkan dengan India dan Cina. 

Pada abad ke-5 dan ke-6, terdapat dua kerajaan di nusantara yang bekerjasama dengan Kekaisaran Cina, yaitu Kerajaan Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa.

Kerajaan Kendali di Andalas yang dimaksud kemungkinan besar adalah Skala Brak karena dalam catatan Dinasti Liang (502-556 M) disebutkan letak Kerajaan Skala Brak berada di selatan Andalas dan menghadap ke arah Samudera Hindia. Adat-istiadatnya kerajaan itu, menurut catatan yang sama, hampir serupa dengan Bangsa Kamboja dan Siam (Thailand), serta menjadi negeri penghasil pakaian berbunga, kapas, pinang, kapur barus, dan damar.

Selain itu, dalam Kitab Tiongkok kuno disebutkan bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi terdapat kisah Kerajaan Kendali yang terletak di antara Jawa dan Kamboja. Nama Kendali ini dapat dihubungkan dengan Kenali, ibu negeri Paksi Buay Belunguh, salah satu dari empat Kepaksian Skala Brak 

Kemajuan juga diperoleh dalam lingkup internal Skala Brak. Pada awal abad ke-9 Masehi, para pemuka Kepaksian Skala Brak sudah menciptakan aksara dan angka tersendiri yang dikenal sebagai Had Lampung. Bentuk tulisan Had Lampung dipengaruhi aksara Pallawa dari India Selatan dan huruf Arab.

Kepaksian Skala Brak mengalami kemunduran pada era penjajahan Belanda. Pada tahun 1810 dan 1820, Istana Skala Brak hancur oleh serangan Belanda. Pada tahun 1830, dibangunlah Gedung Dalom sebagai pengganti istana. Luas lahan Gedung Dalom yang sekarang adalah 3.000 meter persegi, dikelilingi rumah kepala suku. Sementara Belalau kini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi .


2. Silsilah Raja-Raja

Kerajaan Skala Brak termasuk salah satu kerajaan tertua di Sumatra yang telah melalui pergeseran kekuasaan dari masa Hindu ke masa Islam. 
Dari buku Sejarah Sumatra, terdapat nama Raja Buay Tumi sebagai penguasa Kerajaan Skala Brak yang pertama sekaligus pemimpin Suku Tumi.Selain itu, ditemukan juga nama Umpu Sekekhummong (Ratu Sekerumong) yang merupakan pemimpin terakhir Kerajaan Skala Brak pada masa Hindu. Sedangkan pada batu yang ditemukan di Skala Brak, terpahat nama seorang raja, yakni Baginda Sri Haridewa 

Pada masa pemerintahan Islam, Skala Brak terbagi menjadi empat kekuasaan yang disebut Paksi Buay atau Kepaksian (Bejalan Di Way, Belunguh, Nyerupa, dan Pernong). Empat Kepaksian ini masih eksis hingga kini dan mewariskan banyak keturunan sehingga silsilah yang mencakup pemimpin seluruh Kepaksian Skala Brak belum ditemukan secara lengkap.

Dalam catatan disebutkan bahwa orang-orang yang pernah menjabat sebagai Sultan atau Pasirah (semacam perdana menteri) Paksi Buay Bejalan Di Way antara lain: 
Umpu Bejalan Diway (Pendiri Paksi Buay Bejalan Di Way), 
Ratu Tunggal, 
Kun Tunggal Simbang Negara, 
Ratu Mengkuda Pahawang, 
Puyang Rakian, 
Puyang Raja Paksi, 
Dalom Sangun Raja, 
Raja Junjungan (memindahkan pusat pemerintahan dari Puncak Sukarami Liwa ke Negeri Ratu Kembahang), 
Ratu Menjengau, 
Pangeran Siralaga, 
Dalom Suluh Irung, 
Pangeran Nata Marga (pernah mengadakan perjanjian dengan Inggris pada 13 Maret 1799), dan 
Pangeran Raja di Lampung.

Selanjutnya adalah Raden Intan Gelar Pangeran Jaya Kesuma I yang diangkat menjadi Pasirah dengan surat keputusan pemerintah kolonial tanggal 21 Desember 1834, 
Kasim Gelar Pangeran Paku Alam (1 Agustus 1871), 
Dalom Raja Kalipah Gelar Pangeran Puspa Negara I (5 Mei 1881), 
Ahmad Siradj Gelar Pangeran Jaya Kesuma II (27 Oktober 1914), 
Siti Asma Dewi Gelar Ratu Kemala Jagat (yang menjadi Sultan/Pasirah adalah suaminya, 
Abdul Madjid Gelar Suntan Jaya Indra, tanggal 12 Juli 1939), 
Suntan Jaya, Azrim Puspa Negara Gelar Pangeran Jaya Kesuma III, dan Selayar Akbar 

Kepaksian kedua adalah Paksi Buay Belunguh yang beribukota di Kenali. Umpu Belunguh sebagai Sultan Paksi Buay Belunguh tidak mempunyai istri dan anak sehingga kemudian mengangkat anak sebanyak 7 orang. Ketujuh anak angkat Umpu Belunguh tersebut memiliki surat-surat keterangan sebagai legitimasi garis keturunan mereka. Umpu Belunguh menunjuk salah satu anak angkatnya yang bernama Kuning, sebagai penggantinya untuk memimpin Kepaksian Belunguh. Umpu Kuning mempunyai empat anak, yakni Pemuka Raja Anum, Pangeran Mangkubumi, Kimas Menjaga Batin, dan Raden Mengunang 

Seorang keturunan Kepaksian Belunguh, bernama Batin Paksi, menyusun sebuah tambo yang menerangkan tentang “Asal Keturunan Marga Belunguh” tertanggal 20 Februari 1939. Pada 28 Maret 2000, Ikhwan Siraj Belunguh yang merupakan keturunan ke-17 dari Sultan Pangeran Iro Belunguh, berinisiatif menyalin ulang tambo tersebut. Nama-nama Sultan yang pernah memerintah Paksi Buay Belunguh Skala Brak tercantum dalam tambo tersebut.

Disebutkan dalam tambo bahwa Sultan Pemuka Raja Anum, berkunjung ke Kesultanan Banten dan memperoleh anugerah dari Sultan Banten berupa barang-barang kebesaran. Hingga kini, keturunan Pemuka Raja Anum masih ada yang tinggal di Cikuning, Banten, dan masih menggunakan bahasa Lampung. 
Sultan Kepaksian Belunguh selanjutnya adalah
Sang Hiang 
Raja Nukah dan berturut-turut dilanjutkan oleh;
Pangeran Jaya Kesuma, 
Depati Bangsa Raja, 
Pangeran Iro Belunguh, 
Raja Mahkota Alam, 
Batin Singa, 
Raden Ngaih, 
Keria Natar Kesuma (diangkat tanggal 8 Juni 1784), dan 
Depati Pasirah yang dinobatkan tanggal 6 November 1814.

Dari Kepaksian Nyerupa, menurut sumber yang ditemukan, diperoleh informasi bahwa Paksi Buay Nyerupa memiliki pemuka-pemuka agung sebagai berikut: 
Ratu Buay Nyerupa (wafat tahun 1420), 
Si Gajah Gelar Ratu Pikulun Siba di Mesir, 
Tjerana Gelar Dalom Pikulun Siba di Room, 
Tjerana Gelar Dalom Pikulun Siba di Randak, 
Si Gajah Gelar Ratu Pikulun Siba di Mataram, 
Pangeran Ratu Pikulun Siba di Mataram, 
Si Rasan Pikulun Ratu di Lampung Siba di Banten (1727), 
Batin Junjungan Pikulun Ratu di Lampung, 
Si Rasan Dalom Purbajagat Pikulun, 
Si Gajah Dalom Ratoe Pikulun, dan 
Tjerana Gelar Ratu Pikulun (1808).

Kemudian Si Gajah Batin Mengoenang Pikulun Bala Seriboe, 
Si Pikok Gelar Dalom Pikulun (1849), 
Si Gajah Batin Pikulun, 
Merah Hakum Gelar Sultan Ali Akbar/Ratu Bantar Muli Batin (1860), 
Merah Hasan Gelar Sultan Ratu Pikulun, 
Merah Hadis Gelar Dalom Baginda Raja, 
Saifullah Hakim Gelar Sultan Pikulun Jayaningrat, dan 
Dwi Tjakrawati Gelar Ratu Pikulun Permata Alam.
Sultan Kepaksian Nyerupa sekarang adalah Salman Parsi Gelar Sultan Pikulun Jayadiningrat 


Silsilah Pemuka Paksi Buay Nyerupa Skala Brak


Terakhir, dari Paksi Buay Pernong Skala Brak diperoleh keterangan, Pangeran Ringgau Gelar Pangeran Batin Pasirah Purba Jaya sebagai Sultan Kepaksian Pernong. Selanjutnya adalah Pangeran Suhaimi Gelar Sultan Lela Muda Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi yang bertahta hingga menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penggantinya adalah Pangeran Maulana Balyan gelar Sultan Sempurna Jaya yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia .

Sejak 19 Mei 1989, dinobatkanlah anak lelaki Pangeran Maulana Balyan yang bernama Pangeran Edward Syah Pernong sebagai Sultan Kepaksian Pernong Skala Brak yang ke-23 dengan gelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi 
Sultan Edward Syah Pernong juga terpilih sebagai Ketua Forum Masyarakat Skala Brak (FMSB) yang diharapkan berperan sebagai alat komunikasi bagi seluruh warga Skala Brak 

3. Sistem Pemerintahan

Sultan Kepaksian Skala Brak berasal dari kalangan bangsawan sebagai pemegang tahta kerajaan dan adat beserta rakyatnya. Kedudukan Sultan sebagai kepala kerajaan diwariskan turun-temurun. Dalam menjalankan pemerintahan, Sultan dibantu oleh Pemapah Dalom (semacam perdana menteri) yang diberi gelar Raja. Pemapah Dalom biasanya diangkat dari salah seorang paman atau adik Sultan.

Dalam perkembangannya, terdapat jabatan Pasirah dalam pemerintahan Kepaksian Skala Brak. Pasirah bertugas mengatur jalannya pemerintahan tradisional, acara ritual-ritual, pesta-pesta, dan upacara-upacara adat lainnya.
Konsep yang menempatkan Pasirah sebagai kepala pemerintahan mulai berlaku sejak 25 Desember 1862 melalui surat keputusan pemerintah kolonial Belanda. Pasirah bertindak sebagai pemimpin suatu marga dan merupakan wakil dari pemerintah kolonial. Di samping sebagai kepala pemerintahan, Pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian, dan aturan jual beli.

Kepaksian Skala Brak juga memiliki Permufakatan Sidang Adat sebagai forum resmi untuk menangani perkara-perkara tertentu, misalnya dalam pertimbangan menaikkan atau menurunkan pangkat adat. Tingkatan tertinggi yang berlaku di masyarakat adat Kepaksian Skala Brak adalah Suntan. Urutan gelar adat dalam Kepaksian Skala Brak dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kemas, dan Mas.

4. Wilayah Kekuasaan

Jika merunut pada peta geografis dan administratif Provinsi Lampung pada masa sekarang, perkiraan luas wilayah kekuasaan Kerajaan Skala Brak mencakup hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat. Bahkan, sebagian daerah kekuasaan Skala Brak ditaksir hingga Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan. Pusat kerajaan terdapat di lereng Gunung Pesagi yang terletak di Liwa. Liwa sendiri berlokasi di antara Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat. Ketika Kepaksian Skala Brak didirikan oleh empat pangeran dari Pagaruyung, wilayah Skala Brak dibagi menjadi empat wilayah kekuasaan, yaitu antara lain:

1. Umpu Bejalan Di Way, memiliki daerah kekuasaan meliputi Kembahang dan Balik Bukit. Pusat pemerintahannya adalah Puncak Dalom. Kepaksian ini dikenal dengan nama Paksi Buay Bejalan Di Way.

2. Umpu Belunguh, berhak atas wilayah Belalau dengan ibu kotanya di Kenali. Kepaksian ini disebut sebagai Paksi Buay Belunguh.

3. Umpu Nyerupa, memperoleh bagian daerah Sukau dengan pusat pemerintahan di Tampak Siring. Kepaksian ini disebut dengan nama Paksi Buay Nyerupa.

4. Umpu Pernong, memerintah daerah Batu Brak dengan ibu negeri di Hanibung. Kepaksian ini bernama Paksi Buay Pernong.

Putri Bulan, yang membantu para pangeran Kesultanan Pagaruyung menaklukkan Suku Tumi, mendapat bagian wilayah di daerah Cenggiring. Namun, karena Putri Bulan memutuskan untuk tidak menetap di Skala Brak, maka willayah Cenggiring digabungkan dengan wilayah kekuasaan Paksi Buay Pernong karena letaknya berdekatan.

Sementara itu, dari situs Wikipedia diperoleh data bahwa wilayah inti kekuasaan Kepaksian Skala Brak mencakup daerah-daerah di sepanjang sungai yang terdapat di Lampung Barat. 
Wilayah kekuasaan Kepaksian Skala Brak secara keseluruhan meliputi: Way Selalau, Way Belunguh, Way Kenali, Way Kamal, Way Kandang Besi, Way Semuong, Way Sukau, Way Ranau, Way Liwa, Way Krui, Way Semaka, Way Tutung, Way Jelai, Way Benawang, Way Ngarip, Way Wonosobo, Way Ilahan, Way Kawor Gading, Way Haru, Way Tanjung Kejang, dan Way Tanjung Setia.

Wilayah yang dikuasai keempat pemimpin Kepaksian Skala Brak dan Putri Bulan pada akhirnya melahirkan lima buay atau marga teritorial, yang kemudian berkembang menjadi sembilan kebuayan. Sejak tahun 1928, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini meluas lagi menjadi 84 marga dan tumbuh menjadi ratusan jurai atau tiyuh

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...