Minggu, 31 Oktober 2021

Hukum-Hukum Seputar Adzan


Sholat merupakan ibadah badaniyah terpenting dalam Islam yang telah ditetapkan waktu pelaksanaannya, sebagaimana firmanNya:

)فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَوْقُوتاً) (النساء:103)

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. 4:103)

Sehingga untuk mengetahui masuknya waktu sholat dibutuhkan satu tanda agar setiap muslim dapat menunaikannya diwaktu dengan berjamaah. Oleh karena itu Allah mensyariatkan adzan sebagai tanda masuk waktu sholat.

Melihat pentingnya sholat tentulah juga sangat penting mengetahui tata cara dan hukum islam berkenaan dengan adzan tersebut. Apalagi Rasulullah n menjadikannya sebagai tanda negara islam, sebagaimana dinyatakan sahabat Anas bin Malik:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يَغْزُ بِنَا لَيْلًا حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ

Nabi dahulu jika akan menyerang satu kaum, tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari sampai subuh. Apabila ia mendengar adzan maka berhenti tidak menyerang dan bila tidak mendengarnya maka ia menyerang mereka. (HR Ahmad 12157).
Sedang dalam riwayat Al Bukhori, Anas bin Malik menyatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ

Rasulullih dahulu jika memerangi satu kaum, tidak menyerang sampai waktu subuh, jika beliau mendengar azan maka tidak jadu menyerang dan bila tidak mendengar maka beliau menyerangnya setelah subuh.

Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279].

وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {3}

Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah : 3].

Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin, sebagaimana pernyataan beliau: “Ini lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur (memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka disyariatkan mengakhirkan adzan”.

Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya, menjadikannya lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah kepada Allah untuk menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.

PERBEDAAN ADZAN DAN IQAMAH

Dari pengertian adzan dan iqamah di atas, maka dapat diketahui perbedaan antara adzan dan iqamah ialah:

1. Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan iqamah untuk masuk dan memulai shalat.
2. Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga berbeda, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.

SIFAT DAN LAFADZ ADZAN SERTA IQAMAH

Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkenal dalam madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :

1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu :
4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat Rasulullah, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya ‘alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ . حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ .اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah bin Zaid yang berbunyi:

لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk shalat, maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul lonceng di tangannya, lalu aku berkata kepadanya: “Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual lonceng itu?” Maka ia menjawab: “Hendak engkau apakan ia?” Maka aku menjawb: “Memanggil orang shalat dengannya”. Lalu orang tersebut menyatakan: “Maukah engkau, aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab: “Ya, mau”. Maka ia mengatakan : “Katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ia berkata: “Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku,” kemudian menyatakan: Dan jika engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَر
ُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ
قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ”

Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Sungguh, itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah Bilal mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu.” Lalu aku menemui Bilal dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya. Lalu Umar bin Khaththab mendengar hal itu di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan menyatakan: “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun melihat apa yang ia lihat dalam mimpi”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Alhamdulillah”.

2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu:
2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.
Inilah adzan menurut Imam Malik, dan dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:

عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ عَلَّمَهُ هَذَا الْأَذَانَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ يَعُودُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْنِ زَادَ إِسْحَقُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian mengulang, lalu membaca:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ . أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

” حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ” (dua kali)

Dan (membaca) حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ dua kali.

Ishaq menambahkan bacaan:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu:
4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji’ (diulang dua kali = 8 kalimat), 2 hayya ‘ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan pedoman dalam madzhab Syafi’i. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.

Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي سُنَّةَ الْأَذَانِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِي وَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَإِنْ كَانَ صَلَاةُ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Aku berkata: “Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan.” Lalu Beliau memegang bagian depan kepalaku dan berkata: “Ucapkanlah dengan suara perlahan

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ . أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ”

Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:

” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ .
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ .حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ. حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ”

Jika shalat Subuh, katakanlah :

” الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ ”

Lalu :

” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّه ”

Ibnu Abdil Bar mengatakan: “Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk khilaf yang mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji’ dalam syahadat atau tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ . semuanya boleh.

Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satu-satu, sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :

كَانَ الأّذَانُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيْ مَثْنَى مَثْنَى وَ الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ غَيْرُ أَنَّهُ إِذَا قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ثَنَى بِهَا

Adzan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali.

Sedangkan lafadz iqamah ada tiga juga, yaitu:
a). Iqamah 11 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut pendapat Syafi’i, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits Abdullah bin Zaid di atas.

b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ menjadi satu sehingga jumlahnya 10 kalimat. Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.

c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah,

Sebagian kaum muslimin yang lain berpendapat bahwa lafaz iqamah sama persis dengan lafaz azan, hanya saja diberi tambahan lafaz qod qomatis sholah yang dibaca sebanyak dua kali setelah kalimat hayya ‘alas sholah. Dalam pendapat ini, lafaz iqamah akhirnya terdiri dari 17 (tujuh belas) kalimat. Lafaz lengkapnya adalah sebagai berikut:

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر،
أشهد أن لا إله إلا الله، أشهد أن لا إله إلا الله،
أشهد أن محمداً رسول الله، أشهد أن محمداً رسول الله
حيَّ على الصلاة، حيَّ على الصلاة،
حيَّ على الفلاح، حيَّ على الفلاح،
قد قامت الصلاة، قد قامت الصلاة،
الله أكبر، الله أكبر،
لا إله إلا الله

Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah hadis berikut ini;

سنن أبى داود (2/ 99)
عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ أُحِيلَتْ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ وَسَاقَ نَصْرٌ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ وَاقْتَصَّ ابْنُ الْمُثَنَّى مِنْهُ قِصَّةَ صَلَاتِهِمْ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ قَطْ قَالَ الْحَالُ الثَّالِثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَصَلَّى يَعْنِي نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ثَلَاثَةَ عَشَرَ شَهْرًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } فَوَجَّهَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى الْكَعْبَةِ وَتَمَّ حَدِيثُهُ وَسَمَّى نَصْرٌ صَاحِبَ الرُّؤْيَا قَالَ فَجَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَقَالَ فِيهِ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ مَرَّتَيْنِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ مَرَّتَيْنِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ أَمْهَلَ هُنَيَّةً ثُمَّ قَامَ فَقَالَ مِثْلَهَا إِلَّا أَنَّهُ قَالَ زَادَ بَعْدَ مَا قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنْهَا بِلَالًا فَأَذَّنَ بِهَا بِلَالٌ

dari Ibnu Abi Laila dari Mu’adz bin Jabal dia berkata; Pelaksanaan shalat telah mengalami perubahan tiga kali, dan demikian pula pelaksanaan puasa, kemudian Nashr melanjutkan Hadits ini secara panjang lebar. Sedangkan Ibnu Al-Mutsanna hanya menyebutkan kisah shalat mereka yang menghadap Baitul Maqdis. Dia berkata; Cara pelaksanaan shalat yang ketiga; Bahwasanya Rasulullah ﷺ ketika datang ke Madinah, beliau mengerjakan shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama tiga belas bulan, lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini (yang artinya), “Sungguh Aku (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Aku akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144). Maka Allah ﷻ memalingkan beliau ﷺ ke Ka’bah. Sampai di sini hadits riwayat Ibnu Al-Mutsanna. Nashr menyebutkan nama orang yang bermimpi, dia berkata; Maka datang Abdullah bin Zaid, seorang laki laki dari golongan Anshar, dalam haditsnya itu dia berkata; Maka laki laki itu menghadap kiblat seraya mengucapkan; Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an laa ilaaha illallah, Asyhadu an laa ilaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah, Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah, Hayya ‘alas shalaah hayya ‘alash shalaah, hayya ‘alal falaah hayya ‘alal falaah, Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa ilaaha illallaah. Setelah itu dia berhenti sebentar, lalu berdiri mengucapkan kalimat seperti sebelumnya, hanya saja dia menambahkan setelah mengucapkan; Hayya ‘alal falaah, dengan ucapan; Qad Qamatis shalaah, qad qamatis shalaah. Mu’adz bin Jabal berkata; Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ajarkanlah (kalimat adzan itu) kepada Bilal”. Maka Bilal pun mengumandangkan adzan dengan kalimat kalimat itu.

Dalam hadis di atas iqamah disebut sama dengan azan, hanya ditambahi lafaz qod qomatis sholah sebanyak dua kali. Oleh karena itu, lafaz iqamah berdasarkan hal tersebut terdiri dari 17 kalimat.
Dalil yang menguatkan adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah berikut ini yang menginformasikan bahwa Bilal Radhiyallahu ‘anhu mengucapkan iqamah dua-dua seperti azan;

مصنف ابن أبي شيبة (1/ 203)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ زَيْدٍ الأَنْصَارِيَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ رَجُلاً قَامَ وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ أَخْضَرَانِ عَلَى جِذْمَةِ حَائِطٍ ، فَأَذَّنَ مَثْنَى ، وَأَقَامَ مَثْنَى ، وَقَعَدَ قَعْدَةً ، قَالَ : فَسَمِعَ ذَلِكَ بِلاَلٌ ، فَقَامَ فَأَذَّنَ مَثْنَى ، وَأَقَامَ مَثْنَى ، وَقَعَدَ قَعْدَةً

Dari Abdurrahman bin Abi Laila beliau berkata, Shahabat-Shahabat Muhammad ﷺ memberitahu kami bahwasanya Abdullah bin Zaid Al-Anshori datang kepada Nabi ﷺ kemudian berkata; Ya Rasulullah, aku melihat dalam mimpi seakan-akan seorang lelaki berdiri pada bekas reruntuhan dinding dengan memakai dua baju berwarna hijau. Dia beradzan dua-dua dan iqamah dua-dua, kemudian duduk. Maka Bilal mendengar hal tersebut, maka dia beradzan dua-dua dan iqamah dua-dua kemudian duduk.

Demikian pula riwayat At-Tirmidzi yang menyebut secara lugas bahwa iqamah terdiri dari 17 kalimat;

سنن الترمذى (1/ 322)
عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً

“dari Abu Mahdzurah bahwa Nabi ﷺ mengajarkan adzan kepadanya sembilan belas kalimat, sedangkan iqamah tujuh belas kalimat.”
Demikian pula riwayat Ibnu Majah yang menyebut iqamah terdiri dari 17 kalimat;

سنن ابن ماجه (2/ 407)
عَنْ عَامِرٍ الْأَحْوَلِ أَنَّ مَكْحُولًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَيْرِيزٍ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا مَحْذُورَةَ حَدَّثَهُ قَالَ
عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَذَانَ تِسْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً وَالْإِقَامَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً الْأَذَانُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَالْإِقَامَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ كَلِمَةً اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“dari Amir Al Ahwal bahwa Makhul menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Muhairiz menceritakan kepadanya, bahwa Abu Mahdzurah menceritakan kepadanya, ia berkata; “Rasulullah ﷺ mengajariku adzan dengan sembilan belas kalimat, dan iqamah dengan tujuh belas kalimat. Kalimat adzan itu adalah; ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, HAYYA ‘ALASH SHALAH, HAYYA ‘ALASH SHALAH, HAYYA ‘ALAL FALAH, HAYYA ‘ALAL FALAH, ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAH. (Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar-Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah-Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah-Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah- Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah-Mari menuju shalat. Mari menuju shalat-Mari menuju kemenangan. Mari menuju kemenangan-Allah Maha Besar. Allah Maha Besar-Tidak ada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah). Sedangkan kalimat iqamah adalah tujuh belas kalimat; ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH, HAYYA ‘ALASH SHALAH, HAYYA ‘ALASH SHALAH, HAYYA ‘ALAL FALAH, HAYYA ‘ALAL FALAH, QAD QAAMATISH SHALAH, QAD QAAMATISH SHALAH, ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAH. (Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar-Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah-Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah-Shalat telah ditegakkan. Shalat telah ditegakkan-Mari menuju shalat. Mari menuju shalat-Mari menuju kemenangan. Mari menuju kemenangan-Allah Maha Besar. Allah Maha Besar-Tidak ada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah).”

4). Iqamah dengan 9 kalimat, dengan satu-satu kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ dua kali, dasarnya ialah hadits Ibnu Umar di atas.

Imam Bukhari juga menulis masalah ini dalam bab Al Iqamatu Wahidah Illa Qaulahu قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ , yang didukung disepakati Al Hafizh Ibnu Hajar dalam pensyariatannya.

Hukum dan Pensyariatan Adzan

Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash syariat diantaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khothob sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Zaid diatas.

Dan Ijma’ untuk sholat lima waktu. Imam Al Nawawi menyatakan: ‘Adzan dan Iqamah disyariatkan berdasarkannash-nash syariat dan ijma’ dan tidak disyariatkan adzan dan iqamah pada selain sholat lima waktu tanpa ada perselisihan’.

Awal pensyariatannya terjadi pada tahun pertama hijriyah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلَا تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بِلَالُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ

Kaum muslimin dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul lalu memperkira-kira waktu sholat, tanpa ada yang menyerunya, lalu mereka berbincang-bincang pada satu hari tentang hal itu. Sebagian mereka berkata, Gunakan saja lomceng seperti lomceng nashora dan sebagiannya menytakan, Gunakan saja trompet seperti terompet Yahudi. Lalu Umar menyatkan: Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru sholat. Lalu Rasululloh  menyatakan: Wahai Bilai bangun dan serulah untuk sholat.

Imam Syaukani menyatakan : Inilah yang paling shohih dari hadits Nabi  dalam penentuan awal waktu disyariatkannya adzan. Ini juga yang dirojihkan imam Ibnu Hajar.

Adapun hukumnya, para ulama bersilang pendapat dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat para ulama adalah pendapat yang mewajibkannya, dengan dasar hadits Malik bin Al Huwairits yang berbunyi :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري

Aku mendatangi Nabi bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal disisinya selama 20 hari. Nabi seorang yang dermawan dan sangat lemha lembut. Ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, maka beliau berkata : Pulanglah kalian dan tinggallah bersam mereka dana ajarilah mereka (agama Islam) serta sholatlah kalian, apabila hadir waktu sholat, maka hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling dituakan mengimami sholat kalian.

Demikian juga sabda Rasululloh:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَا يُؤَذَّنُ وَلَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka sholat kecuali Syeitan akan memangsa mereka. (HR Ahmad).

Hukum-hukum seputar Adzan.

Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, diantaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri. Ibnu Al Mundzir berkata: Sepakat para ulama yang saya hafal, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri. Hal ini sesuai dengan perintah Rasululloh kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan suka dan mengembalikannya kapan suka, wahai Bilal bangun dan beradzanlah untuk sholat. (HR Al Bukhori).
Demikian juga disunnahkan menghadap kiblat. Syeikh Al Albani menyatakan: Telah shohih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshori dalam mimpinya.

2. Disunnahkan juga beradzan ditempat yang tinggi agar lebih keras dalam menyampaikan adzan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku dahuku termasuk rumah yang tertinggi disekitar masjid (nabawi) dan Bilal dulu beradzan fajar diatas rumah tersebut.(HR Abu Daud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Gholil hadits no. 229 hal 1/246)

3. disunnahkan muadzin memalingkan wajahnya kekanan dan kekiri pada Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالًا يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِالْأَذَانِ

Bahwa beliau melihat Bilal beradzan lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan (HR Al Bukhori) dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالًا يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini yaitu kekanan dan kekiri mengucapkan Hayya ‘Ala As Sholat Hayya ‘Ala Al Falah.

Imam Al Nawawi berkata: Disunnahkan memalingkan wajah dalam Hai’alatain kekanan dan kekiri. Dalam tata cara memalingkan wajah yang mustahab ada tiga tata cara yaitu :

Pertama, ini yang paling benar dan ditetapkan ahli iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’I) adalah memalingkan kekanan dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat hayya ‘Ala Al Sholat kemudian berpaling kekiri dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah Hayya ‘Ala Al falaah.

Kedua, berpaling kekanan dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat kemudian kembali menghadap kiblat kemudian berpaling kekanan lagi dan mengucapkan hayya ‘Ala Al Sholat kemudian berpaling kekiri dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah, lalu kembali menghadap kiblat kemudian berpaling kekiri lagi dan mengucapkan Hayya ‘Ala Al falaah.

Ketiga, ini adalah pendapat Al Qafaal yaitu mengucapkan Hayya ‘Ala Al Sholat satu kali berpaling kekanan dan satu kali berpaling kekiri kemudian mengucapkan Hayya ‘Ala Al Falah satu kali berpaling kekanan dan satu kali berpaling kekiri.

4. disunahkan meletakkan kedua jemarinya ditelinganya , sebagaimana ada dalam hadits Abu Juhaifah juga dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلَالًا يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ

Aku melihat bilal beradzan dan memutar mulutnya kesana dan kesini serta kedua jarinya di telinganya (HR Ahmad dan Al Tirmidzi dan dikatakann Al Tirmidzi bahwa hadits ini hasan shohih. Syeikh AL Albani menshohihkannya dalam Irwa’ AL Gholil no. 230 hal 1/248).

Imam Al Tirmidzi setelah menyampaikan hadits ini menyatakan: Inilah yang diamalkan para ulama, mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan dan sebagian ulama menyatakan juga di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya, ini adalah pendapat Al ‘Auzaa’i.

5. disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan, berdasarkan sabda Rasululloh:

فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar gema suara muadzin seorang jin dan manusia serta sesuatu kecuali memberikan kesaksian untuknya di hari kiamat. (HR Al Bukhori).

6. Hukum mendengar dan menjawab adzan dan iqamat.

Para ulama berbeda pendapat tetang hukum mendengar dan menjawab adzan dalam dua pendapat’

a. hukumnya wajib, ini adalah pendapat madzhab Al Dzohiriyah dan Ibnu Wahb. Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasululloh bersabda jika kalian mendengar adzan maka jawablah seperti yang disampaikan Muadzin. (Muttafaqun Alaihi).
Dalam hadits ini ada perintah menjawab adzan dan perintah pada asalnya menunjukkan wajib.

b. Hukumnya sunnah, ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka menyatakan bahwa hadits Abu Sa’id diatas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasululloh jika mendengar muadzin membaca syahadat maka beliau berkata dan aku an aku. HR Abu daud.
Dalam hadits ini Nabi tidak menjawab adzan secara sempurna.
Demikian juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الْأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلَّا أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasululloh menyerang (satu kaum) ketika terbit fajar dan beliau memperhatikan adzan, apabila ia mendengar, beliau menahan dan bila tidak maka beliau menyerang. Lalu Rasululloh mendengar seseorang berkata: (اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ) maka beliau menjawab:diatas fithroh (عَلَى الْفِطْرَةِ ) kemudian ia mengatakan: (أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ) dan Rasululloh  menjawab: engkau telah keluar dari neraka.(HR Muslim)
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa ada pada sebagiab jalan periwayatan hadits ini yang menunjukkakan hal ini ketika waktu akan sholat.
Hal inipun didukung oleh amalan kaum mualimin dizaman Umar sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik dalam pernyataan beliau:

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari jum’at dan Umar duduk diatas mimbar. Jika muadzin selesai adzan maka umar bangun dan tak seorangpun berbicara. (HR Al Syafi’I dalam Al Um dan shohihkan Al Nawawi sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah hal. 339.)
Kemudian riwayat inipun di kuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shohih dengan lafadz:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman, seorang imam bila keluar (menuju Masjid)maka kami meninggalkan sholat dan bila berbicara (berkhutbah) maka kami meninggalkan perbincangan. (HR Ibnu Abi Syaibah dan dishohihkan Al Albani dalam Tamam Al minnah hal 340).

7. Menjawab adzan dalam keadaan sholat.

Berdasarkan hokum diatas, maka muncullah permasalan lainnya yaitu bagaimana hokum seorang yang sedang sholat mendengar adzan, apakah menjawabnya ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

a. wajib menjawab adzan walaupun dalam sholatkecuali ucapan Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain). Inilah pendapat madzhab Al Dzohiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: Barang siapa mendengar Muadzin maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya dan baik ia berada diluar sholat atau dalam sholat, baik sholat wajib atau sunnah. Kecuali Hayya ‘Ala Al Sholat dan Hayya ‘Ala Al Falah (Hai’alatain) maka tidak diucapkan dalam sholat dan diucapkan diluar sholat.

Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasululloh n bersabda jika kalian mendengar adzan maka jawablah seperti yang disampaikan Muadzin. (Muttafaqun Alaihi).
Lalu nabi  tidak mengkhusukan hal itu dalam sholat atau diluar. Sedangkan Hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada sholat dan adzan seluruhnya dzikir dan sholat adalah tempat berdzikir.

b. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan sholat. Ini adalah pendapat Mayoritas ulama (jumhur) berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Kami dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan beliau sholat dan beliau membalasnya, ketika kami kembali dari negeri najasie, kami memberi salam kepada beliau dan tidak menjawab salam kami dan berkata: Sesungguhnya dalam sholat adalah satu kesibukan. (muttafaqun ‘Alaihi)

Hadits ini menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hokum menjawabnya saja sunnah. Apalagi dalam sholat seseorang sudah sibuk bermunajah kepada Allah dan menjawab adzan dapat merusak kekhusuan tersebut.

c. Menjawab adzan pada sholat sunnah dan tidak menjawab dalam sholat fardhu. Ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Kami cenderung menguatkan pendapat jumhur dalam hal ini, berdasarkan sunahnya menjawab adzan yang telah dikemukan diatas. Wallahu ‘A’lam.

8. disyariatkan membaca sholawat dan doa setelah adzan yang telah diajarkan nabi dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi bersabda: Jika kalian mendengar muadzin maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bersholawatlah untukku, karena siapa yang bersholaweat untukku maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku Al Wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di syurga yang tidak sepatutnya kecuali untuk seorang hamba Allah dan aku berharap akulah ia. Maka siapa yang ,\memohonkan untukku Al Wasilah maka akan mendapat syafaatku. (HR Muslim).

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sungguh Rasululloh bersabda: Siapa yang mengatakan ketika (selesai) mendengar adzan :

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku di hari kiamat. (HR Al Bukhori).

Hal yang sangat disunnahkan terkait adzan dan iqamah lainnya ialah beberapa amalan dan doa sesudahnya, sebagaimana yang telah kami sarikan dari beberapa literatur klasik:

Dalam kitab Asna al-Mathalib karya Imam Zakaria al-Anshary (Dar al-Kutub al-Islamy, 2000), juz II, hal. 456, setelah selesai adzan, disunnahkan bagi muadzin dan yang mendengar adzan, untukmembaca shalawat, yang paling utama ialah shalawat Ibrahimiyyah:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا  مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا  مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْت عَلَى سَيِّدِنَا  إبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا  إبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا  مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا  مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا  إبْرَاهِيمَ وَعَلَى  آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ إنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ `âli sayyidinâ Muhammad kamâ shallaita ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm, wa ‘alâ `âli sayyidinâ Ibrâhim, wa bârik ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ `âli sayyidinâ Muhammad kamâ bârakta ‘alâ sayyidinâ Ibrâhim, wa ‘alâ `âli sayyidinâ Ibrâhîm, innaKa Hamîdun Majîdun

“Ya Allah, berilah rahmat pada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaiman Engkau merahmati Nabi Ibrahim dan keluarganya, serta berkatilah Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaiman Engkau berkatilah Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung”

Dilanjutkan dengan berdoa dengan doa di bawah ini:

اللهم رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ اَلتَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ سَيِّدنَـَامُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَالدَّرَجَةَ الرَّفِيْعَةَ وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ المَحْمُودَ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَاد

Allâhumma Rabba hâdzihid-da‘wati at-tâmmati, wash-shalâtil-qâimati, âti sayyidanâ Muhammad al-washilah wal fadlîlah, wad-darajatar rafî’ah wab’atshu maqâman mahmûdan alladzî wa’adtah, innaka lâ tukhliful-mî‘âd

“Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, kurniailah Nabi Muhammad wasilah (tempat yang luhur) dan kelebihan serta kemuliaan dan derajat yang tinggi dan tempatkanlah dia pada kependudukan yang terpuji yang telah Engkaujanjikan, sesungguhnya Engkau tiada menyalahi janji, wahai dzat yang paling Penyayang.”

Selanjutnya, disebutkan dalam kitab Jami’ul Ahadits, juz IV, hal. 250, disebutkan ada doa khusus setelah adzan maghrib, yakni:

اللهم هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وإدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ ليْ

Allahumma hadza iqbâlu lailika wa idbâru nahârika wa ashwâtu du’âika faghfir lii

“Ya Allah, ini adalah (saat) datangnya malam-Mu, dan perginya siang-Mu, dan terdengarnya doa-doa untuk-Mu, maka ampunilah aku”

Adapun setelah adzan shubuh, ada doa khusus sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Muin hal. 280, yakni:

اللهم هَذَا إِقْبَالُ نَهَارِكَ وَإِدْبَارُ لَيْلِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فاغْفِرْ لِي

Allahumma hadza iqbâlu nahârika wa idbâru lailika wa ashwâtu du’âika faghfir lî

“Ya Allah, ini adalah (saat) datangnya siang-Mu, dan perginya malam-Mu, dan terdengarnya doa-doa untuk-Mu, maka ampunilah aku”

Doa diantara Adzan dan Iqamah.

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِيْ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ

Allahumma innî as-alukal-‘âfiyah fid-dunya wal-âkhirah

“Ya Allah, aku mohon pada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat”

Disambung dengan Membaca ayat kursi:

اللهُ لآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِيْ السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيْطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Allâhu lâ Ilâha illa Huwal hayyul qayyumu. Lâ ta'khudzuhû sinatuw wa lâ naûm. laHû mâ fissamâwâti wa mâ fil ardhi. man dzal ladzii yasfa'u 'indahû illâ bi idznihi. ya'lamu mâ baina aidiihim wa mâ khalfahum. wa lâ yuhithûna bi syai-in min 'ilmihii illâ bi mâsyâ-a. wasi'a kursiyyuhussamâwâti wal ardha. wa lâ ya-udhû hifzhuhumâ wahuwal 'aliyyul azhiim.

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Terakhir, jika sesudah iqamah masih ada waktu, maka disunnahkan membaca doa setelah iqamah ialah:

اللهم رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ صَلِّ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآتِهِ سُؤْلَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Allahumma Rabba hadzihi ad-da’wati at-tâmmati, wa ash-shalâti al-qâimati, shalli ‘ala sayyidina muhammadin wa âtihi su’lahu yaumal qiyâmah


“Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, rahmatilah Nabi Muhammad dan berikan padanya permintaannya di hari kiamat.”

Demikian rangkaian amalan dan doa sesuadah adzan dan iqamah ini, semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca.

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan Iqamat, disampaikan secara ringkas, mudah-mudahan bermanfaat.

Tuma'ninah Rukun Dalam Sholat Yang Sering Diabaikan

 

Sekedar mengingatkan bahwa islam lebih mengutamakan kualitas ibadah dari pada kuantitas ibadah. Sederhana namun bagus, lebih berharga dari pada banyak namun tanpa nilai. Allah berfirman,

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. Al-Kahfi: 7)

Di ayat lain, Allah juga berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2).

Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,

ليختبركم { أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا } ولم يقل: أكثر عملا بل { أَحْسَنُ عَمَلا } ولا يكون العمل حسنا حتى يكون خالصا لله عز وجل، على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم. فمتى فقد العمل واحدا من هذين الشرطين بطل وحبط

Allah menguji kalian siapa diantara kalian yang paling bagus amalnya. Allah tidak berfirman, ’siapa yang paling banyak amalnya’ namun yang Allah firmankan, ’Siapa yang paling bagus amalnya.’ Dan amal belum disebut bagus, hingga dikerjakan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai petunjuk syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada salah satu dari dua syarat ini, maka amal itu statusnya batal dan hilang. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/308).

Oleh karena itu, para ulama sahabat, lebih menyukai bersikap sederhana ketika beramal. Dari pada berlebihan, namun tidak sesuai sunah. Karena mereka memahami, kualitas amal lebih diutamakan dari pada kuantitasnya.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

الاقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الاجْتِهَادِ فِي بِدْعَةٍ

“Sederhana dalam mengikuti Sunnah itu jauh lebih baik dari pada berlebih-lebihan dalam mengerjakan amalan-amalan baru yang tidak pernah dicontohkan Nabi.” (as-Sunah karya al-Maruzi, no. 75).

Orang yang mengerjakan shalat, namun dia tidak thumakninah, shalatnya batal dan tidak dinilai.

Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah.

Tuma’ninah adalah sebagai salah satu rukun shalat diantara rukun shalat yang lainnya. Tuma’ninah juga sebagai sarana mencapai tingkat kesempurnaan shalat guna membangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa.

Tumaninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa gesa dalam melaksanakan gerakan shalat, pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya serta usahakan tubuh kita tidak tegang. Dalam hadits disebutkan :

( فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ اَلْعِظَامُ ) َوَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ

Dan menurut lafazh riwayat Ahmad :"Maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang itu kembali (seperti semula)."

 ( حَتَّى تَتْمَئِنَّ قَائِمًا ) َوَمِثْلُهُ فِي حَدِيثِ رِفَاعَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَابْنِ حِبَّانَ

Hal serupa terdapat dalam hadits Rifa'ah Ibnu Rafi' menurut riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban: "Sehingga engkau tenang berdiri (mu)."

Dalil yang menunjukkan wajibnya tumakninah

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ، وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ

Sesungguhnya ada seseorang yang sholat selama 60 tahun, namun tidak diterima (oleh Allah) amalan sholatnya selama itu walau satu sholatpun. Boleh jadi (sebabnya) dia sempurnakan ruku’-nya tetapi sujudnya kurang sempurna, demikian pula sebaliknya” (Hadis Hasan, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Abu Hurairah RA, Shahih al-Targhib, no. 596)

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ

“Manusia paling buruk pencuriannya adalah orang yang mencuri dari sholat”. Mereka (para sahabat) berkata, “Bagaimana ia mencuri sholatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya”, atau beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/310).

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍٍ يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ مَثَلُ الَّذِيْ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَيَنْقُرُ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلُ اْلجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَانِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا

“ Dari Abu Abdillah al-Asy’ari radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan waktu sujud (dilakukan cepat seakan-akan) mematuk dalam keadaan dia sholat. Maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati di luar agama Muhammad. Ia sujud seperti burung gagak mematuk makanan. Perumpamaan orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti orang kelaparan makan sebiji atau dua biji kurma yang tidak mengenyangkannya “(H.R Abu Ya’la,al-Baihaqy, at-Thobrony, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Dalam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memerintahkan kepada orang yang “ngebut” shalatnya untuk mengulangi shalatnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ « إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا »

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Maka wajib bagi kita untuk mengerjakan sholat dengan thuma’ninah dan tidak tergesa-gesa karena hal tersebut merupakan salah satu rukun sholat, yang jika tidak terpenuhi menyebabkan batalnya sholat. Dalam hadits di atas Rasulullah memerintahkan kepada seseorang tersebut untuk mengulangi sholatnya.

Mari kita kerjakan sholat dengan tenang dan nikmatilah! Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk mempersembahkan amal ibadah yang terbaik kepadaNya, dan menjadikan sholat sebagai sarana penyejuk jiwa, penjernih kalbu, pelapang dada, penghilang kesedihan dan yang mampu mendatangkan ketenangan batin, sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan :

جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصّلاَةِ

“ Dijadikan penyejuk jiwaku ada dalam sholat”(H.R Ahmad dan AnNasaa’i).

Salah satu syarat mencapai tingkatan shalat yang sempurna salah satunya adalah Tuma’ninah, diantaranya :

Tumaninah Dalam Berdiri

Berdirilah dengat tegak dan tenang jangan menoleh kekiri atau kanan sehingga bila ada jama’ah yang datang disebelahnya tidak mengetahi siapa orangnya. Arahkan pandangan mata ketempat sujud.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. Al Baqarah : 238 )

Tuma'ninah Ketika Melaksanakan Ruku

Setelah selesai membaca surat berhentilah sejenak lalu angkat kedua tangan seperti takbir dengan mengucap “Allahu Akbar” kemudian ruku dengan meletakan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya seolah olah menggenggam. Punggung diluruskan hingga rata, pandangan mata kearah ujung jari kaki.Lakukan dengan tenang dan rileks sehingga terasa pada urat kaki dan pinggang, ada jeda sebentar baru kemudian membaca Do’a Ruku.

Hadits:

فَاِء ذَارَكَعْتَ فَاجْعَلْ رُاحَتَيْكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ وَمَكِّنْ لِرُكُوْعِكَ

“Maka bila engkau ruku jadikanlah kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu dan luruskanlah punggungmu dan tekankan dalam rukumu itu.”

Tuma'ninah Ketika I’tidal setelah Ruku

Angkatlah kedua tangan seperti ketika takbir sambil membaca Iftidal ( Sami’Allahuliman Hamiddah ) lalu tangan diletakan disisi kiri kanan sejajar dengan tubuh, secara tenang dan tidak tergesa gesa sehingga kepalanya tega lurus dan posisi tubuh berdiri tegap seperti semula sehingga punggunnya dan seluruh sendi sendi tulang kembali seperti semula, kemudian diam sejenak lalu membaca Do’a Iftidal.

Nabi Muhammad melaksanakan I’tidal lamanya hampir sama dengan lamanya ketika beliau ruku , beri jeda (jarak) sebentar kemudian sujud.

َوَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا اِفْتَتَحَ

اَلصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ اَلرُّكُوعِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

 “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya lurus dengan kedua bahunya ketika beliau memulai shalat ketika bertakbir untuk ruku' dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku'. Muttafaq Alaihi.

Tuma'ninah Ketika Melaksanakan Sujud

Setelah bangkit dari ruku ada jeda sebentar kemudian mengucap Takbir “Allahu Akbar” dan laksanakan sujud dengan tenang dengan meletakan kedua tumit terlebih dulu baru menyusul kedua telapak tangan diletakan ditempat sujud dengan jari jari dirapatkan mengarah ke kiblat, begitu pula jari jari kaki dilekuk arahkan ke kiblat, dahi dan hidung menyentuh tempat sujud , siku tangan diangkat tidak menyentuh tempat sujud dan jangan dirapat kan ketubuh.

َوَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم

( أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang pada dahi. Beliau menunjuk dengan tangannya pada hidungnya kedua tangan kedua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki."Muttafaq Alaihi.

Tuma’ninah duduk diantara dua sujud

Setelah selesai membaca Do’a sujud bangkitlah perlahan lahan dengan duduk secara tenang diatas kedua tumit, badan diluruskan hingga sendi tulang kembali pada tempatnya.

لاَتَتِمُّ صَلاَ ةُ اَحَدِكُمْ حَتَّى يَفْعَل ذَ لِكَ

“Tidak sempurna salah seorang diantara kamu sehingga ia melaksanakan demikian itu”

Tuma'ninah ketika Bangkit dari sujud

Ketika akan bangkit dari sujud untuk memulai rakaat berikutnya, tekankan kedua telapak tangan ke tempat sujud lalu mengucap Takbir “Allahu Akbar” kemudian bangkit berdiri hingga benar benar tegak dan rileks berhenti sejenak baru kemudian melanjutkanya ke rakaat berikutnya.

Demikianlah makna tuma’ninah dalam pelaksanaan shalat sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan shalat, pelaksanaan shalat hendaknya dari awal hingga akhir selalu dilaksanakan dengan cara tuma’ninah, sehingga pada akhirnya kita dapat menerapkan ditiap-tiap sendi kehidupan dengan cara tenang tidak tergesa gesa. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi dan ketenangan akan membawa hasil yang baik dan sempurna.

Kewajiban setiap muslim untuk menjaga tuma’ninah sesempurna mungkin. Dia wajib menyempurnakan ruku’ nya, i’tidalnya, sujudnya dan ketika duduk di antara dua sujud. Dia kerjakan hal tersebut dengan lengkap dan sempurna dalam semua shalatnya. Dia kerjakan dengan tata cara yang diridhai oleh Rabbnya, dengan niat mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang teguh kepada sunnahnya, beliau bersabda:

صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat” (HR Bukhari 631, 6008, 7246 dari sahabat Malik bin Huwairits rahiallahu ‘anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wasallam melakukan shalat dengan tuma’ninah (rileks), yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga dapat menyempurnakan perbuatannya, dima posisi tulang dan organ tubuh lainnya dapat berada pada tempatnya dengan sempurna. Melakukan shalat dengan tenang dan rileks akan menghasilkan energi tambahan dalam tubuhnya, sehingga tubuh merasa fesh.

Saudaraku.... lihatlah beberapa perkataan Imam asy- Syafi’i Rahimahullah, yang menunjukkan bahwa beliau menekankan pada para pengikutnya untuk mengambil hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bila ternyata perkataan beliau menyelisihi hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, diantara perkataan-perkataan beliau adalah sbb:

Ar- Rabie’ (murid Imam asy- Syafi’i) bercerita; Ada seseorang yang bertanya kepada Imam asy- Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian setelah dijawab oleh Imam Syafi’i, kemudian orang itu bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan marahlah Imam Syafi’i. Beliau kemudian berkata:

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِى وَ أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِى إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

“Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan aku pijak, bila kumeriwayatkan hadits Rasulullah kemudian aku berpendapat dengan pendapat lain (yang menyelisihi hadits tersebut) (Abu Nu’aim dalam Kitab Hilyatul ‘Aulia).

Beliau juga berkata:

إِذَ وَجَدْتُمْ فِىْ كِتَابِىْ خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّتِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَاقُلْتُ - وَفِى رواية- فَاتَّبِعُوْهَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ

“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah (hadits) Nabia, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku – dan dalam riwayat lain – maka ikutilah sunnah dan jangan pedulikan perkataan orang-orang” (Imam an- Nawawi dalam Kitab Majmu Syarh Muhadzdzab 1:63)

كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِى وَ إِنْلَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّىْ.

“Setiap hadits yang di ucapkan oleh Nabi a, maka itulah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku” (Imam adz- Dzahabiy dalam kitab Siyar Alamin Nubala’ 10:35)

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِىْ حَيَاتِىْ وَبَعْدَ مَوْتِى.

“Setiap permasalahan yang padanya terdapat Hadits shahih menurut ahli Hadits, dan hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku akan mencabut pendapatku tersebut ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati” (Abu Nu’aim – Hilyatul ‘Auliya’ 9:107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ وَ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَضْرِبُوْا بِقَوْلِىْ الْحَائِطَ.

“Bila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke balik tembok” (Imam adz- Dzahabiy - Kitab Siyar ‘Alamin Nubala’)

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَ عَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat seseorang” (Imam Ibnu Qayyim – I’lamul Mawaqi’in 2:282)

Lihatlah saudaraku yang dimuliakan Allah bagaimana takutnya Imam Syafi’i menyelisihi sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, padahal ia adalah Imam besar dan salah seorang dari 4 imam Mahdzab, tetapi lihatlah diri kita, kita begitu lancang membantah hadits-hadits nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, hanya demi mengikuti pendapat seseorang yang kita tidak tahu apakah perkataannya bisa di terima atau ditolak. Ketahuilah wahai saudaraku

Dalam Qur’an al- Hasyr ayat 7 Allah berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...